Langkah-langkah panjang Aruna yang tanpa jeda membuat Seruni harus setengah berlari kecil mengejar di belakangnya, seperti anak ayam nyasar di lorong istana yang terlalu luas untuk kaki mungil Seruni.
“Kamarmu, biar kutunjukkan.” Aruna melirik Seruni tanpa menoleh.
Tiba-tiba tanpa sadar Aruna tersenyum, meski hanya setipis helai benang terbagi tujuh saat melihat wanita imut di belakangnya salah tingkah. Seruni menepuk-nepuk pelan jidatnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berjalan dengan wajah tertunduk. Saat itu rasanya Seruni ingin menutup mukanya pakai gulungan karpet Persia yang mereka lewati barusan,. Seketika, kedua pipinya memerah seperti kepiting rebus dan itu bukan sekedar metafora, tapi realita. Seruni berusaha keras menyembunyikan rasa malu yang merasuk hingga ke tulang ekor.
"Ya, ampun!" Seruni mengipas-ngipaskan tangan ke wajahnya.
Dalam suhu udara yang super dingin, Seruni merasa kulit mukanya seperti terbakar. Pikirannya baru saja mengimajinasikan hal bodoh tentang pria di depannya, Aruna Mahadewa -- suami palsunya itu akan mengajaknya tidur satu kamar.
Seruni memelintir rambut bagian depan dengan jari telunjuknya. Ia merasa gelisah dan salah tingkah. Namun, langkahnya terus mengikuti Aruna seperti copet yang takut kehilangan targetnya. Mereka melewati ruang demi ruang, terlihat dinding penuh lukisan abstrak yang rasanya bisa dipajang di Louvre, tanaman in-door dalam pot marmer putih, dan ... karpet lantai tebal yang terlihat begitu empuk. Pikiran Seruni teralihkan dari perasaan tidak nyaman sejak tadi. Tiba-tiba, ia merasa gemas dengan gumpalan putih tebal itu dan diam-diam melompat-lompat di atasnya tanpa alas kaki, layaknya anak kecil bermain trampolin.
Seruni terkekeh. "Rasanya seperti ... menginjak awan kinton Goku."
“Seruni!" Aruna menghentikan langkahnya. “Jangan lompat-lompat di karpet berbulu Tibet itu.”
Suara Aruna dari depan membuatnya membeku seperti es krim telah satu minggu di freezer.
"Astaga, Dia lihat?" Seruni mengangkat satu per satu kakinya. “Eh, saya hanya ... memastikan kekuatan lantai, Pak.”
Aruna menghela napas pendek. “Saya bukan 'Pak’.”
Seruni nyaris mengunyah lidah sendiri mendengar pernyataan Aruna. Seruni menghabiskan beberapa menit untuk mencerna kalimat tersebut. Ia berpikir keras harus memanggil Aruna dengan sebutan apa?
Seruni menjentikan jarinya. “Oh iya! Maaf, Tuan?”
Aruna menoleh, ekspresi wajah datar dengan sudut bibirnya yang terlihat mencurigakan. Seperti sedang menahan sesuatu. Mungkin tawa atau ... niat untuk mengusir?
“Kita sudah menikah, ingat?” Aruna menatap tajam Seruni. “Panggil saja Aruna atau … suami, kalau kamu butuh dramatisasi.”
Seruni terbatuk kecil. “Saya ... panggil Aruna saja.”
Mereka tiba di koridor lantai dua dengan cahaya yang temaram, suasananya begitu hening. Di sekitar Seruni terpajang lukisan surealis berjejer di dinding, seperti mata-mata abstrak yang mengawasi langkah mereka. Lampu dinding menyala lembut, menyoroti ujung lorong tempat sebuah pintu eboni terbuka perlahan.
Aruna menatap Seruni. “Ini kamarmu."
Seruni berdiri di ambang pintu menatap kagum pintu yang terbuka dengan sendirinya seperti sihirnya Harry Potter. Matanya menyapu ruangan seluas lapangan badminton mini. Tapi ia terkejut dengan suasana ruangan yang hampa dan gelap, tak ada nuansa rumah apalagi cinta. Hanya dinding hitam, seprai abu-abu, dan lemari besar dengan jendela setengah lingkaran menghadap ke taman sepi nan sunyi. Semua serba steril, semua terlalu sempurna dan terlalu 'kosong".
“Ini ... kamar saya?” ucap Seruni pelan nyaris tak terdengar.
“Selama kontrak ini berlangsung.” balas Aruna singkat.
Seruni menatap Aruna yang masih berdiri di sampingnya. Lampu gantung di atas mereka berpendar pelan pantulkan cahaya redup di mata Aruna, tak ada satu pun emosi yang terpancar di sana. Ruang kosong dan dingin pada kedua mata Aruna menciptakan siluet bayangan tipis di wajah Aruna yang masih saja tanpa ekspresi. Saat Seruni masih sibuk menafsirkan Lalu tiba-tiba lampu padam. Seluruh pencahayaan mati, semua ruangan gelap total. Seruni berimajinasi liar.
“Ya ampun! Apa mansion mewah ini berhantu?” ucap Seruni panik. “Jagan-jangan ini seperti drama yang dibintangi Park ... siapa itu yang jadi arwah CEO terjebak masa lalu?”
Seruni menoleh ke samping kiri dan kanannya. "Astaga … Aruna di mana?!"
Seruni menarik napas beberapa detik. Lalu ia berdiri tegak, tubuhnya seketika kaku seperti patung. Seruni tak sanggup bergerak, meski sekedip pun. Saat Seruni nyaris menangis ketakutan, seketika semua lampu menyala kembali, bahkan lebih terang dari sebelumnya. Lampu gantung kristal memantul sinar ke seluruh ruangan membuat udara di kamar Seruni terasa lebih hangat.
Aruna menatap punggung Seruni. “Hemmm!”
Suara Aruna muncul dari belakang. Seruni menoleh secepat kilat. Pria itu berdiri tegap masih dengan ekspresi datarnya yang khas, tapi kali ini ada tambahan sikap yang sedikit ... aneh. Ia bergaya sok keren, mengibaskan jasnya sejenak untuk membanggakan diri seakan telah meraih prestasi luar biasa.
“Kamu bisa masuk sekarang." ucap Aruna datar.
Seruni menatap Aruna dengan ekspresi bingung tanpa berkata sepatah pun. Perlahan, Aruna mengarahkan wajahnya ke kamar.
"Apa yang terjadi pada pria itu?" Seruni melangkah masuk dengan ragu sambil menatap sekeliling. "Apa sekarang dia mulai menyukai cahaya terang?” gumam Seruni dalam hati.
Setelah beberapa langkah, Seruni membalikkan tubuhnya. Ia menatap Aruna yang masih berdiri di ambang pintu.
“Kalau begitu …!" ucap Seruni penasaran, "selama kontrak, kamu tidur di mana?”
Aruna terdiam, tak langsung menjawab. Ia melangkah perlahan mendekat ke arah Seruni. Jarak di antara mereka kian menyusut. Sorot mata tajam Aruna seakan menusuk jantung Seruni hingga membuat napasnya tercekat. Degup nadinya berdetak semakin cepat. Bukan karena takut. Tapi karena ... efek dramatisasi berlebih dari imajinasi dalam kepalanya.
“Maksudmu?" ucap Aruna pelan, "kalau aku bilang … aku akan tidur di sini juga, kamu keberatan?”
“Hmmm ... tergantung!" Seruni menelan ludah. "Tidurnya di sofa, lantai, lemari, atau ... ranjang. Eh! gazebo taman maksudnya."
Aruna menaikkan alis. “Menurutmu?”
“A-aku … Aku akan pasrah." Seruni memejamkan matanya.
“Pasrah?” Aruna menyentil pelan jidat Seruni.
"Pasrah, tapi ... tetap perawan." Seruni membuka cepat matanya. "Maksudku ... pasrah sebagai istri yang taat perjanjian."
Seketika, tangan kanan Seruni bergerak cepat menutupi seluruh wajah dengan poni panjangnya. Tingkah Seruni kali ini, sukses membuat Aruna menahan tawa. CEO dingin itu benar-benar sekuat tenaga menahan mulutnya agar tetap rapat, tanpa celah sedikit pun.
“Tenang." Aruna menarik tubuhnya untuk mundur beberapa langkah. "Aku tidak suka tidur dengan ... orang yang bicara ngelantur.”
Seruni memanyunkan bibir. "Siapa ngelantur, aku cuma ... bicara jujur." lirihnya sangat pelan seraya bicara dalam hati.
“Aku dengar!" ucap Aruna menatap lurus ke pintu.
“Hah!" Seruni mengerutkan dahi. "Kok, dia bisa dengar sih?”
Aruna bergegas menuju pintu keluar dan meninggalkan Seruni yang mematung sendirian di kamar yang begitu luas.
“Besok kita mulai pembahasan naskah." Aruna berjalan baru beberapa langkah. "Tunggu info selanjutnya dari saya.” Aruna kembali berjalan.
Seruni mengangguk cepat seperti siswa ditodong ulangan dadakan. Namun, sebelum ia bisa menjatuhkan diri ke kasur empuk, Aruna bicara lagi. Suaranya pelan tapi menggantung di udara.
“Satu hal lagi." Aruna membalikkan tubuhnya. "Seruni!”
Seruni menoleh cepat. Sejenak tatapan mereka bertemu dan untuk sedetik, hanya satu detik mata Aruna sedikit lembut ... dan terlihat lebih mirip manusia. Tapi, setelahnya segera kembali beku seperti es batu.
“Jangan jatuh cinta padaku!" Aruna menatap tajam. “Ini hanya perjanjian enam bulan dan setelah itu, kita kembali ke dunia masing-masing.”
Seruni membentangkan kedua telapak tangannya. Lalu, mulai menghitung dengan kesepuluh jarinya seperti anak TK yang baru belajar berhitung.
“Satu, dua ... sembilan belas ... dua puluh." Seruni tertawa kecil. "Ini yang ke-21 kali, kamu bilang kalimat itu hari ini sejak akad tadi siang."
“Ingatan yang bagus." komentar Aruna santai. “Kalau begitu ini yang ke-22, jangan jatuh cinta padaku. Ingat itu baik-baik!"
Aruna menatap Seruni dengan tatapan yang lama dan dalam ... seperti ia sedang memperingatkan pernyataan itu untuk dirinya sendiri, bukan hanya untuk Seruni. Dan Seruni bersiap menjawab dengan berakting ala pemeran utama wanita di drama prime time.
“Baik, Pak CEO." Seruni meletakkan tangan di dada layaknya mengikrarkan sumpah pemuda. "Saya berjanji! Tenang, saya bukan orang yang baper-an.”
"Panggil saya Aruna!" ucapnya tegas.
Seruni mengangguk pelan. "Iya, Aru-na."
Aruna menatap Seruni lama, sorot matanya seperti mempelajari saham baru yang penuh potensi berkualitas. Tapi kemudian, ia segera memutar tubuh dan keluar. Pintu otomatis tertutup perlahan. Seruni akhirnya bisa bernapas lega. Ia menjatuhkan diri ke kasur super empuk. Seakan telah mengusir hantu dunia korporat dari kamar suaminya sendiri. Namun, baru saja Seruni hendak memejamkan mata, ponsel di tangannya bergetar dan menampilkan sebuah pesan masuk dari Mira. Seruni membacanya perlahan.
"Serun ... kalau dia mulai songong, lempar bantal aja." Mira menambakan emoticon stiker lucu tertawa ngakak guling-guling. "Tapi jangan kena muka, serang dadanya biar mencair tuh es batu di hatinya."
Seruni tertawa lepas. Tapi suara desis pintu otomatis yang terbuka tiba-tiba, sontak membungkam tawanya.
"Aruna?" ucap Seruni panik. "Mau apa dia ke sini lagi?"
-- To Be continued
"Aku ... Ingin membawamu, tapi kamu hanya pinjaman." Seruni meletakkan boneka Olaf di atas bantal. "Selamat tinggal."Malam itu, Seruni melangkah perlahan keluar kamar, pintu otomatis telah terbuka. Tapi, Seruni masih berdiri di ambang pintu."Besok aja perginya." Seruni menutup mulutnya yang menguap. "Ngantuk banget."Seruni meletakkan ranselnya di lantai, dekat ranjang mewahnya. Lalu, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur level premium. Seruni memejamkan matanya sambil memeluk Olaf.Pagi itu, langit masih gelap. Burung pun belum sempat bernyanyi. Tapi, suara langkah sepatu kulit terdengar berderap cepat di sepanjang lorong mansion. Aruna berlari menuruni anak tangga. Napasnya terputus-putus. Satu tangan menggenggam gagang tangga, tangan lainnya memegang ponsel yang semalam tak kunjung berdering. Semalaman matanya terjaga 24 jam. Ia bahkan, belum mengganti pakaian semalam. Kemeja putih yang lengannya di gulung. Suasana mansion pagi itu begitu sunyi. Bahkan, suara detik jam di lorong te
Suara gaduh dari arah dapur membuat Seruni terbangun lebih cepat dari biasanya. Ia mulai berimajinasi mungkin pelayan sedang menggeser lemari es raksasa atau tikus Ratatouille sedang ber-eksperiment. Bunyi dentingan sendok, spatula beradu dengan panci semakin nyaring memekakan telinga, layaknya gitaris bermain dengan nada kacau.Seruni menyipitkan mata. "Apa MasterChef lagi syuting di sini?"Ia kemudian melirik jam antik menggantung di dinding marmer, berbingkai ukiran detail daun anggur dan singa kecil di puncaknya. Jarum panjangnya terdiam menyentuh pukul empat. Matanya masih terasa berat, lalu terlelap lagi. Hingga, tepat pukul 06.00 ... Seruni melangkah keluar kamar masih mengenakan piyama kartun bergambar kucing terbang. Langkahnya gontai, rambut awut-awutannya menjuntai ke segala arah seperti sapu ijuk yang kehilangan gagangnya.Begitu menyusuri lorong ke arah ruang makan ... Seruni mencium aroma kentang rebus memenuhi udara, tapi bukan aroma yang menggugah selera. Lebih mirip s
Seruni terdiam beku ... derap langkah kaki itu beradu cepat dengan marmer putih di kamarnya dan terdengar semakin mendekat ke arah tempat tidurnya. Suaranya menghantam ruang sunyi yang seirama dentingan waktu, seakan berniat memburu sesuatu. Seketika, Seruni langsung duduk tegak dari kasur. Ia tergesa menyisir rambutnya pakai jari. Lalu, memasang senyum manis seperti siap photoshoot dadakan. Tapi ternyata ... bukan Aruna yang muncul. Seorang wanita paruh baya datang membawa nampan perak mewah ala kerajaan dan sebuah catatan.“Dari Pak Aruna.” ucapnya datar sambil menyerahkan gelas berisi susu segar.Seruni tersenyum ramah. "Terima Kasih."Seketika itu juga, perut Seruni berbunyi nyaring seperti ayam jago di pagi hari. Tubuhnya melakukan aksi protes karena sejak tiba di rumah Aruna, ia hanya makan beberapa potong buah-buahan. Seruni langsung menegak susu pemberian dari Aruna tersebut dalam sekali teguk, hingga tetes terakhir. Dan entah kenapa ... detik itu hatinya men-deklarasikan, bah
Langkah-langkah panjang Aruna yang tanpa jeda membuat Seruni harus setengah berlari kecil mengejar di belakangnya, seperti anak ayam nyasar di lorong istana yang terlalu luas untuk kaki mungil Seruni.“Kamarmu, biar kutunjukkan.” Aruna melirik Seruni tanpa menoleh. Tiba-tiba tanpa sadar Aruna tersenyum, meski hanya setipis helai benang terbagi tujuh saat melihat wanita imut di belakangnya salah tingkah. Seruni menepuk-nepuk pelan jidatnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berjalan dengan wajah tertunduk. Saat itu rasanya Seruni ingin menutup mukanya pakai gulungan karpet Persia yang mereka lewati barusan,. Seketika, kedua pipinya memerah seperti kepiting rebus dan itu bukan sekedar metafora, tapi realita. Seruni berusaha keras menyembunyikan rasa malu yang merasuk hingga ke tulang ekor."Ya, ampun!" Seruni mengipas-ngipaskan tangan ke wajahnya.Dalam suhu udara yang super dingin, Seruni merasa kulit mukanya seperti terbakar. Pikirannya baru saja mengimajinasikan hal bodoh tent
Gaun itu menggantung seperti beban yang memberatkan di tubuh Seruni. Seperti ujian penuh air mata. Tapi, bukan karena bahannya tidak terbuat dari sutra lembut atau satin yang berkilau seperti di dongeng. Bukan juga karena bajunya hanya kain putih murahan yang gatal di pinggang dan terlalu sempit di dada atau bahkan, bukan juga karena resleting belakangnya sempat macet hingga Mira harus menariknya paksa dengan gigi terkatup dan mulut mengumpat pelan. Namun, karena pernikahan seindah Pangeran dan Putri Salju yang penuh cinta tidak terjadi dalam kisah Seruni hari ini.“Silakan tanda tangan di sini.” notaris mendorong dokumen ke hadapan Seruni dan Aruna. Suara notaris itu terdengar kaku dan lelah seperti sudah menikahkan terlalu banyak pasangan tanpa cinta. Seruni menatap kolom kosong di atas kertas. Nama panjang Aruna sudah tercetak rapi, tanda tangannya lurus, tegas dan mantap. Seperti kontrak kerja jangka pendek sangat berbeda dengan dirinya yang memegang pulpen saja tangannya sudah b
Gedung Z-Gensitex milik Mahadewa Group berdiri menjulang laksana istana kaca di tengah hutan beton. Pilar-pilar ramping menopang bangunan dengan gaya industrial yang artistik, sementara pahatan logam menghiasi lobi seperti lukisan diam yang menegaskan satu hal: tempat ini bukan untuk orang biasa.Seruni berdiri terpaku di depan lobi, telapak tangannya dingin seperti baru tercelup salju. Napasnya sesak, dan jantungnya berdugup hebat seperti tabuhan drum marching band saat grand final.“Jangan bengong, jalan!" Mira mendekap tangan kiri Seruni di ketiaknya. "Sebelum nyali kamu, keburu kabur naik ojek online."Seruni menelan ludah, Mira menyeret langkah Seruni memasuki lift yang bergerak begitu cepat hingga telinganya berdenging. Lantai demi lantai terlewati tanpa suara, seolah dunia di luar terbekukan waktu. Suasana hening menemani mereka menuju lantai tertinggi. Mira berdiri di sebelah Seruni, menatap sahabatnya prihatin."Kenapa gue ikut ke sini? Seruni bergumam lirih, matanya menatap