Pagi ini, kantor sempat heboh karena Yolanda sudah memuntahkan lava panasnya ke semua orang.
Mungkin kesambet kali ya ini orang. Kalau aku perhatikan, akhir-akhir ini sering banget wanita tua ini marah dengan cepat.
Mungkinkah gara-gara? Namun, kan aku tidak punya hubungan juga dengan pacar berondongnya itu.
“Cieleh, pagi-pagi sudah keramas aja tu!” ledek Mala kepadaku.
Aku yang baru saja ingin membuka naskah langsung menoleh pada temanku di pojokan ruang editor ini.
“Natha juga tu tadi keramas! Kalian satu rumah to!” tambah Jaka.
Tanganku langsung memukulkan kamus yang tebal ke lengan pemuda yang berada di sampingku ini. Dia mengelus lengan kirinya sambil memajukan bibirnya.
“Makanya jangan buat gosip aneh!” bentakku. “Eh, ibu negara kenapa kok aku datang tadi sudah marah-marah ke kalian?”
Mala menggeleng, begitu juga dengan Jaka. Mereka saja tidak tahu, akunya malah kepedean. Berpikir kalau Yolanda cemburu karena aku cukup dekat dengan anaknya.
“Nath, gue minta naskahnya Aruna cepat selesai!” bentak ibu negara kepada bapak kepala editor bahasa itu.
Aku yang merasa namaku disebut langsung membulatkan kedua mataku. Gila saja harus menyelesaikan naskah yang baru diberikan kemarin.
“Tapi itu kan baru kemarin, Yolanda,” bela Natha. “Lu yang bener aja! Nyuruh orang nyelesain naskah yang baru saja diterima.”
“Gue nggak mau tahu!”
Natha mengembuskan napas dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. Entahlah, kali ini aku merasa pria itu sungguh kelelahan menghadapi pacar yang lebih tua tersebut.
Umur boleh tua, tapi soal egois, ngalahin anak muda sekarang.
“Lu! Otaknya dibenerin dulu!” ucap Natha kemudian menghampiri diriku.
Kok malah membuat keadaan tambah runyam sih ini orang! Ayolah Natha, kalau kamu memang tahu caranya menjinakkan wanita tua ini, setidaknya jangan berjalan ke arahku.
Eh, maksudnya aku takut apa yang akan dilakukan oleh Yolanda. Bisa saja kan dia akan memecatku? Dia kan pemilik perusahaan ini.
“Run, ikut gue!” perintah si bapak kepala editor.
Duh, ya Allah apakah akan ada perang dunia ketiga di dalam ruangan editorial bahasa ini. Perang yang sebenarnya antara dua orang yang saling memadu kasih.
Aku kemudian mengikuti Natha ke ruangan kepala editor.
“Nath, gue belum selesai sama lu!” bentak Yolanda kepada pria yang sudah masuk ke ruangannya tersebut.
Aku yang mengikuti Natha jadi was-was dengan situasi yang mencekam saat ini. Lagian, itu orang apa tidak bisa mengendalikan mulutnya.
Ketika aku mau duduk di kursi, Yolanda masuk dengan membanting pintu. Sorot matanya tajam ke arahku. Sementara Natha hanya membolak-balikkan naskah yang baru saja diambil dari mejaku.
“Nath, gue belum selesai!” bentak ibu negara.
“Mau apa lagi, Lu. Kenapa sih lu nggak bisa bedain urusan hati dan pekerjaan. Bahkan ketika Luna ingin ketemu sama lu aja, lu malah pesta sama teman-teman di hotel semalam.”
Tampak sikap Natha yang dingin dan ingin mengeluarkan kata-kata kotor kepada Yolanda. Bolpoin merah yang berada di tangan kanan ditekan ke meja dengan kuat.
“Lu tahu siapa yang menenangkan Luna semalam?” tanya pria yang sedang mengatur napas untuk mengatakan kalimat selanjutnya tersebut, “Dia! Terima kasih juga nggak!” bentak Natha pada ibu Luna yang sedang berdiri di hadapan Natha itu.
Oug, jadi semalam Luna menangis karena tidak bisa bertemu dengan mamanya. Aku saja masih merasa menjadi ibu yang kurang perhatian. Ini perempuan malah, berpesta?
Ya Allah kalau memang tidak mau merawat anak mengapa harus buat. Lagian kan bisa pakai pengaman. Bodoh kali dua orang ini!
Eh, kok aku malah memaki mereka. Namun, kok ya ada orang tua setega Yolanda.
“Nath, tapi gue udah kasih tau lu kalau hari ini baru bisa.”
Mungkin, begitu kali ya kehidupan orang kaya urusan bersosialisasi jadi lebih penting daripada anak.
Udah dong Aruna, malah berspekulasi sendiri!
“Nggak usah hari ini kami mau ke teman. Gue, Aruna, dan anak-anak!”
Ucapan Natha membuat kepala Yolanda langsung mengarah kepadaku. Sementara aku yang bingung hanya bisa melotot pada orang egois di depan meja ini.
Mati aku, masuk ke pusaran mereka!
“Gue ikut ya!” Yolanda mengalungkan kedua lengan ke kepala Natha.
Ya Allah, kedua mataku ternodai oleh adegan mesra dua orang itu. Aku pun menundukkan kepala. Jujur sih, ibu negara satu ini kok tidak punya malu.
Sudah tahu masih ada orang yang duduk di ruangan ini, bisa-bisanya memeluk pacar tersayang dengan sangat lembut.
“Apaan sih!” ucap Natha.
Aku kemudian melihat ke arah mereka kembali karena suara pria yang cukup tinggi tersebut. Sepertinya Natha memang sangat marah kepada Yolanda.
“Keluar dulu! Gue mau ngomong sama anak buah gue!” perintah Natha kepada pemilik perusahaan ini.
Kalau bukan ponakan dari pamannya, mana mungkin pria egois itu berani bicara dengan nada yang menekan begitu.
Yolanda meninggalkan kami di ruangan yang cukup gerah walau ada AC yang menyala.
Aku bingung dengan cara pikir mereka. Bagaimana bisa lebih mementingkan pekerjaan daripada anak? Eh, aku juga sih. Namun, aku kan janda yang ditinggal selingkuh oleh suami sendiri.
Yolanda punya segalanya, tetapi hatinya sungguh membeku. Tidak ada empati sama sekali. Bahkan kepada anak sendiri.
Kemudian, Natha memberikan penjelasan bagaimana cara mengedit dengan efisien dan mudah. Ya, sebagai mentor dia cukup cakap dan penjelasan yang diberikan pun mudah untuk dipahami.
Secara tidak sengaja mata kami bertemu, ada binar yang aku pun bingung untuk mengartikan dari kedua netra pria yang kembali menunduk ke naskah.
Apakah dia tulus atau ada modus?
“Kita makan siang dulu!” ucap Natha dan aku melihat jam di tangan kiri yang memang sudah menunjukkan untuk mengisi amunisi.
Aku berpamitan pada kepala editor kemudian ke ruangan editorial bahasa. Hari ini aku membawa bekal. Mengirit itu lebih baik daripada boros. Allah tidak suka orang yang berlebihan. Hanya kalimat itu yang membuatku semangat untuk memasak setiap hari.
Meskipun, memang kami sedang berada di titik uang sudah menipis.
Aku duduk di sebuah kursi. Widya datang membawa sepiring nasi beserta lauk. Disusul oleh Mala. Eh, taunya ada Jaka juga. Dasar laki tukang gosip. Ikutan saja para wanita yang ingin meluapkan 20.000 kata dalam waktu sejam ini.
“Lu ada hubungan apa sama Natha!” bentak Widya padaku.
Aku yang mau menyuapkan nasi ke mulut tidak jadi. Kaget tahu mendengar nada tinggi dari sahabatku itu. Dia jarang marah ke aku kecuali dulu pas aku mau nikah sama suamiku yang ternyata kurang ajar.
“Nggak ada!” jawabku.
“Trus tadi ngapain Yolanda datang ke HRD ngomong buat lu jangan deketin Natha!”
“Aku tidak ada hubungan apa pun, Wid.”
Kepalaku menggeleng. Kok berasa aku sebagai pelakor yang ingin mengambil pacar orang. Padahal mereka yang punya hubungan terlarang.
“Jangan berbuat aneh-aneh! Jauhi Natha! Apa pun yang terjadi!”
Aku mengangguk. Peringatan Widya sangat keras untukku. Mala dan Jaka saja sampai mengangguk bersamaan.
Ya Allah, kok malah ruwet begini sih keadaan kami sekarang.
Kemudian, Natha tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku yang kaget hanya melongo saja. Sementara Widya sudah bersiap untuk bertanya kepada pria yang menyuapkan makanan ke mulutnya.
“Mau lu apa sih Nath?”
Natha yang mendengar namanya disebut langsung mengarah ke Widya. Sahabatku itu menggenggam sendok dengan erat.
“Sederhana. Pernikahan kami!”
Jawaban pria di sampingku ini membuat semua orang tersedak. Termasuk aku. Kemudian kepalaku menoleh kapadanya.
“Lu gila, Nath! Belum cukup buat paman lu lumpuh. Dan Sandi, ck. Dia sudah kehilangan ibunya sendiri gara-gara kalian. Dan sekarang lu mau numbalin Aruna! Gue nggak akan biarin itu!”
Widya membanting sendok dan langsung meninggalkan meja makan. Aku dan kedua temanku menyusul dia yang sudah jauh dari kantin.
Aku bertambah bingung dengan semua hal ini. Sedikit demi sedikit hal yang muncul malah membuat kusut situasi kami.
“Ada apa?” tanyaku pada seorang wanita yang mungkin siap untuk melempar granat dari mulutnya.“Gue sudah tahu kalau sama lu, Natha pasti celaka. Sama seperti Dirga!” Dia menaikkan satu oktaf lebih tinggi dari nada semula.Namun, aku tetap akan memasang wajah yang akan dia benci sekaligus ingat.“Lagipula, yang melakukan ini juga anak buah yang paling kamu banggakan itu, Yolanda,” kataku dengan nada yang tetap dingin.Kami berdiri saling berhadapan. Mata kami saling menatap. Ada semburat merah yang merekah di kedua indra penglihatan wanita yang memakai blouse pink itu.Dia ingin mendominasi situasi yang memanas ini, tapi bukan Aruna kalau tidak akan membuat api yang membakar hatinya itu bertambah meletup.Natha benar, dia licik. Akan tetapi, suamiku mungkin lupa kalau air yang dapat memadamkan api adalah cinta yang tak berujung.Bukankah akan menarik untuk memanfaatkan hasrat yang belum sepenuhnya berakhir itu?“Lu janji Run tinggalin dia! Apapun keadaannya!” teriaknya sekali lagi sebe
“Bagaimana keadaan Natha?” tanya ambu padaku.Aku menggeleng. Tidak dapat berkata apa pun. Sandy kemudian mendekat kepada bibinya. “Doakan Natha Bi. Biar dia kuat!”Aku menelepon Sandy untuk menolong kami. Karena hanya dia yang bisa aku percayai saat ini. Dia bukan orang jahat yang ingin menghancurkan diriku atau Natha.Ambu datang kepadaku dan memeluk tubuh yang hampir jatuh ini. “Kamu yang kuat Run! Kuat! Hanya kamu yang Natha inginkan saat dia bangun!” Tangan ambu mengusap punggung yang bergoyang menahan sesak di dada.Air mataku mungkin sudah membasahi baju ambu. Ambu tetap mengusap punggung ini seraya berkata, “Maafkan kami Aruna! Kami yang memasukkan kamu ke dalam lingkaran ini. Namun, yakinlah Dirga adalah orang yang telah mengkhianati dirimu. Bukan hanya soal cinta, tetapi juga uang dan kepercayaan.”“Kepercayaan?” Badanku perlahan lepas dari pelukan ambu. Aku heran mengapa kepercayaan. Apa yang ambu maksud dengan kata itu? Bukankah pengkhianatan cinta sudah termasuk kepercaya
“Run ayo cepat pulang!” Tiba-tiba Natha masuk ruangan Yolanda tanpa mengetuk, tanpa permisi.“Nyelonong aja!” bentak si ibu CEO.“Gue culik Aruna dulu!” Tangan Natha langsung menarik tanganku yang sedang mengetik.Mataku hanya bisa melotot. “Maaf aku terburu-buri, cepat Sayang!” perintah Natha.Aku melihat Yolanda sebentar, ya kan masih kerja. Aku ingin profesional saja meski itu sebenarnya tidak perlu.“Pulanglah daripada gue yang pusing karena suami lu!” usir Yolanda pada kami.“Tu boleh pulang kan, cepetan!” paksa Natha.Aku bersiap-siap mematikan telepon dan Natha menerima telepon. Dia langsung keluar ruangan. Biasanya juga ada Yolanda Natha akan bersikap biasa saja. Tapi ini, apa mungkin dari Axel lagi.“Aku tungguin di kafe bawah, oke.” Natha mengacungkan ibu jarinya ke atas.Natha sudah berlalu dari hadapan kami lalu Yolandapun bertanya, “Aku? Apa dia selalu bilang begitu sama lu?”“Iya,” jawabku sembari merias tipis-tipis wajahku. “Kenapa memangnya? Aneh?”“Enggak, hanya nggak
Widya pikir dia yang telah bersama Dirga. Apa sahabatku itu lupa kalau Yolanda punya kekuasaan di atas dia?Mengapa dengan sok malah bersembunyi di dalam toilet lalu menangisi pria yang membuat dia sengsara?Yolanda dan Widya adalah dua wanita yang kencanduan akan adanya sosok pria. Mungkin harusnya aku lebih peka sedikit ketika Widya saat pernikahanku dulu memperhatikan Dirga dengan saksama.Seolah dia adalah orang yang paling terluka atas pernikahan kami? Atau mungkinkah dia sudah menjalin asmara dengan mantan suamiku itu?Segala kemungkinan ada. Hanya aku yang mencari seribu jalan itu. Sedangkan mereka bermain dengan gaya yang sok pintar. Padahal juga belum tentu memahami alur yang ada.Langkah pertama masuk ke dalam lingkaran Yolanda sudah berhasil. Selanjutkan akan menampakkan diri untuk menjauhi Natha. Meskipun, akan berat rasanya.“Run, bagaimana jadwal hari ini?” tanya si bos besar kepadaku.Aku dengan pakaian dinas yang diberikan oleh Yolanda. Atasan kemeja dengan jas serta r
Ternyata menjadi bodoh itu tidak selamanya buruk. Hanya butuh kesabaran hingga waktu akan membuka sediki demi sedikit.Aku seolah terperosok pada lingkaran yang tak berujung. Sebuah labirin tanpa jalan keluar. Mereka semua memiliki tujuan dan niat yang belum bisa ditebak semuanya.Namun, aku harus menjalankan satu per satu hal yang telah tersusun. Saatnya Aruna tampil walau masih di belakang layar. Tidak perlu untuk menonjol. Hanya membutuhkan sedikit privasi yang tidak seorang pun tahu maksudnya di belakang.Akan tetapi, aku juga harus mewasdai Niko. Dia orang yang cukup paham dengan langkah yang akan kuambil. Ya, karena dia adalah teman masa kecil.“Hi, Run,” sapa Widya saat makan siang. “Kamu masih mikirin Dir-ga?” tanya Widya. Kepalaku mengiyakan soalnya mulut ini masih terisi makan siang. “Kenapa kamu masih penasaran dengan mantan suamimu itu?”“Aku ketemu sama mas Dirga di Jakarta,” jawabku.“Ketemu? Tidak mungkin Run!” kata Widya seperti orang ketakutan.“Kenapa tidak mungkin?
Hari ini aku mengantar anak-anak sendirian. Bapaknya sedang bermanja dengan kekasih tuanya. Untung Natha membuatku mampu menyetir. Ya, aku dipaksa untuk belajar menggunakan kendaraan beroda empat meskipun aku sangat takut.Jadi ini maksudnya. Sungguh, dia adalah seorang konseptor yang sangat ulung. Membuat otakku harus mampu menari dengan hati yang berdetak kencang. Tapi baguslah! Setidaknya hal ini berguna untuk diriku.Mungkin pikiranku benar, Natha sayang sama aku. Yah meskipun aku hanyalah salah satu alat untuk dia balas dendam. Kepada Yolanda dan Dirga.Namun, yang ada di dalam pikiranku, perkataan suamiku tercinta tentang Widya. Aku tidak menyangka kalau pertengkaran mereka sampai kebencian.Sampailah mobil di parkiran. Yah masalahku dimulai. Memarkirkan mobil tanpa harus menyentuh kendaraan yang lain. Cuma, aku tidak yakin kalau otakku mampu untuk mendaratkan mobil yang Natha belikan ini dengan benar pada tempatnya.Kedua tanganku masih pada setang bundar, Kepalaku juga bersend