MasukAku mengetuk pintu kantor CEO perusahaan ini. Setelah ada kata yang menyatakan boleh masuk ke ruangan, aku melangkahkan kaki ke dalam. Daripada berujung nasib naas seperti tadi.
“Maaf Bu Yolanda, kata Bapak Natha tadi saya disuruh ke sini,” ucapku.
Wanita cantik yang sedang memakai lipstik tersebut mengangguk dan mempersilahkan aku untuk duduk di kursi.
“Saya hanya ingin memberi tahu kalau ada fasilitas rumah untuk karyawan. Hanya ada 15 kamar dan sepertinya kamu membutuhkannya,” terang Bu Yolanda.
“Jadi saya diberi kesempatan untuk mendapatkan fasilitas tersebut, Bu?” tanyaku untuk menyakinkan apa yang baru saja aku dengar.
“Iya nanti kamu datang ke rumah saya. Minta alamat dan rute bis sama Widya dari kos kamu,” lanjut pemilik perusahaan ini.
“Terima kasih, Bu,” kataku mengakhiri pembicaraan ini dan aku berpamitan pada Bu Yolanda.
Ketika berada di pintu, aku berpapasan dengan Natha. Dia sedikit menyunggingkan bibir kanannya, sementara aku hanya menundukkan kepala.
Ya bagaimanapun dia atasanku di kantor. Harus menghormati, kan walau judesnya minta ampun.
Alhamdulillah, aku diberikan kemudahan dalam hal fasilitas rumah. Lumayan banget bisa menghemat uang.
Mungkin setelah magrib aku ke rumah bu Yolanda. Tidak sabar untuk tahu rumahnya seperti apa.
Saatnya pulang sekarang.
Waktu berjalan sangat cepat, baru saja tiba di kos. Mandi, makan, dan mengurus para bocah, eh tahunya sudah magrib.
Widya sudah memberikan rute bis yang harus aku ambil. Ya, gimana lagi, aku belum ada motor, harus pakai kendaraan umum.
Bismillah, kami bertiga berangkat ke rumah bu Yolanda.
Akhirnya kami sampai setelah perjalanan yang cukup membingungkan dan hampir salah naik bisa. Untungnya anak pertamaku cukup sigap mengingatkan ibunya.
Kami turun di jalan utama. Menuju ke rumah bu Yolanda harus berjalan menyusuri gang yang tidak terlalu banyak kegiatannya. Rumah yang berdekatan, tapi sepi di luar. Mereka semua berada di dalam rumah.
Ini Jakarta atau Klaten sih? Heran, sepi amat.
Setelah bertanya pada beberapa warga sekitar yang kebetulan berada di luar, kami sampai di depan pagar yang tinggi menjulang.
Aku bertanya kepada satpam yang menjaga, kemudian dia mempersilahkan kami masuk.
Saat tubuh kami hampir menyentuh kursi empuk berwarna abu-abu, akhirnya bangkit kembali ketika mendengar suara yang mengagetkan dari lantai atas.
“Bangsat kamu! Tidak tahu terima kasih!”
Aku menutup mata kedua anakku, walau masih ada sela untuk melihat sebuah pemandangan yang hanya boleh dilihat oleh orang dewasa.
Mataku makin melebar ketika wajah pria yang dipukuli itu tampak makin jelas. Tanganku menutup mulut.
Natha.
Bapak kepala editorku itu sedang diberikan hantaman oleh seorang pemuda. Lebih parahnya, Natha hanya diam, seolah dia menerima semua hal tersebut.
Bodoh atau merasa bersalah.
Kemudian, suara seorang perempuan mulai terdengar dari atas. Kalau boleh aku menebak dia adalah CEO di perusahaan yang aku tempati sekarang.
Dia sedang menuruni tangga hanya menggunakan gaun putih panjang dengan tali yang digunakan sebagai penutup. Rambut acak-acakan, serta em aku tidak dapat mengungkapkan dengan bahasa yang halus.
Nyonya rumah tampak terkejut karena melihat aku yang berdiri menjadi patung dan melihat adegan tidak patut tersebut.
“Eh Aruna ada apa?” tanya sang pemilik rumah terbata.
“Maaf Bu. Saya menganggu. Tadi di kantor Ibu mengundang untuk membicarakan masalah rumah yang disediakan perusahaan untuk pegawai,” jelasku.
“Oug iya. Maaf saya rasa petang ini sedang tidak. Em. Waktunya kurang pas. Mungkin besok pagi gimana. Eh, iya tapi rumahnya dekat dengan sini. Hanya beda tiga gang.”
Ibu CEO yang bernama Yolanda tersebut melihat kedua anakku. Kemudian menghela napas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, “Natha kamu antar Aruna ke kos!”
Natha hanya mengangguk sembari meringis menahan sakit di wajahnya. Gila itu orang! Selingkuh kok sama tante tirinya. Orang gila!
“Minggat sana lu!” bentak pemuda yang menyeret Natha tadi.
Kedua tangannya berada di pinggang dengan napas yang ingin segera membunuh musuhnya.
“Cukup!” kata ibu Yolanda pada pemuda yang langsung pergi menaiki tangga dengan lekuk mirip jalan di gunung.
“Ikut gue!” perintah Natha kepadaku.
Aku berpamitan pada ibu Yolanda dan kakiku mengikuti si kulkas yang berjalan seolah dunia mau kiamat. Itu kaki apa kereta api sih. Cepet banget jalannya. Lagian, kita juga masih ada waktu untuk sekadar mengobrol persoalan dia dan em, si ono.
Aku mencoba untuk bertanya pada pria yang berjalan di depanku. Ya hanya berharap kalau si kulkas mau berbaik hati dengan menjawab.
“Nath, kamu di kos juga?” tanyaku dengan melebarkan bibirku ini. Dia bahkan tidak melihat ke belakang. Pria yang sedang berjalan di hadapanku itu hanya mengangguk. “Are you okay?” tanyaku lagi.
“Nggak usah sok peduli!”
Ternyata aku salah! Bikin darah naik saja. Apa dia menganggap semua orang mempunyai sifat yang dingin begitu.
Natha kemudian menyuruh aku untuk naik ke motornya. Adik di depan sedangkan aku dan kakak di belakang.
Kayaknya dia tahu kalau aku belum bawa motor sendiri. Selama perjalanan si kulkas hanya diam saja. Aku? Malas juga basa-basi sama dia lagi.
Jadi, hanya suara angin yang terdengar malam ini. Natha berhenti di depan rumah yang cukup besar. Dia kemudian membuka pagar.
Kami mengikuti dari belakang. Natha memakirkan motor di garasi.
Rumah yang cukup besar, dengan taman asri dan ada kolam ikan juga. Semoga anak-anak akan betah di sini. Lagipula, rumah ini lebih dekat ke kantor dan sekolah anak-anak juga.
Natha mengantar kami ke kamar dengan nomor 15.
“Ingat ya, jangan mencampuri urusan gue!”
Aku mengangguk kemudian masuk ke kamar. Malas menanggapi orang yang sedang sewot. Dia yang dipukuli, aku yang dimarahi.
Kamarnya ternyata cukup luas. Cukup untuk kami bertiga. Semoga ini menjadi awalan yang lebih baik setelah ditinggal suami yang tidak tahu diri.
Kami akhirnya bersih-bersih kamar yang sudah cukup bersih. Tinggal menyapu dan mengepel.
Anak-anak juga sudah membawa peralatan sekolah, jadi aman untuk besok. Sesuai prediksi dari awal tadi.
Kedua anakku lapar, aku memutuskan untuk keluar kamar. Kata Natha ada dapur, ya kali aja masih ada yang baik hati memberikan sayur atau apa gitu buat makan malam.
Ketika di dapur, Natha sudah ada di sana sedang mengompres bagian yang lebam. Aku mendekati pria yang sedang menempelkan kain di sudut bibirnya itu.
Entahlah, meskipun aku sebal dengan kelakuan si bapak kulkas satu ini, tapi ada rasa kasihan karena hidupnya tidak baik-baik saja.
“Butuh bantuan?” Aku menawarkan bantuan, walau tahu jawabannya akan tidak.
Namun, di luar dugaanku, dia ternyata bilang, “Lu bisa masak. Gue ada sosis, sayur, ada nasi di rice cooker.
Aku mengangguk. Kemudian tanganku meraih gagang kulkas dan membukanya. Ternyata masih ada sayuran dan sosis, bakso juga ada.
Memang hanya butuh waktu sebentar, dan jadilah masakan ala kadarnya.
“Sudah matang. Kamu mau makan sekarang?” tanyaku.
Natha mengangguk. Kali ini sikapnya berubah menjadi anak kecil yang kelaparan.
“Aku boleh minta nasi?” tanyaku.
“Boleh, ambil saja buat anak-anak,” jawabnya.
Aku mendekati Natha, lalu membantunya memberikan obat di bagian yang lebam. Dia sudah membawa sekotak obat yang berada di dekat kulkas.
Pria yang di hadapanku terdiam. Tidak menolak ketika tanganku menyentuh luka di wajahnya.
Pria ini butuh orang lain tapi gengsinya tinggi.
Tiba-tiba ada suara perempuan yang mengagetkan aku dan Natha.
“Kalian sedang apa?”
Kami sama-sama menengok asal suara. Ada ibu Yolanda yang tampaknya cemburu karena aku mengobati luka pacar berondongnya ini.
“Dia hanya masak dan mengobati luka gue saja,” jelas Natha. “Makasih, Run.”
Mereka lalu meninggalkan aku sendirian di dapur. Ibu Yolanda menggandeng lengan Natha dengan mesra.
Wanita tua itu sempat melihat diriku ketika berbelok ke kanan. Kedua matanya menatap tajam.
Emangnya aku akan mengambil prianya. Aih, siapa juga yang mau sama Natha? Sungguh, mereka sudah melukai banyak orang. Termasuk Natha sendiri.
"Maaf bos, Widya kabur!" Segerombolan orang masuk ke rumah tanpa permisi. "Biarin paling ngadu sama Yolanda!" ucap Natha datar. Tidak tampak kaget atau pengen nonjok gitu orang yang tidak bisa menjaga Widya sampai kabur. "Ta-tapi bos apa?" Seseorang dengan tubuh tegap menjawab tapi dengan terbata. "Gue sudah memprediksi karena penjagaan kalian kurang ketat kemarin dan memang harusnya begitu kan? Gue hanya pengen tahu ke mana dia pergi!" Lagi dan lagi Natha satu langkah di depan. Dia sudah memperhitungkan apa yang akan terjadi. Namun, mengapa dia sampai rela mengorbankan diri untuk ditembak Dirga? "Axel ikutin Widya. Kalau perlu dibungkus sekalian supaya tidak jadi beban di kemudian hari!" tegas pria yang berdiri dengan tangan yang masuk di saku celana kirinya. Mataku membelalak, dibungkus? Tidak mungkin akan dibunuh kan? Kalau itu terjadi bagaimana kalau dia berhadapan dengan hukum? Aku sangat bingung. "Santai saja, dia hanya kacung Yolanda. Em okay, gue tunggu kab
Kami berdua tenggelam dalam pelukan yang cukup lama hingga Sandi datang dengan deheman. "Apa gue kurang lama di kantinnya?" tanya Sandi. Yang aku tahu dia hanya basa-basi untuk memecah suasana. Aku merasa tiba-tiba perutku mau mual hanya karena salah tingkah. "Nggak kok," jawab Natha singkat tampak dia membenarkan posisi duduknya. "Yang aku butuh minum!" perintahnya. Tanganku dengan sigap menuangkan air ke dalam gelas dari botol satu setengah liter. "Ini!" kataku sembari melihat kembali wajah bulat dengan kumis tipis di antara bibir dan hidung. Apa hatiku kembali jatuh? Anggap saja iya, tapi masalahku tetap sama. Tidak mudah percaya pada orang. Apalagi pernikahan kami hanyalah topeng untuk menutupi tujuan masing-masing. "Terima kasih," ucapnya disertai lengkungan di bibir yang membuat detak ini makin kencang. Kepalaku naik turun saja karena mulut ini tidak dapat mengeluarkan suara. Sedikit pun. "Yang kamu tiba-tiba sakit gigi. Kok cuma senyum doang. Oug jangan-
Aku tidak bisa melepaskan tali yang mengekang kedua tangan tapi untungnya masih bisa membuat sinyal. Tiba-tiba masuk beberapa orang yang tidak aku ketahui. Mereka langsung membebaskan diriku. Mungkin sih bantuan dari Natha. Kan yang punya anak buah hanya dia. "Nyonya Aruna baik-baik saja?" tanya salah satu di antara mereka. Tinggi dan badannya proposional. "Kita harus bawa Widya ke bos!" Aku dituntun sama orang yang bertanya padaku. Sementara Widya berontak dan ingin kabur. Sayang, tangannya dengan cepat ditangkap oleh orang yang berada di belakangnya. "Kita ke rumah sakit dulu!" perintah orang yang memapahku. Aku kali ini bisa selamat dari perlakuan Widya. Namun, aku tak yakin kalau hal itu dilakukan oleh Yolanda. Dalam perjalanan, Widya mengumpat dan menyumpahi diriku. Satu sisi yang baru aku tahu hari ini. Ternyata aku tidak mengenal dengan benar sahabatku yang satu ini. Sampai rumah sakit, Widya dipaksa masuk salah satu ruangan yang berada di dekat kamar mayat
“Run, kenapa?” tanya Mala padaku. “Natha sudah mendingan?”Aku mengangguk perlahan. Bukan hanya soal Natha yang masih dalam tahap penyembuhan, tapi kaliamat suamiku yang masih teriang sampai sekarang.Incaran? Apa karena Dirga? Mungkinkah Yolanda sudah menargetkan diriku sejak lama? Lalu mengapa Natha datang mau berjuang sebagai pahlawan?Aku rasa bukan sih! Tahulah! Tambah penat kepala ini dengan rangkaian peristiwa yang selalu susul-menyusul.“Lalu mengapa lu tampak kacau begitu?” tanya Mala dengan nada sangat lembut.“Ada hal yang masih mengganjal. Belum bisa aku temukan benang merahnya. Seolah ketika aku hampir mencapai apa yang aku pikir sudah ujung. Malah makin menjauh!” ocehku ketika kami sedang berada di kantin.Mala hanya mengelus lengan ini. Hal ini terlalu rumit untuk aku ceritakan pada orang yang hanya sekedar teman. Bukan orang yang tahu seluk beluk permasalahan kami.“Teleponmu berdering. Natha!” ucap Mala membuyarkan sedikit lamunanku.Lalu aku menekan ke arah atas symb
“Ada apa?” tanyaku pada seorang wanita yang mungkin siap untuk melempar granat dari mulutnya.“Gue sudah tahu kalau sama lu, Natha pasti celaka. Sama seperti Dirga!” Dia menaikkan satu oktaf lebih tinggi dari nada semula.Namun, aku tetap akan memasang wajah yang akan dia benci sekaligus ingat.“Lagipula, yang melakukan ini juga anak buah yang paling kamu banggakan itu, Yolanda,” kataku dengan nada yang tetap dingin.Kami berdiri saling berhadapan. Mata kami saling menatap. Ada semburat merah yang merekah di kedua indra penglihatan wanita yang memakai blouse pink itu.Dia ingin mendominasi situasi yang memanas ini, tapi bukan Aruna kalau tidak akan membuat api yang membakar hatinya itu bertambah meletup.Natha benar, dia licik. Akan tetapi, suamiku mungkin lupa kalau air yang dapat memadamkan api adalah cinta yang tak berujung.Bukankah akan menarik untuk memanfaatkan hasrat yang belum sepenuhnya berakhir itu?“Lu janji Run tinggalin dia! Apapun keadaannya!” teriaknya sekali lagi sebe
“Bagaimana keadaan Natha?” tanya ambu padaku.Aku menggeleng. Tidak dapat berkata apa pun. Sandy kemudian mendekat kepada bibinya. “Doakan Natha Bi. Biar dia kuat!”Aku menelepon Sandy untuk menolong kami. Karena hanya dia yang bisa aku percayai saat ini. Dia bukan orang jahat yang ingin menghancurkan diriku atau Natha.Ambu datang kepadaku dan memeluk tubuh yang hampir jatuh ini. “Kamu yang kuat Run! Kuat! Hanya kamu yang Natha inginkan saat dia bangun!” Tangan ambu mengusap punggung yang bergoyang menahan sesak di dada.Air mataku mungkin sudah membasahi baju ambu. Ambu tetap mengusap punggung ini seraya berkata, “Maafkan kami Aruna! Kami yang memasukkan kamu ke dalam lingkaran ini. Namun, yakinlah Dirga adalah orang yang telah mengkhianati dirimu. Bukan hanya soal cinta, tetapi juga uang dan kepercayaan.”“Kepercayaan?” Badanku perlahan lepas dari pelukan ambu. Aku heran mengapa kepercayaan. Apa yang ambu maksud dengan kata itu? Bukankah pengkhianatan cinta sudah termasuk kepercaya







