Share

Ch-8. Tamparan Chantria

Yuki bisa merasakan, genggaman tangan Dante semakin erat. Saat dia mendongak, dia menyadari jika raut wajah Dante berubah menjadi geram. 

Sebelum lelaki itu menghardik meluapkan emosinya, Yuki dengan cepat berbalik dan menatap Zara tajam. 

"Kamu mengancam suamiku, Zara?" tanyanya cepat–menghentikan Dante yang sudah membuka mulut. 

"Aku tak ada urusannya denganmu, lebih baik enyahlah!" hardik Zara masih keras kepala. 

Tampak, orang tua Zara berusaha menenangkan. Tetapi, Zara langsung mundur dan keukeuh menempelkan gunting pada pergelangan tangannya. 

Sedangkan Chantria, ikut gugup. Begitu pula dengan Wira yang ikut tegang. 

Hanya Praja Atmaja yang masih duduk, seolah tak terusik dengan kejadian di hadapannya. 

Yuki mendongak angkuh. "Kamu salah, tentu saja ini ada urusannya denganku. Dante adalah suamiku yang sah!" Dia menekan kata-kata terakhir dengan menggeram rendah. "Apapun yang mengusik Dante, maka itu akan mengusikku juga." 

Wanita itu tak membiarkan Zara menjawab, langsung segera melanjutkan ucapannya. "Jika kamu ingin bunuh diri, bunuh diri saja sekarang. Dante tak akan menghentikan. Dia sudah mempunyai aku sebagai istrinya, dan juga anak kami, Aiden. Sikapmu ini hanya buang-buang waktu saja. Tetapi, jika kamu masih keras kepala dan tak percaya. Silahkan saja. Gores saja pergelangan tanganmu dan mati di sini."

Mata Yuki menatap Zara tajam tanpa berkedip. Dia menantang mantan calon tunangan Dante itu, penuh percaya diri. 

Melihat Zara gemetar, Yuki akhirnya terkekeh pelan. "Aku tahu kamu hanya menghardik saja," pukasnya sinis. Lalu menoleh pada Dante dengan senyuman menawan. "Ayo!" ajaknya kembali menggandeng Dante–berniat mengajaknya pergi dari sana. 

"Dante!" 

Namun, belum sempat mereka melangkah menjauh. Zara sudah menancapkan gunting tersebut pada tangannya, dan kini darah mulai merembes dari goresan tersebut. 

"Oh, Ya Tuhan … Zara!" teriak Chantria panik. 

Semua orang tampak terkejut dengan sikap nekat Zara yang di luar batas. 

Dante pun tampak terkesiap, dia hampir saja melangkah maju untuk menghampiri ketika Yuki menarik tangannya. 

Melihat Yuki menggeleng pelan, membuat Dante akhirnya berdiri diam menuruti wanita itu. 

"Cepat panggil ambulance!" Larsson berteriak, sambil menggendong tubuh Zara. Istrinya mengikuti dari belakang–mengamankan gunting yang baru saja dipakai anaknya. 

Wira segera mengikuti, begitu pula dengan Chantria. Tetapi, saat tiba di hadapan Dante dan Yuki, dia menghentikan langkah. 

Plak!!! 

Tangan Chantria terulur untuk melayangkan sebuah tamparan pada Yuki. "Lain kali jaga mulutmu itu, atau akan kujahit agar kamu tak bisa lagi berbicara!" hardiknya dengan suara lantang. 

Yuki masih terdiam, sampai ibu mertuanya itu pergi. Barulah dia mengangkat wajah, untuk memberikan Dante senyuman yang menatapnya dengan cemas. 

"Aku baik-baik saja, jangan khawatir," tuturnya menenangkan. 

Sekilas Yuki menoleh, dan matanya bersibobok dengan Praja. Kakek Dante itu menatapnya datar dengan sorot mata penuh kerumitan. Lalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. 

"Astaga, Yuki!" Dante tampak mendesah–merebut Aiden ke dalam gendongannya–lalu menuntun Yuki untuk duduk. 

Dante berteriak memanggil salah satu pelayan rumah, menyerahkan Aiden agar ditenangkan. Tak lupa juga menyuruh membelikan susu formula untuk Aideen agar tak lagi rewel. 

Setelah bayi Yuki aman, barulah Dante sepenuhnya fokus pada istrinya itu. 

"Maafkan ibuku, dia pasti terbawa emosi dan–" 

"Dante!" 

Yuki memotong ucapan Dante, dan menatap lelaki itu lekat. 

"Jangan meminta maaf, aku baik-baik saja. Lagipula, ini memang resikoku." Yuki tersenyum lirih. 

Dante menghela napas panjang. "Ya, kamu memang sedikit bar-bar tadi," katanya–mengangguk-anggukkan kepala pelan. 

"Kamu yang memintaku tegas agar tak mudah ditindas. Jadi jangan kaget, kedepannya sikapku akan lebih menjengkelkan," ujar Yuki terkekeh. 

Pembicaraan mereka terhenti ketika seorang pelayan membawakan pesanan Dante–sebaskom air dingin dan juga handuk kecil. 

Dante menerimanya, dengan telaten dia mengompres pipi Yuki yang terlihat merah. Sesekali dia mengerutkan dahi, saat Yuki meringis kesakitan. 

Saking fokusnya mengobati Yuki, Dante sampai tak sadar jika jarak di antara mereka memupus dan tinggal beberapa senti saja. 

Saat mendongak, Dante bisa melihat mata Yuki dengan begitu dekat. Mata indah itu juga menatapnya lekat, yang membuatnya sampai menahan napas. 

"Dante," lirih Yuki dengan jantung yang berdebar, ketika tangan Dante membelai bibirnya. "Y-yang terluka pipiku, bukan di bibir," cicitnya pelan dengan senyuman paksa. 

Hal ini membuat Dante akhirnya kembali dari kenyataan. Dia menarik tangannya cepat, tampak gugup dan salah tingkah dengan sikapnya sendiri yang tak dia sadari. 

Lelaki itu bahkan terbatuk beberapa kali, untuk menyamarkan detak jantungnya yang berdegup liar. "Maafkan aku," katanya-mengulurkan handuk tanpa menatap Yuki sedikit pun. 

Yuki menerimanya. "Terima kasih." 

Hampir beberapa saat, Dante tak lagi berbicara. Dia menenangkan dirinya, yang sudah seperti orang tak normal akibat berdekatan dengan Yuki. 

Barulah saat Yuki menyelesaikan kompresannya sendiri, Dante memberanikan diri berbicara, "Aku akan membelikan salep agar pipimu tak lebam membiru." 

Melihat Dante berdiri, reflek Yuki mencekal tangan Dante. "Tidak usah!" katanya cepat menahan Dante. 

Dante terkesiap, begitu pula dengan Yuki yang terkejut dengan responnya yang di luar nalar. Keduanya saling tatap dengan lekat dan Yuki masih menggenggam tangan Dante erat. 

"Dante!" 

Teriakan itu membuat keduanya sadar, dan langsung melepaskan diri masing-masing dengan gugup. Yuki ikut berdiri, melihat Wira mendatangi mereka. 

"Kenapa masih di sini? Cepat ke rumah sakit sekarang!" hardik Wira marah. "Ajak istrimu yang tidak berpendidikan itu agar bertanggung jawab dengan keadaan Zara!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status