Share

Bab 5

"Karena ...." Irene menghabiskan gigitan roti terakhir di tangannya.

Rasa roti ini biasa saja. Jika ini dulu, dia akan mengeluh. Namun, sekarang, baginya, rasa itu nomor dua, sedangkan mengisi perutnya adalah hal yang paling penting.

"Kita sejenis, sama-sama adalah orang yang dibuang oleh masyarakat, orang-orang yang berusaha keras untuk bertahan hidup di tingkatan paling rendah. Mungkin saja nggak ada orang yang menginginkan dan memerlukan orang-orang seperti kita. Tapi, setidaknya, kita bisa saling membantu. Aku bisa menyayangimu, kamu juga bisa menyayangiku. Bukankah begitu?!" kata Irene.

Irene tersenyum pada Michael. Senyumannya ini penuh harapan, keinginan dan kegugupan.

"Benarkah begitu? Sepertinya kita benar-benar sejenis ..." gumam Michael. Tatapannya malah seperti sedang melihat seekor binatang kecil yang jatuh ke dalam perangkap. Sepertinya hidupnya terlalu membosankan. Dia bisa mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Lama kelamaan, dia pun merasa bosan. Sedangkan sekarang, permainan ini sedikit menarik baginya.

"Kakak." Michael pun mengatakan kata yang ingin didengar oleh Irene.

Pada saat itu juga, senyuman di wajah Irene melebar.

...

Setelah makan malam, Irene membawa Michael ke pasar malam untuk membeli pakaian.

Setelah membeli pakaian ganti, mereka menghabiskan lebih dari satu juta meskipun mereka memilih barang-barang yang murah.

Irene menyuruh Michael untuk langsung mengganti pakaiannya ke baju baru berbahan katun itu dan bertanya, "Lebih hangat, 'kan?"

"Ya," jawab Michael dengan singkat. Dia menunduk dan menatap Irene yang lebih pendek darinya sambil berkata, "Sebenarnya, kamu nggak perlu membelikan baju-baju ini untukku. Aku sudah terbiasa dengan cuaca dingin, jadi pakai baju yang sebelumnya juga nggak akan kenapa-kenapa."

"Meskipun sudah terbiasa, nggak berarti kamu harus berbuat seperti itu," kata Irene. "Aku nggak punya uang banyak, aku juga nggak bisa membelikan terlalu banyak barang untukmu. Tapi, setidaknya aku bisa membelikan baju yang bisa lebih menghangatkanmu."

"Kenapa kamu bersikap sebaik ini padaku?" tanya Michael dengan suara rendah.

"Karena aku kakakmu," kata Irene sambil tersenyum. Tanpa disengaja, tangan mereka bersentuhan. Irene menyadari bahwa tangan Michael terasa sangat dingin. Oleh karena itu, dia langsung menggenggam tangan Michael dengan kedua tangannya. Kemudian, dia mengembuskan napas hangat di tangan Michael dan menggosok tangan Michael dengan kedua tangannya.

"Tanganmu terlalu dingin. Kalau digosok seperti ini, kamu akan merasa lebih hangat," kata Irene.

Kedua tangan Michael menjadi agak kaku. Matanya yang tertutup oleh rambutnya pun menyipit. Tidak pernah ada wanita yang menggosok tangannya seperti ini hanya untuk membuatnya merasa lebih hangat.

Biasanya, dia tidak suka bersentuhan dengan orang lain, tetapi sepertinya dia tidak terlalu membenci sentuhan Irene. Apakah karena sekarang Irene adalah bagian penting dari permainan ini baginya? Oleh karena itu, dia juga bisa menahan sentuhan Irene?

Melihat Michael tidak bereaksi, Irene tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu. Dia melirik sekilas ke tangannya yang kapalan, lalu berkata, "Apakah tanganku terlalu kasar, hingga tanganmu kesakitan ...."

Sambil berbicara, dia bergegas melepaskan pegangannya di tangan Michael.

Michael merasa seakan-akan kehangatan di tangannya seketika menghilang. Tanpa disadari, dia sedikit mengernyit dan berkata, "Aku nggak merasa tanganmu kasar. Tanganku masih dingin. Bagaimana kalau Kakak hangatkan sebentar lagi?"

Sambil berbicara, Michael kembali menyodorkan kedua tangannya pada Irene.

Irene agak tercengang. Namun, dia kembali memegang tangan Michael dengan kedua tangannya. Tangannya tampak sangat kecil dibandingkan dengan tangan Michael yang besar.

Namun, di malam yang dingin ini, tangannya yang kecil berusaha keras untuk menutupi tangan Michael yang besar sebisa mungkin sambil terus menggosok punggung tangan Michael.

Irene menundukkan kepalanya sambil mengembuskan napas panas di tangan Michael sesekali. Bagi Michael, ujung hidung Irene yang agak memerah karena cuaca dingin ini pun tampak imut.

Bulu mata Michael yang panjang agak bergetar. Dia menatap tangannya yang dipegang oleh tangan kecil itu terasa seakan-akan ... benar-benar menjadi lebih hangat.

...

Dua hari kemudian, Irene menerima panggilan dari Elena. "Kak, kata Ayah, hari ini, Ayah akan membuang album foto itu. Aku memohon pada Ayah untuk menyimpan album foto itu dengan susah payah. Aku ingin memberikannya pada Kakak, tapi apakah Kakak bisa datang ke sini?" kata Elena.

Irene tercengang. Dia mengetahui album foto apa yang dimaksud Elena, yaitu album foto dia dan ibunya sebelum dia berusia tiga tahun.

"Kalau Kakak nggak datang, album foto itu bisa saja hilang," kata Elena dengan lembut. Kemudian, dia memberikan sebuah alamat pada Irene. Sebelum Irene bisa menjawab, dia langsung mematikan panggilan itu.

Irene memelototi ponsel di tangannya. Tentu saja dia tahu bahwa Elena tidak akan memberikan album foto itu padanya tanpa sebab, pasti ada udang di balik batu.

Namun, album foto itu berisi kenangan dia dengan ibunya. Hampir semua ingatan Irene tentang ibunya berasal dari album foto itu.

"Kak?" Terdengar suara pria yang dingin di telinganya.

Irene pun tersadar, lalu menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Mike, aku harus keluar. Kamu tidur saja dulu." Sambil berbicara, Irene berdiri dengan terburu-buru, mengenakan jaketnya dan berjalan keluar. Dia tidak menyadari bahwa sepasang mata sedang menatap punggungnya seperti sedang memikirkan sesuatu.

Saat Irene tiba di alamat yang diberikan Elena, tempat itu adalah sebuah kelab. Dia berjalan memasuki ruangan yang dikatakan Elena dan malah menyadari bahwa Elena tidak sendirian di dalam ruangan itu, tetapi ada juga seorang pria paruh baya berusia sekitar 40-an tahun yang agak gemuk.

"Elena, ini kakakmu? Mantan pacar tuan muda dari Keluarga Susanto itu?" tanya pria itu sambil mengamati Irene.

"Benar, Tuan Hendrik, ini kakakku. Kak, ini Tuan Hendrik, asisten sutradara kru film aku sekarang. Tuan Hendrik mendengar bahwa kamu dulu pernah berpacaran dengan Martin, jadi Tuan Hendrik selalu ingin bertemu denganmu," kata Elena sambil tersenyum.

"Di mana album fotonya?" tanya Irene dengan dingin.

"Kalau begitu, kamu harus mengatakan hal-hal baik tentangku pada Tuan Hendrik. Kalau Tuan Hendrik senang dan bersedia memberikan lebih banyak adegan untukku, tentu saja aku akan memberikan album foto itu untukmu," bisik Elena. Ucapannya penuh akan ancaman.

"Baiklah, mumpung kamu sudah datang, ayo kita bersulang," kata Hendrik sambil langsung menuang segelas penuh anggur merah dan mengisyaratkan agar Irene meminumnya.

Irene mengerutkan bibirnya sambil memelototi Elena. Sepertinya, adiknya ini berencana untuk menjual Irene sebagai ganti mendapatkan kesempatan untuk memperoleh lebih banyak adegan.

Elena mengambil inisiatif untuk mengangkat gelas itu dan menyodorkannya pada Irene. Dia berkata dengan sok baik, "Kak, pada saat itu, kamulah yang menghancurkan kesempatanku, jadi sekarang kamu bisa ganti rugi. Apalagi sekarang, kalau kamu bisa memikat hati Tuan Hendrik, ke depannya, kamu bisa hidup dengan lebih baik. Aku melakukannya demi kebaikanmu."

"Ini pertama kalinya aku mendengarkan hal seperti ini diucapkan dengan begitu santai," kata Irene sambil langsung menepis gelas itu, hingga anggur merah tumpah dan membasahi lantai.

"Kamu nggak mau album fotonya?" kata Elena dengan suara rendah sambil menggertakkan giginya.

"Aku nggak pernah berencana untuk mendapatkan album foto itu dengan menjual diri," balas Irene. Jika dia benar-benar berbuat seperti itu, ibunya juga tidak akan senang.

Namun, saat dia berbalik dan hendak pergi, Hendrik tiba-tiba berkata, "Baiklah, kamu nggak menghargaiku, ya? Kamu kira kamu masih pacaran dengan tuan muda Keluarga Susanto? Kata Elena, sekarang, kamu hanyalah seorang petugas kebersihan yang menyapu jalanan. Aku membiarkanmu minum untuk menjaga harga dirimu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status