LOGINSaat aku pulang ke rumah, ada seorang anak kecil di depan pintu kami. Seorang gadis kecil dengan rambut panjang dan wajah yang bulat. Badan pun juga agak gembul ditambah kulit yang putih, ya Allah dia sangat cantik dan lucu.
“Sedang apa, Dek?” tanyaku.
Dia tampak bergerak mundur dari pintu kamarku. Sementara kedua anakku sudah tampak kelelahan.
“Luna!” panggil seseorang dari dalam kamar Natha. Seorang wanita yang cukup tua aku rasa. Yang pasti bukan ibu negara.
Seorang wanita tua dengan baju gamis berwarna ungu pastel keluar dari kamar Natha. Aku tersenyum kepadanya.
“Maaf ya Nak, apa Luna mengganggu kalian?”
“Oh, tidak Bu. Dia hanya berdiri di depan pintu saya,” jawabku.
“Ayo, Luna tunggu Papa di dalam saja,” ajak wanita tersebut dengan menggandeng tangan mungil si gadis kecil.
Namun, ketika aku sedang memasukkan kunci ke dalam tempatnya, dia memanggilku, “Tante Aruna, kan. Papa udah banyak cerita. Kapan-kapan kita main ya.”
Aku membalikkan badan ke arah dua orang di belakang. “Iya, tentu.”
Kami masuk ke dalam kamar. Kedua anakku langsung mandi dan ingin tidur. Capek banget dengan kegiatan sekolah yang jauh berbeda dengan sekolah di Klaten.
Sekolah baru mereka mempunyai kegiatan yang bervariasi di luar kelas. Hingga mereka tampak kelelahan setelah pulang. Cerita kakak tadi sih begitu.
Namun, yang tidak kalah mencengangkan adalah Luna. Gadis kecil yang ouh aku ingat. Dia adalah anak Natha dan. Ah, aku tidak akan tanya sama pria sadis itu.
Kalau dilihat sekilas, Luna sangat kesepian. Mungkin karena jauh dari kedua orang tuanya. Sekalinya dibawa ke Jakarta sudah besar.
Tok tok tok!
Suara ketukan. Siapa yang akan bertamu.
“Tante Aruna!” panggil seseorang dari luar.
Aku membukakan pintu dan dia sedang membawa sekotak cokelat.
“Ini untuk tante!”
Luna memberikan sekotak cokelat dengan merek yang lumayan terkenal. Kemudian papanya datang dengan bersenandung senang.
Ya, senanglah tentunya. Sudah di-charge sama pacarnya.
“Lu mikir apaan liatin gue begitu?” tanyanya ketus. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Gue dari beli martabak manis, gurih. Ni buat kalian. Antrinya banyak!”
Natha menyerahkan dua bungkus martabak. Ya dari baunya sih begitu. Mana menggoda lagi. Gagal diet dong kalau begini.
“Kupikir dari,” kataku dan cukup membuat tangan Natha menggetok kepalaku.
Aku hanya meringis menahan sakit di bagian mahkota perempuan ini.
“Papa jangan jahat sama Tante,” ucap Luna.
“Tu, dengerin!” ledekku.
Aku berpamitan pada Luna lalu masuk membawa dua bungkus martabak dengan senang hati. Lumayan kan, jarang Natha senang begitu.
“Bilang makasih, napa?” teriak Natha dari luar kamar.
Namun, sayang, anak-anak sudah tidur. Mungkin aku simpan dulu.
Hari ini agendaku adalah bersih-bersih bagian pojok ruangan ini. Kemarin mau aku buat seperti tempat belajar anak-anak. Semoga kelar sore ini.
Malam harinya, Luna mengetuk pintu lagi. Dia masuk ke kamarku. Sementara anak-anak sedang makan.
“Sudah makan, Luna?”
Luna menggeleng. Dia hanya menautkan kesepuluh jemarinya saja. Kemudian melihat anak-anakku dengan saksama. Lalu bertanya pada mereka.
“Punya mama enak nggak?”
Kedua anakku otomatis langsung menengok ke arahku. Aku hanya tersenyum. Satu pertanyaan yang aku tidak menduga sebelumnya dari seorang anak kecil.
“Enak tapi galak, Bunda!” kata kakak.
“Aku pengen punya mama, kalian mau berbagi mama nggak?”
Duh, ini anak sama saja kayak bapak ibunya. Straight to the point alias tidak ada basa basinya. Lagian Natha pinter banget menggunakan anaknya untuk meluluhkan kami.
“Nggak mau, itu bunda kami!” jawab adik ketus.
Lalu Luna keluar kamar dengan menundukkan kepala dan hampir menangis. Suara isakannya sudah mulai terdengar dari dalam kamar.
“Kenapa Lun?” tanya papanya.
“Katanya tante Aruna akan jadi mamaku, kok nggak boleh sama anaknya,” jawab Luna.
Aku menyusul keluar kamar. Daripada nanti salah paham dan si bapak kulkas tersebut marah-marah padaku, lagi.
Natha melihatku dengan membuka kedua tangan. Mau menggeleng tapi ya ini kan ranah orang dewasa yang dibawa pria ini ke anaknya.
“Lagian kamu ngomong apa sih Nath sama Luna?” tanyaku.
“Ya gitu deh,” jawabnya enteng.
“Kamu itu ya, egois!”
Aku kemudian memeluk gadis kecil yang sedang terisak ini. Tak lama kemudian, dia mengeluarkan sakit yang ada di hati dengan menangis cukup keras hingga ibunya Natha keluar.
Aku memberikan kode dengan menampakkan telapak tangan kananku pada wanita yang sedang memegang ujung jilbabnya tersebut. Luna sedang ingin mengungkapkan apa yang terpendam jauh di dalam sana.
Aku pun tidak membayangkan kehidupan apa yang dialami oleh gadis kecil ini. Bagaimana dia mampu bertahan dalam keadaan yang menyedihkan?
Setelah selesai menangis, Luna menghampiri neneknya. Aku pun menyeka air yang mulai memenuhi mataku.
“Apa!” bentakku pada papanya Luna.
Sekilas aku melihat Natha yang memperhatikan diri ini. Kemudian aku berpamitan pada wanita yang berterima kasih dengan tulus kepadaku ini. Dia menggenggam tanganku erat seolah banyak harapan yang akan diserahkan kepadaku.
Aku hanyalah wanita biasa. Tidak mungkin juga menjadi ibu sambung dari anak yang orang tuanya saja tidak mau memperhatikan dengan baik. Natha asyik dengan Yolanda, sementara ibunya yang merawat anak mereka.
Cih, pasangan itu sungguh biadab. Mereka merusak kehidupan orang banyak dan tidak merasa bersalah sekalipun. Selalu saja mengulangi hal yang sama.
Lalu dia akan menjadikan aku sebagai perawat anaknya? Tidak punya hati pria itu!
Namun, kalau melihat gadis kecil yang kesepian itu, kok aku juga tidak tega. Bagaimana aku bisa menjaga dia tanpa harus menjadi ibu sambung? Ah, kepalaku malah pusing ini.
Lagian mengapa aku memikirkan kehidupan orang lain, sementara kehidupan kami saja masih sangat berantakan.
Ya Allah, aku harus bagaimana? Eh, kok malah bingung ya? Duh, kebiasaan ini!
Okay, malam ini sudahi hal yang mengharu biru karena kedatangan Luna ke tempat ini. Besok kerja dan mengantar anak-anak ke sekolah. Saatnya tidur dan berharap esok akan menjadi hari yang menyenangkan.
Pagi ini saat aku membuka pintu kamar, niatnya sih mau ke kamar mandi, tapi kok ya Luna sudah berada di depan dengan senyum yang lebar. Mau apa sih dia?
Aku tersenyum sembari menggaruk bagian rambut yang gatal. Benar-benar mirip bapak ibunya. Pantang menyerah.
“Ada apa , Lun?” tanyaku sehalus mungkin.
“Tante mau mandi ya. Tapi Tante bisa mandiin aku nggak? Sudah ada air hangatnya kok,” pintanya.
“Nenekmu ke mana atau Papa?” tanyaku.
“Aku maunya Tante!” rengeknya.
Aku mengembuskan napas. Kuletakkan handuk ke kursi di dalam kamar. Kemudian aku ke kamar Natha. Mengetuk pintu dan keluarlah si bapak sadis dengan hanya memakai boxer.
Aku langsung membalikkan tubuh. “Iya, bentar. Ngapain sih lu subuh-subuh sudah mengetuk pintu? Lu kangen sama gue!”
Aku menaikkan sudut bibir kanan mendengar ocehan Natha baru saja. Kalau bukan anaknya yang mengganggu pagi begini, males juga punya urusan sama dia.
“Sudah, Sayang. Ada apa?” ucap Natha.
Aku membalikkan badan dan menghampiri bapaknya Luna yang berdiri di depan kamarnya.
“Luna pengen mandi. Minta baju!” balasku.
Natha kemudian masuk ke kamar dan menyerahkan baju seragam untuk hari ini. Pria gila itu melebarkan senyum yang terasa mengejek diriku. Seolah aku sudah masuk ke dalam jebakan yang dia buat.
Anggap saja aku memang buruk sangka sama dia. Namun, kalau memang dia berniat baik menjadikan aku istrinya, pastinya sikap pria ini akan jauh lebih baik.
Menunjukkan ketulusan sebagai calon pasangan. Lha ini tidak!
“Run, lu memang cocok jadi ibunya Luna,” ucap Natha sebelum aku dan Luna ke kamar mandi. “Thank you so much.”
Hampir tangannya menyentuh bagian atas kepalaku, tetapi dengan segera aku mundur. Aku bukan Yolanda. Aku pun tidak ingin masuk ke dalam hubungan mereka. Namun, Luna.
Ah, malah jadi bingung lagi!
Namun, kalau nantinya ibu Luna akan membuat hidupku tambah berantakan gimana? Apakah aku akan sanggup melihat dia dengan tampang sangar mirip singa betina itu?
"Maaf bos, Widya kabur!" Segerombolan orang masuk ke rumah tanpa permisi. "Biarin paling ngadu sama Yolanda!" ucap Natha datar. Tidak tampak kaget atau pengen nonjok gitu orang yang tidak bisa menjaga Widya sampai kabur. "Ta-tapi bos apa?" Seseorang dengan tubuh tegap menjawab tapi dengan terbata. "Gue sudah memprediksi karena penjagaan kalian kurang ketat kemarin dan memang harusnya begitu kan? Gue hanya pengen tahu ke mana dia pergi!" Lagi dan lagi Natha satu langkah di depan. Dia sudah memperhitungkan apa yang akan terjadi. Namun, mengapa dia sampai rela mengorbankan diri untuk ditembak Dirga? "Axel ikutin Widya. Kalau perlu dibungkus sekalian supaya tidak jadi beban di kemudian hari!" tegas pria yang berdiri dengan tangan yang masuk di saku celana kirinya. Mataku membelalak, dibungkus? Tidak mungkin akan dibunuh kan? Kalau itu terjadi bagaimana kalau dia berhadapan dengan hukum? Aku sangat bingung. "Santai saja, dia hanya kacung Yolanda. Em okay, gue tunggu kab
Kami berdua tenggelam dalam pelukan yang cukup lama hingga Sandi datang dengan deheman. "Apa gue kurang lama di kantinnya?" tanya Sandi. Yang aku tahu dia hanya basa-basi untuk memecah suasana. Aku merasa tiba-tiba perutku mau mual hanya karena salah tingkah. "Nggak kok," jawab Natha singkat tampak dia membenarkan posisi duduknya. "Yang aku butuh minum!" perintahnya. Tanganku dengan sigap menuangkan air ke dalam gelas dari botol satu setengah liter. "Ini!" kataku sembari melihat kembali wajah bulat dengan kumis tipis di antara bibir dan hidung. Apa hatiku kembali jatuh? Anggap saja iya, tapi masalahku tetap sama. Tidak mudah percaya pada orang. Apalagi pernikahan kami hanyalah topeng untuk menutupi tujuan masing-masing. "Terima kasih," ucapnya disertai lengkungan di bibir yang membuat detak ini makin kencang. Kepalaku naik turun saja karena mulut ini tidak dapat mengeluarkan suara. Sedikit pun. "Yang kamu tiba-tiba sakit gigi. Kok cuma senyum doang. Oug jangan-
Aku tidak bisa melepaskan tali yang mengekang kedua tangan tapi untungnya masih bisa membuat sinyal. Tiba-tiba masuk beberapa orang yang tidak aku ketahui. Mereka langsung membebaskan diriku. Mungkin sih bantuan dari Natha. Kan yang punya anak buah hanya dia. "Nyonya Aruna baik-baik saja?" tanya salah satu di antara mereka. Tinggi dan badannya proposional. "Kita harus bawa Widya ke bos!" Aku dituntun sama orang yang bertanya padaku. Sementara Widya berontak dan ingin kabur. Sayang, tangannya dengan cepat ditangkap oleh orang yang berada di belakangnya. "Kita ke rumah sakit dulu!" perintah orang yang memapahku. Aku kali ini bisa selamat dari perlakuan Widya. Namun, aku tak yakin kalau hal itu dilakukan oleh Yolanda. Dalam perjalanan, Widya mengumpat dan menyumpahi diriku. Satu sisi yang baru aku tahu hari ini. Ternyata aku tidak mengenal dengan benar sahabatku yang satu ini. Sampai rumah sakit, Widya dipaksa masuk salah satu ruangan yang berada di dekat kamar mayat
“Run, kenapa?” tanya Mala padaku. “Natha sudah mendingan?”Aku mengangguk perlahan. Bukan hanya soal Natha yang masih dalam tahap penyembuhan, tapi kaliamat suamiku yang masih teriang sampai sekarang.Incaran? Apa karena Dirga? Mungkinkah Yolanda sudah menargetkan diriku sejak lama? Lalu mengapa Natha datang mau berjuang sebagai pahlawan?Aku rasa bukan sih! Tahulah! Tambah penat kepala ini dengan rangkaian peristiwa yang selalu susul-menyusul.“Lalu mengapa lu tampak kacau begitu?” tanya Mala dengan nada sangat lembut.“Ada hal yang masih mengganjal. Belum bisa aku temukan benang merahnya. Seolah ketika aku hampir mencapai apa yang aku pikir sudah ujung. Malah makin menjauh!” ocehku ketika kami sedang berada di kantin.Mala hanya mengelus lengan ini. Hal ini terlalu rumit untuk aku ceritakan pada orang yang hanya sekedar teman. Bukan orang yang tahu seluk beluk permasalahan kami.“Teleponmu berdering. Natha!” ucap Mala membuyarkan sedikit lamunanku.Lalu aku menekan ke arah atas symb
“Ada apa?” tanyaku pada seorang wanita yang mungkin siap untuk melempar granat dari mulutnya.“Gue sudah tahu kalau sama lu, Natha pasti celaka. Sama seperti Dirga!” Dia menaikkan satu oktaf lebih tinggi dari nada semula.Namun, aku tetap akan memasang wajah yang akan dia benci sekaligus ingat.“Lagipula, yang melakukan ini juga anak buah yang paling kamu banggakan itu, Yolanda,” kataku dengan nada yang tetap dingin.Kami berdiri saling berhadapan. Mata kami saling menatap. Ada semburat merah yang merekah di kedua indra penglihatan wanita yang memakai blouse pink itu.Dia ingin mendominasi situasi yang memanas ini, tapi bukan Aruna kalau tidak akan membuat api yang membakar hatinya itu bertambah meletup.Natha benar, dia licik. Akan tetapi, suamiku mungkin lupa kalau air yang dapat memadamkan api adalah cinta yang tak berujung.Bukankah akan menarik untuk memanfaatkan hasrat yang belum sepenuhnya berakhir itu?“Lu janji Run tinggalin dia! Apapun keadaannya!” teriaknya sekali lagi sebe
“Bagaimana keadaan Natha?” tanya ambu padaku.Aku menggeleng. Tidak dapat berkata apa pun. Sandy kemudian mendekat kepada bibinya. “Doakan Natha Bi. Biar dia kuat!”Aku menelepon Sandy untuk menolong kami. Karena hanya dia yang bisa aku percayai saat ini. Dia bukan orang jahat yang ingin menghancurkan diriku atau Natha.Ambu datang kepadaku dan memeluk tubuh yang hampir jatuh ini. “Kamu yang kuat Run! Kuat! Hanya kamu yang Natha inginkan saat dia bangun!” Tangan ambu mengusap punggung yang bergoyang menahan sesak di dada.Air mataku mungkin sudah membasahi baju ambu. Ambu tetap mengusap punggung ini seraya berkata, “Maafkan kami Aruna! Kami yang memasukkan kamu ke dalam lingkaran ini. Namun, yakinlah Dirga adalah orang yang telah mengkhianati dirimu. Bukan hanya soal cinta, tetapi juga uang dan kepercayaan.”“Kepercayaan?” Badanku perlahan lepas dari pelukan ambu. Aku heran mengapa kepercayaan. Apa yang ambu maksud dengan kata itu? Bukankah pengkhianatan cinta sudah termasuk kepercaya







