“Jangan pura-pura tidak tahu!” Kirei menatap tajam.
“Aku memang tidak tahu dan tidak mengerti dengan maksud pertanyaanmu tadi,” balas Dev tenang, seraya meletakkan buku di meja. Dia beranjak dari duduk, lalu mendekat ke hadapan Kirei. “Bagaimana kabarmu hari ini?” tanyanya, diiringi tatapan penuh arti.
Namun, Kirei justru tak menyukai dengan cara Dev menatapnya. Dia langsung memalingkan wajah.
“Hari-harimu akan jauh lebih tenang sekarang. Kupastikan tak ada yang berani mengganggumu lagi,” ucap Dev, pelan dan dalam.
Kirei sontak menoleh, menatap tajam pria tampan di hadapannya. “Jadi, benar dugaanku? Kamu yang telah melenyapkan Natasha dan teman-temannya?”
“Lebih tepatnya adalah anak buahku. Aku hanya memberi perintah,” ujar Dev tenang.
“Bagaimana kamu bisa mengetahui semua itu?” Kirei menatap penuh selidik. “Kamu mengawasiku?”
“Sudah kukatakan bahwa ini akan jadi lebih mudah untukku,” balas Dev tetap tenang.
“Dari mana? Siapa? Bagaimana caranya kamu mengawasiku, Dev?”
“Aku tidak perlu menjabarkan secara detail padamu. Seharusnya, kamu berterima kasih karena gadis-gadis bodoh tidak berguna itu tak akan mengganggumu lagi. Hari-harimu akan jauh lebih tenang selama berada di kampus. Benar, kan?”
“Ya! Tapi, tidak dengan cara seperti itu!” protes Kirei tak suka.
“Lalu, harus dengan cara seperti apa?” Dev menatap lekat Kirei, yang perlahan mundur dan memberi jarak darinya. “Seperti itulah caraku dalam menyelesaikan masalah. Kamu harus tahu dan belajarlah untuk terbiasa karena ____”
“Aku tidak sudi ___”
Secepat kilat, Dev meraih wajah Kirei. Tangan kanannya mencengkram lembut pipi wanita muda itu. Meskipun terlihat agak menakutkan, tetapi Dev melakukannya dengan sangat hati-hati karena tak ingin menyakiti wanita yang telah dinikahinya tersebut.
“Kirei, Sayangku,” ucap Dev pelan dan dalam, seraya mendekatkan wajahnya. Kali ini, Kirei tak bisa menghindar. “Jangan banyak bicara, apalagi protes. Aku tidak akan menyakitimu karena kamu adalah barang titipan. Bagaimanapun juga, aku merupakan orang yang sangat profesional dalam berbisnis. Akan kujaga kamu dengan baik, sampai Sigit melunasi semua utang beserta bunganya.”
“Papa pasti tidak akan melakukan itu,” ucap Kirei pelan, tetapi penuh penekanan.
“Kita lihat saja nanti. Lagi pula, andai Sigit tidak melunasi utang-utangnya, aku tak merasa terlalu dirugikan. Aku cukup terhibur dengan keberadaanmu di sini. Apalagi, jika kamu bisa bersikap lebih manis.” Dev melepaskan cengkramannya dari pipi Kirei. Namun, dia tak membiarkan wanita muda itu pergi begitu saja.
“Berhubung kamu sudah ada di sini, tak ada salahnya untuk melayaniku sebentar saja.” Dev menarik pinggang Kirei hingga tubuh wanita muda itu merapat padanya.
“Tidak! Aku tidak mau!” tolak Kirei, berusaha melepaskan diri.
Namun, tenaga Kirei tak jauh lebih besar dibanding kekuatan Dev. Dengan sangat mudah, pria itu membawa Kirei ke tempat tidur, kemudian mendudukkannya di tepian kasur.
“Sudah kukatakan, Sayang. Bekerjasamalah denganku,” ucap Dev, seraya membelai lembut pipi Kirei, yang mendongak menatapnya.
“Aku akan memperlakukanmu dengan sangat baik karena ….” Dev mengembuskan napas pelan dan dalam. Perlahan, dia menunduk hingga mendekat ke wajah Kirei. Dilumatnya mesra bibir wanita muda berambut panjang tersebut.
“Aku ingin bercinta denganmu sekarang,” ucap Dev, setelah puas mencium Kirei. “Namun, aku baru ingat masih punya urusan yang harus diselesaikan.”
Dev menatap lekat Kirei, sambil terus memegangi pipi wanita muda itu. “Aku menyukai ini,” ucapnya, seraya mengusap perlahan bibir sang istri menggunakan ibu jari. “Selama kamu berada dalam pengawasanku, tak kuizinkan ada satu pria pun yang mendekatimu.”
“Aku tidak suka dikekang. Lagi pula, aku tidak mengerti dengan hubungan kita sekarang. Ini bukan pernikahan.”
“Lalu, kamu sebut apa?”
“Pemaksaan kehendak.”
Dev tersenyum samar, kemudian menyingkirkan tangannya dari wajah Kirei. “Katakan itu pada ayahmu. Kenapa dia tidak segera melunasi utang-utangnya padaku.”
Kirei malas menanggapi ucapan Dev, jika sudah membahas masalah utang sang ayah, berhubung tahu bahwa Sigit tak akan pernah melunasinya.
“Sigit masih beruntung karena aku tidak langsung menghabisinya. Tak seperti yang kulakukan terhadap orang lain,” ucap Dev cukup datar.
“Beruntung? Kenyataannya, akulah yang dirugikan dalam hal ini.” Kirei memalingkan muka karena kesal. “Apa yang bisa kulakukan? Astaga. Bodoh sekali.” Wanita muda itu menggeleng tak mengerti.
“Jangan terlalu berlebihan, Kirei. Aku memperlakukanmu dengan baik. Bukankah begitu?”
“Kamu sangat menakutkan.” Kirei beranjak dari duduk, bermaksud keluar dari kamar Dev.
Namun, Dev segera meraih pergelangan tangan Kirei, lalu menariknya hingga kembali duduk di ujung tempat tidur. “Aku belum mengizinkanmu keluar dari kamar ini.”
“Apakah aku harus menuruti perintahmu, seperti orang-orang suruhan yang melakukan pembunuhan terhadap Natasha dan yang lainnya?”
Dev hanya tersenyum kecil, menanggapi ucapan bernada protes yang dilayangkan Kirei.
“Berikan kebebasanku. Aku akan bekerja dan mengumpulkan uang, lalu melunasi semua utang papa,” ucap Kirei yakin. Padahal, dia tahu nominal yang harus dilunasi bukanlah dalam jumlah sedikit.
“Kepada siapa kamu akan menjual diri, untuk mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu cepat?”
“Dev!” sergah Kirei. Dia langsung berdiri, seraya mengangkat tangan hendak menampar pria di hadapannya.
Namun, gerakan Dev selalu lebih cepat. Pria itu menangkap pergelangan tangan Kirei, menahannya hingga beberapa saat tanpa mengatakan apa pun.
Dev menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Sesaat kemudian, pengusaha tampan berusia 38 tahun itu mengecup tangan Kirei. "Kamu harus membayar untuk sikap lancang ini," ucapnya penuh penekanan.
Dev mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Kirei ke seluruh penjuru kota. Dia menekankan kepada mereka agar tidak kembali ke markas, sebelum benar-benar yakin bahwa Kirei tidak ditemukan di manapun. Tiga hari pencarian besar-besaran dilakukan. Seakan tak ada rasa lelah, mereka memeriksa ke seluruh tempat. Namun, Kirei tak ada di mana-mana. Seperti sebelumnya, wanita itu sangat pandai menyembunyikan diri agar tak mudah ditemukan. “Kami sudah memeriksa setiap tempat dan …. Nona Kirei tidak ada di wilayah yang menjadi area pencarian kami,” lapor Mathias, yang bertugas memimpin kelompok 15. Rasa takut tersirat jelas dari parasnya, berhubung laporannya barusan pasti akan membuat Dev marah besar. “Kau yakin sudah mencari Kirei ke berbagai penjuru kota?” Dev menatap tajam Mathias yang berdiri dengan ekspresi cukup tegang.Mathias mengangguk tegas, berusaha menutupi ketakutan akan kemarahan sang tuan besar. “Aku membagi kelompok 15 jadi beberapa bagian, Tuan. Kami berpencar dan mel
“Nyonya!” Beto segera menghampiri Maitea. “Apa yang terjadi?” tanyanya sekali lagi, seraya menurunkan tubuh di sebelah ibunda Dev tersebut.“Ki-Kirei …. Di-dia … dia menyerangku …,” ucap Maitea terbata karena sambil menahan sakit di lengannya.“Ya, ampun. Tuan Dev pasti akan marah besar karena ini,” ujar Beto. “Apa Anda bisa bangun?”Maitea mengangguk. “Panggilkan Dokter Maldonado sekarang juga. Setelah itu, bawa rekan-rekanmu mencari Kirei,” titah Maitea.“Tuan Dev hanya menempatkan sepuluh orang di depan, dan sepuluh orang di belakang,” ucap Beto, seraya menghubungi Dokter Maldonado. Sesaat kemudian, panggilannya tersambung. Beto meminta sang dokter agar segera datang ke sana.“Dokter Maldonado akan segera kemari, Nyonya. Aku harus menghubungi Tuan Luis terlebih dulu.”Beto memanggil seorang pelayan, yang langsung membantu Maitea ke kamarnya. Setelah itu, dia bergegas menghubungi Luis sambil berjalan keluar rumah."Nyonya Maitea terluka. Nona Kirei menyerangnya, sebelum melarikan di
“Tidak, Nak! Apa yang kau lakukan?” Maitea berusaha meminta pisau yang Kirei pegang. “Berikan padaku,” bujuknya lembut, menyembunyikan rasa gugup dan khawatir yang tiba-tiba hadir. “Jika aku tidak bisa keluar dalam keadaan hidup, maka tak apa dalam kondisi tidak bernyawa. Hidupku sudah hancur. Semua angan indah tentang masa depan dan cita-cita, sirna seketika saat aku harus berurusan dengan Dev.”“Semua bisa dibicarakan baik-baik.”Kirei menggeleng kencang, membantah ucapan Maitea. “Dev memberikan kesempatan besar. Namun, dia telah memangkas habis kebebasanku. Lambat laun, napasku pun pasti harus sesuai dengan keinginannya.”“Tidak, Nak. Putraku pasti memiliki alasan kuat melakukan itu. Dia tidak pernah bertindak sembarangan tanpa perhitungan matang,” bantah Maitea.“Mama tidak tahu apa yang telah Dev lakukan. Dia kerap bersikap kasar dengan memberikan hukuman padaku,” tutur Kirei cukup tegas. “Aku pernah dihukum di ruang bawah tanah selama dua hari, dengan tiga ekor anjing buas yang
“Tidak ada hukuman lagi?”“Aku akan tetap memberikan hukuman, andai kau melanggar aturanku,” tegas Dev.“Kamu memberikan hukuman untuk kesalahan yang tidak jelas. Apakah itu adil?” Setelah lebih banyak memilih diam, Kirei akhirnya bersuara. “Aku sudah sering mengatakan ini padamu. Namun, kamu tetap egois dan hanya melihat dari satu sudut pandang, yaitu sudut pandangmu."Dev tidak menanggapi.“Apa yang bisa kulakukan, Dev? Apakah aku harus memasang papan di depan dada, yang bertuliskan ‘Dilarang menatapku’? Itu yang kamu mau?”“Aku hanya takut kehilanganmu.”“Pria yang menatapku, belum t
Kirei menoleh, menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Namun, dia tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Dev. Akhirnya, dia lebih memilih diam, lalu memalingkan muka.Beberapa saat kemudian, mobil yang Dev dan Kirei tumpangi sudah tiba di halaman parkir belakang rumah perkebunan milik Maitea. Kedatangan mereka disambut senyum hangat ibunda Dev tersebut.Bahasa tubuh Maitea masih terlihat sama. Dia tidak menunjukkan kemarahan atau semacamnya, meskipun Kirei sudah melakukan kesalahan dengan melarikan dari sang putra. Entah kesalahan atau bukan yang Kirei lakukan. Namun, sepertinya Maitea berusaha memahami situasi yang dihadapi wanita muda itu.“Apa kabar, Nak? Selamat datang kembali di rumah ini,” sambut Maitea hangat dan penuh kasih. Dipeluk serta diciumnya kening Kirei, bagai seorang ibu te
Dev mengepalkan tangan mendengar ucapan Kirei. Tanpa banyak bicara, dia berlalu keluar kamar. Dev mengunci pintu, agar Kirei tidak bisa melarikan diri.Dengan langkah gagah penuh percaya diri, dia menuju kamar Luis.“Ada yang bisa kubantu, Tuan?” tanya Luis.Dev tidak segera menjawab. Dia menatap sang ajudan, dengan sorot tajam penuh makna. Namun, hanya lewat tatapan seperti itu, Luis sudah mengetahui apa yang akan Dev katakan.“Owen Wyatt,” ucap Dev dingin.Luis mengangguk. “Siap, Tuan.”“Ingat. Jangan meninggalkan jejak sedikit pun.”