Siang ini Ken sedang dipusingkan dengan tugas kantornya. Setelah perjodohan ini tentu saja Ken akan menetap di Indonesia. Dia harus meneruskan perusahaan keluarga dan usaha miliknya sendiri. Karena ini hal baru, Ken harus kembali beradaptasi dengan semuanya.
"Mama?" Ken berdiri dari duduknya saat mamanya masuk ke dalam ruangan."Ken, kamu lagi sibuk?""Lumayan. Emangnya ada apa?"Wanita paruh baya tersebut tersenyum simpul dan mendekati sang anak. "Hari ini kamu beli cincin sama Aya buat tunangan nanti. Gedung sama dekorasi udah mama siapin. Terus jangan lupa ke butik buat ambil baju.""Iya. Aku juga mau jemput Aya sama Metta ke kampusnya.""Mama jadi gak sabar nunggu kalian menikah.""Mama tenang aja. Aya akan jadi menantu mama." Lelaki itu melirik jam tangannya sekikas. "Kayaknya aku harus jemput mereka sekarang. Mama mau aku antar pulang dulu?""Gak usah. Mama ke sini sama supir. Sekarang mau ke kantor papa dulu.""Yaudah, hati-hati.""Kamu juga."****Metta tersenyum cerah saat melihat Kenneth berjalan ke arahnya. Kini banyak orang yang bisik-bisik membicarakan ketampanan kakaknya itu. Yap, dia terlihat tampan dengan pakaian kantor yang dikenakan. Memiliki kesan dewasa.'Ya ampun, itu cowok ganteng banget.''Dia siapa? Keliatannya bukan orang sembarangan.''Dia lagi jalan ke arah Metta. Jangan-jangan pacarnya.'Ken mengabaikan orang-orang di sekitarnya dan berjalan santai begitu saja. Tatapan seperti itu sudah sering didapatnya. Resiko orang tampan memang seperti itu."Masih ada kelas, gak?" tanya Ken, namun pandangannya seolah mencari seseorang."Udah gak ada. Tapi anterin aku ke rumah temen, ya.""Aya mana?"Gadis memudarkan senyumnya. "Gak tau.""Hay, kak. Kita temennya Metta," ucap kedua teman Metta yang sejak tadi menatap damba wajah Ken."Oh, iya. Saya kakaknya."Di sisi lain Aya melihat bagaimana Ken berkenalan dan menatap para gadis di sana. Mau disebut sok kegantengan tapi memang ganteng. Aya yakin pria itu memang sengaja ingin tebar pesona."Jadi cowok itu kakaknya Metta? Calon tunangan kamu, dong?" bisik Putri pada Aya."Lo mau tunangan, Ay?" tanya Deon yang tak sengaja mendengar bisikan tersebut.Saat ini Aya bersama Putri, Deon, dan Rendi yang berniat untuk nongkrong di kafe. Tapi dua lelaki itu dibuat terkejut dengan pertanyaan Putri. Apalagi Rendi yang kini menatap seolah meminta penjelasan."Tau, ah. Ayo pergi."Melihat kehadiran Aya, Ken langsung menghampirinya. Matanya melirik tajam lelaki yang berjalan di samping Aya. Beraninya dia merangkul calon tunangannya. Siapa dia? Tentu saja Kenneth tidak terima."Ayana!" panggil Kenneth yang menghampirinya. Hal tersebut menarik perhatian beberapa orang.Gadis itu menghentikan langkahnya dan berbalik. "Ngapain?""Ikut saya!"Aya tersentak saat Ken menarik tangannya tiba-tiba. "Lepasin!"Rendi mencoba untuk membantu Aya, namun Putri memintanya diam. Mereka juga tidak bisa ikut campur begitu saja. Apalagi melihat Metta yang berlari kecil mengikuti Ken dan Aya.Kini keduanya berada di parkiran. Tepatnya di depan mobil Ken yang terparkir. Aya hanya bisa pasrah melihat tatapan orang yang melihat kejadian tadi."Gak usah kasar bisa?" ketus Aya memegangi pergelangan tangannya."Maaf. Saya gak suka liat kamu deket sama laki-laki kayak gitu. Apalagi sampai rangkul-rangkulan. Kamu tau kalau sebentar lagi kita mau tunangan.""Terpaksa! kamu juga harus inget yang satu itu."Ken menghela nafas sesaat. "Cuma kamu yang merasa terpaksa. Hari ini mama minta kita buat ngambil gaun di butik sama beli cincin. Kamu pulang sama saya.""Aku gak mau."Metta yang tadi mengejar kini sudah berada di sana. "Kak, aku gak mau lagi satu mobil sama dia.""Kamu pikir aku mau? aku juga ogah kali," jawab Aya memutar bola matanya malas."Bagus kalau gitu. Pulang sendiri sana!""Ayana harus pulang sama kakak," putus Ken sebelum keributan lainnya terjadi. "Kita mau ke butik buat ambil gaun.""Pokoknya aku gak mau satu mobil sama dia!"Seketika Aya memiliki sebuah ide. Bukankah menyenangkan jika membuat Ken memilihnya? Metta pasti akan merasa kesal dengan itu. Kan itu tujuan Ayana."Kalau begitu kamu harus putusin mau pergi sama aku atau sama Metta?""Kakak gak akan pilih dia, kan?"Ken membasahi bibirnya sesaat dan menatap adiknya. "Hari ini kamu sama temen kamu dulu, ya. Tadi bukannya bilang mau ke rumah mereka dulu? Kalau nanti mau pulang baru kakak jemput.""Jadi kak Ken lebih pilih Aya daripada aku?""Iya, lah," celetuk Aya dengan bangganya. Dia tersenyum mengejek ke arah Metta yang berdecak kesal."Diem lo! Gue gak ngomong sama lo!""Terserah."Aya langsung masuk ke dalam mobil, sedangkan Metta sudah naik darah karena merasa tidak terima. Melihat kelakuan dua perempuan dihadapannya ini membuat Ken menggelengkan kepalanya.****"Kamu gak bisa baikan sama Metta? Sebentar lagi dia akan jadi adik ipar kamu," ucap Ken setelah mereka berada di dalam mobil."Gak bisa.""Dulu kalian deket banget, loh."Aya menoleh. "Tapi dia pernah ngerebut cowok aku.""Oh, ya?" Ken melihat gadis itu mengangguk. "Bagus, lah. Coba kalau sekarang kamu punya pacar. Makin susah saya deketin kamu.""Ck, nanti aku cari cowok biar kamu makin susah."Ken mengangkat sebelah alisnya. Dia jadi merasa kembali diingatkan dengan kejadian tadi. Sial! Apa dirinya merasa cemburu saat ini?"Kamu bisa jauhin cowok tadi, Ay?""Siapa?" Aya mengerutkan keningnya."Yang rangkul kamu. Kayaknya dia suka sama kamu.""Rendi? Dia cuma temen. Lagian kamu gak perlu sampe ngatur-ngatur kayak gitu. Kalau aku bisa nolak perjodohan ini, udah aku tolak dari awal."Pria itu menghentikan mobilnya. "Kenapa? Kamu masih marah? Itu cuma masa lalu, Ay. saya gak pernah serius buat nyakitin perasaan kamu. saya juga udah minta maaf, kan? Gak usah dibahas lagi.""kamu ngomong gitu karena gak tau rasanya. aku masih terlalu kecil buat denger umpatan yang belum pernah aku denger sebelumnya. kamu emang cowok brengsek!""Bicara yang sopan. saya ini lebih tua daripada kamu," ucap Kenneth dengan nada rendahnya. menahan marah."aku sopan sama yang lebih tua. Pengecualian untuk orang kasar kayak kamu.""kasar kayak gimana? Apa pernah saya main tangan sama perempuan?!" sentak Ken tanpa sadar.Aya tersentak mendengar suaranya. Kenapa lagi-lagi Ken membuatnya takut? Apa Aya terlalu berlebihan membahas kejadian? Dia rasa tidak. Ken memang tidak pernah memukul dengan tangan saat kecil. Tapi Aya membenci ucapan kasar yang Ken katakan saat itu."Ay..."Merasa bersalah, pria itu mengusap wajahnya kasar. Seharusnya dia bisa mengatur emosi. Ken tidak marah pada Aya, dia justru marah pada dirinya sendiri.Pria itu mendekatkan tubuhnya ke arah Aya, lalu meraih satu tangannya. "Saya minta maaf. Apa itu kurang? Jujur setelah liat kamu lagi, saya jatuh cinta sama kamu."Setelah mengatakan itu Ken langsung memiringkan wajahnya. Wajah mereka kini semakin dekat, hingga kedua benda kenyal itu bertemu. Aya tidak bisa lagi berpikir jernih dengan tindakan yang dilakukan Ken secara mendadak.Hanya sebuah kecupan. Ken melepaskan tautan tersebut tanpa menjauhkan wajahnya. Karena tidak mendapat reaksi apapun dari gadis dihadapannya, ia kembali mencupnya. Kali ini disertai dengan lumatan yang begitu lembut. Masih belum ada respon dari Aya. Dia tidak menolak, tapi juga tidak membalas.Apa yang dilakukan Ken saat ini membuat Aya dilema. Satu menit yang lalu dia dibuat ketakutan. Sekarang, lelaki itu membuatnya melupakan ketakutan tadi.'Aku gak bohong. He's good kisser.'"Kamu suka yang mana?" tanya Ken dengan menunjukan beberapa cincin yang berjejer di etalase.Setelah kejadian di dalam mobil itu, mereka benar-benar bersikap seperti biasa. Seolah tidak terjadi apapun sebelumnya. Walaupun Aya rasanya ingin mengomel, tapi dia lebih takut melihat Ken marah. Ayana menatap jejeran perhiasan di depannya dengan tak minat. "Terserah.""Kok terserah? Yang pakai cincin-nya bukan cuma saya. Kamu juga.""Lagian aku bingung milihnya. Semuanya keliatan sama aja. Emangnya harus banget aku yang pilih?""Harus kamu yang pilih."Ribet! Aya mendengus pelan. Apa susahnya pilih sendiri? Liat saja, dia akan memilih cincin paling mahal agar lelaki di sampingnya ini menyesal. Bukankah ini kesempatan Ayana agar pria itu berpikir dia memang matre dan tidak menyukainya?"Cincin yang paling bagus mana, mbak? Yang sepasang," ucap Aya dengan melihat beberapa cincin yang dihiasi berlian. Ia mengibaskan kecil rambutnya ke belakang."Sebentar." Wanita itu mengambil salah satu cinci
Saat ini Metta dan Ayana sedang berada di kelas bersama beberapa orang lainnya. Mereka mendapat tugas presentase dengan setiap kelompok berisi 5 orang. Karena itulah keduanya disatukan dalam satu kelompok yang sama. Ada Metta, Ayana, Putri, Deon dan Rendi. Sedangkan teman Metta yang kemana-mana bersama sudah mendapatkan kelompoknya sendiri."Mau ngerjain tugasnya di mana?" "Gimana kalau di rumah gue aja? Kebetulan lagi sepi juga," usul Rendi."Aku ngikut yang lain aja," kata Ayana dan diangguki yang lain. Sepertinya mereka sudah setuju. Kecuali satu orang, Metta. Gadis itu tak menanggapi ucapan orang-orang di sekitarnya.Merasa ditatap, Metta mengangkat kedua alisnya. "Kenapa?""Lo setuju gak kalau kerja kelompok di rumah Rendi?" Kini Deon bertanya."Gue maunya di rumah gue aja," jawabnya acuh.Ayana mendelik. "Ribet banget. Ngikut yang lain aja kali.""Pokoknya harus di rumah gue."Dua perempuan itu saling lempar tatapan tajam. Entah sampai kapan mereka akan terus seperti ini tanpa
"Kayaknya mending cari bahan di buku juga. Soalnya kalau di internet cuma itu-itu aja." Ayana menggeser laptopnya ke hadapan Putri dan mulai mengambil tumpukan buku di depannya."Itu udah gue baca, dan masih kurang. Besok beli ke toko buku buat nambahin.""Ribet banget, ya," ucap Deon menyandarkan tubuhnya.Metta memutar bola matanya. "Kita masih mending udah dapet setengah. Kelompok lain masih pada bingung mau nulis apa.""Jadi ini gimana?" "Lanjut nanti lagi. Sekarang tulis dulu yang ada.""Emang buat kapan tugasnya?" tanya Kenneth yang tiba-tiba ikut bergabung. Duduk di sofa dengan membawa beberapa buku tebal di tangannya."Lusa.""Ambil, nih. Itu buku terjemahan, tapi banyak materinya." Kebetulan Jevran memang memiliki rak buku khusus yang dimiliki saat menjadi mahasiswa. semuanya masih tertata rapih. Dia juga berkuliah di jurursan bisnis."Makasih ya, kak.""Sama-sama."Ayana melirik Kenneth sekilas. Saat pria itu balik menatapnya, ia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Kenapa dari tadi diem terus, hm?" tanya Ken yang melirik sekilas ke arah gadis di sampingnya."Terus harus gimana?""Kamu cemburu kalau saya deket sama temennya Metta?" Hanya memastikan saja. Ken tidak merasa jika Aya cemburu. Apa memang dia tidak memiliki perasaan untuknya?"Engga. Aku bukan kamu. Sama Rendi, temen aku aja kamu cemburu. Aku itu gak suka sama kamu! Cuma karena aku gak bisa nolak semua ini bukan berarti aku suka sama kamu."Ayana menatap jalanan sambil memegang sabuk pengaman erat. Sebenarnya untuk mengatakan itu saja dia punya ketakutan. Dia takut Ken akan marah atas perkataannya. Karena bagaimanapun Ayana belum terbiasa dengan pria ini.Kenneth sendiri tidak menghiraukan ucapan Ayana. Dia hanya mencoba agar gadis ini tidak semakin membencinya. Biar saja Naura berpikir seperti itu sekarang yang jelas Ken akan memastikan Ayana akan tetap menjadi miliknya.Tak lama dari itu mobil berhenti tepat di depan rumah Aya. Gadis itu hendak turun, namun Ken lebih dulu menahannya
"Ayana! Ya ampun, ini anak gadis masih tidur. Udah siang ini."Wanita paruh baya itu menarik selimut yang menggulung tubuh putrinya. Tertidur nyenyak tanpa merasa terganggu sedikitpun. Ini pasti karena habis bergadang nonton film. Kebiasaan!"Bangun!""Sebentar lagi, ya. Sekarang Aya gak ke kampus," jawab Ayana melenguh."Itu temen kamu udah nunggu di bawah. Kasian kalau harus nunggu lama.""Siapa?""Putri."Ayana sontak mengubah posisinya menjadi duduk. Dia lupa sudah janjian untuk bertemu. Gadis itu melihat Mamanya berjalan ke arah jendela untuk membuka gorden. Saat cahaya matahari itu menerpa wajahnya, ia menyeringit silau."Tadi juga Kenneth ke sini. Mama mau bangunin kamu, tapi dia bilang jangan. Terus pulang lagi, deh.""Ken? Ngapain dia ke sini?""Gak tau. Mungkin ngajak kamu jalan," jawab Mamanya yang kembali menghampiri Ayana. Ia menarik selmut untuk dilipat. "Biar Aya aja yang beresin nanti," cegatnya."Yaudah. Mandi dulu sana. Putri disuruh masuk ke kamar aja apa gimana?"
"Makasih udah nganterin sampe rumah," ucap Ayana membuka sabuk pengamannya."Sama-sama. Lo gak apa-apa, kan?""Kenapa?"Rendi mengusap tengkuknya sesaat. "Gak cemburu liat yang tadi?"Ayana terkekeh pelan dan menggeleng. Tidak, dia tidak cemburu. Hanya saja Aya ingin membuat Ken merasa panas. Entah kenapa menyenangkan saja jika membuat kesal. Aya seperti membalaskan dendamnya."Kenapa harus cemburu juga? Udah, ya, aku mau masuk. Kamu hati-hati pulangnya. Kalau barangnya udah selesai jangan lupa kasih tau aku, ya," jawabnya."iya, nanti gue yang anterin."Ayana turun dari dalam mobil dan melihat Rendi yang berlalu pergi dengan mobilnya. Setelah memastikan Rendi benar-benar pergi, Ayana masuk ke rumahnya. Dia merasa lapar dan ingin makan sesuatu sekarang. Mungkin makan mie terasa nikmat saat tubuhnya merasa dingin seperti sekarang.Saat masuk ke dalam rumah Ayana melihat Ibunya tengah berada di dapur, menyiapkan sesuatu. Dengan cepat ia menghampirinya dan melihat apa yang dilakukan Ibun
"Gak ada, Pah. Ayana cuma bercanda mungkin.""Jangan bohong Ken! Kalian ada masalah?"Metta yang merasa ini adalah kesempatan langsung memanfaatkannya. "Pah, Mah, jadi Aya itu liat Kak Ken sama temen kampus aku yang mamanya Yura jalan berdua. Nah, mungkin karena itu.""Kamu jangan mulai, Ta. Jangan bikin Kakak tambah marah," ucap Ken kesal dengan sang adik. "Ini cuma salah paham. Papa sama Mama jangan khawatir karena aku jamin ini bukan masalah besar.""Kamu yakin? Mama gak mau kalau Ayana berakhir membatalkan perjodohan kalian sedangkan acara pertunangan sudah di depan mata. Mama mau Ayana yang jadi menantu Mama, Ken."Diam-diam Metta pergi dari sana menuju kamar. Orang-orang di rumahnya menyukai Ayana bahkan Ibunya sampai mengatakan hanya ingin Aya yang menjadi menantunya. Sehebat apa, sih? Banyak wanita lain di luar sana yang lebih baik dari Ayana.***Seorang gadis keluar dari kamarnya dengan tampilan acak-acakan. Ia terbangun di malam hari dengan keadaan yang kurang baik. Tubuhny
"sayang, ayo bangun dulu. Ini waktunya kamu minum obat, loh." Ayana mengeluh dan perlahan membuka matanya. "Gak mau, Mah. Nanti aja.""Kamu harus cepet sembuh. Gak inget tadi dokter bilang kamu harus makan? Ini suhu tubuh kamu masih panas. Kamu juga belum makan apa-apa dari pagi.""Gak mau."Gadis itu memelas. Perutnya sakit setiap diisi makanan. Tadi pagi dia sudah mencoba memakan bubur namun baru satu suapan sudah terasa mual. Lagipula selama belum merasa lapar ia masih bisa menahannya. Ayana bahkan tak memiliki tenaga untuk bangkit jika memang harus memuntahkan isi perutnya ke kamar mandi."Tadi pagi siapa yang datang?" tanya Ayana teringat sesuatu. Ia menyingkirkan kompresan di keningnya."Siapa? Kayaknya gak ada.""Terus itu dari siapa?"Dilihatnya benda yang ditunjuk Ayana. Sebuah kotak kecil di atas nakas yang diletakan di samping lampu tidur. Intan baru sadar ada benda ini. Ia membukanya untuk melihat apa yang ada di dalam kotak tersebut.Wanita itu mencoba mengingat dan seg