Bugh...
Sebuah sepatu mendadak telempar hingga mengenai kepala Ayana. Gadis tersebut sontak memegangi pelipisnya yang dirasa memar.
"Woy! Siapa yang lempar sepatu ke muka aku?" teriaknya sambil mengangkat sepatu tinggi-tinggi."Gue! Lagian ngapain lo berdiri di situ?"
Mendengar ucapan menantang dari musuh bebuyutannya, sontak Ayana membelalak. "Harusnya aku yang nanya. Kayak anak kecil aja lempar-lempar sepatu. Kurang kerjaan banget."Keributan tersebut ditonton oleh beberapa mahasiswa di koridor kampus. Mereka sudah tidak asing lagi dengan pemandangan tersebut. Ayana Birdie adalah salah satu mahasiswi di fakultas ekonomi bisnis (FEB), sedangkan gadis di hadapannya adalah Metta Adzkiya yang berada di fakultas yang sama.Keduanya dikenal sebagai rival sejati!
"Gue mau ngelempar dia. Salah siapa lo tiba-tiba muncul?" kata Metta lagi. Kini, dia menunjuk salah satu lelaki berkacamata yang kini memeluk bukunya.
"Bukannya minta maaf, malah balik nyalahin.""Udah-udah. Buruan balikin sepatu gue!""Balikin?" Aya menatap sepatu yang dipegangnya sesaat, kemudian melirik Metta. "Tuh, ambil.""Heh! Kenapa lo lempar sepatu gue? Ambil!""Ambil sendiri."Aya segera menarik temannya menjauh dari sana. Ia mengabaikan teriakan Metta yang memanggil namanya.Lagian suruh siapa dia melempar sepatu sembarangan?Di sisi lain, teman Aya yang bernama Putri itu kini hanya bisa diam.Kalau sudah berurusan dengan si Metta itu, Aya akan lebih sensitif. Dia juga bingung bagaimana awal keduanya sering bertengar seperti itu. Yang Putri tau temannya ini benar-benar orang yang tenang dan polos, tapi ternyata dia bisa berubah jadi singa betina saat berhadapan dengan Metta."Sebel banget, sih! Kenapa dia itu suka banget ngancurin mood-ku? Mana tiap hari ketemu lagi," gerutu Aya setelah mereka sampai di parkiran kampus."Gimana gak ketemu? Kita satu kelas sama dia, Ay.""Jujur, kalau bukan karena Papa yang minta ngambil fakultas ini, aku mending di fakultas hukum. Aku pernah cerita kalau mau jadi pengacara, kan?"Putri mengangguk pelan. "Iya, sih. Tapi sejauh ini nilai kamu bagus. Kalau kamu salah ambil jurusan, terus nilai kamu jelek, itu yang jadi masalah.""Tau, ah!""Jangan marah-marah terus, dong. Kamu masih belum mau cerita kenapa Kamu sama Metta musuh kayak gitu?"Sedetik kemudian. Aya merubah raut wajahnya. Memang tidak ada orang yang tau tentang masalah ini selain Aya dan Metta sendiri. Bahkan teman-teman keduanya juga tidak ada yang tau. Untungnya, Putri yang melihat temannya terdiam, langsung melanjutkan bicara, "Yaudah, kalau gak mau cerita gakpapa." "Bukan gitu. Kapan-kapan deh, soalnya ceritanya panjang," balas Aya mencari alasan."Yaudah. Aku mau cari makan, nih. Mau ikut gak?""Sebenernya pengen, tapi mama suruh pulang cepet. Gak tau deh ada apa.""Oke. Aku juga mau ngajak Deon, sih." Putri tersenyum lebar hingga menunjukan deretan giginya.Ayana hanya bisa menggelengkan kepala menyaksikan kasus friendzone ini.Sama-sama suka, tapi belum ada yang berani jujur sama perasaannya. Aya saja sampai gemas karena kedekatan mereka yang tidak memiliki hubungan.
Begitu tiba di rumah, ia merasa dunianya runtuh karena berita dadakan yang dibawa kedua orang tuanya.
"Apa?! Dijodohin?" pekik Ayana tak pecaya.
Namun, sepasang suami istri itu hanya mengangguk."Jangan aneh-aneh, deh. Aya baru pulang tau.""Mama sama Papa serius. Perjodohan ini sebenarnya udah lama, cuma kita harus nunggu umur kamu yang tepat," kata papanya.Iya, perjodohan. Bagaimana Aya tidak pusing? Dia baru sampai rumah tapi mamanya langsung membicarakan hal yang tidak masuk akal. Perjodohan seperti itu hanya ada di jaman dulu, novel, dan film."Kamu juga kenal sama orangnya, kok."Aya kini menatap Mamanya. "Siapa?""Kenneth, anaknya tante Mirna. Masih ingat?""What? Gak mau," balasnya cepat."Kenapa? Kamu dulu suka main sama dia. Bahkan kamu sahabatan sama adiknya, Metta."Tapi itulah alasan Aya semakin tidak mau. Orang tuanya tidak tau permasalahan Aya. Mereka tidak tau bagaimana Aya sakit hati dengan kakak beradik tersebut!"Gak mau, Mah. Aya udah gak temenan lagi sama Metta," jawab Ayana membuang wajah ke arah lain. Ia benar-benar tidak menyangka jika pria itu yang akan dijodohkan dengannya."Kenapa? Pantesan aja udah lama Metta gak main ke rumah. Tante Mirna juga gak ngomong apa-apa. Jangan gitu, dong. Mama sama tante Mirna itu temanan, masa anak-anaknya musuhan."Pria yang berstatus suaminya itu ikut mengangguk. "Emangnya apa masalah kalian? Bisa dibicarakan baik-baik, kan?""Gak bisa!""Ayana!"Gadis itu menunduk. Kalau papanya sudah memanggil seperti itu, Aya mau mengelak bagaimana lagi?"Oke, Aya cerita. Metta itu pernah rebut pacar Aya waktu SMA. Itu parah banget, kan?""Bagus, dong. Udah putus, kan? Kalau kamu belum punya pacar jadi lebih gampang kita jodohin," celetuk mamanya."Ih, dengerin dulu. Terus si Ken itu pernah ngebentak Aya. Waktu kecil dia pernah ngomong kasar sama Aya.""Kasar gimana?""Pokoknya dia bentak Aya! Dia ngomong kayak gitu cuma karena Aya gak bisa main bola. Padahal waktu itu Aya masih kecil, sedangkan dia udah gede."Papanya sontak tertawa. "Sayang, itu zaman masih kecil. Papa yakin Ken gak berniat buat bentak kamu kayak gitu. Sekarang dia jadi anak baik, loh.""Alah, paling juga pencitraan. Pokoknya Aya tetep gak mau!""Ketemu sebentar saja. Dia udah pulang dari Amerika buat nemuin kamu. Mama sama tante Mirna udah janjian buat jodohin salah satu anak kita nanti," ucap orang tuanya kembali membujuk."Selain dia gak ada gitu?""Siapa? Metta?"Aya melotot. "Ya enggak juga, Pah. Metta cewek.""Terus?""Mama sama papa bikin adek buat Aya. Terus kalau dia udah gede, jodohin tuh sama si Ken," ucapnya asal."Hah?""Pokoknya Aya gak mau. Dia udah tua.""Kalian cuma beda delapan tahun." Wanita paruh baya itu melirik suaminya sekilas. "Mama sama papa malah beda sepuluh tahun.""Tapi Aya masih kuliah.""Gak papa, kan pendekatakan dulu. Toh, kamu udah semester akhir," jawab Mamanya cepat, "Gak akan nyesel kamu, Ay. Sekarang kenneth makin ganteng tau. Kalau dari muka juga gak keliatan beda jauh dari kamu."Aya terdiam sesaat. Sepertinya kalau menolak juga percuma. Aya sudah terbiasa menjadi gadis baik-baik dan mematuhi kedua orang tuanya. Naura benar-benar ingin menolak tapi di sisi lain Aya juga tau dia tak punya pilihan.Dengan pasrah gadis itu bergumam, "Emang kapan dia datang ke rumah?""Malam ini." Papanya tersenyum simpul."Loh? Dadakan banget.""Sebenarnya udah dari lama. Cuma kalau gak dadakan, kamu pasti bakal kabur di hari acaranya. Makanya malam ini kamu gak boleh kemana-mana.""What?!"Di waktu yang bersamaan, keluarga Mirna dan suaminya juga sedang mengadakan rapat di rumah. Jika Kenneth sudah mengetahui perjodohan ini dari lama, Metta justru tidak mengetahuinya. Dia terkejut sekaligus kesal karena Aya adalah orang yang akan menjadi calon kakak iparnya."Jangan dong, pah. Perjodohannya batalin aja.""Dari tadi kamu terus bilang jangan. Kenapa? Yang dijodohin itu kakak kamu," kata Papanya yang tak mengerti dengan perkataan sang anak."Iya. Kamu sama Aya itu kan temen. Mama juga seneng kalau Aya jadi mantu di rumah ini."Metta berdecak kesal. "Aku sama Aya udah gak temenan lagi.""Kenapa gitu? Padahal dulu kalian lengket banget.""Mama kayak gak tau aja anak perempuan," kata Ken yang sejak tadi diam. Matanya kembali fokus pada ponsel."Ih, kakak pokoknya harus nolak perjodohan ini. Nanti aku kenalin sama temen cewek aku di kampus," bisik Metta."Gak, ah. Cantik-cantik, gak?""Cantik. Aku tau selera kak Ken kayak gimana. Yang body-nya bohay gitu, kan? Gak usah bohong
"Ya ampun sayang, kamu cantik banget." Aya membalas pelukan tante Mirna padanya. "Makasih. Tante juga cantik banget.""Sini, duduk di samping tante." Melihat mamanya yang dekat dengan Aya membuat Metta semakin dibalur rasa cemburu."Kita langsung aja, ya. Aya masih inget sama Ken? Malam ini kita datang buat jodohin kalian berdua," kata papanya Ken dan Metta."Kamu mau, kan?" lanjutnya.Aya melirik kedua orang tuanya serta tante Mirna dan suami secara bergantian. Kalau menolak di depan banyak orang seperti ini Aya juga merasa tidak enak. Mama dan papanya juga pasti akan malu. Jadi, Aya memutuskan untuk mengangguk."Kalau begitu kita langsung tentuin tanggal tunangannya.""Eh? Tunangan?" Ayana menatap terkejut. Ini pertemuan pertama tapi sudah membahas pertunangan."Iya. Lebih cepat lebih bagus, kan?""Gimana kalau minggu depan?"Kini semua mata menatap Kenneth. Tak terkecuali dengan Aya dan Metta yang melayangkan tatapan tajam. Sepertinya kali ini dua gadis itu memiliki pemikiran yang
Siang ini Ken sedang dipusingkan dengan tugas kantornya. Setelah perjodohan ini tentu saja Ken akan menetap di Indonesia. Dia harus meneruskan perusahaan keluarga dan usaha miliknya sendiri. Karena ini hal baru, Ken harus kembali beradaptasi dengan semuanya."Mama?" Ken berdiri dari duduknya saat mamanya masuk ke dalam ruangan."Ken, kamu lagi sibuk?""Lumayan. Emangnya ada apa?"Wanita paruh baya tersebut tersenyum simpul dan mendekati sang anak. "Hari ini kamu beli cincin sama Aya buat tunangan nanti. Gedung sama dekorasi udah mama siapin. Terus jangan lupa ke butik buat ambil baju.""Iya. Aku juga mau jemput Aya sama Metta ke kampusnya.""Mama jadi gak sabar nunggu kalian menikah.""Mama tenang aja. Aya akan jadi menantu mama." Lelaki itu melirik jam tangannya sekikas. "Kayaknya aku harus jemput mereka sekarang. Mama mau aku antar pulang dulu?""Gak usah. Mama ke sini sama supir. Sekarang mau ke kantor papa dulu.""Yaudah, hati-hati.""Kamu juga."****Metta tersenyum cerah saat me
"Kamu suka yang mana?" tanya Ken dengan menunjukan beberapa cincin yang berjejer di etalase.Setelah kejadian di dalam mobil itu, mereka benar-benar bersikap seperti biasa. Seolah tidak terjadi apapun sebelumnya. Walaupun Aya rasanya ingin mengomel, tapi dia lebih takut melihat Ken marah. Ayana menatap jejeran perhiasan di depannya dengan tak minat. "Terserah.""Kok terserah? Yang pakai cincin-nya bukan cuma saya. Kamu juga.""Lagian aku bingung milihnya. Semuanya keliatan sama aja. Emangnya harus banget aku yang pilih?""Harus kamu yang pilih."Ribet! Aya mendengus pelan. Apa susahnya pilih sendiri? Liat saja, dia akan memilih cincin paling mahal agar lelaki di sampingnya ini menyesal. Bukankah ini kesempatan Ayana agar pria itu berpikir dia memang matre dan tidak menyukainya?"Cincin yang paling bagus mana, mbak? Yang sepasang," ucap Aya dengan melihat beberapa cincin yang dihiasi berlian. Ia mengibaskan kecil rambutnya ke belakang."Sebentar." Wanita itu mengambil salah satu cinci
Saat ini Metta dan Ayana sedang berada di kelas bersama beberapa orang lainnya. Mereka mendapat tugas presentase dengan setiap kelompok berisi 5 orang. Karena itulah keduanya disatukan dalam satu kelompok yang sama. Ada Metta, Ayana, Putri, Deon dan Rendi. Sedangkan teman Metta yang kemana-mana bersama sudah mendapatkan kelompoknya sendiri."Mau ngerjain tugasnya di mana?" "Gimana kalau di rumah gue aja? Kebetulan lagi sepi juga," usul Rendi."Aku ngikut yang lain aja," kata Ayana dan diangguki yang lain. Sepertinya mereka sudah setuju. Kecuali satu orang, Metta. Gadis itu tak menanggapi ucapan orang-orang di sekitarnya.Merasa ditatap, Metta mengangkat kedua alisnya. "Kenapa?""Lo setuju gak kalau kerja kelompok di rumah Rendi?" Kini Deon bertanya."Gue maunya di rumah gue aja," jawabnya acuh.Ayana mendelik. "Ribet banget. Ngikut yang lain aja kali.""Pokoknya harus di rumah gue."Dua perempuan itu saling lempar tatapan tajam. Entah sampai kapan mereka akan terus seperti ini tanpa
"Kayaknya mending cari bahan di buku juga. Soalnya kalau di internet cuma itu-itu aja." Ayana menggeser laptopnya ke hadapan Putri dan mulai mengambil tumpukan buku di depannya."Itu udah gue baca, dan masih kurang. Besok beli ke toko buku buat nambahin.""Ribet banget, ya," ucap Deon menyandarkan tubuhnya.Metta memutar bola matanya. "Kita masih mending udah dapet setengah. Kelompok lain masih pada bingung mau nulis apa.""Jadi ini gimana?" "Lanjut nanti lagi. Sekarang tulis dulu yang ada.""Emang buat kapan tugasnya?" tanya Kenneth yang tiba-tiba ikut bergabung. Duduk di sofa dengan membawa beberapa buku tebal di tangannya."Lusa.""Ambil, nih. Itu buku terjemahan, tapi banyak materinya." Kebetulan Jevran memang memiliki rak buku khusus yang dimiliki saat menjadi mahasiswa. semuanya masih tertata rapih. Dia juga berkuliah di jurursan bisnis."Makasih ya, kak.""Sama-sama."Ayana melirik Kenneth sekilas. Saat pria itu balik menatapnya, ia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Kenapa dari tadi diem terus, hm?" tanya Ken yang melirik sekilas ke arah gadis di sampingnya."Terus harus gimana?""Kamu cemburu kalau saya deket sama temennya Metta?" Hanya memastikan saja. Ken tidak merasa jika Aya cemburu. Apa memang dia tidak memiliki perasaan untuknya?"Engga. Aku bukan kamu. Sama Rendi, temen aku aja kamu cemburu. Aku itu gak suka sama kamu! Cuma karena aku gak bisa nolak semua ini bukan berarti aku suka sama kamu."Ayana menatap jalanan sambil memegang sabuk pengaman erat. Sebenarnya untuk mengatakan itu saja dia punya ketakutan. Dia takut Ken akan marah atas perkataannya. Karena bagaimanapun Ayana belum terbiasa dengan pria ini.Kenneth sendiri tidak menghiraukan ucapan Ayana. Dia hanya mencoba agar gadis ini tidak semakin membencinya. Biar saja Naura berpikir seperti itu sekarang yang jelas Ken akan memastikan Ayana akan tetap menjadi miliknya.Tak lama dari itu mobil berhenti tepat di depan rumah Aya. Gadis itu hendak turun, namun Ken lebih dulu menahannya
"Ayana! Ya ampun, ini anak gadis masih tidur. Udah siang ini."Wanita paruh baya itu menarik selimut yang menggulung tubuh putrinya. Tertidur nyenyak tanpa merasa terganggu sedikitpun. Ini pasti karena habis bergadang nonton film. Kebiasaan!"Bangun!""Sebentar lagi, ya. Sekarang Aya gak ke kampus," jawab Ayana melenguh."Itu temen kamu udah nunggu di bawah. Kasian kalau harus nunggu lama.""Siapa?""Putri."Ayana sontak mengubah posisinya menjadi duduk. Dia lupa sudah janjian untuk bertemu. Gadis itu melihat Mamanya berjalan ke arah jendela untuk membuka gorden. Saat cahaya matahari itu menerpa wajahnya, ia menyeringit silau."Tadi juga Kenneth ke sini. Mama mau bangunin kamu, tapi dia bilang jangan. Terus pulang lagi, deh.""Ken? Ngapain dia ke sini?""Gak tau. Mungkin ngajak kamu jalan," jawab Mamanya yang kembali menghampiri Ayana. Ia menarik selmut untuk dilipat. "Biar Aya aja yang beresin nanti," cegatnya."Yaudah. Mandi dulu sana. Putri disuruh masuk ke kamar aja apa gimana?"