**************
Regita bersandar pada pilar teras. Memperhatikan Yudetra yang sedang berkutat di taman kecil halaman rumah itu. Yudetra hanya memakai apron waterproof sebagai pelapis agar pakaiannya terhindar dari tanah, tapi penampilannya terlalu rapi untuk sekedar berkebun. Sarung tangan hitam melapisi jemarinya yang kini sedang sibuk memindahkan media tanam ke pot bunga. Sesekali ia menyeka keringat dengan punggung tangan lalu kembali fokus. "Non, ini jus alpukat favorit Tuan Yudetra sudah jadi. Tolong diantar, ya." Pembantu rumah tangga muncul dari dapur dengan nampan berisi segelas minuman dingin dan sedotan stainless. Regita berbalik, siap menolak. “Suruh dia aja yang ambil sendiri ke dapur.” “Tapi tadi Tuan meminta untuk diantar. Soalnya tangannya lagi kotor semua. Beliau udah nunggu dari tadi dan berpesan pada saya, supaya Non Regita yang mengantarnya ...” jelas pembantu itu hati-hati. Regita menghela napas, mengambil nampan itu dengan malas. "Sini!" Gerakan tangannya kasar dan cepat. Ia melangkah ke halaman, mendekati Yudetra yang masih tidak menyadari kedatangannya. “Minuman kamu,” ujarnya dingin, meletakkan nampan di bangku taman tanpa menoleh. “Oh, makasih.” Yudetra akhirnya mengangkat kepala sambil tersenyum tipis. Regita berusaha menjaga ekspresinya tetap datar, meski jantungnya tidak sepenuhnya bekerja sama karena senyuman Yudetra yang entah kenapa terlihat sangat manis pagi hari itu. “Kamu yang bikin?” tanya Yudetra, menatap gelas jus lalu menatap Regita. “Enggaklah. Pembantu yang bikin,” jawab Regita cepat. “Kalau aku yang bikin, udah aku tambahin garam biar kamu muntah.” Yudetra tertawa pelan, menyingkap wajahnya yang sedikit basah oleh keringat. “Kamu menggemaskan kalau lagi marah,” ujarnya lalu berbalik badan kembali dan fokus pada media tanam. “Siapa yang marah?” Yudetra tidak menjawab. Mengambil gelas dengan dua jari tangan kirinya—tangan kanannya masih berlumur tanah. Regita menatap punggungnya, lalu matanya menurun ke arah apron yang ketat melingkar di pinggang Yudetra. “Sial ... dilihat-lihat punggungnya tegap dan tubuhnya proporsional. Cowok model begini harusnya jadi barista di kafe, bukan jadi suami dadakan gue, sih?" pikirnya sendiri, lalu buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. “Regita.” “Hm?” “Duduk sebentar. Temenin saya,” ucap Yudetra tanpa menoleh. Regita ingin menolak. Sudah di ujung lidah. Tapi tubuhnya justru bergerak sendiri. Ia duduk di bangku taman, beberapa langkah dari tempat Yudetra berjongkok Suasana jadi hening. Suara burung dan desir angin menjadi satu-satunya latar. Yudetra kembali bekerja. Diam-diam Regita memperhatikan caranya memindahkan tanah, menepuk sisi pot, menanam bibit mawar dengan penuh kehati-hatian. Tak ada ucapan cinta. Tak ada rayuan. Tapi entah kenapa, pemandangan itu membuat sesuatu di dalam dadanya terasa aneh. Hangat, tapi juga menggoda. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil. "Kamu mau coba juga?" tanya Yudetra dengan tersisa dua pot kosong di hadapannya. Menyadarkan Regita hingga senyum kecilnya pudar lalu mendengkus. "Gak suka." "Lalu, apa yang kamu sukai selain ikut tawuran dan bolos?" tanya Yudetra lagi berhasil membuat Regita memberengut. Merasa prilakunya sedang dikuliti. "Bukan urusanmu!" jawab Regita sambil menghentakkan kaki kemudian berlalu pergi. Masuk ke dalam rumah dengan perasaan kesal menggumpal dalam dada. Ia terus melangkah menyusuri rumah sambil mengumpat lewat gumaman kecil, meninggalkan Yudetra yang kembali fokus dengan pot-pot bunganya. Sedangkan Regita sudah masuk ke kamar utama lalu ke dalam kamar mandi. Membersihkan diri lantas bersiap-siap. Mengganti piyama tidurnya dengan pakaian yang lebih casual. Perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu mengenakan celana jeans panjang yang dipadukan kemeja marun kotak-kotak. Rambut panjangnya dikuncir tinggi. Tanpa riasan make up, hanya lip tint tipis di bibir, Regita keluar dari kamarnya. Kaki jenjangnya melangkah lebar keluar dari rumah. Berjalan penuh percaya diri menuju pintu pagar untuk meninggalkan rumah itu. "Mau ke mana kamu?" tanya Yudetra yang baru saja selesai dengan kegiatannya berkebun ringan. "Ke luar," jawab Regita tanpa menoleh. "Pak, buka pintu pagarnya, saya mau ke luar dulu." Ia menyuruh penjaga rumah untuk membuka pagar yang digembok. Namun, penjaga rumah itu tak kunjung keluar dari pos jaga. "Pak! Buka pagarnya!" hardik Regita karena perintahnya diabaikan. "Kamu tidak akan bisa keluar dari sini tanpa izin saya!" cetus Yudetra hingga Regita pun menoleh. "Maksud kamu apa?" Regita langsung berjalan ke arah Yudetra yang berdiri di samping taman kecil hingga mereka berhadapan. "Kalau kamu mau keluar, harus ada izin dari saya sebagai suami kamu," jawab Yudetra menegaskan. "Bukan itu, tapi apa maksud kamu larang-larang aku? Aku gak suka ya, diatur-atur kayak anak SD!" protes Regita dengan suara lantang. "Karena kamu sekarang istri saya. Suka tidak suka, tapi saya berhak penuh mengatur hidup kamu. Membuat kamu disiplin dan memiliki tujuan hidup." Regita mendecak. "Ya sudah, sekarang aku minta kamu izinkan aku ke luar. Karena aku mau ke kafe. Aku mau merokok. Kamu tidak suka aku merokok di area sekitar rumah ini. Jadi izinkan aku keluar sekarang, mulutku udah kecut dari tadi gak merokok!" "Kamu harus berhenti merokok mulai sekarang. Kalau kamu merasa butuh penyegar mulut, kamu bisa menggantinya dengan yang lain. Bukan dengan menghisap rokok!" tegas Yudetra. Nada bicaranya penuh tekanan dan intimidasi. Tangan Regita mengepal di sisi tubuh. "Gak ada yang bisa menggantikan sensasi dari rokok yang aku sukai!" "Ada, saya punya penggantinya." "Apa? Permen mint?" Regita mendecak sebal sementara Yudetra menggeleng cepat. "Lalu? Permen karet? Tablet hisap? Atau plaster nikotin?" Lagi, Regita mendecak meremehkan. "Gak mempan!" Yudetra menyeringai sambil mendekat satu langkah hingga jarak mereka hanya dua jengkal. "Bibir saya."Regita kesal bukan main. Bibirnya terkatup rapat dengan gigi saling beradu menahan geram. Dia yang pemberontak tentu saja merasa makin terkekang dan terganggu oleh kehadiran Yudetra. Bukkk! Tanpa berpikir panjang, Regita menginjak kaki Yudetra dengan keras. Hingga perlahan cekalan tangan Yudetra pada Regita pun mengendur. Memberi celah untuk Regita bergerak, dan dengan cepat berbalik badan lalu .... Bugh! Regita menghantam wajah Yudetra saat lelaki itu lengah. Tinjunya itu berhasil mengenal hidung Yudetra yang perlahan kemudian mengeluarkan darah. "Elo pikir lo siapa ngatur-ngatur gue seenaknya?" Nada bicara Regita naik beberapa oktaf karena tidak bisa mengontrol diri lagi. Yudetra yang tidak siap dengan pukulan itu tentu saja tidak bisa menghindar atau sekedar menangkis. Laki-laki itu merasakan kunang-kunang yang berputar dalam penglihatannya, hingga perlahan mengabur dan akhirnya ia jatuh pingsan. "Gitaaa!" Gera berseru kaget dan segera menyusul Regita bersama satu temannya y
"Mau coba?" tawar Yudetra. "Saya jamin rasanya akan jauh lebih manis dan bikin kamu kecanduan setengah mati." Regita menatap Yudetra dengan tatapan setengah geli, setengah muak. Namun lebih dari itu, Regita merasa amat terkejut. "Amit-amit!" Lalu tak sampai dua detik ... Bukkk! "Heh—" Yudetra meringis pelan, wajahnya sedikit menegang. Regita baru saja menginjak kaki kirinya dengan keras. Sepatu sneakers-nya mendarat tepat di punggung kaki Yudetra yang hanya memakai sandal jepit. “Rasanya gimana? Manis? Pedas? Atau agak ngilu?” ujar Regita dengan senyum sinis. Yudetra mundur satu langkah, masih meringis, tapi tidak bisa menahan tawa. “Kamu ... ganas juga ternyata.” “Dan kamu, terlalu percaya diri,” timpal Regita cepat. Ia membalikkan badan lalu berjalan ke arah pagar. Setelah memastikan penjaga rumah benar-benar tidak muncul, serta tak ada orang di sekitar—ia mendongak menatap pagar setinggi empat meter itu. Sepintas, Regita melirik ke belakang. Yudetra masih berdiri di tempa
************** Regita bersandar pada pilar teras. Memperhatikan Yudetra yang sedang berkutat di taman kecil halaman rumah itu. Yudetra hanya memakai apron waterproof sebagai pelapis agar pakaiannya terhindar dari tanah, tapi penampilannya terlalu rapi untuk sekedar berkebun. Sarung tangan hitam melapisi jemarinya yang kini sedang sibuk memindahkan media tanam ke pot bunga. Sesekali ia menyeka keringat dengan punggung tangan lalu kembali fokus. "Non, ini jus alpukat favorit Tuan Yudetra sudah jadi. Tolong diantar, ya." Pembantu rumah tangga muncul dari dapur dengan nampan berisi segelas minuman dingin dan sedotan stainless. Regita berbalik, siap menolak. “Suruh dia aja yang ambil sendiri ke dapur.” “Tapi tadi Tuan meminta untuk diantar. Soalnya tangannya lagi kotor semua. Beliau udah nunggu dari tadi dan berpesan pada saya, supaya Non Regita yang mengantarnya ...” jelas pembantu itu hati-hati. Regita menghela napas, mengambil nampan itu dengan malas. "Sini!" Gerakan tangannya ka
"Tandatangani ini." Regita datang menyusul ke ruang makan sambil menyodorkan kertas hasil print ke hadapan Yudetra. Perempuan yang masih mengenakan piyama tidur itu lantas menghempas bobotnya berhadapan dengan Yudetra. Mengambil satu buah apel dan langsung melahapnya. Nasi goreng dengan omelette yang terhidang, seolah tidak menarik seleranya yang lebih menyukai gorengan dan segelas kopi hangat untuk sarapan. "Apa ini," ucap Yudetra yang sudah memulai sarapannya. Mulutnya bahkan tengah mengunyah nasi goreng saat ia mengambil kertas yang disodorkan Regita. Tampak lelaki yang sudah berpakaian casual nan rapi itu membaca isi kertasnya. Kepalanya manggut-manggut seolah sedang mencerna dan memahami apa yang ia baca. "Itu surat perjanjian pernikahan kita. Pernikahan ini hanya akan bertahan enam bulan, setelah enam bulan kita harus berpisah dan aku akan mencari cara agar perpisahan ini terlihat natural di mata Oma. Aku sudah menulis point-point penting dalam pernikahan ini. Salah satunya
Malam datang bersama rintik yang perlahan turun. Regita dan sang suami sudah berada di dalam kamar yang sama. Sebuah kamar utama dalam rumah di salah satu cluster mewah pilihan sang Oma—tanpa Regita tahu sebelumnya. Ia hanya diantar ke sana oleh sopir keluarga, tanpa sempat menanyakan alamat atau bahkan sempat memprotes. Kamar itu terlalu besar. Terlalu sunyi dan dinginnya tidak berasal dari AC. Regita duduk di ujung ranjang dengan gaun tidur satin yang disiapkan entah oleh siapa. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang, kedua lutut dilipat, tangan memeluk bantal. Sementara lelaki itu baru keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus polos dan celana panjang rumah. Basah di rambutnya menetes ke leher, tapi yang lebih mengganggu Regita adalah aroma sabun maskulin yang entah kenapa justru membuat napasnya tak nyaman dan otaknya berkelana liar. Mereka saling melirik, tapi cepat-cepat memalingkan wajah. Seolah keduanya sedang jadi tahanan di ruang yang sama dan tak ingin terlibat lebih
Regita berdiri di depan cermin rias dengan gaun putih gading membalut tubuhnya. Gaun itu indah, hasil jahitan tangan desainer terkenal, renda halus melingkari leher dan pergelangan, kerudung tipis menjuntai hingga punggung. Tapi tak ada satu pun dari semua itu yang mampu membuat hatinya tenang apalagi senang. "Git, penghulu sudah datang. Kita ke luar sekarang. Akad nikah akan segera dimulai." Larissa datang dan memberitahu. Regita masih diam. Menatap pantulan wajahnya dalam cermin. Ia ingin berontak bahkan kabur dalam acara pagi hari itu. Acara yang digelar sangat tertutup dan hanya dihadiri keluarga inti dari dua keluarga besar. Namun Regita tak bisa membantah kali ini. Atau, ia akan kehilangan semua fasilitas yang diberikan selama ini. "Ayo! Buruan!" Larissa menegur. Menarik lengan keponakannya itu agar segera keluar dari ruang make up. Namun Regita tampak bergeming. Hanya bisa menatap dirinya sendiri di cermin. Wajah yang dirias seolah bukan miliknya. Terlalu tenang untuk jiwa