Share

Istri Best Seller
Istri Best Seller
Penulis: Windersone

Prolog

Dua pasang kaki seorang wanita yang berlari laju mulai melambat setelah menelusuri jalan sejauh 1 km. Apakah ini sebuah lomba lari jarak panjang? Bukan, wanita berpakaian rapi dalam balutan kemeja putih dan rok span selutut berwarna hitam itu sedang mengejar seorang pencopet yang membawa pergi tasnya. Kakinya berlari tanpa memakai alas kaki karena sebelumnya ia memakai sepasang high heels yang tadi ditinggalkan di sana, tempat di mana tasnya dirampas.

Tubuh wanita itu akhirnya tumbang, tidak sanggup lagi berlari ataupun berdiri tegak meski tidak beraksi. Tubuhnya terduduk di tepi jalan dengan posisi duduk menyamping seperti suster ngesot. kedua bola matanya memperhatikan pencopet yang terus berjalan semakin jauh dari penglihatannya.

“Berhenti …! Copet …! Tolong …!”

Tiga kata itu diserukan sejak tadi.

Ada beberapa pria yang ikut mengejar pencopet itu, mereka jauh tertinggal di belakang. Kecepatannya saat berlari ikut dikagumi oleh para pria itu yang ngos-ngosan setelah berlari.

"Maaf, Neng. Kami tidak bisa mengejarnya," kata salah satu pria paruh baya.

"Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih telah membantu," ucapnya dengan napas masih belum teratur.

Wanita itu Bunga Bestari, seorang guru privat bahasa Inggris dan matematika yang cukup dikenal sukses membimbing murid-muridnya secara pribadi di rumah. Selain itu, Bunga juga mengarang dan menulis novel. Bunga, wanita berkulit sawo matang, bertubuh kecil dengan tinggi 152 cm dan berat badan hanya 45 kg itu baru selesai wawancara di sebuah perusahaan periklanan dengan hasil memuaskan, ia diterima kerja dan akan memulai bekerja esok hari. Pekerjaannya itu di luar bidangnya sebagai lulusan hukum. Akan tetapi, setelah kuliah ia sempat menjadi seorang dosen ilmu hukum disalah satu universitas swasta. Bekerja sebagai guru privat ditekuninya sejak lima tahun terakhir karena kondisi ibunya yang sakit dan tidak bisa ditinggalkan. Mengapa? mereka hanya tinggal berdua.

Beberapa pria yang membantunya bubar meninggalkan keberadaannya.

“Apa ini pelengkap dari keberuntunganku hari ini? Aku kehilangan semuanya, hanya tersisa ini." Bunga mengeluarkan uang senilai 10 ribu dari saku kemejanya.

Kartu-kartu penting dan ponsel di tasnya sudah ludes dicuri.

Seorang gadis pengemis berjalan meminta sedekah di hadapannya. Sebuah kantong plastik disodorkan ke hadapannya. Menjadi orang yang mudah terbawa perasaan membuat Bunga tidak bisa menahan dirinya untuk merasa iba. Tangannya melipat selembar uang kertas itu dan memasukkannya ke dalam kantong plastik tersebut.

“Terima kasih,” ucap anak itu.

Bunga tersenyum merasa bahagia melihat senyuman gadis itu.

Suara tangis bayi terdengar dari sebuah mobil hitam yang berada di tepi jalan, berada tepat di sisi kanannya. Bunga berdiri dan berjalan pincang mendekati mobil itu. Ia memperhatikan seorang pria sedang menggendong anak usia dua tahun dan pria itu tampak berusaha memberhentikan tangisan anak itu dengan menggendong dan menyuruh anak itu diam dengan suara lembut tanpa ada bentak marah. Pria itu menunjukkan kesabarannya menghadapi bocah rewel itu.

“Permisi! Ada yang bisa saya bantu?” tanya Bunga ragu.

Pria bermata kecil dengan dahi lebar berkulit putih itu menganggukkan kepala pelan. Ekspresinya menunjukkan keraguan yang sama seperti yang dirasakan Bunga.

Bunga tersenyum sambil membuka pintu mobil dan duduk di sampingnya. Pria tersebut memperhatikan Bunga dari ujung rambut sampai ujung kakinya, yang menunjukkan kekusutan seperti gembel. Penampilan Bunga membuat pria itu ragu wanita itu baik, ia takut Bunga adalah orang jahat.

“Jangan khawatir, saya bukan orang jahat. Habis kecopetan, saya kehilangan semuanya,” terang Bunga dengan mengangkat kedua tangannya seperti penjahat yang ditodong senjata oleh polisi.

Pria itu hanya diam, kedua bola matanya kembali memperhatikan bocah dua tahun dalam gendongannya itu.

Bunga ingin menggendong anak itu. Tapi, pria itu menghadang tangannya dengan menghadapkan punggungnya ke hadapan Bunga untuk membatasinya mengambil bocah itu dan menjauhkan anak itu darinya.

“Saya tidak mau anak saya terkena bakteri. Terima kasih bantuannya,” ucap pria itu dan mengarahkan pandangan ke pintu mobil, menyuruh Bunga keluar.

“Dia masih menangis,” ujar Bunga merasa prihatin melihat bocah itu menangis sampai wajahnya memerah.

Bunga mengambil botol minuman di sampingnya, ia mencuci tangan dan mengeringkannya menggunakan tisu yang ada di hadapannya. Bunga memperlihatkan telapak tangannya dan mengklaim tangannya bersih. Bunga meminta anak itu sambil mengarahkan kedua tangan meminta pada pria itu.

Pria itu memberikan bocah dua tahun tersebut kepada Bunga. Betapa girangnya wanita itu melihat bocah perempuan itu, ia termasuk orang pecinta anak. Bunga mengayun pelan bocah itu dalam gendongannya dan mengagah. Selain itu, Bunga meminta susu kepada pria itu.

“Susunya mana?” tanya Bunga menatap pria yang sedang memperhatikan aksinya.

“Susu?” tanya pria itu bingung.

“Maaf Pak dokter Kafkha Dylantara! Apa Anda tidak membawa susu untuk anak Anda saat bepergian?” tanya Bunga tersenyum miris.

Bunga tahu siapa pria yang ada di sampingnya itu. Pria itu seorang dokter spesialis jantung yang tampan dan terkenal di seluruh kota. Tidak hanya ketampanan, keahlian yang dimilikinya membuatnya digandrungi oleh para kaum hawa, termasuk Bunga. Namun, Bunga tahu bagaimana cara menyikapi perasaannya.

“Kamu mengenal saya?” tanya pria itu bingung.

Kafkha memperhatikan pakaian yang terpasang di tubuhnya, ia bingung mengapa Bunga tahu namanya. Padahal, ia tidak sedang memakai jas dokter dengan label nama lengkapnya.

Bunga tersenyum miris sambil memalingkan pandangan keluar mobil, ia bahkan tertawa ringan melihat ekspresi Kafkha yang tidak mengenali dirinya, seorang anak yang paling dekil semasa sekolah, memiliki kulit gelap dan sering berpakaian tidak rapi.

“Saya bisa memakluminya. Meskipun saya menjelaskannya, mungkin Anda tidak akan ingat. Lupakan! Mana susunya?” tanya Bunga sambil menghapus tawa dan meninggalkan senyuman sambil meminta susu botol yang dimaksudnya sejak tadi.

“Saya tidak membawanya. Kebetulan saya terburu-buru karena ada operasi penting di rumah sakit,” jelas Kafkha.

“Oke. Tolong belikan air di sana! Maaf, air di botol ini sudah aku habiskan untuk mencuci tangan." Bunga memandangi warung yang ada di seberang jalan.

Kafkha memperhatikan anak di gendongan Bunga, ia masih ragu meninggalkan anaknya itu bersama Bunga karena takut wanita di sampingnya itu penculik anak dan saat ini sedang bersandiwara dengan mode bantuan. Bunga menyadari rasa ketakutan Kafkha. Ia memberikan anak itu ke gendongan Kafkha dan meminta uang kepadanya untuk membeli sebotol air itu.

“Aku yang akan membelikannya,” ucap Bunga.

Kafkha memperhatikan tangan Bunga yang disodorkan sedang meminta. Bunga membuang muka karena merasa jenuh melihat ekspresi keraguan Kafkha padanya. Ia mengambil uang yang terjulur keluar di saku kemeja Kafkha dan membawanya keluar dari mobil. Bunga berjalan cepat menyeberangi jalan menuju minimarket tanpa rasa malu berjalan tidak memakai alas kaki. Padahal, saat itu telapak kakinya terasa perih dan sudah memerah. Kafkha memperhatikan ketulusan Bunga membantunya, ia memperhatikan langkah kaki Bunga yang pincang dan melihat telapak kaki wanita itu terluka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status