Home / Romansa / Istri Dadakan Sang Presdir / 1. Ciuman tanpa Sengaja

Share

Istri Dadakan Sang Presdir
Istri Dadakan Sang Presdir
Author: ISMI

1. Ciuman tanpa Sengaja

Author: ISMI
last update Last Updated: 2025-05-05 12:21:40

***

Gamelan mengalun meriah di festival budaya Sunda, Bandung, mengisi udara malam dengan irama yang membangkitkan jiwa. Lampion-lampion menggantung di sekitar Gedung Sate, memancarkan cahaya lembut yang menari di wajah para penonton. Sorak sorai menyambut penari Jaipong di panggung, dan Sekar, berdiri di sisi kerumunan, menarik napas dalam. Kebaya merahnya yang disulam benang emas memeluk tubuhnya dengan anggun, siger di kepalanya sedikit miring karena ia baru saja membantu panitia mengatur properti panggung.

Sekar bukan sekadar penari malam ini. Ia adalah koordinator acara, guru tari Sunda, dan volunteer yang mengajar anak-anak kampung di pinggiran Bandung. Festival ini adalah mimpinya—wadah untuk membawa budaya Sunda ke panggung yang lebih luas, untuk menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup di tengah modernitas. “Aku harus pastikan semuanya sempurna,” gumamnya, mengecek daftar di tangannya. “Anak-anak  datang malam ini, mereka harus bangga.”

“Teh Sekar! Bentar lagi giliran Teteh, lho!” teriak Lila, teman penarinya, dari dekat saung panitia. Lila, dengan kebaya hijau dan senyum lebar, mengipasi wajahnya. “Nervous nggak? Panggung rame banget!”

Sekar tersenyum, meski jantungnya berdetak kencang. “Nervous? Enggak, Lila. Cuma… deg-degan biasa,” jawabnya, mencoba santai. “Ini kan buat anak-anak juga. Mereka harus lihat budaya kita hidup.”

“Panggung bakal ambyar gara-gara Teteh, pasti!” tawa Lila, menepuk pundak Sekar. “Eh, tadi aku lihat tamu asing banyak, lho. Mungkin ada yang naksir penari cantik kayak teteh. Teteh kan terlalu lama sendirian, sayang loh punya wajah cantik nggak dimanfaatkan.”

Sekar memutar bola mata. “Lila, jangan mulai deh. Aku fokus ke tari, bukan cari pacar,” katanya, setengah tertawa.

Ia melangkah menuju tangga menuju saung panitia, ingin memastikan jadwal. Kakinya terasa ringan, tapi pikirannya selalu sibuk—daftar tugas, anak-anak kampung yang ia ajak menonton, dan tekanan untuk memastikan acara ini sukses. Tiba-tiba, kakinya tersandung kain kebaya yang sedikit terlalu panjang. “Oh, tidak!” batinnya, tubuhnya oleng ke depan.

Bruk! Ia menabrak seseorang. Tangan kuat memegang pinggangnya, menahannya agar tidak jatuh. Namun, keadaannya membuat wajah mereka terlalu dekat—terlalu dekat. Bibir mereka bersentuhan, sekilas, tak sengaja. Sekar membelalak, jantungnya seperti berhenti. Matanya bertemu sepasang mata hijau, asing, milik pria berjas mahal yang kini memandangnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Waktu seolah membeku. Aroma parfum mahal dari pria itu menyapu indranya. Sekar merasakan panas naik ke wajahnya, siger di kepalanya bergoyang, dan jantungnya berdetak kencang. “Ya Tuhan, apa ini?!” batinnya, panik. Instingnya berteriak untuk lari, tapi kakinya seperti terpaku.

Akhirnya, ia tersadar. Dengan wajah memerah, ia mendorong dada pria itu, melepaskan diri, dan buru-buru bangkit. Punten, punten!” katanya cepat, suaranya gemetar. Tanpa menunggu respons, ia berlari menuruni tangga, kain kebayanya melambai, siger hampir jatuh. Ia tak berani menoleh, takut pria itu melihat wajahnya yang pasti sudah merah seperti tomat.

Di balik saung, Sekar bersembunyi, tangan memegang dada. “Sekar, bodoh! Kenapa cuma bilang punten? Memangnya dia ngerti Bahasa sunda? Dan kenapa malah lari?!” keluhnya, menampar pipinya pelan. “Dia pasti tamu asing. Mungkin dia tak peduli. Tapi aku… aku cium orang sembarangan! Aku gila, ya? Ini ciuman pertamaku!”

“Teh Sekar, ngapain sembunyi?!” Lila muncul, mata penuh tanya. “Tadi kenapa lari kayak dikejar hantu?”

Sekar menutup wajah. “Lila, aku… aku nggak sengaja cium orang!” bisiknya, panik. “Aku tersandung, nabrak pria asing, terus… ya Tuhan, bibirku nyentuh bibirnya!”

Lila membelalak, lalu tergelak. “Cium?! Serius?! Pria asing yang mana? Ganteng nggak?”

“Lila, ini nggak lucu!” protes Sekar, mengipasi wajah. “Aku cuma bilang punten, terus kabur. Aku harap dia nggak ingat. Mungkin baginya itu biasa, kan? Tamu asing gitu.”

“Kalau ganteng, jangan lupa ajak kenalan, ya,” goda Lila, terkikik. “Eh, tapi serius, Teh, teteh nggak apa-apa? Wajah teteh merah banget.”

Sekar menggeleng keras. “Aku nggak apa-apa. Aku mau fokus ke tari. Ini malam penting, Lila. Anak-anak didikku nonton, aku nggak boleh gagal.”

Teriakan panitia memecah obrolan mereka. “Teh Sekar, sekarang nari Jaipong! Ke panggung sekarang!”

Sekar menarik napas panjang, merapikan siger dan kebaya. “Fokus, Sekar. Ini panggungmu,” gumamnya. “Lupain pria itu.” Ia melangkah ke panggung, kepala tegak, senyum profesional terpasang. Gamelan mengalun, dan tubuhnya bergerak—langkah lincah, tangan meliuk anggun, pinggul mengikuti irama Jaipong dengan presisi. Setiap gerakan adalah cerita, setiap putaran adalah curahan jiwa. Penonton bersorak, memanggil namanya, tapi di dalam hatinya, Sekar masih bergulat dengan rasa malu.

***

Di sisi panggung, Sekar turun dengan napas tersengal, keringat menetes di dahinya. Senyumnya lebar, lega karena penampilannya sukses. Lila menepuk pundaknya. “Teh Sekar, panggung ambyar gara-gara teteh! Anak-anak  tadi teriak terus, heboh karena bangga!”

Sekar tertawa, tapi wajahnya memerah lagi mengingat insiden di tangga. “Syukur deh, Lila. Aku cuma mau mereka senang,” katanya, menghela napas. “Tapi tadi… aku masih nggak bisa lupain kejadian itu. Aku bodoh banget, nggak minta maaf beneran.”

“Teh, santai. Mungkin dia udah lupa,” hibur Lila. “Banyak tamu asing di sini. Kalau ketemu lagi, teteh minta maaf aja. Gampang, kan?”

“Gampang katamu,” keluh Sekar, mengipasi wajah. “Aku harap dia cuma tamu biasa, pulang besok ke negaranya, dan kita nggak ketemu lagi.”

Sebelum ia bisa tenang, seorang panitia mendekat, menyodorkan map kertas. “Teh Sekar, tanda tangan ini dulu, ya. Formalitas acara,” katanya, tergesa.

Sekar mengerutkan kening, tapi mengangguk. “Oh, oke. Apa ini?” tanyanya, mengambil pena dari Lila.

“Cuma formalitas, Teh. Untuk sponsor dan penutupan,” jawab panitia, buru-buru. “Seperti biasa aja.”

“Baiklah,” kata Sekar, menandatangani tanpa membaca. Ia terlalu sibuk melepas ikat pinggang kebaya yang mulai sesak. “Semoga nggak ada masalah,” gumamnya, menyerahkan map.

“Iya, Teh. Aman,” kata panitia, mengambil map dan pergi.

Sekar melepas sigernya dengan hati-hati, rambutnya terurai. Tiba-tiba, seseorang mendekat. “Teh Sekar?” panggil suara pria.

Sekar menoleh, mendapati Bima, asisten sponsor utama. Ia tersenyum ramah. “Oh, Pak Bima! Iya, ada apa?” tanyanya, menyangkutkan siger di lengan.

Bima mengangguk, ekspresinya sopan. “Apakah bisa meminta waktunya, Teh? Atasan saya, sponsor utama acara ini, ingin berkenalan dengan Teteh.”

Sekar mengerutkan kening, tapi mengangguk. “Sponsor utama? Orang penting, ya,” katanya, mencoba santai. “Baik, Pak. Ke mana?”

“Ikut saya, ke tenda VIP,” kata Bima, melangkah di depan.

Sekar mengikuti, langkahnya ringan meski jantungan mulai tak tenang. “Sponsor utama… semoga cuma ngobrol biasa,” gumamnya. Tapi bayang pria bermata hijau itu kembali mengusik. “Jangan-jangan… tidak mungkin, kan?” batinnya, mencoba menepis firasat liarnya.

Sampai di tenda VIP, Bima membuka pintu kain. “Tuan Ethan,” panggilnya, suara jelas.

Seorang pria berbalik. Jasnya sedikit terbuka, tangan di saku. Mata hijaunya bertemu mata cokelat Sekar. Waktu seolah berhenti lagi.

Selendang di tangan Sekar terlepas, jatuh ke lantai. “Pria asing itu sponsor utama?!” batinnya, jantung berdegup kencang. “Pria yang tak sengaja aku cium?!”

Ethan tersenyum tipis, aksen Belandanya terdengar jelas. “Anda Sekar, bukan? Senang akhirnya bertemu. Kita punya… banyak hal untuk dibicarakan.”

Sekar menelan ludah, wajahnya memanas. “Dia tahu? Apa dia mau minta tanggung jawab?!” batinnya, panik.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Dadakan Sang Presdir   79. Kubuat dari Hati

    ***“Ini bukan ambisi, Mami,” suara Ratu terdengar serak namun penuh ketegasan. “Mami sayang kalian. Kalian anak Mami, harta Mami. Mana mungkin Mami mau membuat kalian menderita?”Ia menghela napas panjang, menatap ke arah jendela gedung tinggi yang menampilkan langit Jakarta yang kelabu. “Kalau Mami tidak sayang, perusahaan ini tidak akan atas nama kamu dan Clarissa, adikmu.”Ethan tersenyum miring, senyuman yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Karena perusahaan ini kacau, Mami. Jadi Mami tidak mau membuat beban itu bersusah payah. Jangan dibungkus dengan kata sayang. Aku tahu maksud Mami.”Nada dingin Ethan menusuk. Ratu menoleh cepat, sorot matanya membara. “Ethan! Bagaimanapun, hormati dia sebagai suami Mami!”Ethan menggeleng keras. “Tidak akan pernah!” katanya tegas.Ratu terdiam, ia tidak bis bersikap keras pada anak sulungnya itu.***Sementara itu, di lantai bawah gedung, suasana jauh berbeda. Lobi perusahaan tampak ramai oleh lalu lalang karyawan yang baru pulang mak

  • Istri Dadakan Sang Presdir   78. Kado Untuknya

    ***Sekar menelan ludah, matanya berair.“Kenapa aku merasa sedih?” bisiknya, suara tercekat keluar dari tenggorokan. Ia duduk di kursi kayu panjang di sanggarnya, lampu gantung kuning redup menyorot lukisan di hadapannya.Air matanya jatuh tanpa ia sadari, membasahi pipinya yang dingin. Sekar menatap wajah Ethan dalam lukisan itu. Pria itu ia lukis dengan senyum teduh, duduk di sebuah bangku taman yang entah pernah ia lihat di mana. Tempat itu samar, seperti potongan mimpi yang melintas singkat.Ada yang menyayat dadanya. Perasaan asing, seolah kehilangan sesuatu yang sebenarnya belum pernah ia miliki. Hampa. Kosong.Sekar menggeleng cepat, menepis air mata dengan punggung tangannya. “Tidak, aku tidak boleh larut seperti ini,” katanya pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Ia menarik napas panjang. “Lebih baik aku menuntaskan lukisan ini. Besok... ya, besok aku akan ke Jakarta. Aku akan memberikannya langsung pada Ethan. Ini hanya hadiah ulang tahun. Balas budi. Karena dia sudah

  • Istri Dadakan Sang Presdir   77. Kenapa Aku Merasa Sedih?

    ***“Kau selalu menyukai hal seperti ini, hm?” bisiknya, nyaris menyerupai godaan. Ethan tersenyum lembut, menatap wanita itu dengan tatapan yang dalam.Detak jantung Sekar melonjak. Ia mendongak, mendapati sepasang mata hijau zamrud menatap lurus ke arahnya. Ethan. Pria itu selalu muncul di saat ia paling ingin menghindar, tapi sekaligus yang diam-diam selalu ia harapkan hadir.Wajahnya panas. Ia buru-buru memalingkan kepala. “Mana ada orang yang mau jatuh? Aku masih waras,” gumamnya kesal, mencoba menyembunyikan rasa malunya.Ethan tersenyum samar, senyum yang lebih berbahaya daripada ancaman apa pun. “Apa aku harus jelaskan? Kau yang sengaja naik kursi rapuh hanya supaya bisa jatuh ke pelukanku?” Ia menaikkan satu alis, jelas tengah menggoda.Sekar mendengus, berusaha melepaskan diri dari genggaman itu. “Jangan terlalu percaya diri, Tuan Muda. Aku hanya ingin mengambil garam!” Ia menunduk, namun justru membuat wajahnya semakin merah, seperti tomat matang yang baru saja dipetik.Taw

  • Istri Dadakan Sang Presdir   76. Menyukai Hal Seperti ini?

    ***“Semua akan baik-baik saja, Sekar.” suara Ethan rendah, hampir berbisik, seakan hanya untuk telinga wanita itu saja. “Percayalah padaku. Kamu percaya padaku, bukan?”Ucapan itu bergema di kepala Sekar. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap bibir Ethan yang baru saja mengucapkannya, lalu memejamkan mata sebentar.Deja vu.Kalimat itu, intonasi itu, bahkan tatapan mata Ethan… seakan-akan ia pernah mendengarnya di suatu tempat. Entah itu di dalam mimpi, atau di dalam memori samar yang belum pernah ia pahami.Sekar menutup matanya dengan satu tangan, merasakan denyut nyeri yang mendadak menusuk pelipisnya.“Sekar!” suara Ethan meninggi, panik. Ia segera meraih bahu wanita itu. “Kamu tidak apa-apa?”Sekar menarik napas pendek, berusaha menenangkan diri. Perlahan, ia membuka mata dan menatap Ethan yang wajahnya penuh cemas. Senyum tipis ia paksakan.“Entah kenapa… apa yang kamu ucapkan tadi seperti pernah ada yang mengucapkannya.” Suaran

  • Istri Dadakan Sang Presdir   75. Percaya Padaku, kan?

    ***“E-Ethan…” suara Sekar tercekat, nyaris hanya sebuah bisikan yang keluar dari bibirnya.Di hadapannya, pria itu berdiri dengan senyum tenang, mata hijau zamrudnya seakan berpendar oleh cahaya pagi yang menembus kaca jendela sanggar. Senyum itu selalu menghadirkan rasa damai, tapi juga membuat hatinya tak pernah tenang.Ethan memasukkan kedua tangannya ke saku celana, tubuh tegapnya sedikit condong ke arah Sekar. “Bersiaplah,” ucapnya datar namun mengandung sesuatu yang serius, “aku ingin kita pergi. Ada hal yang harus kubicarakan denganmu.”Sekar terdiam. Dadanya berdebar, tetapi ia mengangguk pelan. “Oke… tunggu sebentar.” Suaranya lemah, seakan ia tak kuasa menolak permintaan Ethan.Ia berbalik, merapikan beberapa kertas yang berserakan di meja sanggar, seolah-olah butuh alasan untuk menunda pertemuan yang mungkin akan mengguncang dunianya. Hanya suara langkah mereka yang akhirnya terdengar, berjalan keluar dari ruang latihan dan menuju mobil Ethan.Di dalam mobil, keheningan be

  • Istri Dadakan Sang Presdir   74. Ada Aku Disini

    ***Braaak!!Suara benturan keras itu membuat tubuh Sekar terlonjak kaget. Matanya melebar ketika sebuah motor melaju tak terkendali ke arah mereka. Dalam sepersekian detik, sebelum ia sempat berteriak, tubuhnya sudah ditarik kuat ke dalam pelukan Ethan.Tubuh pria itu memeluk Sekar erat, membalik posisinya, hingga punggung Ethan yang menghantam keras aspal jalanan. Mereka berguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Rasa sakit seolah menghantam seluruh tubuh Ethan, tetapi ia tetap mendekap Sekar rapat, memastikan wanita itu tidak tergores sedikit pun.“Ethan!!” Sekar menjerit.Napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Ia menatap pria itu yang kini terbaring di sampingnya dengan wajah meringis, pelipisnya berdarah, lengan bajunya terkoyak, dan merahnya darah mengalir di sana.“Ethan… Ethan!!” Sekar panik, air matanya langsung jatuh, tangannya mengguncang tubuh pria itu.Ethan berusaha tersenyum tipis, meski jelas kesakitan. “Aku… aku tak apa-apa, Sekar. Ini hanya darah… dari aspal saj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status