Dentuman musik terdengar menggema di ruangan dengan cahaya meremang. Botol minuman tampak berserakan di meja bersama piring dengan sisa camilan maupun buah.
Seorang gadis berpakaian seksi tampak menari di tengah ruangan, meliukkan tubuh indahnya mengikuti musik yang berdentum keras.
Seorang pria juga tampak bersama gadis itu, menari seraya memegangi pinggang ramping gadis itu dari belakang, bahkan sesekali mengusap hingga ke bagian perut dan paha. Dada pria itu menempel pada punggung gadis yang pakaiannya sedikit terbuka di bagian belakang, sesekali mencium pundak dan leher dengan tubuh bergerak mengikuti irama musik.
“Setelah ini, apa yang ingin kamu lakukan, hm?” tanya Pria itu sedikit keras karena suaranya tersamarkan dengan dentuman musik yang menggema.
Gadis itu berhenti menari, menyelipkan rambut ke telinga seolah ingin mendengar apa yang dikatakan oleh pria yang bersamanya.
“Hah? Apa yang kamu katakan?” tanya balik gadis itu setengah berteriak.
“Apa yang mau kamu lakukan setelah ini? Apa kita perlu memesan kamar?” Pria itu menjawab dengan pertanyaan dan suara yang keras.
Gadis itu tersenyum miring, lantas membalikkan badan dan berhadapan dengan pria tadi. Dia merangkulkan kedua lengan ke leher pria itu, lantas mendekatkan wajah mereka hingga jarak hanya sejengkal.
Gadis itu tanpa sungkan menyambar bibir pria itu, melumat dan menyesap berulang kali yang tentunya mendapatkan balasan dari lawannya. Gadis itu melepas pagutan bibir, menatap sang pria dengan senyum manis yang membuat pria mana pun akan tergila-gila padanya.
“Aku hanya ingin bersenang-senang, malam ini sampai pagi. Tapi ….” Belum juga gadis itu melanjutkan ucapan, ponsel yang berada di saku belakang rok mininya bergetar.
“Siapa sih yang menghubungi?” Gadis itu menggerutu, lantas mengambil ponsel yang tak berhenti bergetar.
“Tunggu sebentar!” ujar gadis itu pada sang pria.
Pria itu hanya mengangguk, kemudian memilih kembali ke sofa menunggu gadis yang bersamanya selesai menjawab panggilan.
Gadis itu sedikit merapat ke dinding, kemudian menjawab panggilan dari temannya.
“Halo, Rosie! Ada apa?” tanya gadis itu dengan ponsel menempel di telinga kanan, sedangkan telinga kiri ditutup menggunakan tangan satunya agar bisa mendengar dengan jelas.
“Selena, pergi dari sana sekarang!” Suara gadis yang dipanggil Rosie itu terdengar panik.
Selena—gadis yang menari bersama pria itu menggosok telinga kanan setelah menjauhkan ponsel dari telinga, merasa jika temannya berteriak begitu kencang. Dia lantas kembali menempelkan ponsel ke telinga, kemudian menanggapi ucapan temannya yang panik.
“Tenang, Rosie. Ada apa, hm?” tanya gadis bernama Selena itu santai.
“Alex menuju ke ruanganmu, dia naik menggunakan lift. Pergi dari sana, atau habis sudah kesenanganmu!” teriak Rosie dari seberang panggilan dengan suara melengking begitu keras.
“Apa?” Gadis bernama Selena itu berteriak dengan bola mata membulat. Seketika dia seperti orang yang hampir ketahuan sedang ingin mencuri. Selena mau berlari ke mana tapi tak tahu karena bingung, hingga membuatnya malah berjalan ke kanan dan kiri tapi urung.
“Ada apa?” Pria yang bersama Selena mematikan musik, lantas menatap gadis yang bersamanya itu sedang kebingungan.
Selena menghampiri pria tadi, lantas mendaratkan sebuah kecupan di bibir dengan tangan menyambar jaket yang berada di sandaran sofa.
“Baby, aku harus pergi. Kita ketemu besok lagi, oke!”
“Tapi ….” Pria itu ingin mencegah, tapi urung karena gadis yang belum selesai bersenang-senang dengannya itu malah kabur duluan. “Sialan! Padahal aku sudah berfantasi dengan tubuhnya!” gerutu pria itu sambil mengguyar kasar rambut ke belakang, menatap punggung Selena yang lari kalang kabut seperti dikejar setan.
Selena langsung memakai jaketnya sambil berjalan dengan setengah berlari, menyibakkan rambut panjangnya hingga tergerai ke belakang, kemudian mengambil langkah seribu untuk segera meninggalkan ruangan tempatnya bersenang-senang tadi.
“Mati aku!” Selena pergi dengan wajah panik.
Selena hendak berjalan ke arah lift, tapi urung saat mengingat jika temannya berkata kalau pria bernama Alex naik menggunakan lift. Akhirnya Selena pergi ke pintu darurat, melihat banyaknya anak tangga yang harus dilewati agar bisa sampai di lantai satu.
“Agh!!! Kenapa nasibku sangat sial!” umpat Selena kesal sendiri.
Dia melepas kedua highheels, kemudian mulai menuruni anak tangga yang berjumlah ratusan mungkin ribuan. Bagaimana tidak? Dia berada di lantai tujuh, tentu saja akan banyak anak tangga yang harus dipijak agar dirinya bisa sampai ke lantai dasar.
“Kenapa dia selalu membawa kesialan untukku?” Selena menggerutu sambil terus menuruni anak tangga dengan setengah berlari.
Di lantai bawah, tepatnya di depan pintu darurat lantai satu. Seorang pria bertubuh tegap dan tinggi, terlihat bersedekap dada menatap seorang gadis yang berdiri di depannya. Pria itu tak menunjukkan ekspresi wajah apa pun, begitu datar seperti televisi flat yang tak memiliki sebuah cekungan atau cembungan.
“Aku sudah melakukan apa yang kamu minta, apa aku boleh pergi?” tanya gadis itu antara takut dan kagum dengan pria di hadapannya.
“Kamu sudah pastikan dia turun lewat tangga darurat?” tanya pria bernama Alex itu dengan suara datar.
“Sudah,” jawab gadis bernama Rosie itu dengan senyum lebar. “Bukankah kamu tadi dengar, kalau aku berkata jika kamu naik menggunakan lift. Aku yakin seyakin-yakinnya jika Selena akan turun lewat tangga darurat,” imbuh gadis itu meyakinkan, ingin hendak lepas dari pria sedingin es dan sekaku papan triplek.
Alex menggerakkan telapak tangan di udara sebagai isyarat mengusir, tak peduli lagi dengan gadis itu karena tujuan utamanya ke sana adalah gadis bernama Selena.
Rosie tersenyum lebar, hingga kemudian mengambil langkah seribu untuk kabur dari hadapan pria bernama Alex. Pria tampan yang memiliki rahang kuat, dengan mata sedikit sipit tapi tak menghalangi tatapan tajamnya.
Alex menunggu beberapa saat, hingga kemudian memandang arloji yang melingkar di pergelangan tangan, lantas mulai berhitung, memperkirakan kapan gadis bernama Selena itu akan sampai.
“Lima, empat, tiga, dua, satu.” Benar saja, pada hitungan terakhir, pintu darurat yang berada di depan Alex terbuka.
Selena dengan napas tersengal keluar dari sana, membungkuk dan mengambil udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi stok napas di paru-paru karena hampir habis sebab dirinya harus melewati ribuan anak tangga.
“Sialan!” umpat Selena kesal dengan napas masih terengah.
“Apa yang sialan?”
Suara yang dikenal mengejutkan Selena, gadis itu tak sadar jika ada seseorang yang berdiri di depannya. Seseorang yang sejak tadi dihindarinya, hingga rela turun lewat tangga darurat.
Selena mencoba mendongak dengan badan masih membungkuk, kesialan memang sedang datang mengerjainya, niat hati menghindar malah kini tertangkap. Membuatnya geram, karena sadar jika temannya bersekongkol dengan pria bernama Alex untuk menangkapnya.
“Mau ke mana lagi kamu, hah? Jangan harap bisa kabur lagi!” Alex meraih pergelangan tangan Selena, sebelum kemudian mengangkat tubuh gadis itu lantas memanggulnya di pundak.
Selena yang masih dalam kondisi syok, lantas berteriak dengan keras karena terkejut.
“Alex! Sialan! Turunkan!” teriak Selena berulang, memberontak agar bisa turun dari pundak pria bertubuh kekar itu. Bahkan sampai memukul punggung lebar pria yang memanggulnya seenak hati.
“Mengumpatlah sesukamu! Tapi aku takkan melepasmu!” balas pria berwajah datar itu santai, lantas mengayunkan kaki dengan santai menuju area parkir.
“Alex sialan! Rosie pengkhianat!” teriak Selena yang kesal.
Suara teriakan melengking itu membuat siapapun yang mendengar langsung menoleh. Namun, pria yang sedang menggendong gadis berumur dua puluh enam tahun itu tak peduli dan terus mengayunkan langkah.“Alex! Turunin!” teriak Selena masih berusaha turun dari gendongan Alex.Pria berwajah tampan dengan tatapan dingin itu berhenti di dekat mobil berwarna hitam. Lantas menurunkan dengan kasar gadis bernama Selena dan merapatkan gadis itu ke body mobil. Alex lantas bersedekap dada menatap gadis yang kini berdiri sedikit sempoyongan, entah karena pusing digendong Alex dengan posisi kepala terbalik atau mabuk karena pengaruh alkohol.“Aku membencimu!” umpat Selena yang kesal.“Aku lebih membencimu,” balas Alex santai masih menatap Selena yang sedikit mabuk.“Aku kesal karena kamu selalu mengganggu kesenanganku!” teriak Selena gemas, sampai meremas udara di depan wajah Alex dengan kedua telapak tangannya.“Aku lebih kesal lagi karena harus mengurus bayi besar sepertimu,” balas Alex masih memasang
Alex mengemudikan mobil membelah jalanan kota yang gelap dan hanya berpenerang lampu jalanan yang temaram. Dia sesekali melirik ke kursi samping kemudi di mana Selena ternyata tertidur pulas karena mabuk. Alex menggeleng kepala pelan, sebelum kemudian memacu mobil menuju kediaman keluarga Steward—Keluarga Selena.Mobil sedan hitam itu sampai di mansion besar bernuansa klasik. Seorang penjaga rumah membuka gerbang yang menjulang tinggi menghalau dunia luar dari mansion itu. Alex menekan klakson dua kali saat akan melewati gerbang, lantas memacu mobil hingga sampai di depan teras mansion itu.Seorang wanita berpakaian gaun malam tampak keluar dari mansion. Wanita berumur lima puluh tahunan itu terlihat begitu cemas dan kini berdiri di depan pintu menunggu mobil Alex berhenti dengan sempurna.“Kamu menemukannya?” tanya wanita yang tak lain adalah Evelia Fanneta—Ibu Selena, saat melihat Alex keluar dari mobil.“Tidak susah menemukannya, Bibi,” jawab Alex sopan, bahkan dengan senyum ramah
Di sebuah kota kecil, di belahan dunia lain. Seorang pria berumur dua puluh tujuh tahun, tampak berjalan masuk ke sebuah kantor berukuran kecil. Suara sol tak terlalu menggema ketika menapaki lantai, beberapa orang yang berpapasan tampak membungkuk memberi hormat.“Bagaimana perkembangannya?” tanya pria berpakaian formal itu kepada pria yang mengikuti langkahnya.“Semuanya sudah diurus dengan baik, tinggal mengeluarkan surat izin pembangunan saja,” jawab pria yang ternyata adalah asisten pribadinya.Pria itu masuk ke salah satu ruangan, lantas disambut oleh pria lain di sana.“Senang sekali bertemu dengan And, Pak Archie.” Pria tua bertubuh gempal itu langsung berdiri begitu melihat siapa yang datang.Archie Sayaka, putra kedua dari keluarga Sayaka, adik dari Alexander Sayaka. Pria blesteran Jepang-Prancis itu tampak memiliki wajah manis dengan kulit putih bersih. Meski wajahnya tampak seperti orang China, tapi pada kenyataannya Archie memiliki rambut berwarna kecoklatan seperti ibuny
Rambut berwarna hitam pekat panjang itu tergerai indah, diterpa angin yang membuat rambut itu melambai ke belakang. Tubuh rampingnya berbalut kemeja berwarna cokelat dengan bagian bawah yang masuk ke celana berbahan jeans berwarna biru muda.“No! No! No!” pekik gadis itu saat moncong kuda hampir mencium kepala Archie.Namun, siapa sangka jika tujuan utama Archie bukanlah menghentikan kuda itu, tapi menurunkan gadis yang ada di atasnya. Saat kuda itu hampir sampai di tempatnya berdiri, Archie sedikit minggir lantas kedua tangan dengan sigap meraih tangan gadis yang menunggangi kuda itu. Dia lantas menarik dan membawa gadis itu ke dalam pelukan.Kuda itu masih terus berlari dengan cepat, meninggalkan sang pemilik yang sudah tak berada di atas punggung.Sedangkan gadis itu sangat terkejut dengan yang dilakukan Archie, dia dan Archie jatuh ke tanah dengan posisi adik Alex itu berada di bawah.Hubert yang tadi memejamkan mata, lantas sedikit mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Sampai
Di kota tempat Alex tinggal. Alex terlihat duduk dengan gelas berisi minuman di tangan. Dia lantas memejamkan mata seolah sedang mengingat sesuatu.“Cukup minumnya! Kamu sudah mabuk berat!” Alex tampak mengambil paksa gelas kristal dari tangan seseorang.“Lex! Biarkan sekali ini saja aku mabuk!” Suara pemuda yang kini bersama Alex terdengar begitu berat, kelopak matanya hampir tertutup, wajahnya memerah karena pengaruh dari alkohol yang masuk ke tubuh.Alex menggelengkan kepala, meletakkan gelas yang dipegang ke meja, lantas bersiap memapah pemuda mabuk itu pergi dari sana.“Kita pulang sekarang, aku akan mengantarmu,” ucap Alex merangkulkan satu tangan pemuda mabuk itu melingkar di lehernya.Namun, pemuda itu menolak ajakan Alex. Dia kembali menarik tangan dari leher Alex dan duduk di tempatnya semula.Alex terkejut dengan penolakan pemuda itu, menatap tajam dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan pemuda itu.“Lex, tolong … biarkan … biarkan aku sekali saja menjadi p
Selena masih tertidur pulas di kamar besarnya, di kasur yang berukuran king size nan empuk. Gadis itu tidur dengan posisi tengkurap di tepian ranjang, sedangkan satu tangan tampak menggantung ke lantai. Matahari yang meninggi, tak mengganggu tidur lelap gadis manja itu, meski sinarnya terasa menyengat di wajah manisnya dan langsung menyorot ke kelopak mata. Efek alkohol yang menguasai tubuh, membuat Selena benar-benar tak sadar sudah tidur berapa lama.“Selena, apa kamu tidak mau bangun untuk sekedar makan atau yang lainnya.” Suara lembut keibuan itu terdengar begitu nyaman di telinga. Evelia mencoba membangunkan Selena yang tak kunjung bangun meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Selena tak bergerak, tampaknya dia memang sedang benar-benar menikmati mimpi indahnya, hingga tak mendengar jika sang ibu membangunkan.Evelia menghela napas kasar, putrinya itu memang selalu begini jika pulang dalam kondisi mabuk. Dia lantas berjalan ke arah jendela kaca yang membentang bagai d
Alex berangkat ke perusahaan seperti biasanya. Langkah kakinya yang begitu ringan tapi mantap, derap sol sepatu di lantai menciptakan suara yang menggema di koridor menuju ruangannya berada. Seorang pria lain berjalan di sebelahnya, pria itu adalah Aries—asisten serta tangan kanan kepercayaan Alex.“Bacakan jadwalku hari ini!” perintah Alex dengan suara pelan tapi tegas.“Siang ini Anda ada rapat dengan pihak Maxel Group, lalu dilanjut ….” Aries membacakan rentetan jadwal yang harus dikerjakan oleh Alex.Alex mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk kecil untuk membalas sapaan staf yang memberinya hormat. Meski Alex adalah pemimpin tertinggi di sana dan terkenal kaku, keras, juga dingin, tapi dia selalu ingat akan nasihat Claira—sang ibu. Wanita paruh baya itu selalu berpesan agar tetap menghormati orang-orang disekitar, meski pria itu bersikap dingin.“Oh ya, Apa sudah ada kabar dari Hubert?”
Di sebuah kamar hotel berukuran besar dan terkesan mewah, dua manusia berlawanan jenis tampak sedang mengarungi bahtera penuh gairah untuk mencapai kenikmatan dunia. Namun, pria yang ada di atas tubuh wanita bertubuh polos nan seksi itu, tampak tak berkonstrasi dan lebih terlihat tak menikmati sama sekali percintaan panas itu.Alex mencoba melepas penat dengan mengajak bercinta seorang model ternama, berharap pikirannya bisa sedikit rileks dan tenang, setelah seharian merasa tertekan dan banyak sekali masalah yang dipikirkan. Namun, pada kenyataannya gairah itu memudar, seiring kata demi kata Sean yang terus terngiang di kepala.“Lex, apa kamu baik-baik saja? Apa ingin ganti posisi?” tanya wanita yang bersama Alex.“Sial!” Alex mencengkeram sprei seolah sedang meluapkan sesuatu.Alex memilih mengeluarkan miliknya, lantas bangkit dari posisi dan turun dari ranjang. Wanita yang tak sekali pernah melayani Alex, keheranan dengan sikap