***
Gamelan mengalun meriah di festival budaya Sunda, Bandung, mengisi udara malam dengan irama yang membangkitkan jiwa. Lampion-lampion menggantung di sekitar Gedung Sate, memancarkan cahaya lembut yang menari di wajah para penonton. Sorak sorai menyambut penari Jaipong di panggung, dan Sekar, berdiri di sisi kerumunan, menarik napas dalam. Kebaya merahnya yang disulam benang emas memeluk tubuhnya dengan anggun, siger di kepalanya sedikit miring karena ia baru saja membantu panitia mengatur properti panggung.
Sekar bukan sekadar penari malam ini. Ia adalah koordinator acara, guru tari Sunda, dan volunteer yang mengajar anak-anak kampung di pinggiran Bandung. Festival ini adalah mimpinya—wadah untuk membawa budaya Sunda ke panggung yang lebih luas, untuk menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup di tengah modernitas. “Aku harus pastikan semuanya sempurna,” gumamnya, mengecek daftar di tangannya. “Anak-anak datang malam ini, mereka harus bangga.”
“Teh Sekar! Bentar lagi giliran Teteh, lho!” teriak Lila, teman penarinya, dari dekat saung panitia. Lila, dengan kebaya hijau dan senyum lebar, mengipasi wajahnya. “Nervous nggak? Panggung rame banget!”
Sekar tersenyum, meski jantungnya berdetak kencang. “Nervous? Enggak, Lila. Cuma… deg-degan biasa,” jawabnya, mencoba santai. “Ini kan buat anak-anak juga. Mereka harus lihat budaya kita hidup.”
“Panggung bakal ambyar gara-gara Teteh, pasti!” tawa Lila, menepuk pundak Sekar. “Eh, tadi aku lihat tamu asing banyak, lho. Mungkin ada yang naksir penari cantik kayak teteh. Teteh kan terlalu lama sendirian, sayang loh punya wajah cantik nggak dimanfaatkan.”
Sekar memutar bola mata. “Lila, jangan mulai deh. Aku fokus ke tari, bukan cari pacar,” katanya, setengah tertawa.
Ia melangkah menuju tangga menuju saung panitia, ingin memastikan jadwal. Kakinya terasa ringan, tapi pikirannya selalu sibuk—daftar tugas, anak-anak kampung yang ia ajak menonton, dan tekanan untuk memastikan acara ini sukses. Tiba-tiba, kakinya tersandung kain kebaya yang sedikit terlalu panjang. “Oh, tidak!” batinnya, tubuhnya oleng ke depan.
Bruk! Ia menabrak seseorang. Tangan kuat memegang pinggangnya, menahannya agar tidak jatuh. Namun, keadaannya membuat wajah mereka terlalu dekat—terlalu dekat. Bibir mereka bersentuhan, sekilas, tak sengaja. Sekar membelalak, jantungnya seperti berhenti. Matanya bertemu sepasang mata hijau, asing, milik pria berjas mahal yang kini memandangnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Waktu seolah membeku. Aroma parfum mahal dari pria itu menyapu indranya. Sekar merasakan panas naik ke wajahnya, siger di kepalanya bergoyang, dan jantungnya berdetak kencang. “Ya Tuhan, apa ini?!” batinnya, panik. Instingnya berteriak untuk lari, tapi kakinya seperti terpaku.
Akhirnya, ia tersadar. Dengan wajah memerah, ia mendorong dada pria itu, melepaskan diri, dan buru-buru bangkit. Punten, punten!” katanya cepat, suaranya gemetar. Tanpa menunggu respons, ia berlari menuruni tangga, kain kebayanya melambai, siger hampir jatuh. Ia tak berani menoleh, takut pria itu melihat wajahnya yang pasti sudah merah seperti tomat.
Di balik saung, Sekar bersembunyi, tangan memegang dada. “Sekar, bodoh! Kenapa cuma bilang punten? Memangnya dia ngerti Bahasa sunda? Dan kenapa malah lari?!” keluhnya, menampar pipinya pelan. “Dia pasti tamu asing. Mungkin dia tak peduli. Tapi aku… aku cium orang sembarangan! Aku gila, ya? Ini ciuman pertamaku!”
“Teh Sekar, ngapain sembunyi?!” Lila muncul, mata penuh tanya. “Tadi kenapa lari kayak dikejar hantu?”
Sekar menutup wajah. “Lila, aku… aku nggak sengaja cium orang!” bisiknya, panik. “Aku tersandung, nabrak pria asing, terus… ya Tuhan, bibirku nyentuh bibirnya!”
Lila membelalak, lalu tergelak. “Cium?! Serius?! Pria asing yang mana? Ganteng nggak?”
“Lila, ini nggak lucu!” protes Sekar, mengipasi wajah. “Aku cuma bilang punten, terus kabur. Aku harap dia nggak ingat. Mungkin baginya itu biasa, kan? Tamu asing gitu.”
“Kalau ganteng, jangan lupa ajak kenalan, ya,” goda Lila, terkikik. “Eh, tapi serius, Teh, teteh nggak apa-apa? Wajah teteh merah banget.”
Sekar menggeleng keras. “Aku nggak apa-apa. Aku mau fokus ke tari. Ini malam penting, Lila. Anak-anak didikku nonton, aku nggak boleh gagal.”
Teriakan panitia memecah obrolan mereka. “Teh Sekar, sekarang nari Jaipong! Ke panggung sekarang!”
Sekar menarik napas panjang, merapikan siger dan kebaya. “Fokus, Sekar. Ini panggungmu,” gumamnya. “Lupain pria itu.” Ia melangkah ke panggung, kepala tegak, senyum profesional terpasang. Gamelan mengalun, dan tubuhnya bergerak—langkah lincah, tangan meliuk anggun, pinggul mengikuti irama Jaipong dengan presisi. Setiap gerakan adalah cerita, setiap putaran adalah curahan jiwa. Penonton bersorak, memanggil namanya, tapi di dalam hatinya, Sekar masih bergulat dengan rasa malu.
***
Di sisi panggung, Sekar turun dengan napas tersengal, keringat menetes di dahinya. Senyumnya lebar, lega karena penampilannya sukses. Lila menepuk pundaknya. “Teh Sekar, panggung ambyar gara-gara teteh! Anak-anak tadi teriak terus, heboh karena bangga!”
Sekar tertawa, tapi wajahnya memerah lagi mengingat insiden di tangga. “Syukur deh, Lila. Aku cuma mau mereka senang,” katanya, menghela napas. “Tapi tadi… aku masih nggak bisa lupain kejadian itu. Aku bodoh banget, nggak minta maaf beneran.”
“Teh, santai. Mungkin dia udah lupa,” hibur Lila. “Banyak tamu asing di sini. Kalau ketemu lagi, teteh minta maaf aja. Gampang, kan?”
“Gampang katamu,” keluh Sekar, mengipasi wajah. “Aku harap dia cuma tamu biasa, pulang besok ke negaranya, dan kita nggak ketemu lagi.”
Sebelum ia bisa tenang, seorang panitia mendekat, menyodorkan map kertas. “Teh Sekar, tanda tangan ini dulu, ya. Formalitas acara,” katanya, tergesa.
Sekar mengerutkan kening, tapi mengangguk. “Oh, oke. Apa ini?” tanyanya, mengambil pena dari Lila.
“Cuma formalitas, Teh. Untuk sponsor dan penutupan,” jawab panitia, buru-buru. “Seperti biasa aja.”
“Baiklah,” kata Sekar, menandatangani tanpa membaca. Ia terlalu sibuk melepas ikat pinggang kebaya yang mulai sesak. “Semoga nggak ada masalah,” gumamnya, menyerahkan map.
“Iya, Teh. Aman,” kata panitia, mengambil map dan pergi.
Sekar melepas sigernya dengan hati-hati, rambutnya terurai. Tiba-tiba, seseorang mendekat. “Teh Sekar?” panggil suara pria.
Sekar menoleh, mendapati Bima, asisten sponsor utama. Ia tersenyum ramah. “Oh, Pak Bima! Iya, ada apa?” tanyanya, menyangkutkan siger di lengan.
Bima mengangguk, ekspresinya sopan. “Apakah bisa meminta waktunya, Teh? Atasan saya, sponsor utama acara ini, ingin berkenalan dengan Teteh.”
Sekar mengerutkan kening, tapi mengangguk. “Sponsor utama? Orang penting, ya,” katanya, mencoba santai. “Baik, Pak. Ke mana?”
“Ikut saya, ke tenda VIP,” kata Bima, melangkah di depan.
Sekar mengikuti, langkahnya ringan meski jantungan mulai tak tenang. “Sponsor utama… semoga cuma ngobrol biasa,” gumamnya. Tapi bayang pria bermata hijau itu kembali mengusik. “Jangan-jangan… tidak mungkin, kan?” batinnya, mencoba menepis firasat liarnya.
Sampai di tenda VIP, Bima membuka pintu kain. “Tuan Ethan,” panggilnya, suara jelas.
Seorang pria berbalik. Jasnya sedikit terbuka, tangan di saku. Mata hijaunya bertemu mata cokelat Sekar. Waktu seolah berhenti lagi.
Selendang di tangan Sekar terlepas, jatuh ke lantai. “Pria asing itu sponsor utama?!” batinnya, jantung berdegup kencang. “Pria yang tak sengaja aku cium?!”
Ethan tersenyum tipis, aksen Belandanya terdengar jelas. “Anda Sekar, bukan? Senang akhirnya bertemu. Kita punya… banyak hal untuk dibicarakan.”
Sekar menelan ludah, wajahnya memanas. “Dia tahu? Apa dia mau minta tanggung jawab?!” batinnya, panik.
***
***Ethan berdiri di sisi lain ballroom, diapit oleh ibunya, Raden Ayu Ratu Ayuningtyas Wiratama, dan beberapa sepupu dari keluarga besar Wiratama. Tuksedonya hitam sempurna, tapi rahangnya tegang. Ratu, dengan gaun sutra merah dan perhiasan berlian, menatap anak sulungnya dengan alis terangkat, wajahnya penuh kekecewaan.“Ethan, kamu baru kembali ke tanah air, dan Mami kecewa karena kamu telah menikah,” suara Ratu terdengar tenang tapi tajam. “Kenapa kamu tidak memberitahu keluarga Wiratama? Kamu tidak memikirkan Mami? Ibu kandungmu?”Ethan menoleh perlahan. “Menikah yang penting sah, kan?” katanya datar, menyandarkan punggung ke dinding. “Dan untuk masalah istri, biarkan aku yang menentukan. Papi juga tidak mempermasalahkannya.”Ratu menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir dengan bunyi kecil di meja kaca.“Ethan, kita ini berada di keluarga ningrat. Keluarga Wiratama tak pernah salah memilih menantu.” Ia menatap tajam ke arah anak sulungnya. “Dan wanita yang kamu pilih? Seor
***Suara gamelan dan kendang mengalun lembut, menyatu dengan tawa anak-anak yang berlatih Jaipong di halaman beratap bambu di sanggar Tari milik Sekar. Wanita itu berdiri di tengah, mengenakan kaus sederhana dan kain batik diikat di pinggang, gerakannya lincah dan penuh kendali. Rambut panjangnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, tapi matanya bersinar penuh dedikasi. Anak-anak didiknya, berusia 8 hingga 15 tahun, mengikuti dengan antusias, beberapa terkikik saat salah langkah.“Hiji… dua… tilu,” ucap Sekar, suaranya jelas dan berirama, tangan menunjuk langkah kaki. “Ayo, Nia, tangannya lebih lembut! Bayangin kamu bawa bunga!”Nia, gadis berusia 12 tahun, tersenyum malu, mencoba lagi. “Gini, Teh?” tanyanya, suara ceria, tangannya meliuk pelan.Sekar mengangguk, senyum tulus merekah di wajahnya. “Bagus, Nia! Latihan terus, ya,” katanya, suara hangat. Ia berpindah ke anak lain, membenarkan posisi pinggul mereka, penuh kesabaran.Sanggar kembali normal setelah badai media mereda. Malam
***Sekar mengepal tangan, menatap Ethan dengan sorot penuh dendam. “Aku tidak mau membuang waktumu yang berharga, Tuan Ethan. Katakan saja, aku tidak mau kita menghabiskan waktu bersama walau hanya sekedar bicara!”Ethan mengangguk kaku, ekspresinya tak terbaca, hanya mata hijau yang menyipit. “Kau tahu berita heboh di luar, kan?” katanya, suara dalam, jari mengetuk meja kayu dengan irama pelan. “Foto kita di tangga festival. Aku tidak tahu siapa yang menyebarkannya—mungkin lawan bisnisku, atau saingan sanggarmu. Tapi sekarang, kita ikuti permainan mereka.” Ia berhenti, menatap Sekar intens. “Kita umumkan saja kita sudah menikah.”Sekar membelalak, napas tersengal. “Menikah?!” serunya, tangan mengepal. “Kita bisa klarifikasi ke media! Ajak panitia festival untuk akui kesalahan mereka! Akta nikah itu bisa dibatalkan!” Ia melangkah mendekat, matanya berkilat. “Masalah selesai, bukan? Kenapa harus main-main dengan ide gila begitu?!”Ethan terdiam, jari masih mengetuk meja, ekspresinya d
***Sekar duduk di tepi ranjang di kamar sederhananya, rambut panjang hitamnya terurai, kaus longgar dan celana pendek terasa nyaman namun tak mampu menenangkan jantungan yang berdegup kencang. Ponsel di tangannya bergetar tanpa henti, layar penuh notifikasi media sosial yang berdatangan bagai badai. Matanya menyipit, jari-jari ragu saat membuka aplikasi. Ratusan ribu komentar membanjiri akunnya, sebagian besar pedas dan penuh fitnah. “Penari murahan, cuma kejar duit bule!” “Sanggar Ketuk Tilu cuma kedok!” “Haram, nikah sembunyi!” “Jangab-jangan dia sudah hamidun di luar nikah! Menyeramkan!” “Ternyata wajah cantiknya dia manfaatkan untuk uang!”Sekar membelalak, napas tersengal. “Fitnah apa ini?!” gumamnya, tangan gemetar memegang ponsel.Ia membuka berita terpopuler. Jantungnya hampir berhenti. Foto dirinya dengan Ethan Wiratama Van der Meer, pria blasteran bermata hijau, tersebar luas. Gambar itu menangkap momen memalukan di tangga festival budaya Sunda kemarin—Ethan memegang pingga
***Sekar menelan ludah, wajahnya memanas. “Dia tahu? Apa dia mau minta tanggung jawab?!” batinnya, panik. Dan sorot mata hijau pria itu membuatnya gelisah. Ia adalah sponsor utama, pria asing yang tak sengaja ia cium di tangga, dan kini menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa ia baca.“Anda tidak mendengar saat saya bicara?” tanya Ethan dalam, aksen Belandanya yang mencolok, alisnya terangkat dengan nada yang dingin namun menantang.Sekar tersentak, wajahnya memanas. “Fokus, Sekar,” batinnya, mencoba mengabaikan rasa malu yang masih membakar. Ia menegakkan kepala, merapikan kebaya, dan memaksakan senyum sopan. “Saya mendengar, Tuan Ethan,” jawabnya, suara lembut tapi tenang. “Saya minta maaf soal tadi di tangga. Itu kecelakaan. Saya tersandung, dan… saya tidak bermaksud menyinggung.” Ia menatap Ethan, berharap ketulusannya cukup untuk mengakhiri situasi ini.Ethan mencondongkan tubuh, siku bertumpu di meja, mata hijaunya meneliti Sekar dari ujung kepala hingga kaki. “Kecelakaan,” u
***Gamelan mengalun meriah di festival budaya Sunda, Bandung, mengisi udara malam dengan irama yang membangkitkan jiwa. Lampion-lampion menggantung di sekitar Gedung Sate, memancarkan cahaya lembut yang menari di wajah para penonton. Sorak sorai menyambut penari Jaipong di panggung, dan Sekar, berdiri di sisi kerumunan, menarik napas dalam. Kebaya merahnya yang disulam benang emas memeluk tubuhnya dengan anggun, siger di kepalanya sedikit miring karena ia baru saja membantu panitia mengatur properti panggung.Sekar bukan sekadar penari malam ini. Ia adalah koordinator acara, guru tari Sunda, dan volunteer yang mengajar anak-anak kampung di pinggiran Bandung. Festival ini adalah mimpinya—wadah untuk membawa budaya Sunda ke panggung yang lebih luas, untuk menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup di tengah modernitas. “Aku harus pastikan semuanya sempurna,” gumamnya, mengecek daftar di tangannya. “Anak-anak datang malam ini, mereka harus bangga.”“Teh Sekar! Bentar lagi giliran Teteh, lho!