Share

Tempat Titipan

Bunga mengipasi telapak kakinya menggunakan buku. Telapak kakinya itu sudah diolesi salep yang diberikan Kafkha. Setelah memberikan makan malam dan obat kepada ibunya, saatnya Bunga beristirahat. Di saat itulah Bunga baru bisa mengobati luka di telapak kakinya itu. Pikirannya sedikit terusik karena kartu identitas dan kartu-kartu lainnya yang lenyap dicuri pencopet siang tadi.

"Semoga besok akan baik-baik saja," ucap Bunga sambil membaringkan tubuh ke atas kasur.

Pandangan Bunga mengarah ke langit-langit kamar, bibirnya tersenyum ringan mengingat tingkah Kafkha saat mengurus bocah itu. Selain itu, Bunga teringat masa sekolah dulu, Kafkha sering mengabaikannya saat dirinya mengajak kulkas seratus pintu itu berbicara.

"Arang terbang." Bunga tertawa ringan sambil memperhatikan foto bersama teman sekelasnya yang terpanjang di dinding kamarnya itu.

Bunga juga mengingat momen pertama kalinya Kafkha berbicara padanya dan langsung memanggilnya Arang Terbang. Kala itu Kafkha meminjam penghapusnya.

***

Keesokan harinya, Bunga berada di rumah sakit dan sedang mendorong kursi roda Murni, sang ibu yang tidak bisa berjalan. Ibu dan anak itu baru keluar dari salah satu ruangan dokter spesialis jantung di rumah sakit Nuasa Permata. Bunga membawa Murni untuk kontrol.

Sebelum meninggalkan rumah sakit, Bunga mengambil obat yang diresepkan dokter di apotek rumah sakit itu. Di tengah perjalanan menuju apotek, mereka dihampiri oleh seorang wanita paruh baya seusia Murni, wanita itu sedang menggendong anak kecil yang tengah menangis keras.

"Murni," sapa wanita bersanggul itu.

"Jelita? Sudah lama tidak bertemu," balas Murni ramah.

"Iya. Sebenarnya kami sudah hampir dua tahun di sini. Setelah istri anakku meninggal, kami kembali dari Singapura. Ini anakmu? Cantik sekali. Tante lupa nama mu, tapi Tante ingat kalau kamu anak yang sering menangis itu, kan?" Jelita mengarahkan jari telunjuk ke arah Bunga.

Bunga tersenyum ramah dan menganggukkan kepala beberapa kali.

Jelita tampak kesulitan mengontrol bocah di gendongannya . Anak itu terus menangis, membuat Bunga merasa kasihan melihatnya, sekaligus kasihan melihat Jelita kewalahan. Bunga mengambil anak itu dari gendongan Jelita dan kaget melihat bocah yang saat ini di gendongan wanita paruh baya itu adalah bocah yang sama, anak Kafkha. Bunga tidak tahu wanita yang ada di hadapannya itu adalah ibu Kafkha.

"Raisa? Sayang ... Ouhh ...! Jangan menangis," ucap Bunga sambil menggendong dan mengayunkan tubuh bocah itu seperti yang dilakukannya kemarin.

"Kamu mengenal Raisa? Wah! Lihat, anak itu diam," kata Jelita senang.

"Iya. Raisa anak yang manis dan cantik. Tante ke sini untuk menjenguk dokter Kafkha, kan? Kemarin aku membantu dokter Kafkha menenangkan Raisa di mobil, dari situ aku mengenalnya," jelas Bunga.

Jelita tersenyum dan memperhatikan Bunga dari ujung kepala sampai ujung kaki. Wanita paruh baya itu tersenyum simpul dan sedang memikirkan sesuatu dalam benaknya. Ia berniat untuk menjadikan Bunga salah satu dari wanita yang akan dijadikan calon istri Kafkha.

Jelita menitipkan Raisa kepada Bunga karena ia harus segera datang ke acara pertemuan bersama teman-temannya sebagai wanita sosialita.

"Tante titip Raisa, ya? Jaga dia baik-baik dan antar satu jam lagi ke ruangan Kafkha," ucap Jelita sambil berjalan meninggalkan keberadaan mereka.

Bibir Bunga ingin berbicara menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa menjaga anak itu karena harus berangkat kerja. Hari ini hari pertamanya masuk kerja. Tapi, keburu Jelita jauh meninggalkan keberadaan mereka. Bunga merasa tidak enak hati jika memanggil wanita itu dengan volume besar, takut mengganggu ketenangan yang lainnya di rumah sakit itu. Murni mengerti gelagat anaknya itu, tahu apa yang sedang dirasakan Bunga setelah tahu betapa excited anaknya itu pagi ini sampai Bunga meminta bantuan teman dekatnya untuk menjemputnya ke rumah sakit karena pekerjaan itu.

Willa datang, teman dekat Bunga yang memiliki penampilan sedikit tomboy dengan rambut sebahunya, datang menghampiri mereka dengan senyuman lepas. Volume senyuman Willa bertambah setelah melihat anak di gendongan Bunga, wanita itu juga suka anak kecil. Willa mengagah anak itu, tapi bocah itu malah menangis.

"Anak siapa?" tanya Willa.

"Anak orang," jawab Bunga. "Ma, Mama kembali ke rumah bersama Willa. Setelah mengantar Raisa ke Papanya, aku akan ke kantor untuk kerja. Obat Mama aku yang akan bawa. Wil, antar Mamaku sampai rumah," pesan Bunga.

Bunga membetulkan tas di pundaknya, ia menggendong Raisa sambil mengaga anak itu untuk memberhentikan tangisannya. Bunga bertanya kepada resepsionis rumah sakit mengenai letak ruangan Kafkha berada. Untuk menuju ke ruangan Kafkha, Bunga harus menaiki lift menuju lantai tiga.

"Bunga sudah pantas menikah, dia cocok menggendong anak itu. Entah kapan anak itu akan menikah, aku jadi khawatir. Bunga meniru kamu, tuh," canda Murni kepada Willa.

Willa tersenyum cengir, wanita itu mendorong kursi roda dan membawa wanita paruh baya itu keluar dari rumah sakit.

Bunga berjalan di lorong rumah sakit, ia memperhatikan beberapa plakat nama di depan ruangan yang dilewati olehnya. Bunga menemukan ruangan Kafkha, sang dokter spesialis jantung sama seperti dokter Danareksa, dokter yang merawat Murni selama ini. Bunga mengetuk pintu ruangan itu sampai terdengar suara orang yang menyuruhnya masuk.

Bunga menganggukkan kepala dan tersenyum ringan masuk ke dalam ruangan itu. Ia duduk di hadapan Kafkha yang tengah sibuk memperhatikan sesuatu di komputernya. Kafkha belum sadar orang yang duduk di hadapannya itu adalah Bunga, kepalanya masih mengarah ke monitor komputer.

"Ada apa?" tanya Kafkha sambil memegang mouse di tangan kanannya dan mata masih menatap monitor komputer itu.

"Aku ke sini membawa Raisa. Tante Jelita menitipkan Raisa padaku," jelas Bunga.

Kafkha mengarahkan pandangan kepada kedepan, melihat Bunga. Ia berdiri dan berjalan mendekati Bunga untuk mengambil putrinya itu dari gendongannya. Tingkah Kafkha tampak tak ingin putrinya ada di tangan orang lain. Responsnya cepat jika itu menyangkut Raisa. Bunga menunjukkan telapak tangan sambil menjelaskan kondisi tangannya bersih.

"Tanganku bersih," jelas Bunga sambil mengarahkan kedua bola mata ke punggung tangannya kiri dan kanan dan masih tersenyum ringan.

Bunga berdiri, ia berpamit ingin meninggalkan ruangan itu. Namun, Kafkha menahan langkahnya dan meminta Bunga untuk menjaga anaknya selagi ia melakukan operasi satu jam lagi. Kafkha kembali memberikan Raisa ke gendongan Bunga dan pria itu bergegas meninggalkan ruangannya.

"Tunggu! A-aku ...." Lagi dan lagi Bunga tidak sempat berbicara menjelaskan kesibukannya untuk bekerja, Kafkha keburu menutup pintu ruangan tanpa menoleh ke belakang.

"Ibu dan anak sama saja. Bagaimana aku bisa bekerja? Bunga ... Bunga, kenapa nasibmu begini amat," keluh Bunga sambil memperhatikan anak di pelukannya.

***

Tidak ada cara lain, karena takut kehilangan pekerjaan, Bunga membawa Raisa ke kantor. Ia sudah membayangkan reaksi para karyawan, terutama pemimpin perusahaan nantinya saat dirinya membawa anak kecil, tetapi ia mencoba positif thinking dan berharap mereka akan memahami kondisi dan situasinya.

"Raisa. Jangan menangis, ya ... tolong diam dan biarkan Tante bekerja agar kita sama-sama tidak diusir dari perusahaan ini. Oke?" Bunga berbicara kepada bocah di gendongannya itu seolah anak itu mengerti maksudnya.

Sebelum datang ke kantor periklanan itu, Bunga membeli makanan bayi dan membawa susu beserta botolnya.

Bunga menghadap HRD yang kemarin menerimanya bekerja di tempat itu, ia menjelaskan keterlambatannya 10 menit lalu dan memberitahu HRD itu kalau anak yang bersamanya saat ini akan dibawa bekerja untuk hari ini saja. Bunga menjelaskan kondisi di mana dirinya harus membawa anak itu.

"Saya bisa memaafkan kamu karena terlambat, tetapi tidak dengan membawa anak. Ini kantor untuk bekerja, bukan taman hiburan. Nanti semua orang bisa tidak fokus bekerja. Jika kamu masih ingin membawa anakmu, lebih baik kamu cari perusahaan lain yang bisa menerima karyawan membawa anak." HRD itu berbicara tegas dan lugas.

"Ini bukan anak saya, Pak. Saya janji kalau anak ini tidak akan mengganggu. Saya mohon, Pak ...!" pinta Bunga memohon.

"Tidak bisa Bunga. Bukannya saya kejam, tapi peraturan tetap peraturan dan tidak bisa dilanggar. Sebaiknya sekarang kamu pergi, sebelum anak itu menangis. Kasihan dia, seharusnya anak itu berada di rumah."

"Iya, Pak," balas Bunga pasrah.

Bunga membawa Raisa keluar dari ruangan HRD. Ekspresi kecewa berat tergambar di wajahnya sampai langkah kakinya tak bersemangat melangkah. Beberapa orang memperhatikannya keluar dari perusahaan itu, mereka mencibir Bunga karena datang bersama anak kecil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status