"Jadi, Jelita belum bisa operasi?" tanya Royal.Seorang dokter pria dengan sneli putihnya duduk tegap di hadapan pemimpin Infinite Corporation."Iya, Tuan. Mohon maafkan saya. Setelah diperiksa lagi, kornea Nyonya dan sang pendonor kurang cocok," jawabnya.Jelita diam tertunduk. Besar harapan dia ingin segera bisa melihat dunia lagi. Namun, harapannya harus pupus saat mendengar kabar tersebut.Royal menghela napas lalu menggenggam tangannya dengan lembut untuk menenangkannya. Ia pun menatap sang dokter."Tapi, istri saya masih bisa melihat lagi, kan?" tanya pria itu."Tentu, Tuan. Kami akan mencari pendonor yang cocok lagi. Kami akan terus berusaha. Tapi untuk ke depannya, sebaiknya Nyonya tetap melakukan pemeriksaan berkala untuk memantau keadaan pengelihatan Nyonya Jelita," papar dokter itu."Baik, Dokter. Saya mengerti. Saya hanya perlu bersabar. Terima kasih sudah bekerja keras," ucap Jelita sembari tersenyum. Royal sendiri sadar senyuman itu dipaksakan."Kami permisi," ujarnya ke
Suara pintu terbuka mengakhiri ketenangan sejenak yang menyelimuti ruangan itu. Zain berdiri malu-malu di ambang pintu, takut menyadari kesalahannya. Royal melepaskan genggaman lengannya dari pinggang Jelita, mencoba menata napas. Ia melemparkan pandangan tajam ke arah asistennya, lalu melembut saat mengarahkan tatapannya ke Jelita."Kamu mengganggu, Zain," ujarnya dingin.Zain menelan ludahnya. "Ma-maaf, Tuan...." katanya terbata. "Tapi meeting berikutnya akan dimulai sebentar lagi."Jelita menegakkan tubuh, menunduk menahan malu atas perlakuan suaminya. Dia menggeser tubuhnya ke samping dengan perlahan, namun suaminya malah menahannya."Kalau begitu aku akan bersiap," jawab Royal, suaranya tegas namun terdengar tenang."Baik, Tuan." Zain mengangguk, lalu melangkah mundur. Pintu ditutup pelan. Ruangan itu kembali hening, namun hawa yang ada kini berbeda.Royal menatap Jelita."Mas... Kamu harus siap-siap. Jadi lepaskan aku," cicit Jelita mencoba lepas dari pelukan suaminya."Sebentar
Jelita terkejut saat mendengar suara yang amat dikenalnya. Suara itu terlalu akrab untuk sekadar seorang kolega bisnis. Itu suara suaminya sendiri.Royal berdiri tegap di depan Jelita. Setelan jas hitam pekatnya tampak pas melekat, menambah wibawa dan kharisma lelaki itu di hadapan para petinggi Infinite Corporation.Semua mata kini tertuju padanya. Namun bukan itu yang mengejutkan mereka. Yang paling membuat ruangan terdiam adalah bagaimana Royal berjalan menghampiri Jelita dengan wajah penuh ketenangan, lalu menjabat tangan wanita itu dengan sikap hangat dan lembut yang belum pernah mereka lihat sebelumnya."Nyonya, selamat. Proposal Anda mengesankan," ucap Royal, nadanya rendah, dalam, namun tulus.Jelita yang buta tak mampu melihat sorot tatapan sang suami, namun ia tahu betul siapa pemilik suara dan sentuhan itu. Genggaman tangan Royal yang besar, hangat, dan tenang, adalah satu-satunya tempat yang membuatnya merasa tidak tersesat dalam kegelapan."Iya, Tuan Royaldio. Terima kasi
"Bajingan!" Edwin mengumpat seketika setelah panggilannya terputus secara sepihak.Vanessa terkejut mendengarnya. Wanita itu pun mendekati suaminya, matanya memantau gerak-gerik pria yang kini wajahnya memerah karena marah."Mas... gimana?" tanyanya pelan.Tanpa berkata apa pun, Edwin menepis tangan istrinya. Dia pun melempar ponselnya ke atas kasur dengan gerakan kasar. Layar ponsel sempat menyala, memperlihatkan nama terakhir yang dia hubungi: Royal."Royal benar-benar berengsek! Berani-beraninya dia bersikap arogan padaku. Dasar anak nggak tahu diri," geramnya.Vanessa kembali mendekati suaminya. Kali ini ia mencoba meredakan emosi pria itu dengan mengelus punggungnya perlahan. Tapi Edwin menepisnya."Tenang, Mas. Kamu jangan emosi begini. Nanti tekanan darah kamu naik lagi," ujarnya cemas."Bagaimana aku bisa tenang? Semua orang sekarang mulai memojokkan keluarga Alexander. Kalau Victor dan Regina benar-benar dipenjara, bagaimana nasib kita?! Apa kamu pikir dewan akan tetap mengha
"Kurang ajar! Untuk apa kamu ke sini?" bentak Reno tiba-tiba.Jelita tersentak. Ia berhenti beberapa langkah dari ranjang sang ayah."Pah... aku dengar Papah sakit. Aku cuma mau–""Kamu pikir kamu masih bagian dari keluarga ini?" potong Reno tajam. "Setelah semua kehancuran yang kamu bawa?!"Royal melangkah maju, hendak menahan kemarahan yang mungkin meledak. Tapi Jelita mengangkat tangan, mencoba tetap tegar."Tapi, Pah... Aku anakmu... aku masih darah dagingmu...." cicit Jelita pilu.Reno terkekeh pahit. "Darah dagingku? Kamu membawa sial!"Tubuh Jelita tersentak kaget mendengarnya."Gara-gara kamu membuat onar, bisnis yang selama ini aku jalankan dengan susah payah, ambruk. Nama baik perusahaanku rusak. Kamu bahkan gagal menikah dengan Tuan Royal dan malah kabur dengan pria yang bahkan tidak punya apa-apa!" hardik Reno yang kini beralih menatap tajam pada Royal."Pak Reno...." Royal sepertinya ingin meledak, tapi Jelita menahan tangan suaminya."Mas... Jangan," bisik wanita itu.Ma
Royal menatap seorang wanita paruh baya dengan pandangan tajam namun tak mengandung kebencian. Di matanya, hanya ada kewaspadaan dan kecemasan. Sementara Jelita yang masih belum menyadari siapa yang berdiri di hadapan mereka hanya bisa menggenggam tangan suaminya."Mas?" panggil Jelita pelan.Tiba-tiba terdengar suara lirih namun tegas menyapa dari kejauhan, tubuh Jelita seketika menegang."Jelita?"Mendengar namanya dipanggil, Jelita menoleh ke sumber suara. Jari-jari Jelita membeku. Suara itu… suara yang dulu begitu akrab di telinganya—penuh keanggunan, tapi kali ini terdengar lelah dan getir."Mamah?" bisik Jelita pelan.Suara langkah sepatu mendekat dengan ragu. Lalu aroma parfum khas ibunya menyeruak di antara aroma rumah sakit yang steril. Jelita menoleh sedikit, ragu. Tangannya semakin menggenggam erat tangan Royal."Iya, ini Mamah, Lita...." Suara itu kini jelas, hanya berjarak satu meter darinya.Royal melepaskan genggamannya perlahan, tapi Jelita menolak dengan waspada."Mah