Istri Bayaran Sang Opa Menawan
Bab 7 : Bertemu Teman SMA
Kutatap mobil Si Opa jutek yang telah sah menjadi suamiku itu, mobil hitam itu kian menjauh pergi. Sedikit ngeri dengan ancamannya tadi, dasar aki-aki bau tanah. Amit-amit, jangan dulu deh.
Dengan langkah anggun layaknya seorang gadis yang kaya raya, aku melangkah memasuki pintu gerbang Universitas Harapan Nusantara--salah satu Universitas terbaik di kotaku. Berjalan menyusuri koridor kampus dan melewati beberapa mahasiswa dan mahasiswi.
Hari ini aku akan mendaftar ulang karena aku sudah resmi diterima di Fakultas Ilmu manajemen dengan jurusan Management Bisnis. Aku ingin sekali bisa bekerja di kantoran. Karena itu adalah impianku sejak lama.
Rasanya bekerja di sebuah kantor adalah sebuah pencapaian dan pekerjaan yang luar bisa. Bergengsi dan juga terlihat sangat keren. Pergi bekerja memakai jas, berdandan rapi dan duduk di kursi yang empuk. Aku benar-benar ingin mengubah hidupku secara total. Itulah sebabnya aku mengambil jurusan ini.
Usai melakukan daftar ulang, aku keluar dari ruangan dengan langkah gontai. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku masih tak percaya dengan pencapaianku yang sekarang. Akhirnya bisa juga melanjutkan studi di kampus ternama di kota ini.
Wah, aku masih tak menyangka dengan semua ini. Akhirnya, impianku yang terdengar sangat mustahil dulu, kini bisa kuwujudkan. Aku sangat senang sekali. Namun, aku belum sepenuhnya bangga dengan diri ini, karena masih ada hal lain yang belum tercapai.
Tanpa sadar, aku menarik sudut bibirku dan melengkung sempurna. Aku menghirup napas dalam-dalam karena rasa haru bercampur bahagia.
Aku melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Derap langkahku berdentang di lantai. Sambil menenteng mini bag yang baru dibelikan Opa Jhon kemarin, aku berjalan dengan sangat anggun.
Kini penampilan dan gaya hidupku sudah jauh berubah, jadi sudah saatnya pula aku mengubah cara jalan dan bersikap agar tetap terlihat elegan dan berwibawa. Itulah prinsipku saat ini. Aku tidak ingin menjadi Lolyta yang dulu, seorang wanita yang lemah dan selalu dibully terus.
Saat asyik berjalan, aku melihat sepasang orang yang tidak asing di mataku. Aku mencoba memanggilnya, tetap dengan suara yang anggun. Dua orang itu menoleh dan segera menghampiriku. Kubuka kacamata hitam yang bertengger di telingaku.
“Lolyta!” seru Intan dan Bagas dengan kompak.
“Kamu Lolyta 'kan?” tanya Intan lagi yang seolah memastikan bahwa wanita yang di hadapannya kini benar Lolyta--temannya semasa SMA dulu.
Mulut mereka sempat melongo untuk beberapa saat dan mata mereka pun melotot melihatku. Ada keterkejutan di wajah mereka.
“Ya. Ini aku Lolyta. Kalian kenapa?”
Intan dan Bagas segera tersadar. Mereka pun mengerjap beberapa kali. Aku mendengus dan tersenyum miring sambil memalingkan wajah ke arah lain.
“Wah, kamu beda banget sekarang.” Sorot mata Intan dan Bagas menyiratkan kekaguman dan keheranan.
“Iya, Loly, beda banget. Lihat ini penampilan kamu, glamour sekali. Pakaian kamu bagus banget lagi,” puji Intan.
Aku hanya tersenyum tipis saja. Wajar mereka melihatku seperti itu karena memang tampilanku yang sekarang sangat berbeda jauh dengan yang dulu. Dulu kuakui tubuh dan wajah ini memang sangat kumal dan tidak terurus. Bagaimana ingin merawat diri, sementara untuk kebutuhan makan dan mandi saja masih tercekat. Yeah, Lolyta yang memang miskin banget.
“Ah, biasa aja. Oh iya, kalian ngapan ke sini? Kuliah di sini juga?” tanyaku basa-basi.
“Iya, Lol, kami kuliah di sini melalui jalur beasiswa. Kamu sendiri ngapain? Jangan-jangan kuliah di sini juga, ya?” tebak Intan dengan antusias.
Aku mengangguk. “Iya, aku juga kuliah di sini.”
“Wah gak nyangka kita bisa satu kampus,” potong Bagas cepat.
Aku hanya tersenyum saja.
Mereka terlihat sangat senang ketika mengetahui bahwa kami satu universitas.
“Kamu kok bisa berubah drastis begini, Lol?”
“Kita ke kantin aja yuk. Ngobrol-ngobrolnya di kantin aja. Aku akan bercerita di sana,” ujarku pada Intan dan Bagas.
“Boleh tuh,” sahut Intan sambil menyenggol lengan Bagas.
“Ya udah ayo!” timpal Bagas dan kami bertiga pun beranjak menuju kantin.
Meski aku bertemu teman SMA dan bahkan satu kampus juga di sini, aku tetap tidak akan pernah berubah dan kembali menjadi Lolyta yang dulu. Aku tetap pada pendirianku, good bye Lolyta dekil dan udik. Yihaaa ... hati ini jingkrak-jingkrak jadinya.
Bersambung ...
Bab 63 : Selamat“Lolyta, ayo. Kita gak punya waktu banyak.” Xeon masih terus memaksaku. Bukannya aku tidak mau beranjak dari tempat ini. Namun, aku takut di pertengahan jalan nanti dia malah pingsan atau malah bisa kenapa-kenapa. Sungguh, pasti aku akan semakin panik kalau sampai itu terjadi. “Tapi keadaanmu sekarang lagi demam, Xeon.” “Sudahlah, aku sudah tidak apa-apa. Kamu lihat kan, aku baik-baik saja sekarang. Ayo!” imbuh Xeon dengan sedikit memaksa. Aku tahu itu. Tanpa aba-aba, Xeon pun langsung menggandeng tanganku. Mungkin saja dia tidak sabar menunggu jawaban setuju dariku lagi. Akan tetapi ... tunggu dulu, apa ini? Xeon menggandeng tanganku? Apa-apaan dia ini? Kenapa tanganku mesti harus digandeng segala sih sama dia? Ingin sekali rasanya kutepis tangan Xeon. Sebab ini seperti mencari kesempatan dalam kesempitan. Akan tetapi, akal sehatku menyuruh untuk selalu berpikiran yang positif saja. Karena dia masih dalam kondisi sedang demam. Jadi anggap saja bahwa Xeon itu ta
Bab 62 : Dia DemamDengan terpaksa aku membuka mata karena merasa silau dengan sinar matahari, yang menyelusup dari celah-celah pohon mengenai tepat ke arah mataku. Untuk beberapa saat, nyawaku separuh masih melayang belum terkumpul semua. Kulihat Xeon sudah meringkuk di atas pangkuanku. Kurang ajar sekali dia, berani-beraninya, lancang sekali dia tidur di pangkuan. Dia gunain kesempatan ini rupanya, ya! Lihat saja kamu, ya. Hati ini amat dongkol melihat tingkahnya.Aku hendak membangunkannya, tetapi saat menyentuh tubuhnya, terasa amat panas. Aku memeriksa dahinya, ternyata rasanya sama. Panas, seperti saat seseorang sedang tidak enak badan. “Apa jangan-jangan dia demam, ya?” gumamku dengan memutar bola mata ke atas. Waduh, aku harus bagaimana ini kalau sampai Xeon demam? Kami harus keluar dan pergi dari hutan ini. Kami harus secepatnya mencari dan mendapatkan bantuan. Namun, jika keadaan Xeon sedang sakit begini, aku tidak bisa mengajaknya untuk berlari lagi. Aku melihat Xeon mu
Bab 61 : Masih di siniXeon gantian berkomat kamit tanda dia sedang mengatakan sesuatu. Aku yang tidak mengerti dia berbicara apa hanya ha he ho saja. Bahkan saat dia memberikan sebuah isyarat pun aku masih tidak mengerti juga. Aku terus saja menggelengkan kepala sebagai tanda tak mengerti apa maksudnya. Xeon terlihat gelisah dan frustasi. Tampak sekali dia sedang menahan amarahnya, tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tidak tahu apa katanya. Akhirnya Xeon geram dan dengan mengesot mendekatiku. Lalu dia membisikkan lagi sebuah rencananya. Lagi-lagi aku menurut. Kami saling membuka ikatan di tangan lagi. Lalu kami sama-sama membuka tali yang mengikat kaki kami. Rasanya sakit, tapi aku harus bisa menahannya. Kini ikatan tali di tubuh kami benar-benar sudah terlepas lagi. Kami pun mulai berjalan ke arah dapur untuk kabur lewat pintu dapur lagi. Kali ini lebih mudah karena pintu sudah terbuka dan bodohnya mereka, mereka lupa menutupnya kembali. “Ayo Lolyta,” ucap Xeon memberi aba-
Bab 60 : DisekapSetelah ikatan di tangan kami terlepas, kami saling membuka kain penutup mata. Dan betapa terkejutnya aku dengan pria yang membantuku membuka ikatan tali. Kami sama-sama melongo beberapa saat. “Xeon!” seruku. “Lolyta!” Dia pun tak kalah berseru juga. Kami sama terkejutnya. Mengapa pula musuh bebuyutanku ada di sini bersamaku? Bisa tidak sih kalau teman sesama korban penculikan di sini itu orang lain selain dia? Pria yang berparas tampan, tapi juga menyebalkan itu memasang wajah aneh. Dari rautnya tersimpan banyak tanya di dalam kepalanya. Mungkin saja dia terpesona dengan kecantikanku kali ini kan? Bisa saja itu terjadi. Ya, aku pasti tidak salah lagi, sebab dia memandangku tidak berkedip sama sekali. Mungkin dia telah terpana dengan kecantikan pari purna di hadapannya ini. “Ngapain kamu mandangin aku kayak gitu? Kamu mau bilang kalau aku ini cantik kan?” tanyaku dan membuatnya langsung tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Xeon mendengus pelan. “
Bab 59 : DisekapBibirku gemetar, tubuhku lemas, dan hatiku panik. Rasa kaget, cemas dan takut menjadi satu. Aku takut kalau Opa Jhon meninggalkan aku, sedangkan kami belum melakukan ritual malam pertama. Ya, Tuhan, aku mohon selamatkan Opa Jhon. Jangan ambil Opa Jhon dulu sebelum aku memiliki anak darinya. Aku berdoa dalam hati. Aku harus menyusul dan melihat keadaan Opa Jhon di sana. Namun, bagaimana caranya sedangkan aku tidak membawa uang. Sepertinya jalan satu-satunya adalah meminjam pada Intan. “Intan, kamu ada bawa uang lebih gak? Aku boleh pinjem dulu? Soalnya ini keadaannya darurat banget.” “Apanya yang darurat? Emang siapa yang ngehubungi kamu barusan?” tanya Intan. “Saudara aku, Tan. Dia kecelakaan,” sahutku dengan ragu-ragu menyebutkan Opa Jhon adalah seorang saudara. Wajah Intan dan Bagas tampak terkejut. “Boleh ya, Intan, aku pinjem duit kamu dulu buat ongkos taksi. Aku harus pergi sekarang juga,” sambungku lagi. Intan membuka tas dan mengambil dompetnya meski wa
Bab 58 : Telepon Misterius Cucu angkatnya Opa Jhon itu terlihat cuek saja saat melihat aku menyembunyikan dua botol jamu ke belakang punggung. Dia pun berlalu begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Tapi aku yakin, dia pasti sangat mendengar obrolanku dengan Oma Jenny tadi. Aku pun menaiki anak tangga menuju lantai atas. Aku masuk ke dalam kamar untuk menyimpan botol jamu ini lalu kembali keluar kamar dan turun ke bawah. “Bik Maria,” panggilku pada asisten pribadiku itu. Wanita itu mendekat. “Ada apa, Nyonya?” “Kenapa Opa Jhon belum pulang ya, Bik? Ke mana beliau?” tanyaku. “Tuan Jhon sedang pergi bersama asistennya sejak siang tadi, Nyonya,” jawabnya. Aku pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku lantas menyuruh wanita paruh baya itu untuk kembali melanjutkan tugas atau aktivitasnya tadi yang sempat terhenti karena aku panggil. Ke mana ya perginya Opa Jhon? Tumben sekali. Ponselku tiba-tiba berdering, ada yang menelepon. Ternyata Intan yang menghubungi. “Hallo, Ntan