Share

Istri Best Seller
Istri Best Seller
Penulis: Windersone

Prolog

Penulis: Windersone
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-09 10:34:56

Dua pasang kaki seorang wanita yang berlari laju mulai melambat setelah menelusuri jalan sejauh 1 km. Apakah ini sebuah lomba lari jarak panjang? Bukan, wanita berpakaian rapi dalam balutan kemeja putih dan rok span selutut berwarna hitam itu sedang mengejar seorang pencopet yang membawa pergi tasnya. Kakinya berlari tanpa memakai alas kaki karena sebelumnya ia memakai sepasang high heels yang tadi ditinggalkan di sana, tempat di mana tasnya dirampas.

Tubuh wanita itu akhirnya tumbang, tidak sanggup lagi berlari ataupun berdiri tegak meski tidak beraksi. Tubuhnya terduduk di tepi jalan dengan posisi duduk menyamping seperti suster ngesot. kedua bola matanya memperhatikan pencopet yang terus berjalan semakin jauh dari penglihatannya.

“Berhenti …! Copet …! Tolong …!”

Tiga kata itu diserukan sejak tadi.

Ada beberapa pria yang ikut mengejar pencopet itu, mereka jauh tertinggal di belakang. Kecepatannya saat berlari ikut dikagumi oleh para pria itu yang ngos-ngosan setelah berlari.

"Maaf, Neng. Kami tidak bisa mengejarnya," kata salah satu pria paruh baya.

"Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih telah membantu," ucapnya dengan napas masih belum teratur.

Wanita itu Bunga Bestari, seorang guru privat bahasa Inggris dan matematika yang cukup dikenal sukses membimbing murid-muridnya secara pribadi di rumah. Selain itu, Bunga juga mengarang dan menulis novel. Bunga, wanita berkulit sawo matang, bertubuh kecil dengan tinggi 152 cm dan berat badan hanya 45 kg itu baru selesai wawancara di sebuah perusahaan periklanan dengan hasil memuaskan, ia diterima kerja dan akan memulai bekerja esok hari. Pekerjaannya itu di luar bidangnya sebagai lulusan hukum. Akan tetapi, setelah kuliah ia sempat menjadi seorang dosen ilmu hukum disalah satu universitas swasta. Bekerja sebagai guru privat ditekuninya sejak lima tahun terakhir karena kondisi ibunya yang sakit dan tidak bisa ditinggalkan. Mengapa? mereka hanya tinggal berdua.

Beberapa pria yang membantunya bubar meninggalkan keberadaannya.

“Apa ini pelengkap dari keberuntunganku hari ini? Aku kehilangan semuanya, hanya tersisa ini." Bunga mengeluarkan uang senilai 10 ribu dari saku kemejanya.

Kartu-kartu penting dan ponsel di tasnya sudah ludes dicuri.

Seorang gadis pengemis berjalan meminta sedekah di hadapannya. Sebuah kantong plastik disodorkan ke hadapannya. Menjadi orang yang mudah terbawa perasaan membuat Bunga tidak bisa menahan dirinya untuk merasa iba. Tangannya melipat selembar uang kertas itu dan memasukkannya ke dalam kantong plastik tersebut.

“Terima kasih,” ucap anak itu.

Bunga tersenyum merasa bahagia melihat senyuman gadis itu.

Suara tangis bayi terdengar dari sebuah mobil hitam yang berada di tepi jalan, berada tepat di sisi kanannya. Bunga berdiri dan berjalan pincang mendekati mobil itu. Ia memperhatikan seorang pria sedang menggendong anak usia dua tahun dan pria itu tampak berusaha memberhentikan tangisan anak itu dengan menggendong dan menyuruh anak itu diam dengan suara lembut tanpa ada bentak marah. Pria itu menunjukkan kesabarannya menghadapi bocah rewel itu.

“Permisi! Ada yang bisa saya bantu?” tanya Bunga ragu.

Pria bermata kecil dengan dahi lebar berkulit putih itu menganggukkan kepala pelan. Ekspresinya menunjukkan keraguan yang sama seperti yang dirasakan Bunga.

Bunga tersenyum sambil membuka pintu mobil dan duduk di sampingnya. Pria tersebut memperhatikan Bunga dari ujung rambut sampai ujung kakinya, yang menunjukkan kekusutan seperti gembel. Penampilan Bunga membuat pria itu ragu wanita itu baik, ia takut Bunga adalah orang jahat.

“Jangan khawatir, saya bukan orang jahat. Habis kecopetan, saya kehilangan semuanya,” terang Bunga dengan mengangkat kedua tangannya seperti penjahat yang ditodong senjata oleh polisi.

Pria itu hanya diam, kedua bola matanya kembali memperhatikan bocah dua tahun dalam gendongannya itu.

Bunga ingin menggendong anak itu. Tapi, pria itu menghadang tangannya dengan menghadapkan punggungnya ke hadapan Bunga untuk membatasinya mengambil bocah itu dan menjauhkan anak itu darinya.

“Saya tidak mau anak saya terkena bakteri. Terima kasih bantuannya,” ucap pria itu dan mengarahkan pandangan ke pintu mobil, menyuruh Bunga keluar.

“Dia masih menangis,” ujar Bunga merasa prihatin melihat bocah itu menangis sampai wajahnya memerah.

Bunga mengambil botol minuman di sampingnya, ia mencuci tangan dan mengeringkannya menggunakan tisu yang ada di hadapannya. Bunga memperlihatkan telapak tangannya dan mengklaim tangannya bersih. Bunga meminta anak itu sambil mengarahkan kedua tangan meminta pada pria itu.

Pria itu memberikan bocah dua tahun tersebut kepada Bunga. Betapa girangnya wanita itu melihat bocah perempuan itu, ia termasuk orang pecinta anak. Bunga mengayun pelan bocah itu dalam gendongannya dan mengagah. Selain itu, Bunga meminta susu kepada pria itu.

“Susunya mana?” tanya Bunga menatap pria yang sedang memperhatikan aksinya.

“Susu?” tanya pria itu bingung.

“Maaf Pak dokter Kafkha Dylantara! Apa Anda tidak membawa susu untuk anak Anda saat bepergian?” tanya Bunga tersenyum miris.

Bunga tahu siapa pria yang ada di sampingnya itu. Pria itu seorang dokter spesialis jantung yang tampan dan terkenal di seluruh kota. Tidak hanya ketampanan, keahlian yang dimilikinya membuatnya digandrungi oleh para kaum hawa, termasuk Bunga. Namun, Bunga tahu bagaimana cara menyikapi perasaannya.

“Kamu mengenal saya?” tanya pria itu bingung.

Kafkha memperhatikan pakaian yang terpasang di tubuhnya, ia bingung mengapa Bunga tahu namanya. Padahal, ia tidak sedang memakai jas dokter dengan label nama lengkapnya.

Bunga tersenyum miris sambil memalingkan pandangan keluar mobil, ia bahkan tertawa ringan melihat ekspresi Kafkha yang tidak mengenali dirinya, seorang anak yang paling dekil semasa sekolah, memiliki kulit gelap dan sering berpakaian tidak rapi.

“Saya bisa memakluminya. Meskipun saya menjelaskannya, mungkin Anda tidak akan ingat. Lupakan! Mana susunya?” tanya Bunga sambil menghapus tawa dan meninggalkan senyuman sambil meminta susu botol yang dimaksudnya sejak tadi.

“Saya tidak membawanya. Kebetulan saya terburu-buru karena ada operasi penting di rumah sakit,” jelas Kafkha.

“Oke. Tolong belikan air di sana! Maaf, air di botol ini sudah aku habiskan untuk mencuci tangan." Bunga memandangi warung yang ada di seberang jalan.

Kafkha memperhatikan anak di gendongan Bunga, ia masih ragu meninggalkan anaknya itu bersama Bunga karena takut wanita di sampingnya itu penculik anak dan saat ini sedang bersandiwara dengan mode bantuan. Bunga menyadari rasa ketakutan Kafkha. Ia memberikan anak itu ke gendongan Kafkha dan meminta uang kepadanya untuk membeli sebotol air itu.

“Aku yang akan membelikannya,” ucap Bunga.

Kafkha memperhatikan tangan Bunga yang disodorkan sedang meminta. Bunga membuang muka karena merasa jenuh melihat ekspresi keraguan Kafkha padanya. Ia mengambil uang yang terjulur keluar di saku kemeja Kafkha dan membawanya keluar dari mobil. Bunga berjalan cepat menyeberangi jalan menuju minimarket tanpa rasa malu berjalan tidak memakai alas kaki. Padahal, saat itu telapak kakinya terasa perih dan sudah memerah. Kafkha memperhatikan ketulusan Bunga membantunya, ia memperhatikan langkah kaki Bunga yang pincang dan melihat telapak kaki wanita itu terluka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Best Seller    Terima Kasih

    Sembilan Bulan Kemudian ….Bunga dan Kafkha duduk di salah satu bangku kosong di sebuah bioskop, mereka duduk berdampingan di bangku paling depan, berhadapan dengan layar lebar yang akan menampilkan sebuah film yang akan tayang dalam hitungan menit. Beberapa mata memperhatikan mereka dari belakang, menaruh rasa kagum kepada sepasang suami-istri jari manis dan jari kelingking itu. Baru beberapa detik Kafkha duduk, tangan pria itu mengelus perut besar Bunga, menambah mereka menjadi terbawa perasaan dan iri.“Pasangan yang serasi,” kata seorang wanita yang duduk di belakang mereka. Perkataan wanita muda itu tertangkap samar di telinga mereka, membuat Bunga sedikit malu dan salah tingkah dengan diam. “Katanya kita serasi. Menurutmu?” tanya Kafkha dengan berbisik ke telinga kanan Bunga. “Aku rasa begitu,” balas Bunga dan tersenyum lebar kepada suaminya itu. Film yang akan mereka tonton mulai. Bunga, Kafkha, dan semua pengunjung di dalam bioskop memperhatikan lakon dari pemain film itu

  • Istri Best Seller    Masa Depan Prioritas Utamaku

    Bunga menceritakan semua yang terjadi sebelum Kafkha sadar kepada suaminya itu sambil mengelus batu nisan kayu yang sementara tertancap di bagian kepala makan Stella. Kafkha mendengar jelas dengan seksama cerita istrinya itu dengan posisi masih berdiri memperhatikan makan tersebut. Tidak hanya masalah donor jantung maupun penyakit yang dialami Stella saja yang dibuka olehnya, Bunga juga ikut bercerita mengenai hubungan Marissa dan pria yang bernama Angga itu. “Ternyata ayah anak itu Angga namanya. Stella bilang, itu temanmu. Benarkah?” tanya Bunga, menoleh ke sisi kanan dengan pandangan naik. “Bukan hanya sekedar teman, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Pantas saja,” kata Kafkha, mengingat mimpinya saat tidak sadarkan diri, ketika ia melihat Marissa bergandeng tangan bersama Angga. “Pantas apa?” tanya Bunga, sedikit penasaran. “Bukan apa-apa,” balas Kafkha, tersenyum. Bunga berdiri dan menghadap badan ke arah Kafkha. “Kamu tidak marah?” tanya Bunga dengan mata menyelidik. “

  • Istri Best Seller    Tidak Menyangka

    Bunga berdiri dari duduknya di hadapan seorang pria dan seorang wanita yang lebih tua darinya. Bunga menjabat tangan mereka secara bergantian untuk mengakhiri pertemuan kali ini sebelum akhirnya meninggal mereka di kafe tempat mereka bertemu. Siapa kedua orang yang ada di hadapan Bunga? Pria itu seorang sutradara dan wanitanya seorang produser film. “Terima kasih, Pak, Buk. Kalau begitu, saya pamit pergi. Kebetulan, mau menghadiri acara lain,” pamit Bunga dengan senyuman. Mereka yang ada di hadapan Bunga tersenyum. Keluar dari kafe tersebut, Bunga memasuki mobil Kafkha, mengemudikannya menuju tujuan keduanya setelah membicarakan perjanjian temu kemarin. Bunga datang ke salah satu perpustakaan yang cukup besar, di mana di sana sedang diadakan pertemuan antara Bunga bersama para penggemarnya melalui buku barunya yang terbit, diterbitkan oleh Kafkha secara diam-diam di belakangnya. ‘Istri Best Seller’ itulah judul buku itu. Uniknya, akhir dari tulisan itu ditulis oleh Kafkha sendiri,

  • Istri Best Seller    Surat Titipan

    Bunga mengajari Raisa melambaikan tangan kepada Lintang yang sudah berada di dalam sebuah mobil yang ada di halaman rumah. Lintang membalas lambaian tangan mereka dan mengemudikan mobil keluar dari pekarangan rumah itu dengan senyuman, tampak sudah bisa menerima kenyataan mengenai kepergian Stella yang tidak akan pernah bisa kembali lagi dalam pelukannya. Bunga melipat kecil kertas yang diberikan Lintang sebelum meninggalkan rumah itu dan menyelipkannya ke dalam saku celana kulotnya, lalu mengajak Riasa masuk. “Mulai hari ini, princes Icha akan tinggal di rumah ini ….” Bunga mempersilakan Raisa masuk.“Iya. Tapi, ini akan sulit,” kata Raisa, berlagak sedang berpikir. “Kenapa?” tanya Bunga, penasaran. “Panggil Icha dan Raisa tetap dipanggil Raisa. Nanti aku jadi bingung karena nama kami sama,” kata Raisa dengan pintarnya. “Baiklah Tuan putri,” balas Bunga dengan senyuman. Bunga menggenggam tangan Raisa dan mengajak anak itu ke kamar yang ada di samping kamar Jelita, kamar tamu it

  • Istri Best Seller    Kejutan Apa?

    Bunga dan beberapa orang berpakaian hitam berdiri mengelilingi sebuah makan yang baru saja membukit dengan banyaknya kelopak bunga mawar merah muda yang bertebaran di atasnya. Bunga yang berdiri di sisi kanan makam itu diam dalam kebisuan. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya dalam rasa sedih.Jelita merangkul bahu kiri Bunga dari belakang, mengelusnya pelan sambil menatap Bunga yang membuat wanita itu menoleh dan menunjukkan raut wajah sedih yang berusaha ditahan sejak tadi. "Mama ...!" panggil Raisa, histeris sambil memeluk batu nisan Stella, di mana Lintang juga melakukan hal yang sama. Hancurnya hati Bunga melihat kesedihan anak itu terutamanya. Sejak mengetahui Stella tidak bisa diselamatkan, Raisa tidak bisa diam. Memori Bunga berputar ke beberapa jam lalu, saat pertama kali dirinya mendengar kabar Stella tidak bisa diselamatkan. 'Stella tidak bisa diselamatkan.' Bunga jadi paham, catatan kematian yang dimaksud Danar bukan untuk Kafkha seperti yang dianggap Bunga se

  • Istri Best Seller    Catat Waktu Kematiannya

    Jelita yang belum berada jauh dari kamar kafkha mendengar jelas suara teriakan Bunga. Wanita paruh baya itu menghampiri Bunga dengan mengurung niat untuk mengunjungi Stella sebelumnya tanpa sepengetahuan Bunga. “Kafkha kenapa?” tanya Jelita. Danar datang bersama Risa, mereka berlari kecil menghampiri mereka dan memasuki ruangan itu dengan kecemasan. “Kalian di luar dulu. Biar kami yang tangani,” kata Risa sambil menarik kedua pintu dan menutupnya. Seorang perawat lain berlarian menghampiri mereka, bertanya kepada Bunga mengenai keberadaan Danar dengan ekspresi perawat itu tampak panik sampai napasnya terdengar ngos-ngosan, seperti baru dikejar anjing. “Di dalam. Ada apa?” tanya Bunga, penasaran. “Bu Stella, dia mencari dokter Danar. Sekarang kondisinya kritis, dia bersikeras ingin bertemu dokter Danar," kata perawat itu. "Dia berada di dalam. Biarkan Danar menangani Kafkha, dia juga membutuhkannya. Bukankah dia kanker darah? Cari dokter yang sesuai," kata Jelita, tidak ingin Da

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status