Home / Rumah Tangga / Istri Bayangan Sang Miliarder / Janji dibalik Tanda Tangan

Share

Janji dibalik Tanda Tangan

Author: Xǐn Rose
last update Last Updated: 2025-06-22 11:47:22

Gaun itu menggantung seperti beban yang memberatkan di tubuh Seruni. Seperti ujian penuh air mata. Tapi, bukan karena bahannya tidak terbuat dari sutra lembut atau satin yang berkilau seperti di dongeng. Bukan juga karena bajunya hanya kain putih murahan yang gatal di pinggang dan terlalu sempit di dada atau bahkan, bukan juga karena resleting belakangnya sempat macet hingga Mira harus menariknya paksa dengan gigi terkatup dan mulut mengumpat pelan. Namun, karena pernikahan seindah Pangeran dan Putri Salju yang penuh cinta tidak terjadi dalam kisah Seruni hari ini.

“Silakan tanda tangan di sini.” notaris mendorong dokumen ke hadapan Seruni dan Aruna. 

Suara notaris itu terdengar kaku dan lelah seperti sudah menikahkan terlalu banyak pasangan tanpa cinta. Seruni menatap kolom kosong di atas kertas. Nama panjang Aruna sudah tercetak rapi, tanda tangannya lurus, tegas dan mantap. Seperti kontrak kerja jangka pendek sangat berbeda dengan dirinya yang memegang pulpen saja tangannya sudah bergetar.

Seruni melirik sebelah kanannya yang kosong, begitu pun dengan sebelah kirinya. Hanya terlihat Mira yang berdiri kikuk di sudut ruangan. Ia memegangi ponsel seperti paparazi amatir dengan mata sembab entah karena haru atau karena merasa bersalah seakan menjerumuskan sahabatnya ke jurang penderitaan. Namun, Mira tetap harus berusaha tersenyum untuk memberi Seruni semangat.

“Seruni!" bisik Mira. "Lanjut, udah sejauh ini.”

Seruni menelan ludah. Dadanya sesak. Tak ada ayah yang menyeka air matanya. Tak ada ibu yang menangis haru. Tak ada iring-iringan lagu romantis atau peluk hangat keluarga besar dan para sepupu dekat. Ia hanya merasakan napasnya sendiri yang seakan menipis setiap menitnya.

Seruni menyentuhkan pulpen di atas kertas. “Bismillah!” gumamnya.

Tanda tangan berharga Seruni berhasil ditorehkan. Cap merah notaris menghantam kertas, seakan menghantam palu ke peti masa depannya.

“Selamat!" ucap notaris. "Kalian sah sebagai suami-istri!"

Suaranya terdengar seperti dialog yang telah diatur tanpa irama emosional. Lebih mirip seperti mengesahkan berkas pajak kendaraan. Perlahan, Seruni menoleh ragu ke arah Aruna.

“Kita … nggak foto?” ucap Seruni.

Aruna mengangkat bahu. “Cepat saja!”

Mira mencoba mengatur angle. Tapi Seruni tahu, tidak ada filter yang cukup untuk mengedit kekosongan di antara mereka. Bahkan di layar ponsel, jarak lima centimeter itu terasa seperti bentangan dua benua. Aruna menatap diam-diam wanita di sampingnya yang kini telah sah menjadi istrinya. Ia sejenak berpikir meski status Seruni hanya berpura-pura menjadi pendampingnya selama 6 bulan. Namun, tetap saja secara hukum dan agama mereka telah resmi sebagai sepasang jiwa yang seharusnya saling menjaga. 

Sedetik kemudian, Aruna segera menipis logikanya yang mulai aneh dan tak masuk akal baginya dan segera kembali mengaktifkan mode berhati dingin. Ia berdiri tegak seperti patung batu berjas hitam Armani. Aruna Mahadewa, CEO muda yang namanya lebih sering muncul di poadcast serta berita bisnis dan ekonomi daripada channel gosip. Wajahnya tampan, tapi ekspresinya kosong. Bahkan mesin fotokopi di sudut kantor kelurahan pun lebih ekspresif darinya.

Seketika, Seruni menangis dalam hati karena setelah foto berdua pun, tidak ada pelukan romantis ala drama asia. Tidak ada ucapan selamat para tamu. Tidak ada ucapan ‘selamat datang di hidupku’. Aruna, suaminya yang berdiri di sampingnya hanya sibuk merapikan jas, dasi dan ... dompetnya. Lalu bergegas pergi menjauhi Seruni yang terdiam kaku karena masih shock demgan pernikahan palsunya.

“Mobil menunggu di bawah." Aruna menatap Mira. "Suruh dia cepat turun!"

"Dia?" ucap Seruni lirih, "sesulit itukah menyebut namaku?"

Seruni menggenggam map merah muda di tangannya bertuliskan Akta Nikah tampak mencolok dan asing. Kertas yang di dalamnya tergoreskan janjinya dengan diri sendiri untuk tidak jatuh cinta pada Aruna. Detik itu Seruni baru saja mengizinkan perubahan paling drastis terjadi pada hidupnya.

Malam itu, mansion Aruna berdiri seperti raksasa hitam di tengah komplek elit Jakarta Selatan. Pilar-pilar beton menopang langit-langit menjulang. Lampu taman menyorot jalan kecil menuju pintu utama yang mengkilap bagai cermin. Seruni berdiri mematung di ambang pintu, merasa seperti Alice yang salah masuk dunia Wonderland versi horor. Begitu pintu terbuka otomatis, rasa tak percaya diri menyergapnya lebih brutal. Langkah pertamanya menggema di lantai marmer hitam. Bunyinya terlalu nyaring. Terlalu mencolok untuk seseorang yang baru saja menukar kemerdekaannya dengan segaris tanda tangan.

“Jangan terlalu keras jalannya!" ucap Aruna datar. "Kamu bisa mengganggu sistem suara rumah ini."

Seruni mencibirkan bibirnya. Ia merasa kesal karena bahkan cara dia berjalan saja salah. Seruni perlahan mengalihkan perasaan tidak nyamannya dengan menatap ke sekeliling. Tatapannya menyapu interior rumah.

“Rumah ini … Dingin sekali,” bisiknya pada dirinya sendiri.

“AC sentral 16 derajat." Aruna menekan satu tombol kecil di dinding. “Aku tidak suka suara gaduh! Jangan nyalakan musik, jangan nonton TV dengan volume tinggi dan jangan pakai warna mencolok.”

Seruni mengerutkan dahi. “Warna mencolok?”

Aruna hanya melirik sekilas ke arah ransel pink cerah Seruni. Tak perlu menjawab. Tatapan itu sudah cukup menyayat. Seruni langsung memeluk erat tasnya seperti anak kucing yang ketakutkan ikan asinnya dicuri.

"Semua sudah tersedia, saya ke atas dulu." Aruna berjalan menuju tangga spiral kaca. "Makanlah!"

Seruni menatap ruang utama yang mewah. Lalu, ia perlahan menoleh dan nyaris tersedak kagum adalah pemandangan di hadapannya. Langkahnya seketika membeku. Matanya membelalak, seperti baru saja menemukan pintu menuju negeri dongeng ... versi ultra-modern. Langit-langit tinggi menjulang, dihiasi chandelier kristal menjuntai bak air terjun cahaya.

Kristal-kristalnya memantulkan sinar lampu seperti pecahan bintang yang menari di udara. Di bawah sini, sofa L berlapis kulit putih gading berdiri di atas karpet Persia yang tampak lebih mahal dari seluruh isi rumah kecil Seruni bersama ibunya. Dinding marmer hitam bermotif emas nyaris memantulkan bayangannya sendiri. Tanpa sadar Seruni menahan napas saat matanya menyapu seluruh ruangan.

Seluruh dindingnya terdesain dari kaca antik, memperlihatkan halaman belakang yang terpangkas sempurna dengan kolam renang infinity dan taman kecil ala Jepang lengkap dengan air mancur batu. Di sisi kiri, perpustakaan berisi rak-rak tinggi penuh buku bersampul kulit berjejer rapih. Sementara di sisi kanan, dapur terbuka atau lebih tepatnya dapur impian dengan peralatan dapur hitam matte dan mesin kopi pintar yang sedang mendesis sendiri, seakan menyapa.

Mulut Seruni terbuka lebar. “Ya Allah, aku masuk katalog IKEA edisi langit ketujuh,” 

Tangan Seruni menyentuh sandaran sofa, lalu buru-buru menariknya kembali. Bahkan debu pun seakan takut mendarat di atas furnitur ini. Rumah ini terlalu ... sempurna. Kepalanya menoleh kanan-kiri, seperti anak kecil yang nyasar ke museum berlian. Ada hiasan meja berupa patung modern berlapis emas di tengah ruang duduk. Tirai beludru menjuntai halus sampai ke lantai. Bahkan jendelanya ... memiliki sistem otomatis buka tutup seperti di film sci-fi. Seketika tubuh Seruni bergidik. 

"Aku ... Aku boleh duduk di sini, nggak ya?" bisik Seruni lirih.

Seruni seolah takut jika suaranya memecahkan keheningan karena bahkan detak jam pun nyaris tak terdengar di rumah mewah ini. Hanya terdengar lembut desiran AC tersembunyi dan gelegar jantungnya sendiri. Mansion ini bukan rumah. Ini Kastil Khayangan. Dan Aruna ... adalah dewa dingin yang menghuni seluruh ruangannya.

Sebuah piano grand hitam berdiri seakan menatapnya angkuh di sudut ruangan, disinari sorotan lembut lampu track yang membuatnya tampak seperti benda seni suci yang melengkapi kemegahan nan elegan. Dapur berkilau seperti showroom. Lampu sorot menghias dinding yang menampilkan lukisan abstrak seharga motor. Bahkan lilin aromaterapi pun berjejer seperti pasukan elit di rak marmer. Dan saat ia masih terpukau memandangi jendela otomatis yang membuka sedikit saat sensor mendeteksi kelembapan udara, suara desis lembut terdengar pertanda pintu otomatis tertutup di belakangnya.

“Maaf!” Seruni menoleh ke pintu. “Eh, maksudku … makasih pintu.”

Seruni menutup wajahnya. “Ya ampun, aku ngobrol sama pintu?”

Seruni belum sempat menenangkan napas karena tingkah katronya yang memalukan, tiba-tiba suara langkah turun terdengar dari tangga spiral menyentak degup jantungnya. Aruna muncul dari balik kaca dengan setelan rumah hitam dan rambut yang masih basah. Sinar lampu gantung menyorot setengah wajahnya hingga membuatnya terlihat seperti karakter utama dalam drama thriller. Tapi, terlalu tampan untuk karakter seorang pembunuh berantai.

Seruni tercekat. "Ya Tuhan ... cowok ini bukan manusia!"

“Sudah makan?” tanya Aruna dengan suaranya berat, seperti uap dari mesin espresso mahal di dapur itu.

“Hah? Eh … iya Makan." Seruni langsung tersedak ludah sendiri. "Maksudnya tadi sempat nyicip sedikit, belum lapar."

Aruna menatap Seruni Sekilas. Singkat. Tanpa senyum. Lalu berbalik. “Ikut saya."

“Hah! Ikut katamu?" ucap Seruni terkejut. “Kemana?”

Aruna menatap Seruni. “Ke kamar.”

Seruni membeku. Otaknya berusaha memahami. Mulutnya ingin bertanya, tapi tak tahu kata apa yang tepat untuk memulai bicara.

“Ka ... Kamar?” ulang Seruni seperti anak SD tertangkap nyontek.

Aruna berhenti di tangga. Menoleh perlahan dan melirik Seruni dengan tatapan mata yang menusuk seperti pisau bedah.

“Kau istriku sekarang." Aruna menatap tajam. "Dan aku nggak suka buang waktu.”

Seruni terpaku Jantungnya berdentam seperti genderang perang. Aruna mengangkat dagunya, seolah tak memberi ruang untuk penolakan. Satu langkah lagi, dan Aruna akan menghilang ke lantai atas. Seruni menggenggam tali tas pinknya erat-erat. Batinnya berkecambuk hebat dengan pertanyaan,  apakah dia harus naik? atau melangkah cepat ke arah pintu keluar. 

“Kalau kau mau mundur, sekarang waktunya." Aruna menghentikan langkahnya tanpa menoleh. "Setelah ini, tidak ada jalan keluar.” ucapnya dengan nada pelan, namun mengancam tajam.

-- To Be continued

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Dongeng Versi Seruni

    Dalam setiap dongeng yang ditulis dengan pena. Ada segenggam narasi yang hanya bisa ditangisi dalam diam oleh sang putri. Ada cinta yang tak mampu diucapkan, hanya bisa dirindukan dalam doa. Layaknya, kisah Little Mermaid. Rela berkorban, meski akhirnya menjadi butiran buih karena Pangeran menikah dengan seorang putri dari dunia nyata.Sebuah pilihan hati yang terasa seperti berdiri di ujung tebing—entah melompat atau mundur. Dua-duanya sama menyakitkan. Sisa-sisa keheningan menggumpal, mengendap di dasar dada. Membebani tiap langkah menuju keputusan yang tak pernah sederhana. Di persimpangan ini, cinta bukan lagi soal rasa. Tapi keberanian untuk melepaskan ego … atau mempertaruhkan segalanya.Satu tahun telah berlalu. Sejak kepergian Aruna dari sorotan dunia. Waktu terus berjalan, namun luka itu belum kering sepenuhnya. Dunia Seruni berubah total. Novel yang dulu hanya naskah pribadi penuh air mata kini menj

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Kembali ke Dunia Nyata

    Ada kalanya mencintai seseorang ... berarti siap kapan pun harus melepaskannya. Karena hati bukan sekadar tempat singgah, tapi juga ladang perang. Di sana, harapan dan ego saling bertarung. Kadang kita menang, lebih sering kita patah. Dan ketika cinta diuji oleh kenyataan, bukan rasa yang paling menyakitkan. Tapi pilihan yang menguras air mata.Detik itu, pintu utama Z-Gensitex terbuka perlahan. Seruni, dengan langkah ragu dan napas tertahan, hendak melangkah masuk. Namun, suara Aruna menggema di seluruh lobi lewat siaran langsung, menahan langkahnya.“Katakan pada dunia ...,” Aruna menatap tegas ke arah kamera. “Aku memilih dia!"Langkah Seruni terhenti. Matanya membulat, dadanya tercekat. Dan ketika ia menoleh ke sumber suara, ia melihatnya—Varla, dengan senyum manis yang tak pernah ia percaya, melingkarkan tangan ke bahu Aruna. Rapat, penuh kepemilikan.

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Pilihan Aruna—Seruni atau Varla ...?

    Ada saat dalam hidup ketika sebuah pilihan tak lagi tentang benar atau salah. Tapi tentang apa yang masih bisa diselamatkan … dan siapa yang rela dikorbankan. Pagi itu, dalam ruang rapat yang lebih dingin dari musim dingin Eropa, Aruna duduk membatu. Dasi di lehernya seperti jerat, napasnya berat—seperti tengah menahan runtuhnya dunia dari balik jas mahal yang tak lagi memberinya kuasa. Di balik mata tenangnya, badai berkecamuk. Ini bukan sekadar rapat. Ini adalah pertaruhan terakhir antara cinta … dan kehancuran.Ponsel Seruni tak henti berdering dari Mira dan Juan sejak kemarin. Mereka berusaha menyakinkan Seruni. Tapi, ia mengabaikannya—pesan kemarin dari Mira yang memintanya datang ke Z-Gensitex, tempat pertama kali ia bertemu Aruna. Hingga, sebuah pesan teks Mira membuat Seruni meresponnya.“Percaya hati Aruna cuma mencintai kamu, Seruni!” suara Mira yakin, “s

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Pernikahan Tanpa Cinta

    Ada malam-malam yang begitu sunyi hingga suara napas sendiri terasa mengganggu. Ada luka-luka yang tak berdarah tapi membuat dada terasa berlubang. Dan malam ini, Seruni tinggal di dalam kedua hal itu—sunyi dan luka—yang saling memeluk erat, menelannya hidup-hidup.Suara tawa netizen menggema dari layar-layar kecil yang tak bisa dikendalikan siapa pun. Komentar-komentar tajam membanjiri lini masa, menghantam nama Seruni seperti gelombang tanpa ampun: “Plot twist tahun ini!" tulis satu akun gosip; “Ghostwriter-nya patah hati duluan!” ejek yang lain. Hashtag #VarlaxAruna merajalela di trending topic, seperti parade kemenangan yang menyayat di depan matanya sendiri.Ponsel di atas nakas bergetar, notifikasi dari media sosial tak berhenti berdatangan. Seruni mengulurkan tangan malas, membuka layar ponselnya, lalu... jari-jarinya berhenti. Matanya tertumbuk pada satu cuplikan video yang baru saja diunggah oleh akun g

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Retakan di Pintu maaf, Ancaman Varla Menggila

    Hati Seruni terasa sakit melihat fakta itu. Pintu maaf yang selangkah lagi terbuka, kini retak. Hingga ia terjebak dalam perasaannya sendiri. Tanpa ingin berpikir ... atau melakukan apa pun sekarang. Hanya ingin diam dan menangis seharian ....Di sebuah ruangan, foto itu masih menyala di layar ponsel Aruna. Ia menatapnya tanpa berkedip. Bukan karena ia baru melihatnya—tapi karena ia baru sadar dari mana foto itu diambil. Restoran Kyato Prime. Meja sudut. Hari ini, tiga jam lalu ... tepat sebelum rapat besar Z-Gensitex. Aruna ingat detiknya. Varla datang tanpa diundang, duduk seenaknya di depannya. Senyum tipua di bibir perempuan itu sama seperti di foto—seolah kamera tak pernah mengkhianatinya.“Aku cuma mau bilang ...,” jemari Varla menggenggam tangan Aruna. “Kita berdua masih bisa jadi berita besar. Tinggal kau mau atau tidak?”Aruna menepis

  • Istri Bayangan Sang Miliarder   Serangan Dari Layar

    Tak ada yang lebih bising dari dunia yang jatuh cinta pada kisah patah hati. Hari itu, ribuan notifikasi berdentang di ponsel netizen, seolah jagat maya menari di atas luka seorang pria. Video pengakuan Aruna yang tayang semalam mendadak jadi trending topic nomor satu di berbagai platform. Timeline penuh cuplikan, potongan kata, dan air mata—semuanya mengarah pada satu kalimat:Aruna menatap kamera. “Aku mencintainya ... dan aku kalah.”Wajah dingin sang CEO, yang selama ini disangka tak punya hati, kini tampak begitu rapuh di layar. Tak ada kemewahan. Tak ada jas abu-abu. Hanya Aruna dengan suara bergetar, dan mata yang tak bisa menutupi rindu yang membusuk dalam diam. Seruni duduk di taman kota yang sepi, angin menyapu rambut Seruni pelan. Ia duduk sendiri di bangku kayu tua, dikelilingi guguran daun kering.Ponsel di tangannya bergetar, notifikasi tak henti berdatangan. Tapi hanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status