Earwen sudah anggun dengan setelan dress selutut dan sepatu yang senada, dengan tatanan rambut heart bun menambah kesan elegan tapi sederhana, sangat cocok dirambut Earwen yang berwarna coklat keemasan.
Briana menatap kagum kearah ratunya. "Lady anda sangat cantik," ucap Briana dengan kagum melihat penampilan Earwen.Earwen tersenyum malu. "Terimakasih Briana."Earwen berjalan dan diikuti Briana dari belakang, salah satu prajurit membukakan pintu taman kerajaan Hillary karena agenda hari ini adalah minum teh bersama. Sejak kemarin Earwen tidak melihat sosok orang tua King Edmund, yang ia tahu ibu king Edmund sudah tiada tapi kemana perginya Raja Hillary terdahulu itu? Earwen tidak berani bertanya, biarkan nanti ia mendengar kabar gosip dari beberapa pelayan."Oh astaga kamu menantu cucuku?" tanya wanita tua yang masih kelihatan cantik.Earwen tersenyum dan mencium tangan wanita tua tersebut."Ya ampun kamu pasti tidak mengenaliku, aku Queen Belinda ibunda King Arthur, ayah Edmund," jelasnya."Oh kau bisa memanggilku grandma, maaf aku datang di acara pernikahan kalian karena dia baru memberitahuku tadi, aku bahkan harus terbang dari Lovania ke Hillary," ucapnya sambil menunjuk Edmund dengan kesal."Tapi tidak papa, Edmund memilih dengan tepat calonnya," lanjutnya."Daisy tolong ambilkan sesuatu dikamar grandma.""Baik grandma."Belinda menatap kedua pasutri baru yang terlihat jauh-jauhan, ia sudah menduga ini akan terjadi karena Edmund hanya memanfaatkan Earwen saja karena Earwen tidak memiliki sihir seperti anak dari kerajaan lain, Belinda tidak habis kenapa putri raja dianggap penyakit jika tidak memiliki sihir, itu sungguh pemikiran norak."Kalian tidak pisah kamar kan?" tanya Belinda dengan santai.Uhuk..uhukEarwen yang tengah meminum tehnya tersedak kaget, oh ia juga bingung harus tidur dimana."Ya ampun sayang, hati-hati." Belinda menyerahkan saputangannya, Earwen menerimanya dan berterimakasih. Ia langsung mengelap bibirnya."Tidak," ucap Edmund enteng."Benar Earwen?" selidik Belinda."Ah iya, kami tidak pisah kamar grandma." Earwen mengangguk, menyetujui ucapan Edmund.Belinda mengangguk mengerti dan meminum tehnya. "Grandma akan tinggal di sini."Edmund melotot kaget. "Loh bukannya grandma hanya menginap satu malam disini?""Kau mengusirku dari kerajaanku anak nakal?""Kata grandma akan tinggal di Lovania terus," protes Edmund."Grandma berubah pikiran.""Grandma, ini." Daisy berlari kecil sambil menjunjung kedua sampanyeEarwen menatap ngeri kedua alkohol yang berkadar tinggi itu."Daripada meminum teh, lebih baik kita merayakannya dengan minum ini. Grandma bawa dari Lovania langsung," ucap Belinda sambil membuka sampanye tersebut."Grandma aku mau," ucap Daisy dan menyerahkan gelas kecil miliknya."Kau masih terlalu kecil gadis manis untuk meminum ini, Moora tolong antarkan Princess Daisy ke kamarnya."Sang pelayan tersebut mengangguk dan berjalan kearah Daisy yang merengek meminta agar dikasih sampanye tersebut walau hanya setetes. "Bawa dia," ucapnya lagiKini tinggallah mereka bertiga, Belinda menuangkan sampanye pertama digelas Earwen."Terimakasih grandma," ucap Earwen.Belinda meminta Earwen untuk meminumnya, dengan ragu Earwen meneguk minuman tersebut, errgh rasa pahit menggerogoti tenggorokan Earwen."Kau belum pernah meminum alkohol sebelumnya?" tanya Belinda saat melihat perubahan wajah Earwen.Earwen menggeleng. "Saya belum pernah Grandma, ini kali pertama saya meminumnya."Belinda mengangguk dan menuangkan di gelas milik Edmund, tentu saja Edmund menerimanya dengan senang hati. Dengan sekali tegukan Edmund meminumnya."Kapan kalian akan mengasih grandma cicit?" tanyanya.Edmund mengindikkan bahunya dan menuangkan kembali sampanye tersebut digelas nya, sudah keempat kalinya Edmund menuangkan minuman beralkohol tersebut."Oh ya Earwen kamu jangan percaya ya sama gosip yang mengatakan kalau Edmund itu raja kejam, itu bohong, haha terkadang aku ingin tertawa jika mendengarnya," ucap Belinda dan menuangkan sampanye ke gelas Earwen, ini gelas ketiga Earwen setelah dirasakan ternyata ada sedikit rasa manis di minuman alkohol tersebut.Belinda tersenyum misterius melihat kedua cucunya yang sudah terpengaruh alkohol, ia sengaja tidak meminumnya karena itu sampanye spesial untuk mereka.Tugasnya hanya menuangkan terus gelas Earwen dan mengajak bicaranya walaupun Earwen tidak membalasnya sedangkan untuk Edmund ia sudah menggenggam botol sampanye nya sendiri."Earwen apakah kau senang tinggal di kerajaan ini?""Tidak terlalu senang, tapi ada sedikit senangnya," ucapnyaBelinda menatap pipi Earwen yang sudah memerah, ah ia melupakan alkohol yang ia bawa sangat tinggi kadarnya."Well, lebih baik kalian kembali ke kamar karena ini sudah hampir tengah malam."Edmund bangun dari posisi duduknya, dengan sempoyongan ia berjalan namun dicegat oleh Belinda, "Edmund bawa Earwen juga"Edmund berbalik dengan kesadaran 60% ia menggendong tubuh Earwen ala bridal style. " Oh anda siapa tuan? lancang sekali anda tuan," tuding EarwenEdmund menatap wajah Earwen yang sudah merah padam akibat terpengaruh sampanye tadi."Tuan tolong turunkan saya, anda akan membawa saya kemana? tolong antarkan saya kembali ke kerajaan Loyren," titah Earwen dengan wajah yang dibuat agar terlihat marah."Tuan tuan, apa anda... bisu?" tanya Earwen sambil menutup mulutnya terkejut."Tidak apa-apa tuan, anda bisa menuliskan sesuatu di secarik kertas. Tidak usah berkecil hati saya juga tidak memiliki sihir, saya lemah tuan tidak ada gunanya jika anda menculik saya, lebih baik kembalikan saya ke kerajaan Loyren."Edmund membiarkan Earwen yang mengoceh seperti burung Beo. Kepalanya sudah pening ditambah racuan Earwen.Sesampainya dikamar milik Edmund, Edmund langsung melempar Earwen diatas kasur."Tuan tolong bawa saya pulang ke Loyren, saya akan mengasih anda imbalan."Edmund tersenyum smirk dan berjalan mendekati Earwen yang tengah menunduk. "Oh kau mau membayar saya?""Anda tidak bisu tuan," ucap Earwen dan mendongakkan kepalanya. "Sebenarnya dimana ini?" lanjutnya."Jawab saya berapa yang ingin kau bayar?" ulang Edmund."Oh iya saya bisa mengasih emas, perak, berlian, permata, mutiara katakan saja tuan ingin apa? saya akan memberikannya tapi lepaskan saya, saya tidak berguna tuan," ucap Earwen.Edmund tertawa devil. "Itu tidak cukup kucing kecil bagaimana kalau kau membayarnya dengan..." Edmund menggantungkan ucapannya dan menatap Earwen dari atas hingga bawah."Dengan apa tuan?" tanya Earwen dengan tampang polosnya.Suasana ruang pertemuan di istana Hillary terasa mencekam. Lampu-lampu kristal menerangi ruangan, tetapi hawa dingin yang menguar di dalamnya membuat siapa pun yang berada di sana merasa tak nyaman. Anne berdiri anggun di tengah ruangan, mengenakan gaun berwarna biru tua yang serasi dengan matanya. Rambut panjangnya disanggul rapi, bibirnya tersenyum lembut. Seakan-akan ia adalah wanita tanpa dosa, tak menyadari badai yang sedang menunggu untuk menerjangnya. Di hadapannya, Edmund duduk di singgasananya, ekspresinya sulit ditebak. Tangannya bertumpu di lengan kursi, sementara Jack berdiri di sampingnya dengan tatapan tajam. Anne tersenyum dan menyembah ringan. “Yang Mulia, aku senang akhirnya bisa berbicara langsung denganmu. Aku membawa kabar penting.” Edmund tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, membiarkan keheningan menggantung di udara. Detik demi detik berlalu, dan senyum Anne mulai menegang. “Yang Mulia?” Anne mencoba memecah keheningan. Edmund akhirnya berbic
Earwen menatap Carlo yang menuntun mereka ke tempat yang lebih aman. Pria bertudung hitam di pelukannya mulai kehilangan kesadaran, napasnya berat dan tubuhnya terasa dingin. Earwen menggigit bibir, merasa cemas. Jika pria ini mati sebelum ia mendapatkan informasi yang diinginkan, maka semua usahanya akan sia-sia. Setelah perjalanan singkat, mereka tiba di sebuah rumah kecil di bagian barat kota Hillary. Carlo melompat turun dari kudanya lebih dulu, lalu membuka pintu kayu yang berderit. “Bawa dia masuk,” perintahnya. Earwen mengangguk, lalu dengan susah payah ia menurunkan pria bertudung itu dan membawanya masuk ke dalam. Rumah itu kecil dan tidak mewah, hanya ada satu tempat tidur sederhana dengan beberapa perabotan seadanya. “Taruh dia di sini,” kata Carlo sambil menepuk kasur tua itu. Earwen menurunkan pria itu perlahan, lalu menyingkap tudungnya. Saat wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya redup, mata Earwen membelalak. “Tidak mungkin…” bisiknya, suaranya tercekat. Pria
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Earwen dan Carlo akhirnya sampai di pusat kota Hillary. Salju sudah mulai turun di Hillary, orang-orang berseliweran menggunakan pakaian musim dingin. Earwen menengadahkan tangannya menangkap salju yang turun. Netranya menelisik salju yang tengah berada di telapak tangannya. "Hei, ayo lanjutkan perjalanan ke tempat Gert."Ucapan Carlo membuyarkan Earwen. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Kau duluan saja, aku akan kembali lagi setelah senja." Carlo mendelik tidak suka. "Kau gila?! Kau bahkan belum tahu di mana letak tempat itu." "Kalau begitu aku akan menunggumu di sini nantinya, bye Mr. Pirang." Earwen memacu kudanya ke arah kanan, meninggalkan Carlo yang setengah mendidih. Tujuannya adalah pergi ke taman Yolain. Berharap menemukan Briana di sana. Setibanya di taman Yolain, Earwen membuka tudung kepalanya membebaskan rambutnya yang terkuncir layaknya ekor kuda itu. Earwen tidak yakin orang-orang akan mengenalinya yang dulu
Bunyi Sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai terdengar nyaring. "Kau datang, eh." Suara bariton milik pria yang sudah berumur itu menggelegar di setiap sudut. "Datang untuk menyerahkan ini," sahutnya dan melemparkannya ke arah pria tua itu. "Crystal Balls, dari mana kau mendapatkannya Sean Osbert?" "Anda tak perlu tahu, ayahanda. Kudengar benda itu terbuat dengan darah unicorn," tanya Sean dan mendudukkan tubuhnya pada sofa. "Benar sekali, son. Crystal Balls akan membantu menyempurnakan ramuanku." Galadriel menyeringai lebar melihat Crystal Balls yang berada di genggamannya, ah ia sudah tidak sabar untuk mengolahnya menjadi hal 'hebat'."Kau sudah banyak membantuku, son." Galadriel membuka lemari yang tak jauh dari dirinya berdiri. Ia mengambil sebuah pedang dan menyerahkannya kepada sang anak. "Untukmu," sambung Galadriel. Sean menerima pedang tersebut. "Téggewira? Anda serius menghadiahkan pedang Téggewira?" tanyanya memastikan. Pasalnya Téggewira bukanlah pedang biasa. Pe
Earwen mengeliat dalam tidurnya, ia benar-benar tidur nyenyak dan melupakan segala beban pikirannya, setelah tadi malam ia berpesta dengan para Gert. Pria-pria bertubuh kekar itu mulai menerima kenyataan bahwa sosok legenda seorang 'wanita'. Pintu di ketuk dari luar, dan tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok Steve. "Kau sudah bangun? Aku membawakan beberapa potong gaun untukmu, mandilah dan keluar dari kamarmu Earwen," ucap Steve dan meninggalkan beberapa potong pakaian untuk Earwen di atar ranjang wanita itu. "Baiklah, kau bisa keluar." Earwen turun dari ranjang dan berjalan ke arah Steve yang juga berjalan keluar dari kamar Earwen. Setelah kepergian Steve, Earwen mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Earwen menanggalkan pakaiannya dan menenggelamkannya ke dalam bathtub yang sudah terisi air, entah siapa yang mengisinya. Aroma wewangian menguar menciptakan sensasi tentram pada otak Earwen.Dirasa sudah cukup, Earwen m
"Apakah anda sang legenda itu?" tanya laki-laki yang menyerukan kata 'Capo' tadi. Earwen mengigit bibirnya was-was, bagaimana dia mengetahui tentang identitas aslinya? Ia kemudian melirik ke arah Steve yang masih saja bercengkerama dengan singa putih itu. Sialan! Bagaimana ia menjawab pertanyaan lelaki di depannya ini. "Carlo ini Earwen, dan Earwen ini Carlo," ucap Steve dan berjalan mendekati keduanya. "Earwen ikut aku," sambung Steve. Earwen mengikuti langkah Steve kedalam ruangan yang tak jauh dari ia berdiri tadi. Setelah keduanya masuk ke dalam satu ruangan, Steve menutup pintu tersebut. Ia kemudian duduk di atas kursinya. Earwen juga ikut duduk di kursi yang ada di depan meja yang ia pastikan bahwa ruangan ini adalah tempat kerja. "Sebenarnya tempat apa ini?" tanya Earwen to the point. Jujur saja, siapa yang tidak bingung kala di tempatkan di sebuah tempat asing tetapi di dalamnya orang-orangnya mengetahui tentang dirinya."Ini adalah markas, Earwen, markas Deville Morte. D