Manda berdiri di depan sebuah pintu kamar apartemen mewah. Setelah mencari tahu dengan susah payah, ia akhirnya menemukan di unit berapa Adrian tinggal. Hatinya berdebar kencang, tangan gemetar saat memencet bel. Suara detak jam di lorong terasa makin keras di telinganya, seolah menghitung detik-detik yang menguji keberaniannya.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan. Di hadapannya, berdiri Adrian, sosok pria yang begitu dingin, tatapannya tajam, tanpa ekspresi.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada datar dan dingin, seolah tidak terkejut dengan kedatangan Manda.
Manda menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Aku ... ingin bicara," ujarnya terbata-bata. Matanya tak berani menatap langsung wajah Adrian.
Adrian mengamati Manda beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Masuk."
Manda melangkah masuk, sedikit ragu. Ruangan yang ia masuki begitu mewah, dengan dekorasi modern yang mengilap. Furnitur kulit, lantai marmer, dan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian. Sesaat, Manda merasa kecil di tengah kemewahan itu. Berbeda sekali dengan dunia yang ia tinggali.
"Duduk," kata Adrian sambil menunjuk sofa besar di tengah ruangan.
Manda menurut, duduk dengan canggung di pinggir sofa, sementara Adrian duduk di seberangnya, memperhatikannya dengan tatapan tak terbaca. Setelah hening beberapa saat, Adrian akhirnya berbicara.
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
Manda menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberaniannya.
"Aku ... aku menerima tawaranmu untuk menikah," katanya pelan, suaranya sedikit bergetar. "Aku siap, memberikan anak yang Anda inginkan."
Adrian mengangkat alisnya sedikit, matanya yang tajam tak lepas dari wajah Manda.
"Begitu?" tanyanya singkat, namun dinginnya nada suaranya membuat Manda semakin gugup.
"Y-ya."
"Kau benar bisa hamil 'kan?" lanjut Adrian memastikan.
Manda terdiam. Adrian sudah pernah menanyakan hal itu, jadi ia sedikit tak menyangka pria itu akan menanyakan hal yang sama sekali lagi, seolah memperjelas bahwa ia tak sepenuhnya percaya pada Manda.
Jemari Manda saling meremas gelisah di atas pangkuannya. Ia memang belum pernah hamil sama sekali, jadi ia tidak tahu apakah ia bisa memberikan keturunan atau tidak. Jangankan hamil, sampai detik ini saja ia masih terjaga keperawanannya.
"Tujuan saya menikah 'kan punya anak. Kalau kamu tidak bisa memberikan saya anak, percuma saja kita menikah."
Manda menelan ludah. "A-aku belum pernah hamil sebelumnya,” jawabnya gugup. “Aku … aku masih suci."
"Oh." Adrian menjawab singkat, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia merasa sangsi dengan pernyataan Manda.
"Kita tes kesuburan. Hari ini, bisa 'kan?"
"Hah?" Manda membulatkan matanya sempurna. "Untuk apa?"
Adrian tertawa kecil. Wajahnya yang dingin kini tampak lebih santai. Ia lalu menatap Manda lekat.
"Kau belum pernah hamil, masih suci juga katamu. Jadi, saya tidak mau seperti membeli kucing dalam karung. Agar lebih pasti, jadi kita melakukan tes kesuburan. Paling tidak, saya mendapatkan kepastian bahwa kamu memang bisa hamil. Mengerti?"
"A-apa itu harus?"
"Itu salah satu syarat jika memang kamu menerima tawaran saya."
Manda berpikir sejenak. ‘Pria ini benar-benar gila! Tapi kalau aku menolak, sudah pasti aku tidak jadi mendapatkan uang,’ batinnya galau.
Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benak gadis itu. Ia lantas menatap Adrian kembali.
"Aku juga punya syarat,” kata Manda mencoba menguatkan dirinya. "Aku butuh uang ... DP ... sekarang juga."
Adrian menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap Manda dengan lebih intens. "Uang DP?" ulangnya dengan nada sedikit mencemooh. "Kau yakin?"
Manda menggeleng, meski hatinya masih penuh keraguan. "Aku sudah memikirkannya. Aku butuh uang itu sekarang. Untuk ... membayar utang, juga pengobatan ayahku."
Adrian terdiam beberapa saat, matanya mengamati Manda dengan penuh pertimbangan.
"Kau benar-benar putus asa, ya?" komentarnya tajam.
Manda menundukkan kepala, merasa malu, tapi ia tidak punya pilihan lain.
"Iya," jawabnya dengan suara rendah, penuh ketidakberdayaan.
"Kau akan dapatkan separuh dari yang aku janjikan, tentunya setelah kau melakukan menjalani tes kesuburan. Dengan begitu, kita berdua sama-sama mendapatkan kepastian dari kesepakatan kita ini. Bagaimana?"
"Tapi aku butuh uang itu hari ini."
"Kita lakukan tes kesuburan sekarang juga."
Manda tampak terkejut dan gelisah sekaligus. "Tidak bisa, aku harus kerja. Aku tidak bisa ambil izin atau libur kalau mepet begini."
Adrian tak menjawab, hanya menghela napas, lalu berdiri dari sofa. Ia berjalan menuju meja kerja di pojok ruangan, mengambil benda pipih miliknya.
Tak lama terdengar obrolan dari Adrian dengan seseorang, yang entah siapa. Manda hanya bisa memperhatikannya dalam diam.
"Aku ada keperluan dengan ...." Adrian menjeda sebentar percakapannya di telepon, pandangannya beralih pada Manda. "Siapa nama lengkapmu?"
"Saya?" tanya Manda kebingungan.
"Cepat!"
"A-Amanda Putriani."
Adrian kembali pada percakapannya dengan seseorang misterius itu.
Belum habis rasa heran Manda, tanpa ada lagi pembicaraan setelah itu, Adrian dengan santainya mengakhiri panggilan.
"Beres. Sekarang, ikut saya ke rumah sakit."
"Tapi Pak, saya harus kerj—"
"Bisa diam tidak?!" Adrian berbalik, menatap tajam Manda yang terlihat panik. "Saya sudah atur semua. Kamu masih butuh uangnya hari ini, kan?"
Manda mengangguk kaku, masih belum pulih dari rasa terkejutnya. Pria di hadapannya ini benar-benar sulit diprediksi!
"Kalau begitu, nurut apa kata saya," ujar Adrian, lantas mengambil kunci mobilnya, dan menarik tangan Manda untuk mengikutinya.
Adrian hampir tersedak teh yang baru saja diminumnya setelah mendengar pertanyaan ibunya. Sementara itu, Manda membeku di tempat, sendoknya berhenti mengaduk sup."Ehm ... Ma, maksud Mama soal anak itu---" Adrian mencoba tertawa kecil untuk mengurangi kecanggungan, tetapi jelas suaranya terdengar gugup. Ia melirik kearah Manda. "Iya, Adrian. Bukankah itu hal yang wajar ditanyakan oleh seorang ibu? Kalian sudah menikah, dan Mama ingin segera punya cucu, jadi nggak salah kan mama bertanya tentang itu?" jawab Mama Marisa dengan nada penuh harap.Manda langsung menunduk, wajahnya memerah. Ia tidak tahu harus berkata apa.Adrian buru-buru menjawab, "Oh, ehm ... Sebenarnya, kami tidak menunda kehamilan Manda kok Ma. Hanya saja, ya ... menunggu sedikasihnya saja."Mama Marisa menatap Adrian dengan kening berkerut. "Sedikasihnya? Jadi kalian belum mencoba dengan serius?"Adrian tergagap, mencari cara untuk mengalihkan perhatian. Ia
"Jadi, kamu mau ikut bosmu keluar kota?" tanya Pak Surya, dengan nada suaranya yang tegas."Iya, Pa. Ini untuk meeting penting, dan aku harus menemani Pak Adrian." jawab Manda dengan hati-hati.Pak Surya menggeleng. "Kamu perempuan, Manda. Nggak pantas ikut-ikut bos keluar kota, Apalagi kalau hanya berdua saja."Manda membuka mulut untuk menjawab, tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Ia hampir menyerah ketika tiba-tiba Bu Herawati menyela."Pak, tunggu dulu. Jangan langsung menolak begitu," kata Bu Herawati sambil mendekati suaminya.Pak Surya menatap istrinya dengan bingung. "Kenapa? Menurutmu ini wajar?""Tentu saja, Pak. Ini kan sudah menjadi salah satu tugas sekertaris. Mendampingi bos meeting, bahkan kalau perlu ke luar kota. Lagipula, bos Manda itu baik sekali. Ingat nggak, waktu dia memperbolehkan Manda ambil cash bon untuk membayar hutang kita, oprasi papa. Untuk kita seharusnya kita mensupport Manda, pal
Suasana dalam mobil terasa begitu sunyi. Hanya suara deru mesin dan roda yang bergesekan dengan jalan yang terdengar. Adrian duduk di balik kemudi, sesekali melirik ke arah Manda yang tetap memandang ke luar jendela dengan ekspresi dingin. Ia tahu, ia harus mengatakan sesuatu. Setelah mengumpulkan keberanian, Adrian akhirnya membuka mulut. "Manda, aku mau minta maaf." Tak ada reaksi dari Manda. Wanita itu tetap memandang ke luar jendela, seolah tak mendengar permintaan maaf Adrian. Adrian menghela napas. "Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya mengucapkan nama itu saat kita sedang bersama, tapi .... " Adrian menjeda kalimatnya, Ia menoleh kearah wanita disampingnya. Manda masih bergeming, tangannya terlipat di atas pangkuan. Ia terlihat begitu tenang, tapi Adrian tahu, di balik ketenangan itu, ada perasaan yang terluka. "Manda ..." Adrian memanggilnya lagi, mencoba menarik perhatian. Kali ini, Manda menggerakkan bahunya sedikit, tapi pandangannya masih terpaku pada pe
Adrian langsung menjawab tanpa ragu, "Tentu saja bisa, Bu. Saya tidak keberatan sama sekali."Manda yang sedang berdiri di sampingnya menatap Adrian dengan mata membola. "Apa?" bisiknya kaget, tapi Adrian pura-pura tak mendengar."Nah kan, bagus kalau begitu!" kata Bu Herawati dengan wajah cerah. "Ayo masuk, Pak Adrian. Saya sudah siapkan makanan di meja makan."Manda tak bisa berbuat apa-apa selain mengalah. Ia mendesah pelan sambil menunduk. Dalam hati, ia mengutuk Adrian yang membuatnya tak bisa membantah ibunya. Dengan setengah hati, ia mengikuti langkah ibunya dan Adrian ke dalam rumah.Di ruang makan yang sederhana namun rapi, Bu Herawati memperkenalkan Adrian kepada suaminya. "Pa, ini bosnya Manda, Pak Adrian. Dia baik sekali sampai mau jemput Manda ke kantor."Pak Surya yang sedang memegang koran langsung meletakkannya di meja dan berdiri untuk menjabat tangan Adrian. "Wah, bosnya Manda ya? Senang sekali bisa bertemu. Saya Surya, papa Manda."Adrian tersenyum sopan sambil m
Adrian mengetuk pintu pelan, menunggu dengan sabar sambil merapikan kerah jasnya. Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Bu Herawati yang mengenakan daster bunga-bunga sederhana."Assalamu'alaikum," sapa Adrian dengan senyum sopan."Wa'alaikumsalam," jawab Bu Herawati, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Oh, bapak ... bukannya bosnya Manda ya, yang malam itu juga datang kemari?"Adrian tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Bu. Saya Adrian. Kebetulan pagi ini saya datang untuk menjemput Manda. Apakah dia masih di rumah?""Oh, masih, Pak Adrian. Tunggu sebentar ya." Bu Herawati tersenyum lebar, merasa senang dengan kehadiran bos putrinya yang tampan itu. "Eh, tapi ... ada keperluan apa sampai menjemput ke rumah?" tanyanya ingin tahu. Adrian menjelaskan dengan tenang, "Ada sesuatu hal yang perlu saya bicarakan, sebelum meeting pagi ini, saya takut, waktunya tidak keburu, jadi saya pikir lebih baik kami ke ka
"Aku ingin ... Aku ingin kamu," kata Adrian langsung, tanpa berputar-putar.Manda tercengang, wajahnya memerah seketika. "Apa? Apa maksudmu, Adrian?" tanyanya, suaranya bergetar."Aku tidak bisa memikirkan hal lain sejak tadi. Aku ingin kamu. Aku ingin menikmati tu buhmu, sekarang juga." pinta Adrian sedikit memdesah, nafasnya memburu, seiring dengan gairahnya yang sedang tinggi Manda terdiam, hatinya berdebar keras. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya menatap Adrian dengan mata yang membulat."Adrian, aku ..."Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Adrian sudah mendekat, mengecup bibirnya dengan lembut. Manda tidak sempat menolak atau memberi respons. Tubuhnya kaku sejenak, tetapi ia tidak mendorong Adrian untuk menjauh.Sentuhan itu terus berlangsung, Adrian manarik pinggang Manda, agar tubuh keduanya kian dekat. Dan Adrian tidak berhenti, Ia lantas membimbing tubuh istrinya perlahan ke arah ranjang. Denga