"Saya tidak mau," ujar Aruna sedikit menghindar.Aruna mulai takut, ketika lutut Yuksel berada di antara kedua kakinya. Sementara tubuh lebih dekat dari sebelumnya. Yuksel meraih dagu Aruna dan mata begitu fokus pada bibirnya."Layani suami, itu bukan hal tabu, Aruna."Jemari Aruna mendorong Yuksel untuk menjauh. Namun, bibirnya sudah lebih dulu dikecup. Yuksel yang tertarik, mulai merengkuh leher dan pinggangnya. Memperdalam ciuman dan lidah menjelajahi mulutnya.Aruna benar-benar merasa tidak ada harapan, karena Yuksel cukup antusias dan menunjukan hasrat pada Aruna. Mengangkat tubuh Aruna dan membawanya ke ranjang."Tuan, sebaiknya kita jangan seperti ini," tolaknya sembari berusaha memberontak."Diam, nanti kamu jatuh."Yuksel menjatuhkan tubuh Aruna perlahan di atas ranjang. Aruna tak diberi kesempatan untuk kabur, karena tangan dicekal sementara dia membuka kancing kemeja satu persatu. "Saya lagi hamil," ujarnya dengan mata menghindar.Otot perut Yuksel mulai terpampang jelas k
Mata Aruna menatap Adrian dengan sorot marah. Rindu? Selama ini Adrian sama sekali tidak mencari keberadaannya. Bahkan, Aruna mendapat kabar bahwa Adrian akan mengeluarkan album baru dalam waktu dekat. Melihat Aruna yang hanya bergeming, membuat Adrian tersenyum dan melangkah maju untuk memeluk."Berhenti di sana."Adrian tak menuruti permintaannya, terus melangkah dan merentangkan tangan. Namun, melihat Aruna yang minggir, membuat pria tersebut hanya berhasil memeluk angin.Mata Adrian menatap terkejut padanya. "Sayang, ada apa? Kenapa kamu menghindari aku?"Aruna tatap Adrian serius. "Kamu lupa, statusku yang sekarang bagimu, Adrian?"Mendengar hal itu, Adrian tersenyum miris. Pria tersebut tak menerima kenyataan, bahwa Aruna telah menikah dengan sang paman. Mata Adrian yang menatapnya nampak memerah. "Kesepakatan apa yang kamu dan pamanku buat, Sayang?""Berhenti memanggil seperti itu, kamu sudah tidak pantas."Tangan Adrian langsung mengepal. Merasa kesal dengan Aruna yang mulai
Bukannya merasa senang akan memimpin perusahaan secara cuma-cuma. Pria tersebut langsung menunjukkan wajah penuh beban. Hingga tangan menunjukkan tanda silang."Maaf, Tuan. Hadiah dari taruhannya sangat berbahaya bagi saya.""Berbahaya?" Yuksel sampai mengerutkan dahi."Coba bayangkan, jika saya menang jabatan tertinggi bisa dikantongi. Kalau semisal kalah?"Yuksel menatap sekretaris bernama Daris serius. Benar juga, pria tersebut tidak memiliki hal serupa seperti dirinya. "Kalau begitu, aku bakal jadi pembantu. Hal itu juga berlaku untukmu jika aku kalah."Daris kali tersebut mengangguk setuju. Sorot mata menampilkan kepercayaan diri tingkat tinggi. Pria tersebut mengenal baik siapa Yuksel. Sang atasan bukanlah pria yang mau terjerat hubungan dengan wanita, hanya karena alasan mencari info atau memanfaatkan."Apa sebelumnya, Anda sudah mengenal nyonya?""Apa ini semacam wawancara?"Daris tersenyum. "Ini hanya sebuah rasa penasaran.""Enyah," ujar Yuksel sembari menunjuk pintu.Meli
"Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan."Mata Aruna memandang lekat suaminya yang nampak menghindari sejenak. Kemudian, membalas tatapannya. "Kamu yang lebih tahu, Kak. Bagaimana caraku memakai ponsel itu."Yuksel menarik napas. "Baiklah, aku tadi tidak akan menuduhmu."Melihat Yuksel yang berjalan meninggalkan dapur, membuat Aruna menatap serius."Tolong berhenti menyadap ponsel milikku."Tubuh Yuksel langsung berhenti. Dia tak segera menoleh atau pun berbalik. Memang dia sudah ketahuan dan tak bisa lagi mengelak, namun berhenti mengawasi ponsel istri. Sebuah keputusan yang berat bagi Yuksel.Hingga perlahan, tubuh berbalik dan mata saling bertatapan dengan Aruna."Ceritakan soal ayahmu, lebih tepatnya keberadaan dia. Maka, aku akan berhenti melakukannya."Sudah Aruna duga. Yuksel sampai melakukan perbuatan tercela, hanya untuk mencari tahu keberadaan ayahnya. Aruna tidak sebodoh itu, hingga langsung menghubungi ayahnya."Aku bisa mengantar Kakak ke pemakaman--"Aruna kaget den
"Jadi, kamu mau kan pergi ke sana denganku?"Aruna memandang Yuksel yang mengajak dengan nada halus. Aruna tidak tahu harus bagaimana, ketika melihat wajah ibunya nanti. Namun, kepala Aruna mengangguk, menyetujui permintaan suami."Baiklah," sahutnya.Yuksel tersenyum tipis, kemudian mengulurkan tangan ke arahnya. Mata Aruna menatap lekat tangan besar dari suaminya ini. "Aku bisa jalan sendiri."Terburu Aruna melewati Yuksel. Hal itu membuat dia berbalik dan memandang kepergian istri. Yuksel menarik napas dan mulai berjalan mengikuti.Sesuai pembicaraan. Begitu selesai sarapan, Yuksel membawa Aruna ke rumah ibunya. Padahal mereka berdua sudah tiba di depan pekarangan rumah, namun Aruna sibuk mengendalikan diri untuk tidak gugup."Mau sampai kapan kita di sini?" singgung Yuksel sampai melirik.Aruna ikut melirik. "Tunggu sebentar, Kak. Biarkan aku tenang dulu."Jemari Yuksel mengetuk stir. "Aku rasa kamu harus mengubah panggilan terhadapku.""Diubah lagi?" protesnya.Yuksel menatapnya
"Aku yang bicara," ujar Aruna pelan.Yuksel mencondongkan tubuh, tangan berada di atas pangkuan dan wajah menunjukkan keangkuhan. Namun, bibir bicara dengan suara pelan dan tak lupa menambah senyuman."Tapi, jika kamu katakan ayahmu sudah meninggal. Aku pastikan akan menggantung kamu di dinding rumah."Ancaman itu, membuat Aruna membeku. Ia kurang mengenal pria ini, entah ucapan barusan akan terwujud atau hanya omong kosong.Ibunya yang mendekat membuat Yuksel duduk dengan santai lagi. Sementara Aruna menatap ibunya yang meletakkan secangkir air kelapa."Minumlah, ini bagus untukmu, Aruna."Aruna tersenyum dan tanpa ragu meminumnya. "Dari mana Ibu dapatkan air kelapa jam segini?""Ada tetangga baru, dia jualan es kelapa."Kemudian ibunya memandang Aruna dan Yuksel yang saling duduk terpisah. Yuksel tersenyum menang ke arah Aruna, karena sebentar lagi istri akan disuruh pindah."Bu, aku gerah. Kenapa jendela yang dibuka hanya satu?" tanyanya.Hal itu membuat senyum di bibir Yuksel lang
Yuksel mendadak terduduk begitu mendengar ucapan dari Aruna. Kemudian kepala menoleh dan mata memandang pada istri."Jika ayahmu itu masih hidup. Lantas, di mana sekarang dia tinggal?"Tangan Aruna yang semula meremas sprei, kini mulai kehilangan kekuatannya dan perlahan tak mencengkram apa pun. "Bukankah Kakak hanya akan menanyakan satu hal?""Apa?"Aruna sendiri berbalik dan menatap suaminya. "Sekarang Kakak sedang menanyakan pertanyaan yang kedua. Ini melanggar aturan, kan?"Yuksel menyeringai. "Sial."Aruna menatap suami yang menyugar rambut dengan jemari. Masih dengan posisi duduk di atas ranjang dan nampak tidak ada niatan untuk tidur."Apa kamu kembali pada sifatmu yang keras kepala?"Aruna meraih selimut dan memeluk permukaannya. "Kamu sendiri yang bilang akan tanya satu hal, Kak."Yuksel menarik napas. Dia telah lama menyadari, istri begitu keras kepala. Namun, sikap itu benar-benar mengesalkan."Baiklah. Aku akan mencari tahu sendiri," ujar Yuksel pelan.Suara langkah kaki
Perlahan pandangan Aruna tertunduk. Benar, terikatnya Aruna ke dalam tali pernikahan dengan Yuksel karena ayahnya. Apa yang sebenarnya Aruna harapkan? Bahagia dengan pernikahan tak diinginkan ini."Setidaknya hargailah perasaanku, Kak. Setiap waktu aku merasa tertekan selama menggenggam ponsel." Aruna mulai bicara.Mata membalas tatapan Yuksel tak kalah emosi. "Kamu yang membuat rasa tertekan itu sendiri, Aruna. Karena kamu memiliki rahasia."Yuksel mulai berjalan pergi dan begitu bertemu dengan Tuti. Suaminya langsung mengeluarkan perintah."Kurung dia di rumah sebelah, jika sampai Adrian datang ke rumah ini.""Tapi, Tuan?""Apa! Kamu akan melanggar perintahku!" Melihat Tuti yang kaget karena dibentak, membuat Aruna angkat bicara."Baik, aku akan mengurung diri di rumah sebelah saat dia mencariku."Sorot mata Yuksel memandang tajam ke arahnya. Kemudian mulai berjalan menaiki anak tangga dan sosok suaminya tak lagi dilihat olehnya. Tuti segera menghampiri Aruna dengan raut cemas."N