"Tandatangani ini." Regita datang menyusul ke ruang makan sambil menyodorkan kertas hasil print ke hadapan Yudetra.
Perempuan yang masih mengenakan piyama tidur itu lantas menghempas bobotnya berhadapan dengan Yudetra. Mengambil satu buah apel dan langsung melahapnya. Nasi goreng dengan omelette yang terhidang, seolah tidak menarik seleranya yang lebih menyukai gorengan dan segelas kopi hangat untuk sarapan. "Apa ini," ucap Yudetra yang sudah memulai sarapannya. Mulutnya bahkan tengah mengunyah nasi goreng saat ia mengambil kertas yang disodorkan Regita. Tampak lelaki yang sudah berpakaian casual nan rapi itu membaca isi kertasnya. Kepalanya manggut-manggut seolah sedang mencerna dan memahami apa yang ia baca. "Itu surat perjanjian pernikahan kita. Pernikahan ini hanya akan bertahan enam bulan, setelah enam bulan kita harus berpisah dan aku akan mencari cara agar perpisahan ini terlihat natural di mata Oma. Aku sudah menulis point-point penting dalam pernikahan ini. Salah satunya, kita tidak boleh bersentuhan dan tidak boleh ikut campur urusan pribadi, dan yang kamu lakukan di halaman belakang tadi sudah melanggar isinya," cerocos Regita memberitahu Yudetra tentang isi surat yang sudah ia siapkan sebelum pernikahan mereka benar-benar terjadi. Yudetra selesai membaca. Ia meletakkan sendok dan kertas itu hampir bersamaan. Sorot matanya tidak marah, tidak juga terkejut—justru tampak tenang, nyaris lucu jika tidak menantang. “Poin nomor empat, kamu melarang saya menyentuh apalagi mencium kamu,” ujarnya seraya menepuk-nepuk kertas itu. “Sayang sekali, saya sudah terlanjur melanggarnya sebelum baca ini.” Regita mendengkus. "Makanya aku bilang kamu sudah melanggar. Tandatangan sekarang. Biar jelas dan kejadian seperti tadi enggak terulang!" "Tapi kita sudah menikah. Di atas hukum, di hadapan keluarga, dan yang paling utama adalah di hadapan Tuhan." Yudetra menyeringai kecil. "Atau kamu berpikir saya cuma main-main?" Regita menggigit apel lebih keras. "Aku nggak peduli kamu main-main atau beneran. Yang jelas, aku gak mau kita kayak pasangan sungguhan. Ini cuma pernikahan formalitas buat Oma, paham?" Yudetra mengambil pulpen yang tergeletak di meja. Tapi alih-alih menandatangani, ia memutar kertas itu kembali ke arah Regita. “Kalau kamu mau ini ditandatangani, tambahkan satu syarat.” Regita mengangkat alis. “Apa lagi?” “Kita boleh melanggar semua poin di surat ini, kalau salah satu dari kita jatuh cinta,” ucap Yudetra santai, lalu menyuap nasi goreng ke mulutnya seolah ucapannya barusan bukan sesuatu yang mengguncang. Regita tersedak potongan apel yang belum sempat tertelan. “Hah?!” "Gimana? Biar adil aja. Kalau kamu tetap membenci saya, perjanjian ini sah berlaku sampai enam bulan ke depan. Tapi kalau kamu malah jatuh cinta, berarti semua ini batal." Yudetra mengedip genit. Regita memutar bola mata. “Yakin banget aku yang bakal jatuh cinta?” Yudetra menyeka sudut bibirnya dengan tisu, lalu bersandar di kursi. “Saya enggak bilang kamu. Tapi ... kemungkinan itu selalu ada dan kita gak pernah tahu akan seperti apa.” Hening sesaat. Lalu Regita menuliskan syarat itu di pojok bawah lembaran perjanjian, mencoretnya dua kali, lalu menyeretnya kembali ke hadapan Yudetra. "Nih. Sudah aku tulis biar kamu puas bahkan membuat surat itu kehilangan estetiknya. Tapi jangan harap aku bakal jatuh cinta sama kamu." Regita berujar kesal, lalu dengan cepat membubuhkan tandatangannya di atas materai yang sudah menempel di surat itu. Tinggal menunggu Yudetra melakukan hal yang sama, maka semua selesai dan perjanjian itu harus dijalani. Regita menyodorkan kembali lembar itu, kali ini dengan senyum yang sangat tenang, nyaris menyebalkan dan seakan-akan tengah menantang Yudetra. Laki-laki itu masih terlihat santai. Mengambil lagi lembar kertas berisi perjanjian pernikahan mereka. Membaca dari atas sampai ke bawah hingga matanya membulat lalu menggelengkan kepala. "Ini tulisan tangan kamu? Astaga. Jelek sekali. Pantas aja kamu bilang surat ini kehilangan estetiknya," cibirnya sambil terkekeh. Mengetahui tulisan tangan Regita yang jomplang dengan ketikan font di lembar kertas itu. Rahang Regita mengeras. Tersentil dengan ledekan Yudetra dan merasa tidak terima. "Kamu cuma perlu kasih tandatangan, gak usah bahas soal lain!" tegasnya. Yudetra menyeringai, lalu bangkit dari kursinya dengan santai sambil membawa kertas itu, menatap Regita sekilas yang sedang menikmati sisa buah apel di tangannya. Sreetttt! Tanpa banyak basa-basi, Yudetra merobek kertas itu menjadi dua bagian, lalu terpotong empat. Regita nyaris tersedak ludahnya sendiri. “Hei! Kamu—apa yang kamu lakukan?! Itu surat penting, tahu!” Ia pun sudah berdiri dari duduknya. “Penting buat kamu,” jawab Yudetra kalem. "Tapi nggak penting buat saya." Ia meremas potongan kertas itu lalu dengan tenang membuangnya ke tempat sampah di dekat pintu dapur. Ia mendekat lagi pada Regita yang tampak cemberut. "Dengarkan saya Nyonya Regita Snova Prameswari, cucu kesayangan dari Nyonya Arlinda yang begitu saya hormati," ucapnya enteng sambil duduk kembali. "Mulai sekarang, yang berhak mengatur pernikahan ini adalah saya. Karena saya suami kamu." Regita membuka mulut hendak membantah, tapi tidak ada kata yang berhasil keluar. Otaknya sibuk mencerna betapa santainya laki-laki itu meruntuhkan seluruh peraturan yang sudah ia susun dengan rapi. “Saya enggak butuh kertas untuk mengatur hidup saya sebagai suami kamu. Cukup tahu batas, cukup tahu rasa, dan sisanya ... kita jalanin aja, kan?” Yudetra kembali mengisi meja makan bundar yang hanya memiliki empat kursi itu. Ia menyuap potongan buah kiwi yang sebelumnya sudah disiapkan dan menatap Regita dengan wajah puas. Sementara Regita hanya bisa memandangi lelaki itu dengan campuran rasa jengkel dan entah kenapa, degup jantungnya lebih berisik dari biasa. “Kalau kamu nulis surat perjanjian lagi, tolong pilih font yang bagus, ya. Dan jangan lupa, tulis di situ juga, bahwa kamu gak boleh jatuh cinta sama saya selama kurun waktu yang kamu inginkan. Soalnya, saya bisa sangat menyebalkan kalau kamu mulai suka,” ucap Yudetra tenang, kemudian menghabiskan potongan-potongan buah kiwinya. Tangan Regita mengepal. Merasa tertantang untuk membuat hidup lelaki asing itu kewalahan seperti Larissa yang tidak sanggup lagi mengurusnya. Regita kembali mendekati meja makan, berdiri tegak dengan sorot mata penuh perlawanan. "Kita lihat saja, siapa yang akan menyerah di sini. Kita lihat, seberapa lama kamu akan bertahan yang pada akhirnya akan menyerah juga," ucapnya menyepelekan. "Kalau kamu memang ingin menyudahi pernikahan ini, silahkan saja tinggal kamu datang ke pengadilan agama," sahut Yudetra santai. "Semua gak sesimpel itu. Kalau memang mudah, aku gak akan mau dinikahkan seperti ini dengan orang yang sama sekali gak aku kenal!" hardik Regita kesal. "Lalu serumit apa? Serumit hidup kamu yang tidak punya aturan dan selalu membuat onar itu, hmmm?" Ucapan Yudetra selalu membuatnya tersudut dan sangat menjengkelkan. "Jang——" "Udahlah." Yudetra bangkit dari duduknya. Melangkah mendekati Regita hingga mereka berhadapan. "Kita jalani aja pernikahan ini. Perjanjian absurd yang kamu buat tadi tidak berlaku sama sekali. Tidak ada perjanjian apapun dalam pernikahan ini selain sigat ta'liq yang tertulis jelas di dalam buku nikah." "Apabila saya, meninggalkan istri saya selama dua tahun berturut-turut. Tidak memberikan nafkah wajib kepada istri saya tiga bulan lamanya. Menyakiti badan atau jasmani istri saya, atau membiarkan istri saya selama enam bulan atau lebih, dan karena perbuatan itu istri saya tidak ridho. Maka kamu, berhak menggugatnya ke pengadilan agama. Lalu pengadilan menerima gugatan itu dan istri saya membayar penggantinya, maka semua bisa selesai." Yudetra berucap panjang lebar, membungkam Regita yang juga ingin mengoceh. "Tapi saya pastikan, saya tidak akan berbuat demikian. Paham?!" pungkas Yudetra tanpa melepas tatapannya yang penuh intimidasi pada Regita. Keadaan pun hening. Regita menatap heran pada Yudetra. Ia tidak pernah takut pada siapapun, kecuali sang Oma. Semua yang menasehati atau terkesan menggurui dirinya pasti ia lawan meski berujung perkelahian. Tapi dengan Yudetra, rasanya berbeda. Regita marah dan kesal tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Kata-kata Yudetra terlampau tenang tapi menghunjam. Bukan karena volume suaranya, melainkan karena keyakinan yang terpancar dari tatapannya. Tegas, pasti, dan tidak bisa digoyahkan. Regita ingin membantah. Ingin membanting sesuatu. Ingin meluapkan semua kekesalan. Tapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan. “Paham?” ulang Yudetra, kali ini dengan suara lebih pelan, namun terdengar jauh lebih tegas. Regita memalingkan wajah. “Aku gak suka diatur,” gumamnya dengan bibir cemberut. Yudetra melangkah mundur satu langkah, memberikan ruang, lalu tersenyum tipis. “Bagus. Karena saya juga nggak berniat mengatur kamu. Tapi saya akan memastikan kamu hidup dengan sadar bahwa sekarang kamu punya suami. Dan saya bukan suami yang bisa kamu abaikan semau kamu.” Regita mengepalkan tangannya di atas meja. “Aku enggak akan tunduk gitu aja.” “Silakan,” jawab Yudetra ringan. “Saya suka tantangan.” Senyumnya kembali merekah, kali ini sedikit nakal. "Dan siapa tahu, kamu memang lebih menarik waktu marah-marah. Lebih cantik saat ngomel, atau mungkin lebih berkharisma saat jadi pembangkang. Saya penasaran." “Kurang ajar,” geram Regita, wajahnya merah bukan hanya karena marah, tapi juga malu. Yudetra justru memasang wajah santai. "Saya ke depan dulu. Mengurus bibit-bibit bunga mawar yang Oma kamu belikan sebagai kado pernikahan kita. Bye, Sayang." "Yudetra!" teriak Regita tetapi lelaki itu terus melangkah menjauh. Hingga sesuatu yang aneh berputar di dadanya mendengar Yudetra menyebut demikian. Sesuatu yang ia sendiri tak bisa beri nama. .Tiba di depan ruangan, Regita membuka pintu dengan hati-hati. Cahaya lampu menyinari wajah Yudetra yang kini terbaring di tempat tidur, dengan selang oksigen kecil menempel di hidung dan perban tipis di pelipis kanannya. Dadanya naik turun perlahan, yang menandakan lelaki itu belum sadar. Meski suster belum mengizinkan masuk, tapi Regita tidak peduli. Regita duduk di sisi ranjang. Pandangannya tajam, tapi kali ini tidak sepenuhnya marah. Lebih ke arah bingung, bercampur kesal dan cemas. Semua itu jadi satu. Punggung Regita menempel di sandaran kursi. Kedua tangan menyilang di depan dada dengan sorot mata tajam menatap pada Yudetra yang masih terbaring. Regita memandangi dengan diam. Namun hatinya justru berisik dan pikirannya sangat gaduh. Garis rahang Yudetra tampak kokoh. Dagunya tegas, dan tulang pipi tinggi. Menciptakan siluet wajah yang berkarakter kuat. Alisnya tebal dan lebat. Tumbuh alami dan nyaris bersatu di bagian tengah. Hidungnya mancung, lurus dan tegas, selaras de
Regita kesal bukan main. Bibirnya terkatup rapat dengan gigi saling beradu menahan geram. Dia yang pemberontak tentu saja merasa makin terkekang dan terganggu oleh kehadiran Yudetra. Bukkk! Tanpa berpikir panjang, Regita menginjak kaki Yudetra dengan keras. Hingga perlahan cekalan tangan Yudetra pada Regita pun mengendur. Memberi celah untuk Regita bergerak, dan dengan cepat berbalik badan lalu .... Bugh! Regita menghantam wajah Yudetra saat lelaki itu lengah. Tinjunya itu berhasil mengenal hidung Yudetra yang perlahan kemudian mengeluarkan darah. "Elo pikir lo siapa ngatur-ngatur gue seenaknya?" Nada bicara Regita naik beberapa oktaf karena tidak bisa mengontrol diri lagi. Yudetra yang tidak siap dengan pukulan itu tentu saja tidak bisa menghindar atau sekedar menangkis. Laki-laki itu merasakan kunang-kunang yang berputar dalam penglihatannya, hingga perlahan mengabur dan akhirnya ia jatuh pingsan. "Gitaaa!" Gera berseru kaget dan segera menyusul Regita bersama satu temannya y
"Mau coba?" tawar Yudetra. "Saya jamin rasanya akan jauh lebih manis dan bikin kamu kecanduan setengah mati." Regita menatap Yudetra dengan tatapan setengah geli, setengah muak. Namun lebih dari itu, Regita merasa amat terkejut. "Amit-amit!" Lalu tak sampai dua detik ... Bukkk! "Heh—" Yudetra meringis pelan, wajahnya sedikit menegang. Regita baru saja menginjak kaki kirinya dengan keras. Sepatu sneakers-nya mendarat tepat di punggung kaki Yudetra yang hanya memakai sandal jepit. “Rasanya gimana? Manis? Pedas? Atau agak ngilu?” ujar Regita dengan senyum sinis. Yudetra mundur satu langkah, masih meringis, tapi tidak bisa menahan tawa. “Kamu ... ganas juga ternyata.” “Dan kamu, terlalu percaya diri,” timpal Regita cepat. Ia membalikkan badan lalu berjalan ke arah pagar. Setelah memastikan penjaga rumah benar-benar tidak muncul, serta tak ada orang di sekitar—ia mendongak menatap pagar setinggi empat meter itu. Sepintas, Regita melirik ke belakang. Yudetra masih berdiri di tempa
************** Regita bersandar pada pilar teras. Memperhatikan Yudetra yang sedang berkutat di taman kecil halaman rumah itu. Yudetra hanya memakai apron waterproof sebagai pelapis agar pakaiannya terhindar dari tanah, tapi penampilannya terlalu rapi untuk sekedar berkebun. Sarung tangan hitam melapisi jemarinya yang kini sedang sibuk memindahkan media tanam ke pot bunga. Sesekali ia menyeka keringat dengan punggung tangan lalu kembali fokus. "Non, ini jus alpukat favorit Tuan Yudetra sudah jadi. Tolong diantar, ya." Pembantu rumah tangga muncul dari dapur dengan nampan berisi segelas minuman dingin dan sedotan stainless. Regita berbalik, siap menolak. “Suruh dia aja yang ambil sendiri ke dapur.” “Tapi tadi Tuan meminta untuk diantar. Soalnya tangannya lagi kotor semua. Beliau udah nunggu dari tadi dan berpesan pada saya, supaya Non Regita yang mengantarnya ...” jelas pembantu itu hati-hati. Regita menghela napas, mengambil nampan itu dengan malas. "Sini!" Gerakan tangannya ka
"Tandatangani ini." Regita datang menyusul ke ruang makan sambil menyodorkan kertas hasil print ke hadapan Yudetra. Perempuan yang masih mengenakan piyama tidur itu lantas menghempas bobotnya berhadapan dengan Yudetra. Mengambil satu buah apel dan langsung melahapnya. Nasi goreng dengan omelette yang terhidang, seolah tidak menarik seleranya yang lebih menyukai gorengan dan segelas kopi hangat untuk sarapan. "Apa ini," ucap Yudetra yang sudah memulai sarapannya. Mulutnya bahkan tengah mengunyah nasi goreng saat ia mengambil kertas yang disodorkan Regita. Tampak lelaki yang sudah berpakaian casual nan rapi itu membaca isi kertasnya. Kepalanya manggut-manggut seolah sedang mencerna dan memahami apa yang ia baca. "Itu surat perjanjian pernikahan kita. Pernikahan ini hanya akan bertahan enam bulan, setelah enam bulan kita harus berpisah dan aku akan mencari cara agar perpisahan ini terlihat natural di mata Oma. Aku sudah menulis point-point penting dalam pernikahan ini. Salah satunya
Malam datang bersama rintik yang perlahan turun. Regita dan sang suami sudah berada di dalam kamar yang sama. Sebuah kamar utama dalam rumah di salah satu cluster mewah pilihan sang Oma—tanpa Regita tahu sebelumnya. Ia hanya diantar ke sana oleh sopir keluarga, tanpa sempat menanyakan alamat atau bahkan sempat memprotes. Kamar itu terlalu besar. Terlalu sunyi dan dinginnya tidak berasal dari AC. Regita duduk di ujung ranjang dengan gaun tidur satin yang disiapkan entah oleh siapa. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang, kedua lutut dilipat, tangan memeluk bantal. Sementara lelaki itu baru keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus polos dan celana panjang rumah. Basah di rambutnya menetes ke leher, tapi yang lebih mengganggu Regita adalah aroma sabun maskulin yang entah kenapa justru membuat napasnya tak nyaman dan otaknya berkelana liar. Mereka saling melirik, tapi cepat-cepat memalingkan wajah. Seolah keduanya sedang jadi tahanan di ruang yang sama dan tak ingin terlibat lebih