Beranda / Romansa / Istri Bayangan / Bab 8: Pengakuan Natha atau?

Share

Bab 8: Pengakuan Natha atau?

Penulis: Littlestar87
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 21:39:01

Sore ini, aku dan Natha ke taman. Dia yang maksa kami untuk pergi bersama. Padahal kalau lihat anak-anak sih, sudah cukup kelelahan dengan kegiatan sekolah.

Dia memakirkan mobil di dekat mainan anak-anak. Ada pelosotan, ayunan, sama jungkat-jungkit. Pinter banget ini orang membuat anak-anak bergembira lihat mainan.

Aku sudah penat sekali hari ini dengan drama dia dan Yolanda. Turun dari mobil, anak-anak bermain bertiga, sementara aku memilih untuk duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu dicat warna cokelat.

Natha duduk di samping dan seperti biasa mengeluarkan senjata yang katanya mampu membunuh stres di kepala.

Dia mengembuskan napas yang mengeluarkan asap. Aku sedikit menghindari kepulan gas yang menyesakkan hidung serta paru-paru tersebut.

Dia malah tersenyum. Tanpa ada kalimat yang keluar dari mulut masing-masing, suasana hening dan kaku.

Aku melihat anak-anak sedang main kejar-kejaran. Mereka tampak menikmati dunia yang belum tercemar masalah-masalah rumit. Seperti kami orang dewasa ini.

Semilir angin menerpa rambut. Sejuk setelah seharian harus menghadapi perilaku ibu negara yang terlalu kekanak-kanakan.

Kadang aku berpikir, makin bertambah usia, seharusnya orang akan bertambah pengalaman. Namun, Yolanda tidak termasuk dalam kategori itu.

“Lu nggak pengen tanya sesuatu?”

Aku menoleh pada pria yang menatapku lekat ini. Kepalaku hanya menggeleng saja. Mau bertanya apa tentang kehidupan dia. Aku juga tidak ingin tahu sepenuhnya.

“Gue tahu pernah jadi orang jahat. Namun, bukan berarti nggak bisa berubah, kan?”

Aku melihat orang yang berada di sampingku ini. Pria ini tampak mengusap wajahnya dengan kasar.

“Aku nggak pengen tahu, Nath,” balasku.

“Ya harus tahu! Calon istri.”

Aku memukul lengan pria yang sedang terkekeh ini. Kemudian Natha menceritakan kisah dia sebelum ke Jakarta. Seorang pemuda yang membawa harapan besar untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan bonafit.

Untungnya ada paman, adik ibunya, yang mempunyai sebuah penerbitan di ibu kota ini. Paman Natha sangat sukses sebagai pengusaha.

Hingga dia ditawari untuk bekerja di perusahaan pamannya tersebut.

Awalnya kehidupan mereka baik-baik saja. Lalu Yolanda muncul memberitahukan kalau sudah mempunyai anak dengan pamannya. Anak kembar berjenis kelamin perempuan.

Yolanda sendiri bekerja sebagai asisten paman Yolanda. Jadi orang pasti berpikir kalau mereka mempunyai hubungan gelap.

“Begitupula dengan gue. Gue pikir, Amang yang salah saat itu. Gue yang bantuin dia mendapatkan hak asuh. Namun.”

Natha tertunduk. Sesekali terdengar isakan dari mulutnya. Aku hanya dapat menggenggam jemari milik pria yang sepertinya tertekan. Menurutku sih.

Paman dan Yolanda menikah dengan restu bibinya Natha. Dari situlah awal bencana datang ke keluarga Waryanto.

Yolanda berusaha menyingkirkan bibinya dengan segala cara, bahkan dia memfitnah wanita yang terkenal dengan kelembutannya ingin membunuh dengan berbagai cara, termasuk memasukkan racun ke dalam makanan.

Tidak tanggung-tanggung, Yolanda memperlihatkan bukti bahwa bibinya bersalah dengan memberikan makanan yang ada di piringnya kepada kucing di rumah.

“Waktu itu dia sedang sakit dan memang tidur di kamar. Jadi bibi mempersiapkan makanan serta mengantarkan ke kamarnya.”

Aku yang mendengar cerita Natha malah melongo karena mirip banget dengan yang ada di platform fiksi. Namun, kalau melihat Yolanda, mungkin saja sih. Dia memang tipe orang yang arogan.

“Itu baru satu bagian cerita dari kehidupan gue di rumah Amang. Masih banyak hal yang belum gue ceritain.” Natha terhenti sejenak, kemudian melanjutkan kalimatnya lagi, “Gue butuh orang sebagai penguat Run. Gue yakin itu lu!”

“Kok aku?” tanyaku.

“Karena lu kuat!” balasnya sembari mengusap lintingan yang masih berapi dengan kakinya.

“Aku mau pulang. Kasihan anak-anak!” kataku.

Aku berdiri sebelum Natha mengatakan hal yang lebih lagi. Hatiku belum cukup kuat untuk mendengar rengekan yang menyesakkan dada ini. Aku bukan tipe orang yang tega untuk menolak permintaan dari orang yang sedang membutuhkan pertolongan.

Natha paham betul tentang hal itu. Makanya, dia mendekati diri ini. Apa aku selemah itu untuk bertindak tegas? Atau memang aku hanyalah orang bodoh yang bisa dimanfaatkan?

Akhirnya kami pulang. Sepanjang perjalanan, mataku memandang keramaian. Tanpa menoleh pada seseorang yang berada di sebelah kananku.

Aku malas saja. Dia itu terlalu cerdik untuk mendeteksi kelemahan yang dipunyai oleh orang lain.

Ketika aku melihat ke belakang, anak-anak sudah terlelap karena kelelahan. Kalaupun kami akan menikah, apakah itu akan menyelesaikan segala permasalahan yang membelenggu pria di sebelahku ini?

Menikah adalah penyatuan dua jiwa, dua kepala. Bukan hanya untung rugi, seperti dunia bisnis.

“Tolong pikirkan baik-baik, Run! Luna sudah sangat berharap kalau kamu menjadi ibunya,” ucap Natha saat kami berhenti di lampu merah.

“Tolong juga, Nath! Pikirkan baik-baik. Bukan hanya kamu dan aku. Akan ada tiga anak yang akan bergantung pada pernikahan ini. Akan ada orang tuaku. Akan ada orang tuamu juga. Lagipula aku belum paham maksudmu apa memilih aku yang baru kamu kenal beberapa bulan.”

Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. Rasanya sesak menyelimuti hati ini. Seenaknya saja membuat keputusan tanpa adanya komunikasi sedari awal. Tiba-tiba saja meminta orang untuk menjadi ibu sambung dari anaknya.

“Lalu Yolanda? Apakah kamu bisa menjamin tidak akan berhubungan lagi dengan wanita tua itu!”

Natha hanya menatapku untuk beberapa saat. Tu, kan, mana bisa dia melepaskan orang yang sudah melahirkan anak untuknya itu? Dasar Natha egois.

“Aku tidak mau Nath! Kamu bahkan tidak mau lepas dari dirinya!” ucapku ketika hendak turun dari mobil.

Kemudian aku membangunkan ketiga bocah yang berada di belakang. Kami berempat masuk ke dalam rumah.

Sampai di depan kamar, aku memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Kedua anakku langsung menuju kasur. Aku juga sangat lelah mendengar segala ocehan Natha hari ini. Aku ingin terlelap segera.

Sebelum tidur aku mau mandi, beres-beres rumah sebentar, dan istirahat. Pundakku berat sekali. Sementara kepalaku berputar terus.

“Run!” panggil seseorang saat aku mau ke kamar mandi.

“Apa lagi sih, Nath. Aku mau mandi. Capek aku sama kamu!” omelku pada pria yang mengembuskan napas.

Bodo amatlah! Aku sudah lelah sekali mendengar permintaan bodoh dia hari ini.

Setelah selesai mandi, giliran ibunya Natha yang ingin bicara padaku. Ini keluarga kompakan apa ya buat hidup orang lain makin ruwet.

“Ada apa, Bu?” tanyaku ketika melihat wanita yang sedang mondar-mandir di depan kamarku.

“Maaf, Nak. Apa bisa minta bantuan. Badan Luna panas sekali! Apa kamu bisa jagain sebentar, sementara ibu membeli obat,” ucap wanita yang terlihat sedih ini.

“Natha ke mana, Bu?” tanyaku.

“Tadi pergi setelah.” Ibunya Natha tidak melanjutkan lagi perkataannya. “Tolong jagain, Luna.”

“Ibu bisa delivery beli obatnya,” balasku.

“Ibu sudah pesan ojek online. Nanti diantar, kalau tidak memilih sendiri rasanya kurang pas.”

Aku mengangguk. Kemudian masuk ke kamar Natha. Seorang gadis sedang terbaring di ranjang. Menahan sakit.

Dia sesekali meringis dan menangis. Aku meraba dahi dan leher. Panas sekali. Lalu aku mencari termometer, kali aja ada kan di kamar Natha. Namun, nihil.

Aku keluar kamar menuju dapur untuk merebus air. Semoga membantu menurunkan panasnya Luna.

Sementara aku menunggu air matang, tanganku menelepon papanya. Terdengar nada tunggu, dan yang membuatku kaget adalah orang yang menerima telepon.

“Ada apa Run?” tanya seorang wanita di seberang.

“Siapa, Yang?” Suara Natha yang samar terdengar dari telepon.

“Aruna,” kata wanita yang sedang menerima teleponku.

“Iya, Run.” Lha ini baru bener Natha. “Ada apa?”

“Luna panas. Pulanglah!”

Kok aku malah mirip istri yang sedang diselingkuhi. Ah, tidak! Aruna, tahu sendiri kan, Natha tidak mungkin bisa berubah.

Fokus pada Luna yang panas! Aku membawa sebaskom air hangat untuk mengompres Luna. Tak lama kemudian, ibunya Natha datang membawa obat.

Syukurlah, setidaknya ada obat penurun panas yang membantu sementara.

Aku membantu ibunya Natha mengompres cucu perempuannya ini. Kami duduk berdekatan, terlihat seorang wanita dengan kerutan yang lumayan di dahinya. Mungkinkah ibunya Natha sangat memikirkan anak laki-lakinya itu?

Pastinyalah ya! Punya anak kayak Natha bikin emosi naik terus.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Bayangan   Bab 8: Pengakuan Natha atau?

    Sore ini, aku dan Natha ke taman. Dia yang maksa kami untuk pergi bersama. Padahal kalau lihat anak-anak sih, sudah cukup kelelahan dengan kegiatan sekolah.Dia memakirkan mobil di dekat mainan anak-anak. Ada pelosotan, ayunan, sama jungkat-jungkit. Pinter banget ini orang membuat anak-anak bergembira lihat mainan.Aku sudah penat sekali hari ini dengan drama dia dan Yolanda. Turun dari mobil, anak-anak bermain bertiga, sementara aku memilih untuk duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu dicat warna cokelat.Natha duduk di samping dan seperti biasa mengeluarkan senjata yang katanya mampu membunuh stres di kepala.Dia mengembuskan napas yang mengeluarkan asap. Aku sedikit menghindari kepulan gas yang menyesakkan hidung serta paru-paru tersebut.Dia malah tersenyum. Tanpa ada kalimat yang keluar dari mulut masing-masing, suasana hening dan kaku.Aku melihat anak-anak sedang main kejar-kejaran. Mereka tampak menikmati dunia yang belum tercemar masalah-masalah rumit. Seperti kami or

  • Istri Bayangan   Bab 7: Yolanda Cemburu

    Pagi ini, kantor sempat heboh karena Yolanda sudah memuntahkan lava panasnya ke semua orang.Mungkin kesambet kali ya ini orang. Kalau aku perhatikan, akhir-akhir ini sering banget wanita tua ini marah dengan cepat.Mungkinkah gara-gara? Namun, kan aku tidak punya hubungan juga dengan pacar berondongnya itu.“Cieleh, pagi-pagi sudah keramas aja tu!” ledek Mala kepadaku.Aku yang baru saja ingin membuka naskah langsung menoleh pada temanku di pojokan ruang editor ini.“Natha juga tu tadi keramas! Kalian satu rumah to!” tambah Jaka.Tanganku langsung memukulkan kamus yang tebal ke lengan pemuda yang berada di sampingku ini. Dia mengelus lengan kirinya sambil memajukan bibirnya.“Makanya jangan buat gosip aneh!” bentakku. “Eh, ibu negara kenapa kok aku datang tadi sudah marah-marah ke kalian?”Mala menggeleng, begitu juga dengan Jaka. Mereka saja tidak tahu, akunya malah kepedean. Berpikir kalau Yolanda cemburu karena aku cukup dekat dengan anaknya.“Nath, gue minta naskahnya Aruna cepat

  • Istri Bayangan   Bab 6: Luna, Si Gadis Kecil

    Saat aku pulang ke rumah, ada seorang anak kecil di depan pintu kami. Seorang gadis kecil dengan rambut panjang dan wajah yang bulat. Badan pun juga agak gembul ditambah kulit yang putih, ya Allah dia sangat cantik dan lucu.“Sedang apa, Dek?” tanyaku.Dia tampak bergerak mundur dari pintu kamarku. Sementara kedua anakku sudah tampak kelelahan.“Luna!” panggil seseorang dari dalam kamar Natha. Seorang wanita yang cukup tua aku rasa. Yang pasti bukan ibu negara.Seorang wanita tua dengan baju gamis berwarna ungu pastel keluar dari kamar Natha. Aku tersenyum kepadanya.“Maaf ya Nak, apa Luna mengganggu kalian?”“Oh, tidak Bu. Dia hanya berdiri di depan pintu saya,” jawabku.“Ayo, Luna tunggu Papa di dalam saja,” ajak wanita tersebut dengan menggandeng tangan mungil si gadis kecil.Namun, ketika aku sedang memasukkan kunci ke dalam tempatnya, dia memanggilku, “Tante Aruna, kan. Papa udah banyak cerita. Kapan-kapan kita main ya.”Aku membalikkan badan ke arah dua orang di belakang. “Iya,

  • Istri Bayangan   Bab 5: Perhatian Kecil dari Natha

    Sampai juga di kantor. Aku harus secepatnya masuk ke ruangan editor. Ada satu naskah baru yang aku tangani. Yah, meskipun amburadul tidak jelas.Namun, aku semangat untuk menorehkan namaku di dalam buku pemerintah tersebut.Siapa tahu ada orang yang ngeh gitu dengan penulis buku pelajaran yang akan dicetak untuk kepentingan satu negara tersebut.Keren juga sih Yolanda mendapatkan proyek sebagus ini. Cerdas, cantik, dan tegas, Ya Allah paket komplit memang.Pantes saja Natha mau sama wanita yang lebih tua darinya itu.“Run, dipanggil ibu negara,” kata Jaka kepadaku.Aku hanya melongo. Ibu negara? Siapa? Aku belum familiar dengan julukan di kantor ini.“Yolanda,” jawab Mala seolah tahu kebingunganku.Aku hanya menjawab heh. Buat apa coba dia memintaku ke ruangannya? Apakah ada hubungan dengan Natha pagi ini?Ah, taulah! Yang penting ke sana dulu!Setelah mengetuk pintu dan memastikan tidak ada suara yang mencurigakan, aku masuk ke ruangan. Ya, karena Yolanda sudah mempersilahkan masuk j

  • Istri Bayangan   Bab 4: Permintaan Natha

    Aku kembali ke kamar dengan membawa lauk dan nasi. Anak-anak tampaknya sangat lapar. Padahal sebelum ke sini sudah makan.Tak lama, ada yang mengetuk pintu. Aku membukanya dan ternyata pemilik perusahaan tempatku bekerja.Aku mempersilahkan dia masuk ke kamar.“Gimana Run, it’s enough?” tanyanya.“Iya, Bu. Sudah lebih dari cukup,” jawabku.“Boleh saya bicara? Saya bukan tipe yang basa-basi. Ini menyangkut Natha. Yah, seperti yang kamu tahu kalau aku dan Natha.” Yolanda terdiam untuk beberapa saat, kemudian melanjutkan perkataannya, “Jangan terlalu dekat dengan dia!”Aku yang masih mencerna kalimat dari wanita cantik ini hanya dapat tersenyum.“Maaf, Bu. Saya tidak suka mencampuri urusan orang lain?” jawabku.“Bagus. Semoga betah di rumah dan kantor,” lanjutnya.Wanita yang menjadi selingkuhan Natha tersebut lalu keluar dari kamar. Aku menemani anak-anak makan lagi.Maksudnya apa coba? Apa aku terlihat sedang menggoda pacarnya yang dingin itu? Ih, males banget.Tidak lama, Natha masuk

  • Istri Bayangan   Bab 3: Kejadian di Rumah Besar

    Aku mengetuk pintu kantor CEO perusahaan ini. Setelah ada kata yang menyatakan boleh masuk ke ruangan, aku melangkahkan kaki ke dalam. Daripada berujung nasib naas seperti tadi.“Maaf Bu Yolanda, kata Bapak Natha tadi saya disuruh ke sini,” ucapku.Wanita cantik yang sedang memakai lipstik tersebut mengangguk dan mempersilahkan aku untuk duduk di kursi.“Saya hanya ingin memberi tahu kalau ada fasilitas rumah untuk karyawan. Hanya ada 15 kamar dan sepertinya kamu membutuhkannya,” terang Bu Yolanda.“Jadi saya diberi kesempatan untuk mendapatkan fasilitas tersebut, Bu?” tanyaku untuk menyakinkan apa yang baru saja aku dengar.“Iya nanti kamu datang ke rumah saya. Minta alamat dan rute bis sama Widya dari kos kamu,” lanjut pemilik perusahaan ini.“Terima kasih, Bu,” kataku mengakhiri pembicaraan ini dan aku berpamitan pada Bu Yolanda.Ketika berada di pintu, aku berpapasan dengan Natha. Dia sedikit menyunggingkan bibir kanannya, sementara aku hanya menundukkan kepala.Ya bagaimanapun di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status