Sore ini, aku dan Natha ke taman. Dia yang maksa kami untuk pergi bersama. Padahal kalau lihat anak-anak sih, sudah cukup kelelahan dengan kegiatan sekolah.
Dia memakirkan mobil di dekat mainan anak-anak. Ada pelosotan, ayunan, sama jungkat-jungkit. Pinter banget ini orang membuat anak-anak bergembira lihat mainan.
Aku sudah penat sekali hari ini dengan drama dia dan Yolanda. Turun dari mobil, anak-anak bermain bertiga, sementara aku memilih untuk duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu dicat warna cokelat.
Natha duduk di samping dan seperti biasa mengeluarkan senjata yang katanya mampu membunuh stres di kepala.
Dia mengembuskan napas yang mengeluarkan asap. Aku sedikit menghindari kepulan gas yang menyesakkan hidung serta paru-paru tersebut.
Dia malah tersenyum. Tanpa ada kalimat yang keluar dari mulut masing-masing, suasana hening dan kaku.
Aku melihat anak-anak sedang main kejar-kejaran. Mereka tampak menikmati dunia yang belum tercemar masalah-masalah rumit. Seperti kami orang dewasa ini.
Semilir angin menerpa rambut. Sejuk setelah seharian harus menghadapi perilaku ibu negara yang terlalu kekanak-kanakan.
Kadang aku berpikir, makin bertambah usia, seharusnya orang akan bertambah pengalaman. Namun, Yolanda tidak termasuk dalam kategori itu.
“Lu nggak pengen tanya sesuatu?”
Aku menoleh pada pria yang menatapku lekat ini. Kepalaku hanya menggeleng saja. Mau bertanya apa tentang kehidupan dia. Aku juga tidak ingin tahu sepenuhnya.
“Gue tahu pernah jadi orang jahat. Namun, bukan berarti nggak bisa berubah, kan?”
Aku melihat orang yang berada di sampingku ini. Pria ini tampak mengusap wajahnya dengan kasar.
“Aku nggak pengen tahu, Nath,” balasku.
“Ya harus tahu! Calon istri.”
Aku memukul lengan pria yang sedang terkekeh ini. Kemudian Natha menceritakan kisah dia sebelum ke Jakarta. Seorang pemuda yang membawa harapan besar untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan bonafit.
Untungnya ada paman, adik ibunya, yang mempunyai sebuah penerbitan di ibu kota ini. Paman Natha sangat sukses sebagai pengusaha.
Hingga dia ditawari untuk bekerja di perusahaan pamannya tersebut.
Awalnya kehidupan mereka baik-baik saja. Lalu Yolanda muncul memberitahukan kalau sudah mempunyai anak dengan pamannya. Anak kembar berjenis kelamin perempuan.
Yolanda sendiri bekerja sebagai asisten paman Yolanda. Jadi orang pasti berpikir kalau mereka mempunyai hubungan gelap.
“Begitupula dengan gue. Gue pikir, Amang yang salah saat itu. Gue yang bantuin dia mendapatkan hak asuh. Namun.”
Natha tertunduk. Sesekali terdengar isakan dari mulutnya. Aku hanya dapat menggenggam jemari milik pria yang sepertinya tertekan. Menurutku sih.
Paman dan Yolanda menikah dengan restu bibinya Natha. Dari situlah awal bencana datang ke keluarga Waryanto.
Yolanda berusaha menyingkirkan bibinya dengan segala cara, bahkan dia memfitnah wanita yang terkenal dengan kelembutannya ingin membunuh dengan berbagai cara, termasuk memasukkan racun ke dalam makanan.
Tidak tanggung-tanggung, Yolanda memperlihatkan bukti bahwa bibinya bersalah dengan memberikan makanan yang ada di piringnya kepada kucing di rumah.
“Waktu itu dia sedang sakit dan memang tidur di kamar. Jadi bibi mempersiapkan makanan serta mengantarkan ke kamarnya.”
Aku yang mendengar cerita Natha malah melongo karena mirip banget dengan yang ada di platform fiksi. Namun, kalau melihat Yolanda, mungkin saja sih. Dia memang tipe orang yang arogan.
“Itu baru satu bagian cerita dari kehidupan gue di rumah Amang. Masih banyak hal yang belum gue ceritain.” Natha terhenti sejenak, kemudian melanjutkan kalimatnya lagi, “Gue butuh orang sebagai penguat Run. Gue yakin itu lu!”
“Kok aku?” tanyaku.
“Karena lu kuat!” balasnya sembari mengusap lintingan yang masih berapi dengan kakinya.
“Aku mau pulang. Kasihan anak-anak!” kataku.
Aku berdiri sebelum Natha mengatakan hal yang lebih lagi. Hatiku belum cukup kuat untuk mendengar rengekan yang menyesakkan dada ini. Aku bukan tipe orang yang tega untuk menolak permintaan dari orang yang sedang membutuhkan pertolongan.
Natha paham betul tentang hal itu. Makanya, dia mendekati diri ini. Apa aku selemah itu untuk bertindak tegas? Atau memang aku hanyalah orang bodoh yang bisa dimanfaatkan?
Akhirnya kami pulang. Sepanjang perjalanan, mataku memandang keramaian. Tanpa menoleh pada seseorang yang berada di sebelah kananku.
Aku malas saja. Dia itu terlalu cerdik untuk mendeteksi kelemahan yang dipunyai oleh orang lain.
Ketika aku melihat ke belakang, anak-anak sudah terlelap karena kelelahan. Kalaupun kami akan menikah, apakah itu akan menyelesaikan segala permasalahan yang membelenggu pria di sebelahku ini?
Menikah adalah penyatuan dua jiwa, dua kepala. Bukan hanya untung rugi, seperti dunia bisnis.
“Tolong pikirkan baik-baik, Run! Luna sudah sangat berharap kalau kamu menjadi ibunya,” ucap Natha saat kami berhenti di lampu merah.
“Tolong juga, Nath! Pikirkan baik-baik. Bukan hanya kamu dan aku. Akan ada tiga anak yang akan bergantung pada pernikahan ini. Akan ada orang tuaku. Akan ada orang tuamu juga. Lagipula aku belum paham maksudmu apa memilih aku yang baru kamu kenal beberapa bulan.”
Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. Rasanya sesak menyelimuti hati ini. Seenaknya saja membuat keputusan tanpa adanya komunikasi sedari awal. Tiba-tiba saja meminta orang untuk menjadi ibu sambung dari anaknya.
“Lalu Yolanda? Apakah kamu bisa menjamin tidak akan berhubungan lagi dengan wanita tua itu!”
Natha hanya menatapku untuk beberapa saat. Tu, kan, mana bisa dia melepaskan orang yang sudah melahirkan anak untuknya itu? Dasar Natha egois.
“Aku tidak mau Nath! Kamu bahkan tidak mau lepas dari dirinya!” ucapku ketika hendak turun dari mobil.
Kemudian aku membangunkan ketiga bocah yang berada di belakang. Kami berempat masuk ke dalam rumah.
Sampai di depan kamar, aku memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Kedua anakku langsung menuju kasur. Aku juga sangat lelah mendengar segala ocehan Natha hari ini. Aku ingin terlelap segera.
Sebelum tidur aku mau mandi, beres-beres rumah sebentar, dan istirahat. Pundakku berat sekali. Sementara kepalaku berputar terus.
“Run!” panggil seseorang saat aku mau ke kamar mandi.
“Apa lagi sih, Nath. Aku mau mandi. Capek aku sama kamu!” omelku pada pria yang mengembuskan napas.
Bodo amatlah! Aku sudah lelah sekali mendengar permintaan bodoh dia hari ini.
Setelah selesai mandi, giliran ibunya Natha yang ingin bicara padaku. Ini keluarga kompakan apa ya buat hidup orang lain makin ruwet.
“Ada apa, Bu?” tanyaku ketika melihat wanita yang sedang mondar-mandir di depan kamarku.
“Maaf, Nak. Apa bisa minta bantuan. Badan Luna panas sekali! Apa kamu bisa jagain sebentar, sementara ibu membeli obat,” ucap wanita yang terlihat sedih ini.
“Natha ke mana, Bu?” tanyaku.
“Tadi pergi setelah.” Ibunya Natha tidak melanjutkan lagi perkataannya. “Tolong jagain, Luna.”
“Ibu bisa delivery beli obatnya,” balasku.
“Ibu sudah pesan ojek online. Nanti diantar, kalau tidak memilih sendiri rasanya kurang pas.”
Aku mengangguk. Kemudian masuk ke kamar Natha. Seorang gadis sedang terbaring di ranjang. Menahan sakit.
Dia sesekali meringis dan menangis. Aku meraba dahi dan leher. Panas sekali. Lalu aku mencari termometer, kali aja ada kan di kamar Natha. Namun, nihil.
Aku keluar kamar menuju dapur untuk merebus air. Semoga membantu menurunkan panasnya Luna.
Sementara aku menunggu air matang, tanganku menelepon papanya. Terdengar nada tunggu, dan yang membuatku kaget adalah orang yang menerima telepon.
“Ada apa Run?” tanya seorang wanita di seberang.
“Siapa, Yang?” Suara Natha yang samar terdengar dari telepon.
“Aruna,” kata wanita yang sedang menerima teleponku.
“Iya, Run.” Lha ini baru bener Natha. “Ada apa?”
“Luna panas. Pulanglah!”
Kok aku malah mirip istri yang sedang diselingkuhi. Ah, tidak! Aruna, tahu sendiri kan, Natha tidak mungkin bisa berubah.
Fokus pada Luna yang panas! Aku membawa sebaskom air hangat untuk mengompres Luna. Tak lama kemudian, ibunya Natha datang membawa obat.
Syukurlah, setidaknya ada obat penurun panas yang membantu sementara.
Aku membantu ibunya Natha mengompres cucu perempuannya ini. Kami duduk berdekatan, terlihat seorang wanita dengan kerutan yang lumayan di dahinya. Mungkinkah ibunya Natha sangat memikirkan anak laki-lakinya itu?
Pastinyalah ya! Punya anak kayak Natha bikin emosi naik terus.
“Ada apa?” tanyaku pada seorang wanita yang mungkin siap untuk melempar granat dari mulutnya.“Gue sudah tahu kalau sama lu, Natha pasti celaka. Sama seperti Dirga!” Dia menaikkan satu oktaf lebih tinggi dari nada semula.Namun, aku tetap akan memasang wajah yang akan dia benci sekaligus ingat.“Lagipula, yang melakukan ini juga anak buah yang paling kamu banggakan itu, Yolanda,” kataku dengan nada yang tetap dingin.Kami berdiri saling berhadapan. Mata kami saling menatap. Ada semburat merah yang merekah di kedua indra penglihatan wanita yang memakai blouse pink itu.Dia ingin mendominasi situasi yang memanas ini, tapi bukan Aruna kalau tidak akan membuat api yang membakar hatinya itu bertambah meletup.Natha benar, dia licik. Akan tetapi, suamiku mungkin lupa kalau air yang dapat memadamkan api adalah cinta yang tak berujung.Bukankah akan menarik untuk memanfaatkan hasrat yang belum sepenuhnya berakhir itu?“Lu janji Run tinggalin dia! Apapun keadaannya!” teriaknya sekali lagi sebe
“Bagaimana keadaan Natha?” tanya ambu padaku.Aku menggeleng. Tidak dapat berkata apa pun. Sandy kemudian mendekat kepada bibinya. “Doakan Natha Bi. Biar dia kuat!”Aku menelepon Sandy untuk menolong kami. Karena hanya dia yang bisa aku percayai saat ini. Dia bukan orang jahat yang ingin menghancurkan diriku atau Natha.Ambu datang kepadaku dan memeluk tubuh yang hampir jatuh ini. “Kamu yang kuat Run! Kuat! Hanya kamu yang Natha inginkan saat dia bangun!” Tangan ambu mengusap punggung yang bergoyang menahan sesak di dada.Air mataku mungkin sudah membasahi baju ambu. Ambu tetap mengusap punggung ini seraya berkata, “Maafkan kami Aruna! Kami yang memasukkan kamu ke dalam lingkaran ini. Namun, yakinlah Dirga adalah orang yang telah mengkhianati dirimu. Bukan hanya soal cinta, tetapi juga uang dan kepercayaan.”“Kepercayaan?” Badanku perlahan lepas dari pelukan ambu. Aku heran mengapa kepercayaan. Apa yang ambu maksud dengan kata itu? Bukankah pengkhianatan cinta sudah termasuk kepercaya
“Run ayo cepat pulang!” Tiba-tiba Natha masuk ruangan Yolanda tanpa mengetuk, tanpa permisi.“Nyelonong aja!” bentak si ibu CEO.“Gue culik Aruna dulu!” Tangan Natha langsung menarik tanganku yang sedang mengetik.Mataku hanya bisa melotot. “Maaf aku terburu-buri, cepat Sayang!” perintah Natha.Aku melihat Yolanda sebentar, ya kan masih kerja. Aku ingin profesional saja meski itu sebenarnya tidak perlu.“Pulanglah daripada gue yang pusing karena suami lu!” usir Yolanda pada kami.“Tu boleh pulang kan, cepetan!” paksa Natha.Aku bersiap-siap mematikan telepon dan Natha menerima telepon. Dia langsung keluar ruangan. Biasanya juga ada Yolanda Natha akan bersikap biasa saja. Tapi ini, apa mungkin dari Axel lagi.“Aku tungguin di kafe bawah, oke.” Natha mengacungkan ibu jarinya ke atas.Natha sudah berlalu dari hadapan kami lalu Yolandapun bertanya, “Aku? Apa dia selalu bilang begitu sama lu?”“Iya,” jawabku sembari merias tipis-tipis wajahku. “Kenapa memangnya? Aneh?”“Enggak, hanya nggak
Widya pikir dia yang telah bersama Dirga. Apa sahabatku itu lupa kalau Yolanda punya kekuasaan di atas dia?Mengapa dengan sok malah bersembunyi di dalam toilet lalu menangisi pria yang membuat dia sengsara?Yolanda dan Widya adalah dua wanita yang kencanduan akan adanya sosok pria. Mungkin harusnya aku lebih peka sedikit ketika Widya saat pernikahanku dulu memperhatikan Dirga dengan saksama.Seolah dia adalah orang yang paling terluka atas pernikahan kami? Atau mungkinkah dia sudah menjalin asmara dengan mantan suamiku itu?Segala kemungkinan ada. Hanya aku yang mencari seribu jalan itu. Sedangkan mereka bermain dengan gaya yang sok pintar. Padahal juga belum tentu memahami alur yang ada.Langkah pertama masuk ke dalam lingkaran Yolanda sudah berhasil. Selanjutkan akan menampakkan diri untuk menjauhi Natha. Meskipun, akan berat rasanya.“Run, bagaimana jadwal hari ini?” tanya si bos besar kepadaku.Aku dengan pakaian dinas yang diberikan oleh Yolanda. Atasan kemeja dengan jas serta r
Ternyata menjadi bodoh itu tidak selamanya buruk. Hanya butuh kesabaran hingga waktu akan membuka sediki demi sedikit.Aku seolah terperosok pada lingkaran yang tak berujung. Sebuah labirin tanpa jalan keluar. Mereka semua memiliki tujuan dan niat yang belum bisa ditebak semuanya.Namun, aku harus menjalankan satu per satu hal yang telah tersusun. Saatnya Aruna tampil walau masih di belakang layar. Tidak perlu untuk menonjol. Hanya membutuhkan sedikit privasi yang tidak seorang pun tahu maksudnya di belakang.Akan tetapi, aku juga harus mewasdai Niko. Dia orang yang cukup paham dengan langkah yang akan kuambil. Ya, karena dia adalah teman masa kecil.“Hi, Run,” sapa Widya saat makan siang. “Kamu masih mikirin Dir-ga?” tanya Widya. Kepalaku mengiyakan soalnya mulut ini masih terisi makan siang. “Kenapa kamu masih penasaran dengan mantan suamimu itu?”“Aku ketemu sama mas Dirga di Jakarta,” jawabku.“Ketemu? Tidak mungkin Run!” kata Widya seperti orang ketakutan.“Kenapa tidak mungkin?
Hari ini aku mengantar anak-anak sendirian. Bapaknya sedang bermanja dengan kekasih tuanya. Untung Natha membuatku mampu menyetir. Ya, aku dipaksa untuk belajar menggunakan kendaraan beroda empat meskipun aku sangat takut.Jadi ini maksudnya. Sungguh, dia adalah seorang konseptor yang sangat ulung. Membuat otakku harus mampu menari dengan hati yang berdetak kencang. Tapi baguslah! Setidaknya hal ini berguna untuk diriku.Mungkin pikiranku benar, Natha sayang sama aku. Yah meskipun aku hanyalah salah satu alat untuk dia balas dendam. Kepada Yolanda dan Dirga.Namun, yang ada di dalam pikiranku, perkataan suamiku tercinta tentang Widya. Aku tidak menyangka kalau pertengkaran mereka sampai kebencian.Sampailah mobil di parkiran. Yah masalahku dimulai. Memarkirkan mobil tanpa harus menyentuh kendaraan yang lain. Cuma, aku tidak yakin kalau otakku mampu untuk mendaratkan mobil yang Natha belikan ini dengan benar pada tempatnya.Kedua tanganku masih pada setang bundar, Kepalaku juga bersend