LOGINAku kembali ke kamar dengan membawa lauk dan nasi. Anak-anak tampaknya sangat lapar. Padahal sebelum ke sini sudah makan.
Tak lama, ada yang mengetuk pintu. Aku membukanya dan ternyata pemilik perusahaan tempatku bekerja.
Aku mempersilahkan dia masuk ke kamar.
“Gimana Run, it’s enough?” tanyanya.
“Iya, Bu. Sudah lebih dari cukup,” jawabku.
“Boleh saya bicara? Saya bukan tipe yang basa-basi. Ini menyangkut Natha. Yah, seperti yang kamu tahu kalau aku dan Natha.” Yolanda terdiam untuk beberapa saat, kemudian melanjutkan perkataannya, “Jangan terlalu dekat dengan dia!”
Aku yang masih mencerna kalimat dari wanita cantik ini hanya dapat tersenyum.
“Maaf, Bu. Saya tidak suka mencampuri urusan orang lain?” jawabku.
“Bagus. Semoga betah di rumah dan kantor,” lanjutnya.
Wanita yang menjadi selingkuhan Natha tersebut lalu keluar dari kamar. Aku menemani anak-anak makan lagi.
Maksudnya apa coba? Apa aku terlihat sedang menggoda pacarnya yang dingin itu? Ih, males banget.
Tidak lama, Natha masuk kamar kami tanpa permisi. Langsung duduk di dekat adik, mengusap kepalanya, dan tersenyum.
Ini lagi? Ngapain sih ke sini. Aku tidak mau punya masalah dengan wanita yang terlihat sadis tadi.
“Mau apa?” tanyaku.
“Makan,” jawabnya. “Gue cuma sendirian di kamar. Di sini kan rame,” jawabnya dengan datar. Tanpa ekspresi. Hanya suaranya yang tenang saja terdengar di telingaku.
Beneran kulkas dia.
“Yolanda mau apa ke sini?” tanya Natha.
“Ngak pa-pa. Cuma nanya apa betah di sini,” jawabku.
“Gue pikir yang lain,” balasnya.
Kalau sudah tahu harus tanya gitu. Aku tidak berani bilang kalau dia sebenarnya mengancam untuk tidak mendekati pria ini.
Sudahlah! Bukan urusanku pula dengan hubungan aneh mereka. Cukup Aruna! Bekerja saja. Seperti yang Widya katakan setiap hari.
“Masakan lu enak,” katanya.
“Iyakah?” tanyaku.
Aku kok agak meragukan Natha bisa berbicara dengan nada yang tidak judes seperti saat ini.
Apa dia sedang kesambet? Namun, tampaknya laki-laki yang sedang asyik makan itu sehat secara pikiran dan raga.
“Mikirin apaan? Lu suka sama gue? Dari tadi liatin mulu!”
Kepalaku menggeleng. Kemudian keluar kamar untuk membersihkan bekas makan anak-anak. Aku taruh di dapur sekalian mencuci. Kan punya Natha semua ini, kalau tidak bersih, bisa aku diceramahi semalaman.
“Gue bantuin,” ucapnya sembari mengulurkan tangan.
Aku memberikan piring yang masih basah. Dia yang mengelap sampai kering. Natha laki atau perempuan? Rajin amat hal cuci mencuci piring.
Aku tidak banyak bicara sama pria di samping. Toh, kalau aku membuka mulut, dia juga tidak akan menjawab. Paling kepalanya yang naik turun atau geleng-geleng. Jadi bingung aku sama ini orang.
“Lu bisa bikinin kopi?” tanyanya.
Aku menggeser badanku menjauh. Kok tiba-tiba menyuruh buat kopi. Dia pikir aku pembantu apa?
Tidak di kantor, di rumah juga masih sok jadi atasan. Namun, tetap saja kepalaku mengangguk, mengiyakan permintaan si bapak kulkas ini.
Jujur sih, aku tidak enak kalau menolak permintaan orang.
“Gulanya dikit aja. Gue di kamar lu.”
Setelah memerintah, dianya malah kabur ke kamarku. Mau apa coba?
Aku membawakan segelas kecil kopi ke kamar. Dia mengelus kedua putraku sambil membacakan buku dongeng. Em, tadi sih adek bawa buku dongeng yang katanya mau dibaca malam ini.
“Ini!” Tanganku menyerahkan kopi yang panas. “Makasih sudah mendongengkan anak-anak. Kamu nggak balik kamar?” tanyaku.
Dia menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri. “Gue masih pengen di sini. Lagian ada hal yang ingin gue bicarakan.”
Aku menyipitkan mata. Hal yang penting hingga malam larut begini ingin diomongin.
“Besok anak gue tiba ke sini. Gue udah urus semua administrasi sekolah. Em, lu mau jadi ibu dari anak gue nggak?”
Air yang sedang aku minum tumpah semua ke lantai. Ini orang kurang waras! Malam-malam melamar orang yang baru dikenal.
“Gue butuh ibu buat anak gue?” katanya.
“Kamu tidak punya hati, Nath,” jawabku. “Tidak segampang itu membuat dua orang jadi satu keluarga. Apalagi hubunganmu dengan orang itu.”
“Semua sudah aku pertimbangkan. Lu cocok jadi ibunya Luna,” lanjutnya.
“Atas dasar apa?” tanyaku.
“Gue lihat lu baik dan sabar,” jelasnya.
“Ndak mau aku jadi istri orang yang.” Aku menutup mulut.
“Yang apa?” tanyanya.
“Nath, kamu tahu arti menikah nggak sih? Keluar! Aku mau tidur!”
Laki-laki konyol. Masak mau menikah hanya karena anaknya butuh ibu sambung. Emang ibunya ke mana?
Eh, tadi aku nggak tanya sama pria judes itu. Halah, bodolah! Makin lama makin aneh itu orang.
Daripada aku pusing mikirin permintaan aneh Natha mending tidur. Capek banget hari ini.
Pagi yang sibuk dengan persiapan bekal makanan untuk aku dan anak-anak. Lalu, ada seseorang yang menyodorkan kotak makan padaku.
Aku kemudian menatap dirinya yang sedang tersenyum. “Tolong, punyaku!”
Embusan napas yang berat ini semoga membuat pria di sampingku ini memahami kalau aku hanyalah wanita biasa yang sedang tidak ingin berhubungan dengan pacar orang lain.
“Lu ikut gue, kan?” tanyanya. “Gue tunggu di parkir!”
Em, aneh tidak sih Natha? Yang awalnya dingin berubah menjadi agak-agak hangat begitu.
Mencurigakan.
Namun, aku juga tidak tahu harus berbuat apa? Hanya bisa menebak-nebak yang membuat isi otakku makin penuh saja.
Anak-anak sudah menunggu di depan bersama Natha. Mereka malah asyik bernyanyi. Ketika aku datang Natha menyambut dengan senyum yang lebar.
Aku berhenti tepat di hadapan pria yang masih menampakkan deretan gigi putihnya.
Lalu, ada sebuah mobil yang parkir di depan rumah. Mobil orang kaya dengan body yang kokoh dan mengkilap.
Ada seorang perempuan dengan sepatu heels yang tinggi turun dan membawa tas kecil berwarna keemasan.
“Nath, lu ikut gue aja. Biar Aruna pakai motor lu,” saran Yolanda.
Kayaknya cemburunya naik satu level ini. Padahal aku tidak mendekati pacarnya yang ganteng itu.
“Dia belum tahu jalan. Kasihan. Biar sama gue dulu!”
Natha menolak permintaan ibu CEO itu. Em, kalau aku lihat dari nada suara yang sedikit menekan, mungkin Yolanda kecewa dengan jawaban laki-laki yang masih berada di motor ini.
“Dia kan bisa ngikutin dari belakang!”
Aku hanya bisa mengembuskan napas dengan sangat perlahan.
Namun, Natha tetap menggeleng. “Besok-besok aja, biar dia hapal dulu jalannya! Ayo Run, kita berangkat. Ke sekolah dulu, kan?” tanyanya.
Aku mengangguk sembari melengkungkan bibir dengan terpaksa.
Mengapa aku yang harus terlibat cinta kurang waras mereka? Nasib! Nasib!
Ke Jakarta, niatnya hanya pengen kerja. Bukan malah jadi bagian dari perselingkuhan orang!
“Okay!” jawab Yolanda ketus.
Wanita dengan dandanan menor itu meninggalkan kami. Heels-nya seolah menusuk tanah yang dipijaknya.
Seram banget sih!
Aku kemudian menaiki motor dan Natha melajukan kendaraan beroda dua ini dengan tenang melewati mobil Yolanda.
Entah apa yang akan dilakukan oleh Yolanda nantinya kepada aku? Kalau sama Natha pasti akan memperlakukan dengan lembut.
Feeling-ku sudah tidak enak karena kejadian pagi ini. Semalam saja, Yolanda sudah memberikan warning padaku. Ditambah sikap pacarnya yang ingin berangkat bersama kami.
Apa yang sedang direncanakan oleh Natha? Melihat Yolanda, tidak mungkin juga akan melirikku sebagai wanita.
Lalu apa maunya pria ini dari aku yang janda ini? Ya Allah, semoga bukan hal buruk yang ada di pikiran Natha.
Aruna jangan terlibat nantinya! Meskipun keadaan yang sangat membuatku ingin menolong Natha.
Tidak lama terdengar suara klason mobil yang melesat dan tidak terlihat lagi.
“Nath,” panggilku.
“Santai saja. Ada gue, kan!”
Aku masih belum dapat menarik sesuatu dari semua kejadian ini. Pikiran Natha yang belum dapat ditebak. Sikap Yolanda yang agresif.
Semua membingungkan. Aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi.
Jangan sampai kewarasanku lenyap ketika Natha berubah menjadi hangat. Eh tapi apa bisa si bapak kulkas ini jadi orang yang lembut?
Sepertinya aku meragukannya. Natha si kulkas berjalan dan selingkuhan yang agresif.
"Maaf bos, Widya kabur!" Segerombolan orang masuk ke rumah tanpa permisi. "Biarin paling ngadu sama Yolanda!" ucap Natha datar. Tidak tampak kaget atau pengen nonjok gitu orang yang tidak bisa menjaga Widya sampai kabur. "Ta-tapi bos apa?" Seseorang dengan tubuh tegap menjawab tapi dengan terbata. "Gue sudah memprediksi karena penjagaan kalian kurang ketat kemarin dan memang harusnya begitu kan? Gue hanya pengen tahu ke mana dia pergi!" Lagi dan lagi Natha satu langkah di depan. Dia sudah memperhitungkan apa yang akan terjadi. Namun, mengapa dia sampai rela mengorbankan diri untuk ditembak Dirga? "Axel ikutin Widya. Kalau perlu dibungkus sekalian supaya tidak jadi beban di kemudian hari!" tegas pria yang berdiri dengan tangan yang masuk di saku celana kirinya. Mataku membelalak, dibungkus? Tidak mungkin akan dibunuh kan? Kalau itu terjadi bagaimana kalau dia berhadapan dengan hukum? Aku sangat bingung. "Santai saja, dia hanya kacung Yolanda. Em okay, gue tunggu kab
Kami berdua tenggelam dalam pelukan yang cukup lama hingga Sandi datang dengan deheman. "Apa gue kurang lama di kantinnya?" tanya Sandi. Yang aku tahu dia hanya basa-basi untuk memecah suasana. Aku merasa tiba-tiba perutku mau mual hanya karena salah tingkah. "Nggak kok," jawab Natha singkat tampak dia membenarkan posisi duduknya. "Yang aku butuh minum!" perintahnya. Tanganku dengan sigap menuangkan air ke dalam gelas dari botol satu setengah liter. "Ini!" kataku sembari melihat kembali wajah bulat dengan kumis tipis di antara bibir dan hidung. Apa hatiku kembali jatuh? Anggap saja iya, tapi masalahku tetap sama. Tidak mudah percaya pada orang. Apalagi pernikahan kami hanyalah topeng untuk menutupi tujuan masing-masing. "Terima kasih," ucapnya disertai lengkungan di bibir yang membuat detak ini makin kencang. Kepalaku naik turun saja karena mulut ini tidak dapat mengeluarkan suara. Sedikit pun. "Yang kamu tiba-tiba sakit gigi. Kok cuma senyum doang. Oug jangan-
Aku tidak bisa melepaskan tali yang mengekang kedua tangan tapi untungnya masih bisa membuat sinyal. Tiba-tiba masuk beberapa orang yang tidak aku ketahui. Mereka langsung membebaskan diriku. Mungkin sih bantuan dari Natha. Kan yang punya anak buah hanya dia. "Nyonya Aruna baik-baik saja?" tanya salah satu di antara mereka. Tinggi dan badannya proposional. "Kita harus bawa Widya ke bos!" Aku dituntun sama orang yang bertanya padaku. Sementara Widya berontak dan ingin kabur. Sayang, tangannya dengan cepat ditangkap oleh orang yang berada di belakangnya. "Kita ke rumah sakit dulu!" perintah orang yang memapahku. Aku kali ini bisa selamat dari perlakuan Widya. Namun, aku tak yakin kalau hal itu dilakukan oleh Yolanda. Dalam perjalanan, Widya mengumpat dan menyumpahi diriku. Satu sisi yang baru aku tahu hari ini. Ternyata aku tidak mengenal dengan benar sahabatku yang satu ini. Sampai rumah sakit, Widya dipaksa masuk salah satu ruangan yang berada di dekat kamar mayat
“Run, kenapa?” tanya Mala padaku. “Natha sudah mendingan?”Aku mengangguk perlahan. Bukan hanya soal Natha yang masih dalam tahap penyembuhan, tapi kaliamat suamiku yang masih teriang sampai sekarang.Incaran? Apa karena Dirga? Mungkinkah Yolanda sudah menargetkan diriku sejak lama? Lalu mengapa Natha datang mau berjuang sebagai pahlawan?Aku rasa bukan sih! Tahulah! Tambah penat kepala ini dengan rangkaian peristiwa yang selalu susul-menyusul.“Lalu mengapa lu tampak kacau begitu?” tanya Mala dengan nada sangat lembut.“Ada hal yang masih mengganjal. Belum bisa aku temukan benang merahnya. Seolah ketika aku hampir mencapai apa yang aku pikir sudah ujung. Malah makin menjauh!” ocehku ketika kami sedang berada di kantin.Mala hanya mengelus lengan ini. Hal ini terlalu rumit untuk aku ceritakan pada orang yang hanya sekedar teman. Bukan orang yang tahu seluk beluk permasalahan kami.“Teleponmu berdering. Natha!” ucap Mala membuyarkan sedikit lamunanku.Lalu aku menekan ke arah atas symb
“Ada apa?” tanyaku pada seorang wanita yang mungkin siap untuk melempar granat dari mulutnya.“Gue sudah tahu kalau sama lu, Natha pasti celaka. Sama seperti Dirga!” Dia menaikkan satu oktaf lebih tinggi dari nada semula.Namun, aku tetap akan memasang wajah yang akan dia benci sekaligus ingat.“Lagipula, yang melakukan ini juga anak buah yang paling kamu banggakan itu, Yolanda,” kataku dengan nada yang tetap dingin.Kami berdiri saling berhadapan. Mata kami saling menatap. Ada semburat merah yang merekah di kedua indra penglihatan wanita yang memakai blouse pink itu.Dia ingin mendominasi situasi yang memanas ini, tapi bukan Aruna kalau tidak akan membuat api yang membakar hatinya itu bertambah meletup.Natha benar, dia licik. Akan tetapi, suamiku mungkin lupa kalau air yang dapat memadamkan api adalah cinta yang tak berujung.Bukankah akan menarik untuk memanfaatkan hasrat yang belum sepenuhnya berakhir itu?“Lu janji Run tinggalin dia! Apapun keadaannya!” teriaknya sekali lagi sebe
“Bagaimana keadaan Natha?” tanya ambu padaku.Aku menggeleng. Tidak dapat berkata apa pun. Sandy kemudian mendekat kepada bibinya. “Doakan Natha Bi. Biar dia kuat!”Aku menelepon Sandy untuk menolong kami. Karena hanya dia yang bisa aku percayai saat ini. Dia bukan orang jahat yang ingin menghancurkan diriku atau Natha.Ambu datang kepadaku dan memeluk tubuh yang hampir jatuh ini. “Kamu yang kuat Run! Kuat! Hanya kamu yang Natha inginkan saat dia bangun!” Tangan ambu mengusap punggung yang bergoyang menahan sesak di dada.Air mataku mungkin sudah membasahi baju ambu. Ambu tetap mengusap punggung ini seraya berkata, “Maafkan kami Aruna! Kami yang memasukkan kamu ke dalam lingkaran ini. Namun, yakinlah Dirga adalah orang yang telah mengkhianati dirimu. Bukan hanya soal cinta, tetapi juga uang dan kepercayaan.”“Kepercayaan?” Badanku perlahan lepas dari pelukan ambu. Aku heran mengapa kepercayaan. Apa yang ambu maksud dengan kata itu? Bukankah pengkhianatan cinta sudah termasuk kepercaya







