Sampai juga di kantor. Aku harus secepatnya masuk ke ruangan editor. Ada satu naskah baru yang aku tangani. Yah, meskipun amburadul tidak jelas.
Namun, aku semangat untuk menorehkan namaku di dalam buku pemerintah tersebut.
Siapa tahu ada orang yang ngeh gitu dengan penulis buku pelajaran yang akan dicetak untuk kepentingan satu negara tersebut.
Keren juga sih Yolanda mendapatkan proyek sebagus ini. Cerdas, cantik, dan tegas, Ya Allah paket komplit memang.
Pantes saja Natha mau sama wanita yang lebih tua darinya itu.
“Run, dipanggil ibu negara,” kata Jaka kepadaku.
Aku hanya melongo. Ibu negara? Siapa? Aku belum familiar dengan julukan di kantor ini.
“Yolanda,” jawab Mala seolah tahu kebingunganku.
Aku hanya menjawab heh. Buat apa coba dia memintaku ke ruangannya? Apakah ada hubungan dengan Natha pagi ini?
Ah, taulah! Yang penting ke sana dulu!
Setelah mengetuk pintu dan memastikan tidak ada suara yang mencurigakan, aku masuk ke ruangan. Ya, karena Yolanda sudah mempersilahkan masuk juga tentunya.
“Duduklah!” perintah ibu negara dengan tegas. “Saya ada tugas untukmu hari ini. Pergilah ke departemen pendidikan bersama Natha. Kalian yang akan mengurus semua format dan isi buku,” terang wanita ini dengan tekanan yang cukup kuat pada bagian nama pacarnya.
Dia tidak rela kami bekerja sama?
Lalu si bapak kulkas masuk ke ruangan CEO dengan memainkan kunci motor. “Sudah siap?”
Aku mengangguk. “Permisi, Bu,” pamitku pada seorang perempuan yang menampakkan wajah seperti singa kelaparan.
“Makan siangnya nanti aja,” ucap Natha sembari menyentuh hidungku dengan telunjuknya.
Aku sedikit mundur karena tingkah Natha yang tambah aneh. Apa begini kalau dia ingin mendapatkan keinginan. Egois kalau begitu!
Badanku selalu menghadap ke depan. Aku tidak berani menatap wanita yang berada di belakangku. Jujur, aku takut dengan Yolanda. Dia tipe orang yang bisa berbuat apa pun. Tampaknya.
Kami berboncengan menuju departemen pendidikan. Lagipula mengapa harus aku sih? Aku kan hanya anak baru yang masih masa training.
Namun, kalau dipikir apa menariknya dari diriku? Hingga membuat Natha bersikap aneh begini.
Jangan-jangan karena anak yang dibicarakan kemarin.
Ya Allah, aku makin bingung dengan keadaan di kantor. Awlanya aku hanya orang yang ingin kerja, malah lihat dua orang sedang bersama di satu ruangan.
Sekarang? Au ah! Bingung aku!
Tiba-tiba bapak kulkas mengerem mendadak. Membuat tubuhku maju menyentuh punggungnya.
“Maaf, ada yang mau lewat mendadak,” ucapnya santai.
Aku tidak menjawab. Nanti malah urusan tambah panjang.
Setelah melewati perjalanan yang cukup membuat gerah, kami sampai di departemen pendidikan. Aku mengikuti Natha ke front office.
Ya, karena pria ini yang menjadi atasan, aku sih tinggal menunggu perintah saja. Kami kemudian dibawa ke sebuah ruangan di lantai dua.
Ternyata departemen pendidikan ramai sekali. Banyak orang yang mempunyai kepentingan lalu lalang dari lantai satu sampai lantai dua ini.
Aku terus membuntuti Natha. Dengan langkah yang dipercepat dan tibalah kami di suatu ruangan yang dingin dengan aroma citrus.
Aku mencatat semua yang diperintahkan oleh Natha. Mengikuti semua perbincangan mereka yang cukup membuat otakku berputar dengan kencang.
Setelah selesai, kami pulang ke kantor.
“Beli es dulu ya,” ucap Natha.
Aku mengangguk. Panas dan gerah membuat kerongkongan menjadi kering. Ternyata Natha cukup baik pula sebagai atasan.
Tumben ya!
Kami tiba di kantor dan disambut oleh Yolanda.
“Lama banget, Nat!” bentak pacar Natha pada kami.
Aku menundukkan kepala lalu kembali ke ruangan editor. Sampai di tempat duduk, botol minum langsung aku raih.
Hatiku berdegub dengan kencang.
Masih terbayang wajah wanita CEO itu. Sorot matanya yang tajam dengan langkah kaki yang menghentak lantai. Suara heels membuatku tidak mampu melihat kedua netra Yolanda terlalu lama.
“Kok lama?” tanya Jaka.
“Lama karena Natha ngobrol sama petugasnya di sana,” jelasku.
“Lu nggak tahu apa? Ibu negara sudah bolak-balik ke ruangan ini seratus kali,” tambah pegawai yang duduknya di sampingku ini.
“Aku hanya mengikuti Natha saja,” jawabku.
“Gue pikir kalian kencan dulu,” oceh Jaka dengan kekehan yang disambut oleh tertawanya Mala.
“Hati-hati Run. Jangan deketin Natha atau lu mati di tangan Yolanda,” tambah wanita yang sedang memegang kipas di tangan kanan tersebut.
“Ndak berani aku,” lirihku.
Natha tiba di ruangan editor dan menghampiri diriku. “Makan dulu! Ikut gue!”
Aku melirik Mala, dia malah senyum-senyum tidak jelas.
Aduh bapak kulkas, malah melibatkan aku dalam drama antara ponakan dan tante tirinya itu.
“Cepetan, Run!”
Aku berdiri sambil menelan ludah kembali. Rasanya jantungku sudah mau copot. Iya, emang sih, tadi dia menyodorkan kotak bekal padaku.
Namun, apa dia mau makan bareng sama aku di pantry?
“Kita makan bareng, ya,” ucap Natha. Ternyata dia memang makan bekal yang aku siapkan tadi. “Bekalmu mana?”
Aku memperlihatkan satu kotak berwarna biru pada pria yang tersenyum lebar ini. Ih, Natha mengapa harus membuatku menebak apa yang akan dilakukannya?
Kami makan bersama. Dia tampak lahap menyantap nasi dengan lauk seadanya tersebut.
Aku hanya sesekali melihat laki-laki dengan rambut cepak yang rapi di hadapanku ini. Ganteng juga ternyata. Namun, gila mau-maunya selingkuh dengan tante tirinya.
Aku menyuapkan satu sendok ke mulut dan mau mengunyah. Akan tetapi, jemari Natha mengambil sebutir nasi di sekitar mulut.
“Kayak anak kecil,” kata pria yang tersenyum dengan sumringah ini.
Em, apa yang harus aku lakukan sekarang? Kalau aku punya keberanian, pasti aku akan marah sama dia. Namun, nyaliku tidak sekuat itu.
Aku hanya dapat mengunyah makanan yang tidak ada rasanya lagi di mulutku.
Saat seperti ini yang membuatku tidak dapat menentukan langkah yang harus aku ambil. Apa aku tidak normal sebagai orang? Apa aku terlalu jadi penakut mengekspresikan kemauan sendiri?
Kecuali kalau aku disakiti yang melebihi batas ambang kesabaran. Pasti sudah aku bunuh orang yang menyakiti diri ini.
“Kok diam?” tanya Natha. “Lu malu makan sama gue?”
Aku berhenti mengunyah mendengar pertanyaan dari Natha. Kemudian kepalaku menggeleng.
“Nath, mau kamu apa?” tanyaku dengan suara pelan.
“Lu tanya apa?”
Dih, malah tanya balik. Salahku juga mengeluarkan suara yang kurang keras.
“Nath, gue tungguin di ruangan!” Yolanda masuk ke pantry dengan membanting pintu.
Natha menoleh pada wanita yang sedang berdiri di pintu tersebut lalu mengangguk.
“Selesai makan gue ke sana!”
“Lu nggak tau gue nungguin dari tadi hanya buat makan siang. Sementara lu enak-enakan di sini!”
Kedua tangan CEO itu saling mengikat satu sama lain di depan dada. Aku tidak berani bicara apa pun. Hanya diam dan berusaha memasukkan makanan ke mulut. Kemudian mengunyahnya perlahan.
“Gue lagi ngirit. Ntar gue ke ruangan lu!” tegas Natha.
Yolanda pergi meninggalkan kami. Seperti biasa, mulutnya tidak bisa diam karena kesal. Mungkin semua orang akan dimarahi olehnya hari ini.
“Nath, jangan libatkan aku!” kataku.
“Gue hanya minta bantuan lu. Sedikit!” jawabnya.
“Jahat banget sih Nath kamu!”
Aku menutup kotak makan dan kembali ke ruangan editor.
Natha bukan hanya dingin tapi juga egois. Benar kata Widya dia tidak punya hati. Hanya dirinya sendiri yang selalu dipikirkan.
Oiya, soal anak yang dibicarakan oleh Natha kemarin. Apa mungkin hasil dari?
Aku tidak dapat membayangkan kalau anak tersebut adalah anak mereka. Tanganku menutup mulut dan air mata mulai keluar dari sudut mata.
Mengapa aku yang dipilih Natha untuk jadi tumbal dari mereka? Ah, tumbal!
Iya kan. Seseorang yang hanya dimanfaatkan sebagai topeng. Ah! Tidak akan aku menerima Natha sebagai suami.
Namun, kalau anak tersebut butuh kasih sayang dari orang tuanya bagaimana? Kalau ternyata dia juga korban dari dua orang gila itu?
Jangan membayangkan hal yang belum aku ketahui kebenarannya. Jangan Aruna! Bersikaplah dengan bijak!
Em, nanti dia akan datang bersama ibunya Natha. Jadi, aku bisa melihat anak Natha. Kalau dia mirip bapak ibunya. Ya Allah, judes, galak, dingin.
Ih, malas banget!
Sore ini, aku dan Natha ke taman. Dia yang maksa kami untuk pergi bersama. Padahal kalau lihat anak-anak sih, sudah cukup kelelahan dengan kegiatan sekolah.Dia memakirkan mobil di dekat mainan anak-anak. Ada pelosotan, ayunan, sama jungkat-jungkit. Pinter banget ini orang membuat anak-anak bergembira lihat mainan.Aku sudah penat sekali hari ini dengan drama dia dan Yolanda. Turun dari mobil, anak-anak bermain bertiga, sementara aku memilih untuk duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu dicat warna cokelat.Natha duduk di samping dan seperti biasa mengeluarkan senjata yang katanya mampu membunuh stres di kepala.Dia mengembuskan napas yang mengeluarkan asap. Aku sedikit menghindari kepulan gas yang menyesakkan hidung serta paru-paru tersebut.Dia malah tersenyum. Tanpa ada kalimat yang keluar dari mulut masing-masing, suasana hening dan kaku.Aku melihat anak-anak sedang main kejar-kejaran. Mereka tampak menikmati dunia yang belum tercemar masalah-masalah rumit. Seperti kami or
Pagi ini, kantor sempat heboh karena Yolanda sudah memuntahkan lava panasnya ke semua orang.Mungkin kesambet kali ya ini orang. Kalau aku perhatikan, akhir-akhir ini sering banget wanita tua ini marah dengan cepat.Mungkinkah gara-gara? Namun, kan aku tidak punya hubungan juga dengan pacar berondongnya itu.“Cieleh, pagi-pagi sudah keramas aja tu!” ledek Mala kepadaku.Aku yang baru saja ingin membuka naskah langsung menoleh pada temanku di pojokan ruang editor ini.“Natha juga tu tadi keramas! Kalian satu rumah to!” tambah Jaka.Tanganku langsung memukulkan kamus yang tebal ke lengan pemuda yang berada di sampingku ini. Dia mengelus lengan kirinya sambil memajukan bibirnya.“Makanya jangan buat gosip aneh!” bentakku. “Eh, ibu negara kenapa kok aku datang tadi sudah marah-marah ke kalian?”Mala menggeleng, begitu juga dengan Jaka. Mereka saja tidak tahu, akunya malah kepedean. Berpikir kalau Yolanda cemburu karena aku cukup dekat dengan anaknya.“Nath, gue minta naskahnya Aruna cepat
Saat aku pulang ke rumah, ada seorang anak kecil di depan pintu kami. Seorang gadis kecil dengan rambut panjang dan wajah yang bulat. Badan pun juga agak gembul ditambah kulit yang putih, ya Allah dia sangat cantik dan lucu.“Sedang apa, Dek?” tanyaku.Dia tampak bergerak mundur dari pintu kamarku. Sementara kedua anakku sudah tampak kelelahan.“Luna!” panggil seseorang dari dalam kamar Natha. Seorang wanita yang cukup tua aku rasa. Yang pasti bukan ibu negara.Seorang wanita tua dengan baju gamis berwarna ungu pastel keluar dari kamar Natha. Aku tersenyum kepadanya.“Maaf ya Nak, apa Luna mengganggu kalian?”“Oh, tidak Bu. Dia hanya berdiri di depan pintu saya,” jawabku.“Ayo, Luna tunggu Papa di dalam saja,” ajak wanita tersebut dengan menggandeng tangan mungil si gadis kecil.Namun, ketika aku sedang memasukkan kunci ke dalam tempatnya, dia memanggilku, “Tante Aruna, kan. Papa udah banyak cerita. Kapan-kapan kita main ya.”Aku membalikkan badan ke arah dua orang di belakang. “Iya,
Sampai juga di kantor. Aku harus secepatnya masuk ke ruangan editor. Ada satu naskah baru yang aku tangani. Yah, meskipun amburadul tidak jelas.Namun, aku semangat untuk menorehkan namaku di dalam buku pemerintah tersebut.Siapa tahu ada orang yang ngeh gitu dengan penulis buku pelajaran yang akan dicetak untuk kepentingan satu negara tersebut.Keren juga sih Yolanda mendapatkan proyek sebagus ini. Cerdas, cantik, dan tegas, Ya Allah paket komplit memang.Pantes saja Natha mau sama wanita yang lebih tua darinya itu.“Run, dipanggil ibu negara,” kata Jaka kepadaku.Aku hanya melongo. Ibu negara? Siapa? Aku belum familiar dengan julukan di kantor ini.“Yolanda,” jawab Mala seolah tahu kebingunganku.Aku hanya menjawab heh. Buat apa coba dia memintaku ke ruangannya? Apakah ada hubungan dengan Natha pagi ini?Ah, taulah! Yang penting ke sana dulu!Setelah mengetuk pintu dan memastikan tidak ada suara yang mencurigakan, aku masuk ke ruangan. Ya, karena Yolanda sudah mempersilahkan masuk j
Aku kembali ke kamar dengan membawa lauk dan nasi. Anak-anak tampaknya sangat lapar. Padahal sebelum ke sini sudah makan.Tak lama, ada yang mengetuk pintu. Aku membukanya dan ternyata pemilik perusahaan tempatku bekerja.Aku mempersilahkan dia masuk ke kamar.“Gimana Run, it’s enough?” tanyanya.“Iya, Bu. Sudah lebih dari cukup,” jawabku.“Boleh saya bicara? Saya bukan tipe yang basa-basi. Ini menyangkut Natha. Yah, seperti yang kamu tahu kalau aku dan Natha.” Yolanda terdiam untuk beberapa saat, kemudian melanjutkan perkataannya, “Jangan terlalu dekat dengan dia!”Aku yang masih mencerna kalimat dari wanita cantik ini hanya dapat tersenyum.“Maaf, Bu. Saya tidak suka mencampuri urusan orang lain?” jawabku.“Bagus. Semoga betah di rumah dan kantor,” lanjutnya.Wanita yang menjadi selingkuhan Natha tersebut lalu keluar dari kamar. Aku menemani anak-anak makan lagi.Maksudnya apa coba? Apa aku terlihat sedang menggoda pacarnya yang dingin itu? Ih, males banget.Tidak lama, Natha masuk
Aku mengetuk pintu kantor CEO perusahaan ini. Setelah ada kata yang menyatakan boleh masuk ke ruangan, aku melangkahkan kaki ke dalam. Daripada berujung nasib naas seperti tadi.“Maaf Bu Yolanda, kata Bapak Natha tadi saya disuruh ke sini,” ucapku.Wanita cantik yang sedang memakai lipstik tersebut mengangguk dan mempersilahkan aku untuk duduk di kursi.“Saya hanya ingin memberi tahu kalau ada fasilitas rumah untuk karyawan. Hanya ada 15 kamar dan sepertinya kamu membutuhkannya,” terang Bu Yolanda.“Jadi saya diberi kesempatan untuk mendapatkan fasilitas tersebut, Bu?” tanyaku untuk menyakinkan apa yang baru saja aku dengar.“Iya nanti kamu datang ke rumah saya. Minta alamat dan rute bis sama Widya dari kos kamu,” lanjut pemilik perusahaan ini.“Terima kasih, Bu,” kataku mengakhiri pembicaraan ini dan aku berpamitan pada Bu Yolanda.Ketika berada di pintu, aku berpapasan dengan Natha. Dia sedikit menyunggingkan bibir kanannya, sementara aku hanya menundukkan kepala.Ya bagaimanapun di