Anli membeku. Dada Yuze nyaris menempel di bahunya, hangat alkohol bercampur aroma malam menyesak. Ia ingin menarik diri, tapi genggaman itu membuatnya sulit bergerak.‘Apa yang sebenarnya terjadi padanya?’ batinnya tegang.Lampu malam di meja memantulkan cahaya lembut. Dalam remang itu, wajah Yuze terlihat jelas, lelah, kecewa, rapuh, jauh berbeda dari sosok dingin yang biasa ia tunjukkan di siang hari.Anli menahan napas, berusaha tetap tenang. “Tuan, Anda salah kamar.”Namun Yuze tak merespons. Matanya setengah terpejam, tetapi sorotnya terhenti pada wajah Anli, seolah menemukan sesuatu yang lama ia cari.Ketegangan memenuhi kamar.Tubuh Yuze makin merosot, separuh berat badannya menindih bahu Anli. Napasnya berat, campuran alkohol dan kelelahan membuat dada bidangnya naik turun tidak teratur.Anli menegakkan tubuh dengan sulit, berusaha menjaga jarak. Jemarinya menyentuh perlahan pergelangan tangan Yuze, mencoba melepaskan genggaman itu. “Tuan… lepaskan. Anda butuh istirahat di ka
Anli diam sebentar, jemarinya masih menyusuri permukaan catatan titik timbul di pangkuannya. Lalu, perlahan ia menutup buku itu dan meletakkannya di meja. Senyumnya samar, tapi bukan senyum yang benar-benar hangat, lebih seperti senyum untuk menenangkan lawan bicara.“Saya… tidak punya banyak cerita, Madam,” jawabnya pelan. “Yang saya tahu, saya ditemukan di pinggir hutan oleh orang tua angkat saya. Saat itu saya masih kecil. Kepala saya sering sakit, dan ingatan saya… tidak utuh. Banyak yang hilang.”Madam Qin mengangguk pelan, tak memotong. Matanya tetap mengamati, seolah setiap kata Anli ia timbang satu-satu.“Orang tua angkat saya merawat saya seadanya,” lanjut Anli. “Kami tinggal sederhana, tidak pernah punya banyak hal. Mereka tidak mengajarkan kemewahan, hanya… bagaimana bertahan hidup. Saya belajar dengan cara yang berbeda, mengandalkan hidung, telinga, dan rabaan. Mata saya… sejak kecil sudah begini. Samar.”Hening turun sejenak. Di luar jendela, suara burung elektronik terde
“Ibu,” Xiumei segera berdiri, memberi hormat ringan. “Mari duduk bersama kami.”Madam Qin melangkah perlahan ke bangku batu. Xiumei membantu menata selendang peraknya. Begitu ia duduk di samping Anli, hidungnya langsung menangkap aroma lembut yang samar-samar menguar. Wangi itu berbeda, bukan parfum mewah, melainkan segar dan menenangkan, ada asam manis rosela, sejuknya kemangi, dan lapisan hangat yang membuat pikiran terasa damai.Alis Madam Qin bergerak tipis. Wangi ini… batinnya bergolak. Ingatan lama berkelebat: sabun herbal yang pernah diracik Sua Luqi, menantu Raja Yan Shiming. Puluhan tahun berlalu, namun baunya tidak berubah.Ia menatap Anli lebih lama, lalu tersenyum samar. “Anli… hari ini kau tampak berbeda. Rambutmu terurai, gaun krem sederhana itu, dan…” ia menghirup pelan, “…bahkan wangimu pun lain. Lembut, menenangkan. Aku hampir lupa rasanya.”Anli menunduk sopan, tangannya meremas pangkuan. “Itu… bukan dari parfum, Madam. Saya membuat sabun herbal. Dari rosela dan kema
Aroma bubur hangat memenuhi aula sarapan. Semangkuk bubur encer dengan taburan bawang goreng tersaji di meja utama, ditemani beberapa hidangan pendamping ringan.Xiumei sudah duduk anggun di kursinya, selendang plum menjuntai lembut. Di sebelahnya, Anli juga duduk dengan tenang. Wajahnya teduh, tangannya meraba sendok perlahan, lalu mengambil suapan kecil. Gerakannya hati-hati, tapi sama sekali tidak kikuk, seolah ia sudah terbiasa menghadapi tatapan orang yang menilai dari setiap gerakannya.Para pelayan di belakang masih kaku. Ada yang curi-curi pandang ke arah Yuze yang baru masuk. Jas abu-abu mudanya rapi, dasi terikat sempurna. Namun langkahnya lebih cepat dari biasanya, dan saat matanya bersentuhan sekilas dengan Anli, ada jeda tipis.Xiumei memperhatikan jeda itu. Ia menahan senyum samar sambil menyesap buburnya.“Yuze,” katanya ringan, “kau pulang terlambat semalam?”“Rapat,” jawabnya singkat. Ia duduk, meraih sendok. Bubur masuk ke mulutnya, namun pikirannya melayang pada sesu
Matahari Yancheng merayap masuk lewat tirai otomatis, tapi kamar Qin Yuze tetap terasa muram. Ia hampir tidak tidur semalam; setiap kali memejamkan mata, yang muncul hanya bayangan tubuh Anli yang tertindih olehnya, wangi herbal lembut yang melekat di jasnya, dan ia mendecak keras. Tangan sialannya yang mendarat di tempat terlarang.“Brengsek!” desisnya lirih. Matanya merah, kantung tipis menggantung di bawah. Ia menyambar dasi, lalu melepaskannya lagi. ‘Kenapa aku yang terganggu? Dia bahkan mungkin sudah lupa!’Air dingin dari wastafel tak membantu. Kopi hitam pun hanya membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Yuze menegakkan bahu, memaksa wajahnya kembali ke topeng dingin yang biasa ia pakai.Lorong rumah Qin pagi itu sibuk. Pelayan mondar-mandir dengan nampan sarapan, suara robot pembersih mendengung rendah. Yuze berjalan cepat, berusaha menyalurkan kegelisahannya pada langkah-langkah berat.Di tikungan koridor, ia berhenti mendadak.Anli sedang berjalan dari arah berlawanan, baki
Sore, sabun-sabun dipotong. Permukaannya halus dengan semburat merah lembut dari rosela. Anli meraba satu per satu, memeriksa tepi yang mungkin tajam, lalu menyelubungi tiap batang dengan kertas tipis. Pada bagian dalam kotak hadiah, ia menempelkan label timbul: Untuk Madam.Cuihua menatap pekerjaan itu sejenak. “Nyonya Muda… apakah… apakah saya boleh minta sepotong?”Anli tidak menjawab cepat. Ia menimbang, lalu mengulurkan satu batang kecil. “Untuk tangan. Wangi ini menolong tidur.”Cuihua menunduk dalam. “Terima kasih!”Malam datang, udara kota membawa panas yang tertahan huruf neon. Yuze pulang lebih larut dari biasa. Pundaknya berat, pelipisnya berdenyut, kepala berkunang-kunang. Ia ingin hanya satu hal, rebahan.Lorong menuju kamar redup, sensor sengaja direndahkan untuk malam hari. Di tikungan ruang tengah, suara langkah lain datang dari arah berlawanan. Halus dan teratur. Anli. Ia membawa keranjang kecil berisi sabun yang baru dipotong untuk dikeringkan semalam di rak kamarnya