Earwen menatap langit-langit kamar, setelah kembali dari luar bersama Briana ia mengurung dirinya di kamar. Pikirannya kacau mengetahui fakta yang baru saja ia dengar. Masalah terus bertambah layaknya virus, Earwen harus memikirkan untuk kedepannya. Ia tidak boleh stuck di satu tempat seperti ini, mimpinya! Free life, Earwen ingin kembali fokus untuk itu. Kali ini ia berjanji untuk itu, walaupun hatinya tidak kontras Earwen ingin berusaha. Netra hazel miliknya menatap guci yang terdapat pada nakas. Earwen memfokuskan pikirannya kepada satu titik yang ia minta. Dan-guci tersebut melayang di udara, tepat di atas kepala Earwen. "Magic," lirih Earwen menatap guci yang melayang-layang. Ah Steve! Pria itu benar-benar menepati janjinya. Kini Earwen sudah lumayan bisa untuk menguasai kekuatannya. Steve bilang kini Earwen hanya perlu untuk mengebalkan tubuhnya. Ah ia jadi rindu dengan pria itu yang sedang perjalanan jauh entah kemana dan tidak tahu kapan pulangnya. Ceklek.Pintu terbuka da
Briana membantu memasangkan jubah musim dingin pada tubuh Earwen dan mengaitkannya menggunakan pin yang bersimbol Kerajaan Hillary. Gunanya untuk meminimalisir terjadinya penyerangan bandit jalanan yang tiba-tiba. Pin tersebut sudah di sihir agar menghubungi pihak kerajaan jika terjadi marabahaya, walaupun kecil kemungkinan karena Earwen bepergian dengan Sean, sang Alpha dari Black Team. "Sudah selesai Lady," ucap Briana setelah memundurkan tubuhnya. Earwen tersenyum, ia berbalik dan menatap pantulan dirinya pada cermin. Tatanan rambut half-bun dan Tiara kecil menghiasi kepalanya. Gaun berwarna merah pekat dan sedikit corak putih di atas lutut. Sepatu boots tinggi berwarna hitam. Penampilannya malam ini benar-benar berbeda, Earwen memang sengaja, dirinya ingin menunjukkan kepada keluarganya bahwa ia baik-baik saja walaupun mereka menjualnya ke pria iblis itu. "Perfect Briana, apakah Sean sudah menunggu?" tanya Earwen sambil memasangkan tudungnya. "Ya dia sudah menunggu anda di bel
"See, she's also curious! Let me know Ayahanda," ucap Valiant. King Valiant mengendurkan dasinya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah berkas dari balik sebuah lukisan yang terpajang di ruang kerjanya. King Valiant berjalan menghampiri Earwen dan melemparkan berkas tersebut di depan wajah Earwen. "Jawabanmu ada disini!" ucap King Valiant dan kembali duduk di kursi kebesarannya. Earwen mengambil berkas yang tergeletak di lantai. Matanya menangkap sebuah kertas yang sudah menguning, dan mengambilnya. "Apa ini?" tanya Earwen. Philips berjalan mendekat ia kemudian merampas kertas tersebut dari tangan Earwen. Ia tersenyum miring melihat judul yang tertulis. "Akta kelahiran Earwen Freya Salazar, daughter of Zane Salazar dan Nayara Laurels--" Philips menggantungkan ucapnya dan melirik ke arah Earwen yang tengah tertunduk. "Nayara Laurels, kau pasti tahu bukan bahwa dia adik kandung Ayahanda yang sudah lama mati bahkan sebelum kau lahir. Namun, siapa sangka dia ternyata ibumu Earwen?" sambu
Earwen menghentakkan tali kekang Ruby dengan keras. Menambah laju kecepatan, meninggalkan kuda Sean dan Steve yang masih tertinggal di belakangnya. Pikirannya berkelana mengingat pembicaraan terakhirnya dengan Rose–– yang merupakan mantan pelayan Princess Nayara. "Ceritakan tentang Zane Salazar," ucap Earwen.Rose memilin-milin tangannya, sesekali ia mengulum bibirnya ke dalam. Netranya menatap wajah nona mudanya. Ia menghela nafas berat, mungkin sudah saatnya dia tahu siapa jati dirinya yang asli. "Zane Salazar, dia adalah pakar obat-obatan yang hebat. Tidak ada meragukan kemampuannya dalam meracik sebuah obat. Suatu hari, Zane Salazar datang ke Loyren untuk meracik obat King Callen dan saat itulah kali pertama Princess Nayara jatuh cinta kepada sosok Zane Salazar––" Rose menjeda ucapannya dan menatap wajah Earwen. "Hubungan mereka sempat tidak direstui oleh King Callen, karena Princess Nayara seorang putri Raja sedangkan Zane hanya pakar obat-obatan biasa. Namun, pada akhirnya K
Cahaya matahari mengusik tidurnya. Earwen mengusap pelan sesuatu yang menjadi tumpuan tangannya. Ia menyerngit saat merasakan tonjolan-tonjolan aneh. Earwen membuka matanya. Damn Shit! Matanya membelak saat netranya menangkap tubuh sixpack milik Edmund. Earwen menatap tangannya yang tepat di atas kotak-kotak perut Edmund. Ia meringis kecil, semoga saja pria itu tidak bangun saat tangan nakalnya meraba-raba kesana-kemari. Sialan! Earwen mencoba meloloskan diri dari dekapan Edmund. Namun ia menghentikan aksinya saat melihat tubuh bagian atasnya tidak tertutup apa-apa. Sialan, apa lagi ini! Jadi dirinya tertidur dengan bertelanjang dada heh? Astaga memalukan. "Kau sudah bangun?" tanya Edmund. Ia menatap netra coklat milik Earwen. Earwen mengangguk kecil, tanpa sadar dirinya mengigit bibir bawahnya. "Hari sudah sore," ucap Edmund saat menatap keluar jendela. Mereka berdua berdiam diri, fokus dengan pikirannya masing-masing. Earwen dengan pikirannya sendiri dan begitu sebaliknya den
Edmund membolak-balikkan tumpukan kertas yang sudah menjulang tinggi di meja kerja miliknya. Karena dirinya tidur dari pagi hingga sore, membuat pekerjaannya menumpuk dan mau tidak mau Edmund hari lembur. Seperti saat ini, jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan dirinya masih berkutat di atas tumpukan kertas. Ia menatap tulisan dalam kertas tetapi pikirannya berkelana kembali ke masa lalu. "Ed, jangan terlalu suka membaca nanti kamu cepat tua." Bak seperti siluet yang melintas di otaknya. Ucapan gadisnya benar-benar sering mengacaukan pikirannya jika Edmund lembur dengan kertas-kertas miliknya. Ini menyakitkan, Edmund merindukannya tetapi gadisnya sudah tidak ada lagi di Esterlens. Edmund menghela nafas panjang. Ia menarik laci meja kerjanya, netranya langsung di sambut oleh foto gadis yang menggunakan gaun berwarna putih seperti gaun pengantin. Edmund tersenyum tipis, mengusap bingkai foto tersebut. "Fale, i miss you so much," bisik Edmund berbicara dengan foto yang sudah sedikit
"Daisy, kakak harus pergi." Anne mengusap pundak milik Daisy. Anne harus kembali bertugas ke perbatasan. Waktunya sudah habis dan dirinya masih belum bisa mengeluarkan Earwen dari Hillary. Sialan! Ini gara-gara Sergio yang menjauhinya dan membuat Anne mengejar pria itu agar tetap berada disisinya. Ia tidak ingin kehilangan sosok Sergio yang sudah banyak membantunya. "Kenapa? Kita belum selesai kak," tanya Daisy."Kakak akan usaha untuk bisa kembali ke Hillary dalam waktu dekat, kakak akan meminta surat cuti." Cuti, satu-satunya cara agar Anne dapat kembali ke Hillary. Ah mengingat dirinya tidak pernah mengambil bagiannya itu. Terlalu lama di Hillary membuat Anne lupa dengan Calallard, istana miliknya. Lagipula Anne tidak terlalu senang berlama-lama di tempat kelahirannya. Dirinya sudah terlalu nyaman berada di Hillary sedari kecil, saat sang Ayah membawanya ke Hillary untuk pertama kalinya. "Baiklah, Daisy akan menunggu kakak kembali." Daisy memeluk tubuh Anne yang dibalas oleh An
"Jadi Zane Salazar di tuduh sebagai penyebab kematian Faleia Jacqueline?" tanya Steve setelah Earwen menceritakan berkas yang dia temukan di ruang kerja Edmund tadi malam. Bola mata Earwen melesat jauh menatap langit yang membiru terang. Ia memikirkan kemana Ayahnya pergi. Earwen masih menyangkal bahwa Zane Salazar telah mati, karena hatinya mengatakan tidak. "Kau menemukan sesuatu Steve?" "Tidak, tapi kurasa kau ikuti saja Edmund. Mungkin di dalang di balik menghilangnya Zane Salazar." Earwen mengangguk kecil, Edmund sudah pasti sosok dibalik semua ini. Ia harus mengorek lebih dalam lagi mengenai Edmund. Earwen hanya menginginkan dirinya dapat di pertemukan dengan Zane Salazar, walau dalam keadaan tulang belulangnya saja. Tangannya terulur mengusap liontin milik mendiang ibunya. "Tolong bantu Earwen menemukannya," batinnya berbisik lirih. "Lady!" Pekikan Briana membuat Earwen dan Steve menoleh menatap Briana yang berlari ke arah mereka yang sedang duduk. "Ada apa?" tanya Earwen