Share

Ch-6. Tuan Besar Memanggil

"Zara."

Mendengar suara dari belakang, membuat Yuki menoleh. Dia hanya mengangkat sebelah alisnya ketika melihat ibu mertuanya mendekat padanya. 

Tidak. 

Lebih tepatnya pada wanita di depannya.

Yuki masih berdiri diam, kali ini terlihat santai dengan melipat tangan di dada. 

'Jadi, namanya Zara? Kenapa hanya beda satu alfabet dengan namaku?' gumamnya dalam hati mendadak kesal.

"Tante," sahut Zara mulai tersenyum, membalas pelukan ibu Dante bahkan mengecup pipi singkat.

"Apa kamu datang untuk menemui Dante? Aku yakin kamu pasti merindukannya setelah lama tidak bertemu," tutur Chantria bersikap seolah hanya ada Zara di depannya.

Hal ini membuat Yuki memutar bola matanya malas. Dia berdehem, sampai dua wanita berbeda usia di depannya itu memperhatikannya.

Chantria mengerutkan dahi. "Kenapa masih di sini? Sana pergi!"

"Kukira Mama menyusul ke sini untuk ikut bersamaku menemui Aiden," jawab Yuki menunjukkan wajah polosnya tanpa tahu malu.

Melihat wajah Chantria mulai merah karena marah, Yuki hanya terkekeh pelan. Dia mengangkat kedua bahunya acuh, sebelum kembali berjalan untuk pergi dari sana. 

Tapi tepat ketika dia berpapasan dengan Zara, Yuki menghentikan langkah.

"Dante sudah menikah, tolong jangan menjadi setan untuk merusak rumah tangganya," bisiknya pelan. 

"Kau…!" 

Dia tersenyum lalu kembali melanjutkan langkah, mengabaikan Zara yang menggeram dan decakan kesal Chantria. 

Entah kenapa, Yuki malah menikmati hari-harinya yang kini akan berubah karena mendapatkan banyak lawan.

Saat sampai di lantai dua, Yuki tak sengaja bertemu dengan ayah mertuanya. Dia hanya berwajah datar, ketika Wira menatapnya tajam seperti apa yang dilakukan Chantria tadi.

"Aku yakin tidak sampai sebulan aku akan menjadi gila di rumah ini," gumamnya mendesah kasar. Yuki memegangi kepalanya dengan satu tangan lain bertolak pinggang.

"Yuki, ada apa?" 

Panggilan itu membuat Yuki menoleh. Tersenyum saat mendapati Dante menghampirinya. "Tidak ada apa-apa, Dante. Hanya saja … ibumu benar-benar menyebalkan." 

Dante terkekeh–mengangkat kedua bahunya–sambil mengiringi langkah Yuki menuju kamar. "Begitulah, kamu akan menghadapinya setiap hari." 

"Astaga!" decak Yuki lirih–menghela napas panjang.

"Jika kesabaranku habis, jangan salahkan aku untuk menceburkannya di kolam." Penuturan Yuki malah semakin membuat Dante tertawa. 

Mereka sampai di kamar. Seorang pelayan sedang menggendong Aiden yang tampak rewel. 

Melihat itu, Yuki langsung menghampiri dengan wajah seriusnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya cemas. 

"Tuan kecil sepertinya haus, Nyonya." 

"Baiklah, kamu boleh pergi sekarang. Terima kasih," tutur Yuki langsung membawa Aiden ke ranjang. 

Dante yang sejak tadi terus memperhatikan, lama-lama mulai menegang. "Apa kamu akan menyusui Aiden?" tanyanya dengan suara sedikit tercekat. 

Melihat Yuki mengangguk, Dante segera menunduk. "Kalau begitu aku akan keluar." 

"Kenapa harus keluar?" tanya Yuki tiba-tiba. 

Dante berdehem dengan sikap yang canggung. "Aku masih mempunyai wibawa untuk tidak melihatmu menyusui di depanku. Kamu pasti akan malu dan–" 

Dia tak meneruskan ucapannya, ketika Yuki malah tertawa. Hal ini membuat Dante mengangkat sebelah alisnya heran. 

"Aku memakai botol, Dante." Yuki menjawab setelah berhasil menguasai diri. "Aku tidak menyusui dengan"--wanita itu berdehem–"payudara." 

"Itu tidak keluar," imbuhnya bercicit pelan. 

Bibir Dante terbuka dengan sikap melongo. Tak menyangka jika Yuki akan blak-blakan meskipun dengan sikap yang malu-malu. 

Akhirnya lelaki itu tersadar. Dia terbatuk sekilas sebelum memberanikan diri mendekati Yuki. "Kalau begitu, mana botolnya agar aku bisa membantumu membuatkan susu." 

Yuki diam-diam merasa lucu dengan sikap Dante. "Memangnya kamu bisa?" 

"Kamu akan mengajariku, Yuki. Bukankah Aiden sekarang menjadi anakku?" 

Jawaban Dante membuat Yuki terdiam dengan tatapan yang rumit. Selama beberapa saat, dia hanya menatap Dante lekat tanpa bergerak. 

'Andai kamu tahu kebohongan ini, apakah kamu bisa bersikap baik seperti itu, Dante?' tanyanya dalam hati–terluka. 

"Yuki." 

Panggilan Dante membuatnya tersadar akan lamunan. Dia cepat-cepat bangun, membawa Aiden ke ranjang lalu mengambil botol yang ada di nakas meja. 

Yuki mencari tasnya, berniat mengambil susu formula untuk Aiden. Tapi hampir semua isinya keluar, dia sama sekali tak menemukannya. 

Dia terdiam–ketika ingatan tentang penjambretan kemarin muncul. 

"Yuki, ada apa?" Dante mendekat–melihat Yuki tampak aneh. 

"Aku baru ingat, susu formulanya ada di tas yang dijambret kemarin. Semalam Aiden hanya minum air, pantas saja dia sangat rewel." Yuki mendesah. "Astaga, bisa-bisanya aku lupa."

"Aiden sayang, maafkan Mama." 

Yuki mendekati Aiden, dan kembali menggendongnya. 

"Susu apa yang biasa dipakai Aiden? Aku akan membelikannya sekarang," kata Dante kemudian. 

"Benarkah?" Melihat Dante mengangguk, Yuki segera menyebutkan merek susu formula yang diminum Aiden. 

Dante mengangguk, segera bersiap untuk keluar. Tapi, tepat ketika dia membuka pintu–seorang pelayan berdiri dengan sikap tergesa-gesa sambil mengangkat tangan seolah bersiap untuk mengetuk. 

"Ada apa?" tanya Dante curiga. 

"Tuan Besar memanggil Anda dan Nona Yuki untuk turun ke bawah," jawab pelayan itu sambil menunduk. 

Alis Dante berkerut dalam. Dia baru saja bertemu kakeknya, membahas tentang pernikahannya yang tak dimasalahkan dan juga soal kembalinya dia untuk mengambil alih perusahaan. 

Untuk apa memanggilnya lagi? 

"Di bawah ada keluarga Larsson juga, Tuan Muda." 

Ah…. 

Ternyata itu alasannya. 

Kini Dante paham. Ternyata pembicaraan semalam masih juga belum menyelesaikan masalah. Dia mengangguk, lalu menoleh ke belakang untuk menatap istrinya. 

"Yuki." 

Tangan Dante terulur–seolah meminta wanita itu menyambutnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status