LOGIN
***
Gamelan mengalun meriah di festival budaya Sunda, Bandung, mengisi udara malam dengan irama yang membangkitkan jiwa. Lampion-lampion menggantung di sekitar Gedung Sate, memancarkan cahaya lembut yang menari di wajah para penonton. Sorak sorai menyambut penari Jaipong di panggung, dan Sekar, berdiri di sisi kerumunan, menarik napas dalam. Kebaya merahnya yang disulam benang emas memeluk tubuhnya dengan anggun, siger di kepalanya sedikit miring karena ia baru saja membantu panitia mengatur properti panggung.
Sekar bukan sekadar penari malam ini. Ia adalah koordinator acara, guru tari Sunda, dan volunteer yang mengajar anak-anak kampung di pinggiran Bandung. Festival ini adalah mimpinya—wadah untuk membawa budaya Sunda ke panggung yang lebih luas, untuk menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup di tengah modernitas. “Aku harus pastikan semuanya sempurna,” gumamnya, mengecek daftar di tangannya. “Anak-anak datang malam ini, mereka harus bangga.”
“Teh Sekar! Bentar lagi giliran Teteh, lho!” teriak Lila, teman penarinya, dari dekat saung panitia. Lila, dengan kebaya hijau dan senyum lebar, mengipasi wajahnya. “Nervous nggak? Panggung rame banget!”
Sekar tersenyum, meski jantungnya berdetak kencang. “Nervous? Enggak, Lila. Cuma… deg-degan biasa,” jawabnya, mencoba santai. “Ini kan buat anak-anak juga. Mereka harus lihat budaya kita hidup.”
“Panggung bakal ambyar gara-gara Teteh, pasti!” tawa Lila, menepuk pundak Sekar. “Eh, tadi aku lihat tamu asing banyak, lho. Mungkin ada yang naksir penari cantik kayak teteh. Teteh kan terlalu lama sendirian, sayang loh punya wajah cantik nggak dimanfaatkan.”
Sekar memutar bola mata. “Lila, jangan mulai deh. Aku fokus ke tari, bukan cari pacar,” katanya, setengah tertawa.
Ia melangkah menuju tangga menuju saung panitia, ingin memastikan jadwal. Kakinya terasa ringan, tapi pikirannya selalu sibuk—daftar tugas, anak-anak kampung yang ia ajak menonton, dan tekanan untuk memastikan acara ini sukses. Tiba-tiba, kakinya tersandung kain kebaya yang sedikit terlalu panjang. “Oh, tidak!” batinnya, tubuhnya oleng ke depan.
Bruk! Ia menabrak seseorang. Tangan kuat memegang pinggangnya, menahannya agar tidak jatuh. Namun, keadaannya membuat wajah mereka terlalu dekat—terlalu dekat. Bibir mereka bersentuhan, sekilas, tak sengaja. Sekar membelalak, jantungnya seperti berhenti. Matanya bertemu sepasang mata hijau, asing, milik pria berjas mahal yang kini memandangnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Waktu seolah membeku. Aroma parfum mahal dari pria itu menyapu indranya. Sekar merasakan panas naik ke wajahnya, siger di kepalanya bergoyang, dan jantungnya berdetak kencang. “Ya Tuhan, apa ini?!” batinnya, panik. Instingnya berteriak untuk lari, tapi kakinya seperti terpaku.
Akhirnya, ia tersadar. Dengan wajah memerah, ia mendorong dada pria itu, melepaskan diri, dan buru-buru bangkit. Punten, punten!” katanya cepat, suaranya gemetar. Tanpa menunggu respons, ia berlari menuruni tangga, kain kebayanya melambai, siger hampir jatuh. Ia tak berani menoleh, takut pria itu melihat wajahnya yang pasti sudah merah seperti tomat.
Di balik saung, Sekar bersembunyi, tangan memegang dada. “Sekar, bodoh! Kenapa cuma bilang punten? Memangnya dia ngerti Bahasa sunda? Dan kenapa malah lari?!” keluhnya, menampar pipinya pelan. “Dia pasti tamu asing. Mungkin dia tak peduli. Tapi aku… aku cium orang sembarangan! Aku gila, ya? Ini ciuman pertamaku!”
“Teh Sekar, ngapain sembunyi?!” Lila muncul, mata penuh tanya. “Tadi kenapa lari kayak dikejar hantu?”
Sekar menutup wajah. “Lila, aku… aku nggak sengaja cium orang!” bisiknya, panik. “Aku tersandung, nabrak pria asing, terus… ya Tuhan, bibirku nyentuh bibirnya!”
Lila membelalak, lalu tergelak. “Cium?! Serius?! Pria asing yang mana? Ganteng nggak?”
“Lila, ini nggak lucu!” protes Sekar, mengipasi wajah. “Aku cuma bilang punten, terus kabur. Aku harap dia nggak ingat. Mungkin baginya itu biasa, kan? Tamu asing gitu.”
“Kalau ganteng, jangan lupa ajak kenalan, ya,” goda Lila, terkikik. “Eh, tapi serius, Teh, teteh nggak apa-apa? Wajah teteh merah banget.”
Sekar menggeleng keras. “Aku nggak apa-apa. Aku mau fokus ke tari. Ini malam penting, Lila. Anak-anak didikku nonton, aku nggak boleh gagal.”
Teriakan panitia memecah obrolan mereka. “Teh Sekar, sekarang nari Jaipong! Ke panggung sekarang!”
Sekar menarik napas panjang, merapikan siger dan kebaya. “Fokus, Sekar. Ini panggungmu,” gumamnya. “Lupain pria itu.” Ia melangkah ke panggung, kepala tegak, senyum profesional terpasang. Gamelan mengalun, dan tubuhnya bergerak—langkah lincah, tangan meliuk anggun, pinggul mengikuti irama Jaipong dengan presisi. Setiap gerakan adalah cerita, setiap putaran adalah curahan jiwa. Penonton bersorak, memanggil namanya, tapi di dalam hatinya, Sekar masih bergulat dengan rasa malu.
***
Di sisi panggung, Sekar turun dengan napas tersengal, keringat menetes di dahinya. Senyumnya lebar, lega karena penampilannya sukses. Lila menepuk pundaknya. “Teh Sekar, panggung ambyar gara-gara teteh! Anak-anak tadi teriak terus, heboh karena bangga!”
Sekar tertawa, tapi wajahnya memerah lagi mengingat insiden di tangga. “Syukur deh, Lila. Aku cuma mau mereka senang,” katanya, menghela napas. “Tapi tadi… aku masih nggak bisa lupain kejadian itu. Aku bodoh banget, nggak minta maaf beneran.”
“Teh, santai. Mungkin dia udah lupa,” hibur Lila. “Banyak tamu asing di sini. Kalau ketemu lagi, teteh minta maaf aja. Gampang, kan?”
“Gampang katamu,” keluh Sekar, mengipasi wajah. “Aku harap dia cuma tamu biasa, pulang besok ke negaranya, dan kita nggak ketemu lagi.”
Sebelum ia bisa tenang, seorang panitia mendekat, menyodorkan map kertas. “Teh Sekar, tanda tangan ini dulu, ya. Formalitas acara,” katanya, tergesa.
Sekar mengerutkan kening, tapi mengangguk. “Oh, oke. Apa ini?” tanyanya, mengambil pena dari Lila.
“Cuma formalitas, Teh. Untuk sponsor dan penutupan,” jawab panitia, buru-buru. “Seperti biasa aja.”
“Baiklah,” kata Sekar, menandatangani tanpa membaca. Ia terlalu sibuk melepas ikat pinggang kebaya yang mulai sesak. “Semoga nggak ada masalah,” gumamnya, menyerahkan map.
“Iya, Teh. Aman,” kata panitia, mengambil map dan pergi.
Sekar melepas sigernya dengan hati-hati, rambutnya terurai. Tiba-tiba, seseorang mendekat. “Teh Sekar?” panggil suara pria.
Sekar menoleh, mendapati Bima, asisten sponsor utama. Ia tersenyum ramah. “Oh, Pak Bima! Iya, ada apa?” tanyanya, menyangkutkan siger di lengan.
Bima mengangguk, ekspresinya sopan. “Apakah bisa meminta waktunya, Teh? Atasan saya, sponsor utama acara ini, ingin berkenalan dengan Teteh.”
Sekar mengerutkan kening, tapi mengangguk. “Sponsor utama? Orang penting, ya,” katanya, mencoba santai. “Baik, Pak. Ke mana?”
“Ikut saya, ke tenda VIP,” kata Bima, melangkah di depan.
Sekar mengikuti, langkahnya ringan meski jantungan mulai tak tenang. “Sponsor utama… semoga cuma ngobrol biasa,” gumamnya. Tapi bayang pria bermata hijau itu kembali mengusik. “Jangan-jangan… tidak mungkin, kan?” batinnya, mencoba menepis firasat liarnya.
Sampai di tenda VIP, Bima membuka pintu kain. “Tuan Ethan,” panggilnya, suara jelas.
Seorang pria berbalik. Jasnya sedikit terbuka, tangan di saku. Mata hijaunya bertemu mata cokelat Sekar. Waktu seolah berhenti lagi.
Selendang di tangan Sekar terlepas, jatuh ke lantai. “Pria asing itu sponsor utama?!” batinnya, jantung berdegup kencang. “Pria yang tak sengaja aku cium?!”
Ethan tersenyum tipis, aksen Belandanya terdengar jelas. “Anda Sekar, bukan? Senang akhirnya bertemu. Kita punya… banyak hal untuk dibicarakan.”
Sekar menelan ludah, wajahnya memanas. “Dia tahu? Apa dia mau minta tanggung jawab?!” batinnya, panik.
***
***Udara Kyoto sore itu beraroma dedaunan kering dan teh hijau hangat. Daun-daun maple berguguran, melayang perlahan di taman kecil di belakang rumah kayu tempat Ethan dan Sekar tinggal sementara. Langit jingga menua di ufuk barat, sementara sinar matahari yang lembut menembus jendela kaca besar, menyentuh wajah Sekar yang sedang duduk di kursi goyang.Perutnya kini membesar, membulat sempurna menandai kehidupan kecil yang tumbuh di dalamnya. Enam bulan sudah berlalu sejak malam kelam itu di hotel—sejak semua kebohongan terbongkar, dan badai yang hampir menghancurkan hidup mereka akhirnya reda.Sekar menatap pemandangan di luar jendela. Angin musim gugur berhembus lembut, menggoyangkan cabang pohon ginkgo di halaman. Ia tersenyum kecil, menatap daun kuning yang jatuh di pangkuannya.“Kyoto…” gumamnya pelan. “Akhirnya aku benar-benar sampai di sini, Ethan. Negara impianku sejak kecil.”Suara langkah lembut terdengar dari belakangnya. Ethan datang membawa dua cangkir teh hangat. Ia mel
***Kamar hotel itu dipenuhi aroma lembut bunga melati dan cahaya lampu yang temaram. Tirai tebal tertutup rapat, menghalangi pandangan dunia luar. Di tengah ruangan, Ethan duduk di kursi, tangannya tampak terikat tali sutra di sandaran, kepalanya menunduk. Dari kejauhan, ia terlihat tak berdaya—tapi di balik mata tertutupnya, pikirannya bekerja tajam.Suara langkah berirama terdengar mendekat. Tumit sepatu beradu dengan lantai marmer, mengisi ruangan dengan dentingan lembut namun mengancam.Eva muncul dari balik pintu, mengenakan gaun tipis berwarna merah delima yang memantulkan cahaya lampu seperti bara api. Rambut panjangnya terurai, matanya penuh keinginan dan kemenangan.Ia berjalan perlahan, mendekati Ethan yang masih tampak tak bergerak. Setiap langkahnya seperti ular yang melilit buruannya.“Setelah malam ini…” bisiknya serak dan rendah, mendekat di telinga Ethan. “Kau akan jadi milikku, Ethan. Tidak akan ada yang bisa mengambilmu dariku.”Ethan diam. Napasnya teratur, seolah
***Ethan berdiri di ruang tamu apartemen mewah itu, menatap Eva dengan mata yang dingin dan tak bersahabat. Suasana tegang memenuhi ruangan. Lampu kristal berpendar lembut, tapi di balik kemewahan itu, udara terasa berat, seperti menunggu sesuatu yang buruk terjadi.“Ethan,” Eva memulai dengan suara lembut, tapi penuh keyakinan. “Hanya aku yang bisa menyelamatkan papimu… dan perusahaannya.”Ethan menatapnya, menilai setiap gerakan Eva. “Apa maksudmu? Kau ingin apa?”Eva tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduk Ethan berdiri. Ia melangkah ke arah meja kopi dan mengambil gelas yang sudah berisi minuman berwarna merah gelap. Tanpa ragu, ia menyerahkannya pada Ethan.“Minumlah. Ini… bagian dari solusi.” Eva menatap mata Ethan, menantang sekaligus memikat.Ethan menghela napas panjang. Ia menerima gelas itu dan meneguk perlahan.Awalnya, rasa manis bercampur pahit itu terasa normal, tapi tak lama kemudian, dunia Ethan mulai berputar. Pusing menusuk kepala, pandangannya mulai buram,
*** Malam baru saja mereda ketika pesawat mendarat di Jakarta. Hujan tipis membersihkan jejak kota yang sempat kusam—seperti menunggu kelahiran sebuah babak baru yang tak pernah diinginkan mereka. Di bandara, Sekar menggenggam tangan Ethan erat. Wajahnya pucat, matanya merah karena kurang tidur dan kecemasan yang tak tertahan. Mereka berdua tidak banyak bicara selama perjalanan pulang; kata-kata terlalu kecil untuk menampung kecemasan mereka.Di ambulans rumah sakit, Ethan melangkah cepat memasuki ruang UGD. Dokter duduk di meja, menatapnya dengan serius. “Tuan Ethan, kami sedang stabilkan kondisi Tuan Henry. Kami menemukan tanda-tanda pendarahan kecil di otak dan sedang observasi intensif. Saat ini belum sadar. Kami butuh waktu,” jelas dokter singkat.Ethan menunduk, menahan denting panik yang muncul. “Beritahu saya jika ada perkembangan,” katanya tegas, padahal suaranya serak. Sekar memegang lengannya, mencoba menyalurkan ketenangan yang tak sepenuhnya ada. “Kita di sini, Ethan,”
Tiba-tiba ponselnya berdering dan ia mengangkatnya. " Halo, Tante. Bagaimana? Apakah Tante menerima tawaran dariku?" Ada jeda di seberang sana, suara wanita tua yang berhati-hati menjawab, “Tante sudah pikirkan. Tapi ini berisiko besar, Eva. Kau yakin mau melakukannya?”Eva menatap gelas wine di depannya, jemarinya berputar pelan di bibir kaca. “Aku sudah terlalu jauh untuk mundur. Aku tidak datang ke negara ini untuk kalah. Bukankah Tante ingin Perusahaan atas nama keluarga Wiratama jatuh ke tangan Tante sepenuhnya? Dan hanya aku yang bisa membantu Tante.”Suara di ujung telepon terdengar menarik napas. “Baik. Di mana kita temu?”Eva tersenyum tipis. “Kafe Swan Lake, pukul sembilan malam besok. Datang sendiri.”“Baik,” jawabnya ragu, sebelum sambungan berakhir.Ponsel kini gelap, memantulkan wajah Eva yang pucat tapi matanya menyala seperti bara. Ia menatap refleksi dirinya sendiri di kaca jendela besar apartemen itu. Di luar, tidak seperti biasanya Jakarta berkilau indah, tapi di
***Angin sore Kyoto berembus lembut membawa aroma bunga sakura yang mulai berguguran. Di sepanjang jalan, kelopak merah muda menari-nari di udara, jatuh di bahu para wisatawan dan di atap restoran yang dipenuhi cahaya hangat. Di dalam salah satu restoran paling terkenal di distrik Gion, suasana riuh penuh tawa dan kebanggaan—karena malam ini, tim Jaipong Sanggar Ketuk Tilu baru saja membawa nama Indonesia bersinar di Festival Budaya Dunia.“Untuk Indonesia!” seru Lila sambil mengangkat gelas jus jeruknya tinggi-tinggi.“Untuk Indonesia!” semua menjawab kompak.Gelak tawa memenuhi ruangan. Di ujung meja panjang yang didekorasi elegan, Sekar duduk di samping Ethan. Wajahnya masih bersinar, sedikit berkeringat setelah tampil luar biasa di panggung sore tadi. Dalam balutan kimono modern hadiah dari panitia festival, Sekar tampak anggun sekaligus bersemangat.“Aku masih tidak percaya…” katanya pelan, matanya menerawang. “Kita menang, ya, sayang?”Ethan menoleh, senyum hangat tersungging d







