Home / Romansa / Istri Best Seller / Hari Pernikahan

Share

Hari Pernikahan

Author: Windersone
last update Last Updated: 2023-11-28 14:03:25

Dua Hari Kemudian ....

Kafkha mengenakan baju pengantin yang telah disediakan. Hatinya masih ragu untuk melanjutkan pernikahan itu karena takut tidak bisa menerima Bunga setelah pernikahan itu terjadi dan juga malah akan menyakiti hati wanita malang itu. Sama sepertinya, Kafkha merasa Bunga juga orang menyedihkan karena masa lalu yang di alaminya. Kafkha mengeluarkan foto pernikahannya bersama Marissa dari dompet, ia memejamkan mata sambil mengingat momen ketika dirinya mempersunting Marissa sebagai istrinya.

"Nak ...!" panggil Jelita.

Kafkha membuka mata. Tangannya bergegas memasukkan kembali foto tersebut ke dompet dan menoleh ke belakang sambil tersenyum. Ia berjalan mengikuti Jelita meninggalkan kamar tamu yang ditempatinya sejak kamarnya didekorasi.

Kafkha melihat banyak tamu undangan, ia tidak menyangka undangan Jelita tak sesuai ekspektasinya. Bukan hanya kerabat dekat, seluruh staff rumah sakit juga datang. Kafkha diam tercengang, matanya menjalar, menjelajah memperhatikan beberapa wajah yang dikenalnya, termasuk Sarah, dokter bersalin yang menyukainya sejak lama.

Beberapa bibir mulai bergerak mengungkapkan rasa kagum melihat Bunga turun dari tangga dalam balutan gaun pengantin. Willa berdiri di samping kanan Bunga, menjadi pendamping wanita. Kafkha tidak bisa memungkiri wanita itu cantik, tetapi tidak bisa sebanding jika disandingkan dengan kecantikan Marissa.

"Kita masih memiliki waktu untuk menggagalkannya. Jika kamu belum siap, aku bisa terima," kata Bunga dengan suara kecil kepada Kafkha.

Kafkha telah berdiri di hadapannya, jarak kaki mereka hanya dua jengkal.

Kafkha memejamkan mata, menarik napas dalam dan tersenyum. Pria itu mengangkat tangannya sejajar perut berada di antara dirinya dan Bunga, meminta wanita itu meraih tangannya. Bunga terharu melihat keputusan Kafkha dari sikapnya, ia meletakkan tangannya ke tangan pria itu.

Meski hati masih ragu, Kafkha tetap melanjutkan pernikahan itu karena takut hanya ini kesempatan terbaik untuk memberikan menantu untuk Jelita dan ibu untuk Raisa. Sebelum ijab kabul diucapkan, Kafkha memperhatikan Raisa di gendongan Jelita, termasuk ibunya itu. Hatinya berkata, "Ini semua untuk kalian. "

Selain itu, Kafkha memperhatikan Murni sambil mengingat keinginan calon ibu mertuanya itu menginginkan Bunga segera menikah di usia yang sudah matang untuk berumahtangga.

Dalam kondisi tenang penghulu dan Kafkha saling berjabat tangan di meja akad.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Bunga Besari binti Alm Ludiansyah, dengan seperangkat alat sholat dan uang senilai 50 juta, dibayar tunai!" balas Kafkha setelah mendengar awalan dari penghulu sebagai wali Hakim.

"Sah?" tanya penghulu mencari kesaksian.

"Sah!" sambut saksi.

Semua tampak lega, terutama Bunga.

Acara pernikahan tersebut berlanjut dengan acara resepsi. Semua orang memberikan ucapan selamat kepada sepasang pengantin baru yang tengah berdiri di pelaminan di rumah besar itu.

Raisa menangis ditengah acara berlangsung. Bunga meminta anak itu dari pelukan Jelita, tapi wanita paruh baya itu menolak untuk memberikannya. Jelita tidak ingin acara mereka terusik.

"Ma ...!" tegur Kafkha.

Jelita memberikan anak itu ke tangan Bunga. Tidak hanya Kafkha, semua orang melihat cara Bunga membuat anak itu diam. Mereka tidak heran jika Kafkha memilih Bunga menjadi istrinya. Pujian semua orang untuk Bunga membuat Sarah cemburu, dokter modis itu meninggalkan acara itu bersama kekesalan pada dirinya sendiri karena selama ini tidak bisa meraih hati Kafkha.

***

"Kamu mau ke mana? Ini malam pernikahanmu bersama Bunga," kata Jelita setelah melihat Kafkha menuruni tangga sambil memegang kunci mobil.

"Ada pasien darurat di rumah sakit. Aku akan mengurusnya terlebih dahulu," jelas Kafkha.

"Ingat, Bunga sudah menjadi istrimu, berikan dia hak dan penuhi kewajibanmu sebagai seorang suami," ingat Jelita.

"Ma ... kami sudah membicarakannya. Mama tenang saja," balas Kafkha.

Kafkah diam melihat Bunga memegang dorongan kursi roda Murni di pintu kamar ruang tamu yang ditempati Murni di rumah itu. Bunga bersama ibunya tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka berdua. Jelita mengalihkan topik pembicaraan setelah melihat mereka, ia mengajak Murni duduk menonton bersama-sama. Bunga mendorong kursi roda itu dan membantu Murni duduk di sofa, di samping Jelita.

Setelah itu, Bunga mendekati Kafkha. Bunga menggenggam pergelangan tangannya dan mengajaknya keluar dari rumah umah.

"Jangan pikirkan perkataan Mama. Jangan sampai tertekan dengan keinginan dan kata-kata Mama. Aku baik-baik saja. Hati-hati dan semoga sukses merawat pasiennya," ucap Bunga.

"Terima kasih," ucap Kafkha.

Cupp!

Bunga mengecup pipi Kafkha. Wanita itu berlari masuk meninggalkan keberadaan Kafkha. Pria itu diam mematung dan merasa sesuatu telah diambil darinya. Kedua tangannya mencengkram kuat dan gigi menggertak tampak kesal. Kafkha berjalan menuju mobil dan memasukinya. Ia mengemudiakan mobil itu meninggalkan rumah.

"Ya ampun. Bukankah aku terlalu berlebihan? Semua harus dilakukan secara perlahan. Bagaimana kalau dia tidak nyaman dengan itu?" Bunga berpikir sendiri di dalam kamar sambil mengelus lembut punggung Raisa membuat anak itu tidur.

"Bunga, Raisa akan Mama bawa ke kamar Mama. Kalian bisa beristirahat nanti," ucap Jelita sambil berjalan memasuki kamar dan mengambil Raisa dari keranjang bayi di samping tempat tidur.

Bunga menganggukkan kepala sambil tersenyum.

***

Bunga menunggu Kafkha pulang sambil memainkan ponsel di sofa, di dalam kamar. Setelah jam menunjukkan pukul 23.00 malam, wujud Kafkha masih belum terlihat. Bunga ingin menghubungi nomor pria itu, tetapi ia tidak ingin membuat Kafkha tidak nyaman selalu menghantuinya dengan dirinya.

"Apa aku terlalu berharap dia melakukan itu untukku malam ini? Tidak. Bunga, Bunga. Kamu harus sadar," kata Bunga tersenyum miris.

Bunga membaringkan tubuh ke atas kasur, menarik selimut dan memejamkan mata. Namun, kedua bola matanya kembali terbuka setelah mendengar pintu kamar dibuka. Kedua bola matanya melihat wajah Kafkha berdiri dengan raut wajah datar. Ia tidak berharap besar melihat wajah lelah pria itu. Bunga memejamkan mata dengan posisi menyamping membelakangi keberadaan Kafkha.

Beberapa menit kemudian, Kafkha menaiki kasur berbaring di sampingnya. Bunga menarik tubuh bersandar ke kepala ranjang karena tidak bisa tidur.

"Semua baik-baik saja?" tanya Bunga.

Kafkha ikut bangun dari baringan tubuhnya, ia duduk dengan posisi yang sama di samping Bunga.

"Maaf. Tolong jangan terlalu mendominasikan dirimu pada diriku, itu membuatku risih," keluh Kafkha.

"Oh, maaf," ucap Bunga tersenyum paksa.

"Apa keberadaanku di sampingmu juga membuatmu tidak tenang? Aku bisa tidur di sofa," kata Bunga.

Kafkha merasa bersalah mendengar perkataan Bunga. Ia merasa dirinya terlalu egois sampai mengatakan kalimat itu kepadanya. Mengingat, status Bunga saat ini untuknya adalah seorang istri.

"Tidak perlu," balas Kafkha.

Bunga menganggukkan kepala. Karena mata mereka sama-sama tidak bisa tidur, Bunga mengajak Kafkha berbicara dan bercerita. Bunga ingin membuat Kafkha nyaman berkomunikasi dengannya sebagai salah satu trik untuk membuat pria itu bisa menerimanya dengan baik tanpa ada paksaan. Bunga bercerita mengenai pekerjaan dan lingkungan pertemanannya kepadanya.

Dalam pembicaraan itu, terselip beberapa senyuman Kafkha. Bunga pun tidak pernah melihat senyuman semurni itu dari seorang Kafkha sebelumnya. Kali ini pria itu tersenyum melihatnya tertawa.

"Ak ... aku ke toilet dulu," ucap Bunga sambil bangkit dari kasur.

Sebenarnya Bunga ingin memuji senyuman Kafkha, tetapi ia kembali berpikir dan takut membuat suaminya itu kembali tidak nyaman.

Notifikasi pesan masuk ke ponsel Bunga. Ponsel wanita itu berada di atas kasur, di samping tubuh Kafkha. Pria itu melihat sebagian isi pesan itu di bilah layar ponsel bagian atas. Kafkha tahu pesan itu dari Willa dan isi pesan tengah membahas malam pertama pernikahan.

Kafkha memalingkan pandangan dari ponsel itu setelah mendengar pintu kamar mandi di buka.

"Sudah larut, mendingan kita tidur," ajak Bunga.

Bunga pasrah malam pertama indah di bayangannya tidak akan pernah terjadi, bahkan di hari berikutnya juga masih diragukan akan terlaksa hubungan semacam itu.

"Apa kamu pernah pacaran sebelumnya?" tanya Kafkha.

Tangan Bunga diam bergerak ketika ingin mengangkat selimut dan menyeludupkan tubuh di bawah selimut itu. Posisi bunga masih berdiri di samping ranjang.

"Tidak pernah. Aku tidak memiliki waktu untuk pacaran."

Jawaban Bunga membuat Kafkha merasa bersalah.

"Kita lakukan semuanya secara perlahan," kata Kafkha.

"Apa?" tanya Bunga bingung dan kaget.

Kafkha peduli. Meski ia tidak ingin melakukan hubungan suami-istri bersama Bunga, tapi ia peduli terhadap wanita yang baru pertama kalinya berhubungan dengan lelaki itu. Tentunya, pernikahan dan harapan malam pertama yang dibayangkan sebagai malam terindah dalam pernikahan akan begitu melekat di benaknya.

Kafkha menarik tangan Bunga, membuat wanita itu berbaring di sampingnya. Jantung Bunga berdetak kencang, dadanya naik turun dengan durasi cepat. Bunga sampai memalingkan pandangan karena tidak sanggup melihat wajah Kafkha. Pria itu malah mendekatkan wajahnya sampai Bunga merasakan hembusan angin dari hidung Kafkha menerpa wajahnya. Ekspresi pria itu tampak terbebani, tapi masih bersekukuh untuk mengalahkan beban itu.

"Tidak perlu melakukannya jika belum bisa," ucap Bunga.

Perkataan Bunga menghentikan aksi Kafkha. Pria itu melepaskan tangan dari bahu Bunga dan berbaring dengan posisi telentang menatap langit-langit kamar. Kafkha merasa terbenam dalam ke dalam air paling dalam sampai sulit untuk bernapas. Ia merasa benar-benar tidak bisa melakukan hubungan suami-istri itu meski berusah terhanyut dalam suasana pernikahan. Perkataan Bunga benar adanya, ia tak sanggup.

"Aku bisa. Tolong bekerja sama," balas Kafkha.

Kafkha duduk dan melepaskan baju atasannya. Ia mendaratkan kedua tangan ke pipi Bunga dan mengecup bibir wanita itu pelan hingga akhirnya menikmatinya beberapa saat. Kafkha mengecup bibir Bunga, tapi dalam bayangannya tergambar wajah Marissa.

"Aku merindukanmu, Marissa," lirih Kafkha tidak sadar.

"Dia membayangkan mendiang istrinya. Sabar, aku tidak bisa cemburu," kata Bunga dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Best Seller    Terima Kasih

    Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu

  • Istri Best Seller    Masa Depan Prioritas Utamaku

    Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “

  • Istri Best Seller    Tidak Menyangka

    Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,

  • Istri Best Seller    Surat Titipan

    Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it

  • Istri Best Seller    Kejutan Apa?

    Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se

  • Istri Best Seller    Catat Waktu Kematiannya

    Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status