Home / Romansa / Istri Bayangan / Bab 6: Luna, Si Gadis Kecil

Share

Bab 6: Luna, Si Gadis Kecil

Author: Littlestar87
last update Last Updated: 2025-06-13 17:22:30

Saat aku pulang ke rumah, ada seorang anak kecil di depan pintu kami. Seorang gadis kecil dengan rambut panjang dan wajah yang bulat. Badan pun juga agak gembul ditambah kulit yang putih, ya Allah dia sangat cantik dan lucu.

“Sedang apa, Dek?” tanyaku.

Dia tampak bergerak mundur dari pintu kamarku. Sementara kedua anakku sudah tampak kelelahan.

“Luna!” panggil seseorang dari dalam kamar Natha. Seorang wanita yang cukup tua aku rasa. Yang pasti bukan ibu negara.

Seorang wanita tua dengan baju gamis berwarna ungu pastel keluar dari kamar Natha. Aku tersenyum kepadanya.

“Maaf ya Nak, apa Luna mengganggu kalian?”

“Oh, tidak Bu. Dia hanya berdiri di depan pintu saya,” jawabku.

“Ayo, Luna tunggu Papa di dalam saja,” ajak wanita tersebut dengan menggandeng tangan mungil si gadis kecil.

Namun, ketika aku sedang memasukkan kunci ke dalam tempatnya, dia memanggilku, “Tante Aruna, kan. Papa udah banyak cerita. Kapan-kapan kita main ya.”

Aku membalikkan badan ke arah dua orang di belakang. “Iya, tentu.”

Kami masuk ke dalam kamar. Kedua anakku langsung mandi dan ingin tidur. Capek banget dengan kegiatan sekolah yang jauh berbeda dengan sekolah di Klaten.

Sekolah baru mereka mempunyai kegiatan yang bervariasi di luar kelas. Hingga mereka tampak kelelahan setelah pulang. Cerita kakak tadi sih begitu.

Namun, yang tidak kalah mencengangkan adalah Luna. Gadis kecil yang ouh aku ingat. Dia adalah anak Natha dan. Ah, aku tidak akan tanya sama pria sadis itu.

Kalau dilihat sekilas, Luna sangat kesepian. Mungkin karena jauh dari kedua orang tuanya. Sekalinya dibawa ke Jakarta sudah besar.

Tok tok tok!

Suara ketukan. Siapa yang akan bertamu.

“Tante Aruna!” panggil seseorang dari luar.

Aku membukakan pintu dan dia sedang membawa sekotak cokelat.

“Ini untuk tante!”

Luna memberikan sekotak cokelat dengan merek yang lumayan terkenal. Kemudian papanya datang dengan bersenandung senang.

Ya, senanglah tentunya. Sudah di-charge sama pacarnya.

“Lu mikir apaan liatin gue begitu?” tanyanya ketus. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Gue dari beli martabak manis, gurih. Ni buat kalian. Antrinya banyak!”

Natha menyerahkan dua bungkus martabak. Ya dari baunya sih begitu. Mana menggoda lagi. Gagal diet dong kalau begini.

“Kupikir dari,” kataku dan cukup membuat tangan Natha menggetok kepalaku.

Aku hanya meringis menahan sakit di bagian mahkota perempuan ini.

“Papa jangan jahat sama Tante,” ucap Luna.

“Tu, dengerin!” ledekku.

Aku berpamitan pada Luna lalu masuk membawa dua bungkus martabak dengan senang hati. Lumayan kan, jarang Natha senang begitu.

“Bilang makasih, napa?” teriak Natha dari luar kamar.

Namun, sayang, anak-anak sudah tidur. Mungkin aku simpan dulu.

Hari ini agendaku adalah bersih-bersih bagian pojok ruangan ini. Kemarin mau aku buat seperti tempat belajar anak-anak. Semoga kelar sore ini.

Malam harinya, Luna mengetuk pintu lagi. Dia masuk ke kamarku. Sementara anak-anak sedang makan.

“Sudah makan, Luna?”

Luna menggeleng. Dia hanya menautkan kesepuluh jemarinya saja. Kemudian melihat anak-anakku dengan saksama. Lalu bertanya pada mereka.

“Punya mama enak nggak?”

Kedua anakku otomatis langsung menengok ke arahku. Aku hanya tersenyum. Satu pertanyaan yang aku tidak menduga sebelumnya dari seorang anak kecil.

“Enak tapi galak, Bunda!” kata kakak.

“Aku pengen punya mama, kalian mau berbagi mama nggak?”

Duh, ini anak sama saja kayak bapak ibunya. Straight to the point alias tidak ada basa basinya. Lagian Natha pinter banget menggunakan anaknya untuk meluluhkan kami.

“Nggak mau, itu bunda kami!” jawab adik ketus.

Lalu Luna keluar kamar dengan menundukkan kepala dan hampir menangis. Suara isakannya sudah mulai terdengar dari dalam kamar.

“Kenapa Lun?” tanya papanya.

“Katanya tante Aruna akan jadi mamaku, kok nggak boleh sama anaknya,” jawab Luna.

Aku menyusul keluar kamar. Daripada nanti salah paham dan si bapak kulkas tersebut marah-marah padaku, lagi.

Natha melihatku dengan membuka kedua tangan. Mau menggeleng tapi ya ini kan ranah orang dewasa yang dibawa pria ini ke anaknya.

“Lagian kamu ngomong apa sih Nath sama Luna?” tanyaku.

“Ya gitu deh,” jawabnya enteng.

“Kamu itu ya, egois!”

Aku kemudian memeluk gadis kecil yang sedang terisak ini. Tak lama kemudian, dia mengeluarkan sakit yang ada di hati dengan menangis cukup keras hingga ibunya Natha keluar.

Aku memberikan kode dengan menampakkan telapak tangan kananku pada wanita yang sedang memegang ujung jilbabnya tersebut. Luna sedang ingin mengungkapkan apa yang terpendam jauh di dalam sana.

Aku pun tidak membayangkan kehidupan apa yang dialami oleh gadis kecil ini. Bagaimana dia mampu bertahan dalam keadaan yang menyedihkan?

Setelah selesai menangis, Luna menghampiri neneknya. Aku pun menyeka air yang mulai memenuhi mataku.

“Apa!” bentakku pada papanya Luna.

Sekilas aku melihat Natha yang memperhatikan diri ini. Kemudian aku berpamitan pada wanita yang berterima kasih dengan tulus kepadaku ini. Dia menggenggam tanganku erat seolah banyak harapan yang akan diserahkan kepadaku.

Aku hanyalah wanita biasa. Tidak mungkin juga menjadi ibu sambung dari anak yang orang tuanya saja tidak mau memperhatikan dengan baik. Natha asyik dengan Yolanda, sementara ibunya yang merawat anak mereka.

Cih, pasangan itu sungguh biadab. Mereka merusak kehidupan orang banyak dan tidak merasa bersalah sekalipun. Selalu saja mengulangi hal yang sama.

Lalu dia akan menjadikan aku sebagai perawat anaknya? Tidak punya hati pria itu!

Namun, kalau melihat gadis kecil yang kesepian itu, kok aku juga tidak tega. Bagaimana aku bisa menjaga dia tanpa harus menjadi ibu sambung? Ah, kepalaku malah pusing ini.

Lagian mengapa aku memikirkan kehidupan orang lain, sementara kehidupan kami saja masih sangat berantakan.

Ya Allah, aku harus bagaimana? Eh, kok malah bingung ya? Duh, kebiasaan ini!

Okay, malam ini sudahi hal yang mengharu biru karena kedatangan Luna ke tempat ini. Besok kerja dan mengantar anak-anak ke sekolah. Saatnya tidur dan berharap esok akan menjadi hari yang menyenangkan.

Pagi ini saat aku membuka pintu kamar, niatnya sih mau ke kamar mandi, tapi kok ya Luna sudah berada di depan dengan senyum yang lebar. Mau apa sih dia?

Aku tersenyum sembari menggaruk bagian rambut yang gatal. Benar-benar mirip bapak ibunya. Pantang menyerah.

“Ada apa , Lun?” tanyaku sehalus mungkin.

“Tante mau mandi ya. Tapi Tante bisa mandiin aku nggak? Sudah ada air hangatnya kok,” pintanya.

“Nenekmu ke mana atau Papa?” tanyaku.

“Aku maunya Tante!” rengeknya.

Aku mengembuskan napas. Kuletakkan handuk ke kursi di dalam kamar. Kemudian aku ke kamar Natha. Mengetuk pintu dan keluarlah si bapak sadis dengan hanya memakai boxer.

Aku langsung membalikkan tubuh. “Iya, bentar. Ngapain sih lu subuh-subuh sudah mengetuk pintu? Lu kangen sama gue!”

Aku menaikkan sudut bibir kanan mendengar ocehan Natha baru saja. Kalau bukan anaknya yang mengganggu pagi begini, males juga punya urusan sama dia.

“Sudah, Sayang. Ada apa?” ucap Natha.

Aku membalikkan badan dan menghampiri bapaknya Luna yang berdiri di depan kamarnya.

“Luna pengen mandi. Minta baju!” balasku.

Natha kemudian masuk ke kamar dan menyerahkan baju seragam untuk hari ini. Pria gila itu melebarkan senyum yang terasa mengejek diriku. Seolah aku sudah masuk ke dalam jebakan yang dia buat.

Anggap saja aku memang buruk sangka sama dia. Namun, kalau memang dia berniat baik menjadikan aku istrinya, pastinya sikap pria ini akan jauh lebih baik.

Menunjukkan ketulusan sebagai calon pasangan. Lha ini tidak!

“Run, lu memang cocok jadi ibunya Luna,” ucap Natha sebelum aku dan Luna ke kamar mandi. “Thank you so much.”

Hampir tangannya menyentuh bagian atas kepalaku, tetapi dengan segera aku mundur. Aku bukan Yolanda. Aku pun tidak ingin masuk ke dalam hubungan mereka. Namun, Luna.

Ah, malah jadi bingung lagi!

Namun, kalau nantinya ibu Luna akan membuat hidupku tambah berantakan gimana? Apakah aku akan sanggup melihat dia dengan tampang sangar mirip singa betina itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Bayangan   Bab 8: Pengakuan Natha atau?

    Sore ini, aku dan Natha ke taman. Dia yang maksa kami untuk pergi bersama. Padahal kalau lihat anak-anak sih, sudah cukup kelelahan dengan kegiatan sekolah.Dia memakirkan mobil di dekat mainan anak-anak. Ada pelosotan, ayunan, sama jungkat-jungkit. Pinter banget ini orang membuat anak-anak bergembira lihat mainan.Aku sudah penat sekali hari ini dengan drama dia dan Yolanda. Turun dari mobil, anak-anak bermain bertiga, sementara aku memilih untuk duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu dicat warna cokelat.Natha duduk di samping dan seperti biasa mengeluarkan senjata yang katanya mampu membunuh stres di kepala.Dia mengembuskan napas yang mengeluarkan asap. Aku sedikit menghindari kepulan gas yang menyesakkan hidung serta paru-paru tersebut.Dia malah tersenyum. Tanpa ada kalimat yang keluar dari mulut masing-masing, suasana hening dan kaku.Aku melihat anak-anak sedang main kejar-kejaran. Mereka tampak menikmati dunia yang belum tercemar masalah-masalah rumit. Seperti kami or

  • Istri Bayangan   Bab 7: Yolanda Cemburu

    Pagi ini, kantor sempat heboh karena Yolanda sudah memuntahkan lava panasnya ke semua orang.Mungkin kesambet kali ya ini orang. Kalau aku perhatikan, akhir-akhir ini sering banget wanita tua ini marah dengan cepat.Mungkinkah gara-gara? Namun, kan aku tidak punya hubungan juga dengan pacar berondongnya itu.“Cieleh, pagi-pagi sudah keramas aja tu!” ledek Mala kepadaku.Aku yang baru saja ingin membuka naskah langsung menoleh pada temanku di pojokan ruang editor ini.“Natha juga tu tadi keramas! Kalian satu rumah to!” tambah Jaka.Tanganku langsung memukulkan kamus yang tebal ke lengan pemuda yang berada di sampingku ini. Dia mengelus lengan kirinya sambil memajukan bibirnya.“Makanya jangan buat gosip aneh!” bentakku. “Eh, ibu negara kenapa kok aku datang tadi sudah marah-marah ke kalian?”Mala menggeleng, begitu juga dengan Jaka. Mereka saja tidak tahu, akunya malah kepedean. Berpikir kalau Yolanda cemburu karena aku cukup dekat dengan anaknya.“Nath, gue minta naskahnya Aruna cepat

  • Istri Bayangan   Bab 6: Luna, Si Gadis Kecil

    Saat aku pulang ke rumah, ada seorang anak kecil di depan pintu kami. Seorang gadis kecil dengan rambut panjang dan wajah yang bulat. Badan pun juga agak gembul ditambah kulit yang putih, ya Allah dia sangat cantik dan lucu.“Sedang apa, Dek?” tanyaku.Dia tampak bergerak mundur dari pintu kamarku. Sementara kedua anakku sudah tampak kelelahan.“Luna!” panggil seseorang dari dalam kamar Natha. Seorang wanita yang cukup tua aku rasa. Yang pasti bukan ibu negara.Seorang wanita tua dengan baju gamis berwarna ungu pastel keluar dari kamar Natha. Aku tersenyum kepadanya.“Maaf ya Nak, apa Luna mengganggu kalian?”“Oh, tidak Bu. Dia hanya berdiri di depan pintu saya,” jawabku.“Ayo, Luna tunggu Papa di dalam saja,” ajak wanita tersebut dengan menggandeng tangan mungil si gadis kecil.Namun, ketika aku sedang memasukkan kunci ke dalam tempatnya, dia memanggilku, “Tante Aruna, kan. Papa udah banyak cerita. Kapan-kapan kita main ya.”Aku membalikkan badan ke arah dua orang di belakang. “Iya,

  • Istri Bayangan   Bab 5: Perhatian Kecil dari Natha

    Sampai juga di kantor. Aku harus secepatnya masuk ke ruangan editor. Ada satu naskah baru yang aku tangani. Yah, meskipun amburadul tidak jelas.Namun, aku semangat untuk menorehkan namaku di dalam buku pemerintah tersebut.Siapa tahu ada orang yang ngeh gitu dengan penulis buku pelajaran yang akan dicetak untuk kepentingan satu negara tersebut.Keren juga sih Yolanda mendapatkan proyek sebagus ini. Cerdas, cantik, dan tegas, Ya Allah paket komplit memang.Pantes saja Natha mau sama wanita yang lebih tua darinya itu.“Run, dipanggil ibu negara,” kata Jaka kepadaku.Aku hanya melongo. Ibu negara? Siapa? Aku belum familiar dengan julukan di kantor ini.“Yolanda,” jawab Mala seolah tahu kebingunganku.Aku hanya menjawab heh. Buat apa coba dia memintaku ke ruangannya? Apakah ada hubungan dengan Natha pagi ini?Ah, taulah! Yang penting ke sana dulu!Setelah mengetuk pintu dan memastikan tidak ada suara yang mencurigakan, aku masuk ke ruangan. Ya, karena Yolanda sudah mempersilahkan masuk j

  • Istri Bayangan   Bab 4: Permintaan Natha

    Aku kembali ke kamar dengan membawa lauk dan nasi. Anak-anak tampaknya sangat lapar. Padahal sebelum ke sini sudah makan.Tak lama, ada yang mengetuk pintu. Aku membukanya dan ternyata pemilik perusahaan tempatku bekerja.Aku mempersilahkan dia masuk ke kamar.“Gimana Run, it’s enough?” tanyanya.“Iya, Bu. Sudah lebih dari cukup,” jawabku.“Boleh saya bicara? Saya bukan tipe yang basa-basi. Ini menyangkut Natha. Yah, seperti yang kamu tahu kalau aku dan Natha.” Yolanda terdiam untuk beberapa saat, kemudian melanjutkan perkataannya, “Jangan terlalu dekat dengan dia!”Aku yang masih mencerna kalimat dari wanita cantik ini hanya dapat tersenyum.“Maaf, Bu. Saya tidak suka mencampuri urusan orang lain?” jawabku.“Bagus. Semoga betah di rumah dan kantor,” lanjutnya.Wanita yang menjadi selingkuhan Natha tersebut lalu keluar dari kamar. Aku menemani anak-anak makan lagi.Maksudnya apa coba? Apa aku terlihat sedang menggoda pacarnya yang dingin itu? Ih, males banget.Tidak lama, Natha masuk

  • Istri Bayangan   Bab 3: Kejadian di Rumah Besar

    Aku mengetuk pintu kantor CEO perusahaan ini. Setelah ada kata yang menyatakan boleh masuk ke ruangan, aku melangkahkan kaki ke dalam. Daripada berujung nasib naas seperti tadi.“Maaf Bu Yolanda, kata Bapak Natha tadi saya disuruh ke sini,” ucapku.Wanita cantik yang sedang memakai lipstik tersebut mengangguk dan mempersilahkan aku untuk duduk di kursi.“Saya hanya ingin memberi tahu kalau ada fasilitas rumah untuk karyawan. Hanya ada 15 kamar dan sepertinya kamu membutuhkannya,” terang Bu Yolanda.“Jadi saya diberi kesempatan untuk mendapatkan fasilitas tersebut, Bu?” tanyaku untuk menyakinkan apa yang baru saja aku dengar.“Iya nanti kamu datang ke rumah saya. Minta alamat dan rute bis sama Widya dari kos kamu,” lanjut pemilik perusahaan ini.“Terima kasih, Bu,” kataku mengakhiri pembicaraan ini dan aku berpamitan pada Bu Yolanda.Ketika berada di pintu, aku berpapasan dengan Natha. Dia sedikit menyunggingkan bibir kanannya, sementara aku hanya menundukkan kepala.Ya bagaimanapun di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status