Gedung Z-Gensitex milik Mahadewa Group berdiri menjulang laksana istana kaca di tengah hutan beton. Pilar-pilar ramping menopang bangunan dengan gaya industrial yang artistik, sementara pahatan logam menghiasi lobi seperti lukisan diam yang menegaskan satu hal: tempat ini bukan untuk orang biasa.
Seruni berdiri terpaku di depan lobi, telapak tangannya dingin seperti baru tercelup salju. Napasnya sesak, dan jantungnya berdugup hebat seperti tabuhan drum marching band saat grand final.
“Jangan bengong, jalan!" Mira mendekap tangan kiri Seruni di ketiaknya. "Sebelum nyali kamu, keburu kabur naik ojek online."
Seruni menelan ludah, Mira menyeret langkah Seruni memasuki lift yang bergerak begitu cepat hingga telinganya berdenging. Lantai demi lantai terlewati tanpa suara, seolah dunia di luar terbekukan waktu. Suasana hening menemani mereka menuju lantai tertinggi. Mira berdiri di sebelah Seruni, menatap sahabatnya prihatin.
"Kenapa gue ikut ke sini? Seruni bergumam lirih, matanya menatap kosong ke pintu lift. "What have you done, Seruni!"
Sedetik kemudian, pintu lift terbuka lebar. Seruni dan Mira berjalan melewati banyak ruangan dengan aksen elegan hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah ruangan besar nan mewah. Seruni berdiri di depan pintu kayu besar dengan ukiran minimalis yang seperti mengintimidasi siapa pun yang hendak masuk. Sementara Mira, sahabatnya sekaligus si mak comblang proyek gila ini, tampak santai. Terlalu santai untuk seseorang yang sedang "menjual temannya" ke dalam kontrak pernikahan.
"Ayuk, masuk!" ucap Mira tegas.
“Iya Mir, tapi ....” ucapan Seruni terhenti karena kehilangan kata-kata untuk melanjutkannya.
Tiba-tiba Seruni menggenggam lengan sahabatnya. “Mira, gimana kalau kita ... kita pura-pura nyasar?” ucapnya panik.
“Hah! Apa katamu?" ucap Mira, "nyasar? kita sudah di depan ruangan Pak Aruna, pura-pura nyasar ke mana? Surga?” Mira tersenyum sejahat kelinci di kartun horor.
Sebelum Seruni bisa lari, Mira mendorongnya pelan ke depan ruangan megah di hadapan mereka. Pintu terbuka otomatis. Udara dingin menyambut seperti napas dari kulkas lima pintu. Karpet tebal meredam langkah, jendela setinggi langit-langit memamerkan cakrawala Jakarta yang muram. Dan di ujung ruangan, berdiri sosok pria membelakangi mereka, mengenakan jas gelap sempurna, bahunya tegak seperti perwira perang, tangan di saku, menatap keluar seperti sedang menilai harga saham langit.
“Itu dia!” bisik Mira, "CEO Mahadewa.”
Seruni menelan ludah. Napasnya tercekat.
Pria bertubuh tinggi itu berbalik perlahan. Rahang tegasnya terlihat jelas. Mata setajam obsidian. Tatapannya? Datar, dingin, seperti tak mengenal emosi manusia. Ia tidak tampan dalam arti yang menyenangkan hati. Ia tampan dalam cara yang membuatmu ingin meminta maaf hanya karena berani menatapnya.
“Kamu Seruni?” ucap Aruna dengan suara berat, dan tanpa intonasi seperti GPS yang kehilangan arah.
Seruni mengangguk pelan. “Iya, saya manusia bukan vampire.”
Seruni berusaha melucu, tapi garing. Tak ada tawa. Tak ada senyum. Bahkan tak ada angin lewat. Sejenak hanya terasa suasana diam yang membeku. Aruna tetap tak ada reaksi. Ia berdiri tegap di depan kursi hitam elegan yang busanya selembut marshmallow. Ia menarik selembar kertas dari dalam map kulit. Lalu, meletakkannya di atas meja.
"Tanda tangan!" Aruna milirik Seruni tajam. "Enam bulan, setelah itu kita cerai."
Mira menarik kursi dan menyikut Seruni untuk duduk. Jari-jari Seruni menggenggam lututnya, kaku. Saat ia baru akan membuka mulut untuk bicara, mendadak hidungnya terasa gatal dan terjadilah peristiwa tak terduga.
“Haaatchiii!!”
Suara bersin itu menggema di ruangan mewah itu seperti alarm darurat. Seruni bersin dengan kencang. Tidak anggun. Dan dunia seakan langsung menghentikan rotasinya. Mata Aruna melebar horor. Ia menunduk perlahan.
Seruni menatap jas Aruna. "Oh ... Tuhan, tidak!"
Setitik ingus bening menggantung di lengan jas Aruna yang mahal. Seruni langsung panik dan tanpa sadar meraih benda tipis yang paling dekat, surat kontrak! Dan ... hendak mengusap jas itu. Namun, secepat kilat tangan Aruna menepis tangan Seruni, seolah dia baru saja menyentuh artefak kuno yang tak boleh dijamah.
“Maaf! Saya refleks.” ucap Seruni panik.
“Astaga, Serun ... itu bukan produk flashsale." Mira berbisik di telinga sahabatnya. "Itu mungkin, jas langganan Presiden.”
Aruna menatap Seruni. Kali ini, tatapan itu bukan hanya dingin. Tapi, menjadi sebeku es batu. Seolah Seruni telah mengkhianati negara. Seruni berdiri kikuk, lalu mencoba mencairkan situasi.
"Udara di sini terlalu dingin, Pak." Seruni tersenyum kecil. "Bukan saya, salah es batu. Eh, salah AC-nya."
Mira hampir tertawa, tapi menahannya dengan batuk palsu. Sementara Aruna kembali ke mode robotnya. Ia bahkan tidak lagi melihat noda itu. Aruna tak berkata sepatah kata pun. Ia hanya duduk, mengambil map hitam, mengeluarkan selembar kontrak baru, dan meletakkannya di atas meja. Ia mengetukan jarinya berulang kali pada kertas itu terdengar seperti palu hakim. Aruna menatap tajam Seruni. Sedangkan Seruni fokus menatap jari Aruna di kertas kontrak dengan mata bulat.
“Sebentar Pak, saya belum ...," ucap Seruni terhenti karena tak mampu untuk melanjutkannya.
"Saya tidak butuh kalimat pembuka.” Aruna menatap Seruni seakan menembus hingga tulangnya seperti Sinar-X. "Ini bukan acara lamaran."
Seruni gemetar. Tangannya nyaris menyentuh pena, tapi diam. Jantungnya berdebar tak karuan.
“Seruni ingat cuan, cuan." Mira menyikut lengan Seruni. "Buat bertahan hidup, beli laptop baru, benerin mesin cuci ibu kamu.”
Tiba-tiba, Aruna bangkit dan berjalan mendekat dengan langkah tenang. Bahkan, terlalu tenang. Lalu tubuhnha bersandar ringan ke depan meja dan sekarang Seruni berada tepat di samping Sang CEO berhati sedingin es batu. Seruni memandang sekilas, lalu bergegas memgalihkan pandanganya ke pojok jendela. Aruna menatapnya lurus dan tanpa sadar mengucapkan satu kalimat terakhir dengan nada lembut, serius dan penuh harap.
“Ini bisnis. Kamu bantu saya, saya bantu kamu," ucap Aruna, "menikahlah denganku."
Seruni terbatuk pelan, seakan ada serpihan gula yang tertelan. Sesaat, ia merasa mendengar dialog drama pada episode ending berupa lamaran romantis dari sang tokoh utama pria. Namun, Seruni langsung menepis prasangka indahnya dan menertawakan dirinya yang mungkin saja salah mengartikan ucapan Aruna.
Fokus Seruni segera teralihkan oleh wajah ibunya ketika mengejek mimpinya, atap-atap rumah yang bocor, mesin cuci ibunya yang rusak, laptop yang hancur serta Impiannya yang nyaris punah. Semua realita itu berputar melintasi logikanya. Seruni menatap ragu kertas di depannya. Perlahan dengan tangan gemetar, ia mengambil pena dan seketika tinta mengalir di kertas seperti menyegel takdir.
Aruna membuka kotak kecil. Di dalamnya, sepasang cincin.
"Ini ... imitasi ya?” ucap Seruni tersenyum mengejek.
“Pandanganmu tajam juga terhadap barang mewah." Aruna melirik dingin, "Kamu pikir, kita nikah sungguhan."
Seruni tersenyum kecut. “Saya sih, cuma berharap bukan cincin dari telur mainan.”
Mira terbatuk menahan tawa, seolah menonton drama asia secara live, layaknya teater wayang. Sedangkan, Aruna wajahnya tetap kaku, beku seperti batu.
“Cincin itu simbol perjanjian." ucap Aruna datar, "bukan tentang cinta. Ini strategi.”
Seruni menatap cincin itu lama. “Menikah, sebagai strategi?”
Aruna mengangguk. “Cinta itu ilusi, saya tidak percaya dan saya benci drama romantis.”
Seruni menatap Aruna, hatinya bergemuruh. "Apa yang baru saja, ia tanda tangani?"
Aruna menekan tombol interkom. “Siapkan kamar untuk istri saya, mulai malam ini dia pindah.”
Seruni dan Mira terdiam. Mereka saling melirik tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.
Seruni berteriak panik. “Nikah dulu, woy!”
Aruna mendongak, menyeringai tipis. “Besok, kegatelan.”
“Hah! Apa katamu?” ucap Seruni, "kegatelan?"
Seruni mengangkat bahunya setinggi mungkin, kepalanya panas seperti air mendidih. Tanpa pikir panjang, ia merebut ponsel Mira dan mengangkatnya tinggi-tinggi bersiap dilemparkan ke kepala CEO berhati es itu.
Mira berteriak. “Seruni, jangan kreditannya belum lunas!"
Mira sekuat tenaga menahan tangan Seruni yang gemetar. Ponselnya berputar di udara, sejenak dunia seolah bergerak melambat. Kemudian perlahan, Seruni melangkah tegap berjalan menuju Aruna. Tangannya dengan cepat mengambil kertas di atas meja. Lalu, dengan percaya diri dia merobek surat kontrak yang tadi ia tanda tangani.
Seruni menatap Aruna. “Kontraknya, BA-TAL!”
Mira memejamkan mata, hampir pingsan menyaksikkan aksi nekad sahabatnya yang di luar nalar. Seruni menarik tangan Mira, hendak pergi. Tapi suara Aruna menghentikan langkah mereka.
Aruna menatap Seruni. “Kamu pikir bisa kabur semudah itu?”
Aruna menunjuk noda kental di jasnya. “Kamu harus bayar ganti rugi, Jas ini tidak dijual di mal.”
Seruni tertunduk lemas. Memejamkan mata pasrah. Mira tersenyum menatap Seruni sambil mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat mengatakan "Semangat!" tanpa suara. Sementara, Sang CEO Aruna masih tenang berdiri di tempatnya. Ia melipat tangan di dada, menatap Seruni seperti bos mafia yang menunggu eksekusi tawanan.
Aruna melirik tajam Seruni. “Sudah selesai, main dramanya?”
Seketika, ruangan dingin yang seperti minus 15° itu terasa semakin mencekam. Jarum jam pun seakan berdetak sunyi. Lalu, sebuah suara bergema menambah suasana horor bagi Seruni.
"Besok pagi, jam tujuh ke KUA." Aruna menatap tegas, "Dan tolong, jangan bawa ingusmu.”
Seruni dan Mira mematung berdiri di ambang pintu, kaku seperti batu nisan.
Dari balik jendela kaca lantai tertinggi ruangannya, Aruna Mahadewa memandang ke bawah. Matanya mengarah pada dua sosok yang berjalan menjauh. Ia menatap Seruni yang berjalan lesu, wajahnya tertunduk, tubuhnya lunglai. Mira yang berjalan di samping Seruni langsung merangkul sahabatnya itu dengan penuh rasa sayang, seperti menahan sisa kewarasan Seruni.
Dan jauh di balik mata Aruna yang dingin, seberkas perasaan terlarang nyaris muncul.
Aruna tersenyum tipis. "Semua yang kuinginkan akan terjadi besok."
--- To Be Continued
Dalam setiap dongeng yang ditulis dengan pena. Ada segenggam narasi yang hanya bisa ditangisi dalam diam oleh sang putri. Ada cinta yang tak mampu diucapkan, hanya bisa dirindukan dalam doa. Layaknya, kisah Little Mermaid. Rela berkorban, meski akhirnya menjadi butiran buih karena Pangeran menikah dengan seorang putri dari dunia nyata.Sebuah pilihan hati yang terasa seperti berdiri di ujung tebing—entah melompat atau mundur. Dua-duanya sama menyakitkan. Sisa-sisa keheningan menggumpal, mengendap di dasar dada. Membebani tiap langkah menuju keputusan yang tak pernah sederhana. Di persimpangan ini, cinta bukan lagi soal rasa. Tapi keberanian untuk melepaskan ego … atau mempertaruhkan segalanya.Satu tahun telah berlalu. Sejak kepergian Aruna dari sorotan dunia. Waktu terus berjalan, namun luka itu belum kering sepenuhnya. Dunia Seruni berubah total. Novel yang dulu hanya naskah pribadi penuh air mata kini menj
Ada kalanya mencintai seseorang ... berarti siap kapan pun harus melepaskannya. Karena hati bukan sekadar tempat singgah, tapi juga ladang perang. Di sana, harapan dan ego saling bertarung. Kadang kita menang, lebih sering kita patah. Dan ketika cinta diuji oleh kenyataan, bukan rasa yang paling menyakitkan. Tapi pilihan yang menguras air mata.Detik itu, pintu utama Z-Gensitex terbuka perlahan. Seruni, dengan langkah ragu dan napas tertahan, hendak melangkah masuk. Namun, suara Aruna menggema di seluruh lobi lewat siaran langsung, menahan langkahnya.“Katakan pada dunia ...,” Aruna menatap tegas ke arah kamera. “Aku memilih dia!"Langkah Seruni terhenti. Matanya membulat, dadanya tercekat. Dan ketika ia menoleh ke sumber suara, ia melihatnya—Varla, dengan senyum manis yang tak pernah ia percaya, melingkarkan tangan ke bahu Aruna. Rapat, penuh kepemilikan.
Ada saat dalam hidup ketika sebuah pilihan tak lagi tentang benar atau salah. Tapi tentang apa yang masih bisa diselamatkan … dan siapa yang rela dikorbankan. Pagi itu, dalam ruang rapat yang lebih dingin dari musim dingin Eropa, Aruna duduk membatu. Dasi di lehernya seperti jerat, napasnya berat—seperti tengah menahan runtuhnya dunia dari balik jas mahal yang tak lagi memberinya kuasa. Di balik mata tenangnya, badai berkecamuk. Ini bukan sekadar rapat. Ini adalah pertaruhan terakhir antara cinta … dan kehancuran.Ponsel Seruni tak henti berdering dari Mira dan Juan sejak kemarin. Mereka berusaha menyakinkan Seruni. Tapi, ia mengabaikannya—pesan kemarin dari Mira yang memintanya datang ke Z-Gensitex, tempat pertama kali ia bertemu Aruna. Hingga, sebuah pesan teks Mira membuat Seruni meresponnya.“Percaya hati Aruna cuma mencintai kamu, Seruni!” suara Mira yakin, “s
Ada malam-malam yang begitu sunyi hingga suara napas sendiri terasa mengganggu. Ada luka-luka yang tak berdarah tapi membuat dada terasa berlubang. Dan malam ini, Seruni tinggal di dalam kedua hal itu—sunyi dan luka—yang saling memeluk erat, menelannya hidup-hidup.Suara tawa netizen menggema dari layar-layar kecil yang tak bisa dikendalikan siapa pun. Komentar-komentar tajam membanjiri lini masa, menghantam nama Seruni seperti gelombang tanpa ampun: “Plot twist tahun ini!" tulis satu akun gosip; “Ghostwriter-nya patah hati duluan!” ejek yang lain. Hashtag #VarlaxAruna merajalela di trending topic, seperti parade kemenangan yang menyayat di depan matanya sendiri.Ponsel di atas nakas bergetar, notifikasi dari media sosial tak berhenti berdatangan. Seruni mengulurkan tangan malas, membuka layar ponselnya, lalu... jari-jarinya berhenti. Matanya tertumbuk pada satu cuplikan video yang baru saja diunggah oleh akun g
Hati Seruni terasa sakit melihat fakta itu. Pintu maaf yang selangkah lagi terbuka, kini retak. Hingga ia terjebak dalam perasaannya sendiri. Tanpa ingin berpikir ... atau melakukan apa pun sekarang. Hanya ingin diam dan menangis seharian ....Di sebuah ruangan, foto itu masih menyala di layar ponsel Aruna. Ia menatapnya tanpa berkedip. Bukan karena ia baru melihatnya—tapi karena ia baru sadar dari mana foto itu diambil. Restoran Kyato Prime. Meja sudut. Hari ini, tiga jam lalu ... tepat sebelum rapat besar Z-Gensitex. Aruna ingat detiknya. Varla datang tanpa diundang, duduk seenaknya di depannya. Senyum tipua di bibir perempuan itu sama seperti di foto—seolah kamera tak pernah mengkhianatinya.“Aku cuma mau bilang ...,” jemari Varla menggenggam tangan Aruna. “Kita berdua masih bisa jadi berita besar. Tinggal kau mau atau tidak?”Aruna menepis
Tak ada yang lebih bising dari dunia yang jatuh cinta pada kisah patah hati. Hari itu, ribuan notifikasi berdentang di ponsel netizen, seolah jagat maya menari di atas luka seorang pria. Video pengakuan Aruna yang tayang semalam mendadak jadi trending topic nomor satu di berbagai platform. Timeline penuh cuplikan, potongan kata, dan air mata—semuanya mengarah pada satu kalimat:Aruna menatap kamera. “Aku mencintainya ... dan aku kalah.”Wajah dingin sang CEO, yang selama ini disangka tak punya hati, kini tampak begitu rapuh di layar. Tak ada kemewahan. Tak ada jas abu-abu. Hanya Aruna dengan suara bergetar, dan mata yang tak bisa menutupi rindu yang membusuk dalam diam. Seruni duduk di taman kota yang sepi, angin menyapu rambut Seruni pelan. Ia duduk sendiri di bangku kayu tua, dikelilingi guguran daun kering.Ponsel di tangannya bergetar, notifikasi tak henti berdatangan. Tapi hanya