“Ya. Menikah.” Sigit menegaskan.
“Ta-tapi, bagaimana bisa?” protes Kirei. “Apanya yang ‘bagaimana bisa?’ Menikah, ya menikah. Persiapkan dirimu dari sekarang.” “Tidak, Pa. Jangan bercanda.” Kirei mendekat ke meja kerja Sigit, berdiri di depannya dengan sorot tak mengerti. Sigit yang awalnya bicara sambil memeriksa beberapa berkas, mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Kirei. “Apa Papa pernah bercanda denganmu?” Nada serta tatapan pria paruh baya itu terdengar kurang bersahabat. Kirei menggeleng kencang, menolak tegas keputusan Sigit. “Papa tidak bisa mengambil keputusan sepihak! Ini tentang masa depanku, Pa!” protesnya cukup tegas. “Masa depanmu adalah menikah nanti malam! Keputusan sudah diambil dan tidak ada kata protes! Apalagi penolakan.” tegas Sigit. Kirei kembali menggeleng kencang. “Aku bahkan tidak tahu akan menikah dengan siapa.” “Jangan khawatir. Kamu tidak Papa nikahkan dengan pria sembarangan,” ucap Sigit. “Calon suamimu adalah pengusaha ternama, yang tentunya bisa menopang masa depanmu dan masa depan kita.” “Yang benar saja.” Kirei menatap tak percaya. “Kenapa bukan Kak Astrid yang Papa nikahkan? Usianya jauh lebih matang dariku,” protes Kirei lagi. “Aku bahkan belum lulus kuliah, Pa!” tegasnya. “Alah! Kuliah!” cibir Sigit, seraya mengibaskan tangan. “Astrid sudah memiliki kekasih. Jadi, Papa tidak mungkin menikahkannya dengan pria lain.” “Tapi, kenapa harus menikah secara mendadak seperti ini? Papa bahkan tidak meminta pendapatku terlebih dulu.” Lagi-lagi, Kirei melayangkan protes keras.. “Bukankah sudah Papa tegaskan tadi? Tidak ada protes! Apalagi penolakan!” Sigit mulai jengkel karena Kirei terus membantah. Dia berdiri, kemudian beranjak dari meja kerja. Dihampirinya sang putri, yang menatap dengan sorot tak mengerti. Sigit menghadapkan Kirei padanya. Dia memandang penuh arti, wanita muda 22 tahun tersebut. “Mari bicara lebih serius, Nak,” ucap pria paruh baya itu. “Kenapa Papa tega sekali padaku?” Kirei menatap sendu. “Aku tahu Papa membenci dan tidak menginginkan kehadiranku di rumah ini. Namun, tolong jangan bersikap seperti itu. Aku selalu berusaha jadi anak baik, agar bisa disayangi seperti Kak Astrid.” Sigit tidak segera menanggapi. Dia hanya menatap lekat Kirei, yang mulai berkaca-kaca. “Apa yang harus kulakukan, agar Papa bisa menerimaku sepenuhnya?” “Lakukan apa yang Papa katakan tadi.” Kirei langsung mundur, diiringi gelengan kencang. “Tidak, Pa. Tolonglah.” Dia menangkupkan tangan, sebagai tanda permohonan. Namun, Sigit tetap pada pendiriannya. “Jangan lakukan itu padaku,” pinta Kirei. “Tidak ada cara lain, Nak. Hanya itu jalan yang bisa diambil saat ini. Kamu tahu kenapa?” Kirei menatap penuh tanda tanya. “Sebenarnya, kondisi perusahaan sedang tidak baik-baik saja. Papa membutuhkan sokongan dana yang sangat besar. Jalan satu-satunya adalah mencari pinjaman,” terang Sigit serius. “Lalu? Apa Papa mendapatkannya?” tanya Kirei. Sigit mengangguk. “Ya,” jawabnya. “Papa mendapatkan pinjaman sebanyak 350 miliar, untuk menutupi beberapa kerugian. Namun, pemberi pinjaman itu menginginkan jaminan. Terus terang, Papa tidak memiliki aset berharga lagi untuk saat ini.” “Kak Astrid masih bergaya hidup mewah. Aku tidak yakin dengan apa yang Papa katakan barusan,” ujar Kirei ragu. “Astaga. Astrid adalah Astrid! Apa hubungannya dengan aset berharga Papa?” “Papa selalu memanjakan Kak Astrid. Tidak seperti terhadapku.” Sigit menggeleng. “Jangan banyak bicara, Kirei! Kalau kita sampai bangkrut, kamu tahu sendiri seperti apa dampaknya.” “Aku tidak akan merasakan dampak apa-apa, sebab tidak pernah menikmati kemewahan seperti yang Papa berikan kepada Kak Astrid! Jangankan materi. Papa bahkan tidak pernah peduli padaku!” Kirei mengembuskan napas pelan, saat tiba-tiba teringat pada kejadian mengerikan yang menimpanya semalam. Apalagi, pagi ini dia terbangun di pinggir jalan, bagai seorang gelandangan. Namun, Kirei tak berani mengatakan apa pun tentang kejadian itu kepada Sigit. Bisa saja, dia tengah diawasi saat ini karena tak mungkin orang-orang itu melepaskannya begitu saja. “Ah, sudahlah.” Lagi-lagi, Sigit bersikap tak peduli. “Persiapkan dirimu untuk nanti malam. Pak Dev akan datang kemari.” “Siapa?” Kirei mengernyitkan kening. “Dev Aydin Bahran.” Lemas. Kirei tak tahu harus bagaimana. Semua datang secara bersamaan. Belum habis rasa takut akibat disekap orang-orang asing, kali ini dirinya dipaksa menikah dengan pria tidak dikenal. Kirei berharap jarum jam berhenti berputar. Namun, itu sesuatu yang tidak mungkin. Terlebih, ketika ada seorang perias yang menemuinya. Waktu terus berjalan. Tanpa terasa, siang berlalu berganti malam. Kirei mulai gelisah di kamarnya. Dia sudah bersiap memakai dress sederhana, dengan riasan alakadarnya. “Sudah waktunya. Pak Dev dan para petugas telah menunggu di ruang tamu,” ucap Sigit, yang bermaksud menjemput Kirei. “Tidak, Papa. Kumohon, Jangan lakukan ini padaku,” pinta Kirei, setengah memelas. Namun, Sigit tak peduli. Dia menarik tangan Kirei, sedikit menyeretnya keluar kamar. “Tidak, Pa. Kumohon. Batalkan kegilaan ini,” pinta Kirei lagi. Sebisa mungkin, dia mempertahankan diri, meski Sigit terus menariknya kencang. “Jangan membuang waktu, atau kamu akan menerima akibatnya! Jika kamu ingin dianggap berguna oleh Papa, maka jangan membantah!" “Tapi, apa yang Papa lakukan ini tidak benar,” protes Kirei, tetap menolak. Dia berpegangan pada meja. “Ingat siapa dirimu. Dasar anak haram!” umpat Sigit. “Pembawa sial!” gerutunya. Mendengar sederet kata-kata kasar itu, akhirnya Kirei menurut. Dia mengikuti Sigit hingga ke ruang tamu. “Pak Dev. Ini Kirei.” “Hai, Kirei,” sapa Dev, diiringi tatapan aneh. Kirei terpaku dengan sorot penuh ketakutan. Dia masih ingat betul suara berat itu.Dev mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Kirei ke seluruh penjuru kota. Dia menekankan kepada mereka agar tidak kembali ke markas, sebelum benar-benar yakin bahwa Kirei tidak ditemukan di manapun. Tiga hari pencarian besar-besaran dilakukan. Seakan tak ada rasa lelah, mereka memeriksa ke seluruh tempat. Namun, Kirei tak ada di mana-mana. Seperti sebelumnya, wanita itu sangat pandai menyembunyikan diri agar tak mudah ditemukan. “Kami sudah memeriksa setiap tempat dan …. Nona Kirei tidak ada di wilayah yang menjadi area pencarian kami,” lapor Mathias, yang bertugas memimpin kelompok 15. Rasa takut tersirat jelas dari parasnya, berhubung laporannya barusan pasti akan membuat Dev marah besar. “Kau yakin sudah mencari Kirei ke berbagai penjuru kota?” Dev menatap tajam Mathias yang berdiri dengan ekspresi cukup tegang.Mathias mengangguk tegas, berusaha menutupi ketakutan akan kemarahan sang tuan besar. “Aku membagi kelompok 15 jadi beberapa bagian, Tuan. Kami berpencar dan mel
“Nyonya!” Beto segera menghampiri Maitea. “Apa yang terjadi?” tanyanya sekali lagi, seraya menurunkan tubuh di sebelah ibunda Dev tersebut.“Ki-Kirei …. Di-dia … dia menyerangku …,” ucap Maitea terbata karena sambil menahan sakit di lengannya.“Ya, ampun. Tuan Dev pasti akan marah besar karena ini,” ujar Beto. “Apa Anda bisa bangun?”Maitea mengangguk. “Panggilkan Dokter Maldonado sekarang juga. Setelah itu, bawa rekan-rekanmu mencari Kirei,” titah Maitea.“Tuan Dev hanya menempatkan sepuluh orang di depan, dan sepuluh orang di belakang,” ucap Beto, seraya menghubungi Dokter Maldonado. Sesaat kemudian, panggilannya tersambung. Beto meminta sang dokter agar segera datang ke sana.“Dokter Maldonado akan segera kemari, Nyonya. Aku harus menghubungi Tuan Luis terlebih dulu.”Beto memanggil seorang pelayan, yang langsung membantu Maitea ke kamarnya. Setelah itu, dia bergegas menghubungi Luis sambil berjalan keluar rumah."Nyonya Maitea terluka. Nona Kirei menyerangnya, sebelum melarikan di
“Tidak, Nak! Apa yang kau lakukan?” Maitea berusaha meminta pisau yang Kirei pegang. “Berikan padaku,” bujuknya lembut, menyembunyikan rasa gugup dan khawatir yang tiba-tiba hadir. “Jika aku tidak bisa keluar dalam keadaan hidup, maka tak apa dalam kondisi tidak bernyawa. Hidupku sudah hancur. Semua angan indah tentang masa depan dan cita-cita, sirna seketika saat aku harus berurusan dengan Dev.”“Semua bisa dibicarakan baik-baik.”Kirei menggeleng kencang, membantah ucapan Maitea. “Dev memberikan kesempatan besar. Namun, dia telah memangkas habis kebebasanku. Lambat laun, napasku pun pasti harus sesuai dengan keinginannya.”“Tidak, Nak. Putraku pasti memiliki alasan kuat melakukan itu. Dia tidak pernah bertindak sembarangan tanpa perhitungan matang,” bantah Maitea.“Mama tidak tahu apa yang telah Dev lakukan. Dia kerap bersikap kasar dengan memberikan hukuman padaku,” tutur Kirei cukup tegas. “Aku pernah dihukum di ruang bawah tanah selama dua hari, dengan tiga ekor anjing buas yang
“Tidak ada hukuman lagi?”“Aku akan tetap memberikan hukuman, andai kau melanggar aturanku,” tegas Dev.“Kamu memberikan hukuman untuk kesalahan yang tidak jelas. Apakah itu adil?” Setelah lebih banyak memilih diam, Kirei akhirnya bersuara. “Aku sudah sering mengatakan ini padamu. Namun, kamu tetap egois dan hanya melihat dari satu sudut pandang, yaitu sudut pandangmu."Dev tidak menanggapi.“Apa yang bisa kulakukan, Dev? Apakah aku harus memasang papan di depan dada, yang bertuliskan ‘Dilarang menatapku’? Itu yang kamu mau?”“Aku hanya takut kehilanganmu.”“Pria yang menatapku, belum t
Kirei menoleh, menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Namun, dia tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Dev. Akhirnya, dia lebih memilih diam, lalu memalingkan muka.Beberapa saat kemudian, mobil yang Dev dan Kirei tumpangi sudah tiba di halaman parkir belakang rumah perkebunan milik Maitea. Kedatangan mereka disambut senyum hangat ibunda Dev tersebut.Bahasa tubuh Maitea masih terlihat sama. Dia tidak menunjukkan kemarahan atau semacamnya, meskipun Kirei sudah melakukan kesalahan dengan melarikan dari sang putra. Entah kesalahan atau bukan yang Kirei lakukan. Namun, sepertinya Maitea berusaha memahami situasi yang dihadapi wanita muda itu.“Apa kabar, Nak? Selamat datang kembali di rumah ini,” sambut Maitea hangat dan penuh kasih. Dipeluk serta diciumnya kening Kirei, bagai seorang ibu te
Dev mengepalkan tangan mendengar ucapan Kirei. Tanpa banyak bicara, dia berlalu keluar kamar. Dev mengunci pintu, agar Kirei tidak bisa melarikan diri.Dengan langkah gagah penuh percaya diri, dia menuju kamar Luis.“Ada yang bisa kubantu, Tuan?” tanya Luis.Dev tidak segera menjawab. Dia menatap sang ajudan, dengan sorot tajam penuh makna. Namun, hanya lewat tatapan seperti itu, Luis sudah mengetahui apa yang akan Dev katakan.“Owen Wyatt,” ucap Dev dingin.Luis mengangguk. “Siap, Tuan.”“Ingat. Jangan meninggalkan jejak sedikit pun.”