***
Sekar menelan ludah, wajahnya memanas. “Dia tahu? Apa dia mau minta tanggung jawab?!” batinnya, panik. Dan sorot mata hijau pria itu membuatnya gelisah. Ia adalah sponsor utama, pria asing yang tak sengaja ia cium di tangga, dan kini menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa ia baca.
“Anda tidak mendengar saat saya bicara?” tanya Ethan dalam, aksen Belandanya yang mencolok, alisnya terangkat dengan nada yang dingin namun menantang.
Sekar tersentak, wajahnya memanas. “Fokus, Sekar,” batinnya, mencoba mengabaikan rasa malu yang masih membakar. Ia menegakkan kepala, merapikan kebaya, dan memaksakan senyum sopan. “Saya mendengar, Tuan Ethan,” jawabnya, suara lembut tapi tenang. “Saya minta maaf soal tadi di tangga. Itu kecelakaan. Saya tersandung, dan… saya tidak bermaksud menyinggung.” Ia menatap Ethan, berharap ketulusannya cukup untuk mengakhiri situasi ini.
Ethan mencondongkan tubuh, siku bertumpu di meja, mata hijaunya meneliti Sekar dari ujung kepala hingga kaki. “Kecelakaan,” ulangnya, nada datar, tapi ada sedikit tekanan yang membuat Sekar menegang. “Kau menabrakku, menyentuh bibirku, lalu kabur seperti pencuri. Tanpa penjelasan.” Ia melangkah mendekat, tangan di saku jas, jarak mereka kini hanya beberapa senti. “Kau pikir cukup dengan ‘maaf’?”
Sekar menelan ludah, rasa malu bercampur kemarahan. “Dia menuduhku sengaja?!” batinnya, tangan mencengkeram siger di lengan untuk menahan emosi. Ia mengenal tipe pria seperti ini—arogan, merasa dunia berputar untuk mereka. Tapi Sekar bukan penari biasa. Ia guru tari Sunda, koordinator festival ini, dan volunteer yang mengajar anak-anak kampung di pinggiran Bandung. Festival ini adalah mimpinya, bukti bahwa budaya Sunda bisa bersinar di tengah modernitas. Ia tak akan membiarkan pria ini merendahkannya.
“Tuan Ethan,” katanya, suara sangat tenang meski jantungnya masih kencang, “saya tidak tahu apa yang Anda pikirkan tentang saya. Tapi kalau Anda anggap saya sengaja menabrak Anda untuk cari perhatian, Anda salah besar.” Ia melangkah maju, membuat Ethan sedikit mundur, alisnya terangkat seolah terkejut. “Saya menari Jaipong untuk anak-anak kampung yang saya ajar, untuk orang-orang yang mencintai budaya ini. Bukan untuk menggoda pria, apalagi sponsor seperti Anda!”
Ethan tak berkedip, hanya menatapnya dengan mata hijau yang dingin, tak terbaca. Sudut bibirnya naik tipis, entah ejekan atau sesuatu lain. “Penari yang bersemangat,” katanya, suara rendah, jari mengetuk meja dengan irama pelan. “Kau bilang itu seni. Tapi gerakanmu tadi di panggung… sangat memikat. Sulit untuk tidak curiga ada tujuannya.”
Sekar mematung, mulutnya ternganga sejenak. “Memikat?! Dia bilang aku sengaja menggoda?!” batinnya, kemarahan kini membuncah. Ia menegakkan tubuh, tangan mengepal di sisi kebaya. “Tuan Ethan, saya hormati Anda sebagai sponsor,” katanya, suara tegas, matanya berkilat. “Tapi jangan seenaknya memfitnah saya! Jaipong adalah budaya, bukan trik murahan. Saya menari dengan hati, untuk anak-anak yang menonton, untuk mereka yang percaya tradisi ini berharga. Kalau Anda tidak mengerti, itu bukan salah saya!”
Ia membungkuk dengan anggun, mengambil selendang yang terjatuh, lalu meluruskan tubuh. “Saya undur diri,” katanya, suara dingin tapi penuh harga diri. “Terima kasih atas dukungan Anda untuk festival ini. Semoga kita tidak perlu bicara lagi.” Ia berbalik, siger bergoyang, kebaya melambai, dan melangkah keluar tenda, kepala tetap tegak meski jantungnya berdegup kencang.
Di luar, Lila menunggu di dekat saung, tangan di pinggul. “Teh Sekar! Tadi kenapa lama banget?” tanyanya, melambai. “Wajahmu pucat, Teh! Sponsor utama galak, ya?”
Sekar merosot ke bangku kayu, tangan memegang dahi. “Bukan galak, Lila. Dia… nyebelin! Arogan!” keluhnya, mengipasi wajah. “Dia nuduh aku sengaja nabrak dia, cium dia, buat cari perhatian. Bisa bayangin nggak? Aku cuma tersandung, dan dia bikin seolah aku penari murahan!”
Lila membelalak, lalu tergelak. “Cium?! Serius, Teh? Pria asing tadi yang Teteh cium itu sponsor festival ini? Ganteng, nggak?” tanyanya, mata berbinar.
Sekar memutar bola mata. “Lila, fokus! Dia ganteng karena bule, bukan tipe ganteng yang aku minati, dia sombong abis!” katanya, setengah kesal. “Matanya… kayak bisa lihat menembus orang, tapi aku nggak tahu apa maunya. Aku cuma mau fokus ke anak-anak kampung dan festival ini. Aku nggak mau urusan sama dia lagi.”
“Teh, santai dong,” hibur Lila, menepuk pundak Sekar. “Teteh tadi keren banget di panggung. Anak-anak kampung tadi teriak-teriak bangga, lho. Lupain pria itu. Mungkin dia besok balik ke negaranya.”
Sekar menghela napas, senyum kecil muncul. “Iya, Lila. Aku cuma mau anak-anak senang. Mereka datang jauh-jauh buat nonton. Aku nggak boleh gagal.” Ia bangkit, merapikan siger. “Aku balik dulu, ya. Sore ini ngajar tari lagi. Anak-anak nunggu.”
Lila mengangguk, masih terkikik. “Jangan lupa, kalau ketemu si pria asing lagi, minta nomornya!” godanya, membuat Sekar menggeleng sambil berjalan pergi.
***
Pagi di Bandung terasa sejuk, kabut tipis masih menyelimuti. Sekar duduk di teras sanggar tarinya, secangkir teh hangat di tangan, mata cokelatnya menatap anak-anak kampung yang berlatih gerakan Jaipong di halaman. Tawa mereka mengisi udara, membuatnya tersenyum. “Ini yang bikin aku kuat,” gumamnya, menyeruput teh. Tapi ingatan tentang Ethan—mata hijaunya, senyum sinis, tuduhannya yang arogan—masih mengusik.
Tiba-tiba, seorang pria datang dan ia mendekat. Bima, asisten Ethan, berdiri di depannya, memegang map cokelat. “Teh Sekar,” katanya, suara hati-hati, “ada masalah serius. Bisa bicara sebentar?”
Sekar mengerutkan kening, meletakkan cangkir. “Apakah ada masalah? Masalah apa, Pak?” tanyanya, firasat buruk menyelinap. “Soal festival?”
Bima menunduk, menyodorkan dokumen. “Bukan cuma festival, Teh,” katanya, suara pelan. “Ini… akta nikah. Nama Teteh dan Tuan Ethan ada di sini. Sah. Dan sudah bocor ke media sosial.”
Sekar membelalak, tangannya gemetar mengambil kertas itu. “Akta nikah?!” serunya, suara nyaris pecah. “Ini… ini bercanda, kan? Aku nggak pernah menandatangani ini!” Matanya menyapu dokumen, melihat namanya berdampingan dengan “Ethan Wiratama Van der Meer.” Jantungnya seperti berhenti. “Aku… menikah? Dengan pria arogan itu?!”
Bima menggeleng, wajahnya penuh simpati. “Dokumennya sah, Teh. Tanda tangan Teteh ada di situ. Mungkin… dokumen yang Teteh tanda tangani kemarin?”
Sekar menutup mulut, ingatan tentang map kertas yang ia tanda tangani tanpa baca melintas. “Ya Tuhan, aku bodoh!” batinnya, panik. “Ini pasti ulah dia! Dia sengaja jebak aku!” Ia menatap Bima, mata berkaca-kaca tapi penuh tekad. “Apa ini bisa dibatalkan? Aku nggak mau terikat sama pria seperti dia!”
Bima menghela napas. “Tidak mudah, Teh,” katanya. “Jika dibatalkan, reputasi Teteh dan sanggar ini akan hancur. Media bilang ini ‘pernikahan rahasia’. Publik akan menyerang Teteh sebagai… penari yang ‘menggoda’ Tuan Ethan sebagai sponsor utamanya.”
Sekar mengepal tangan, kemarahan dan ketakutan bercampur. “Menggoda?! Lagi-lagi tuduhan itu!” katanya, suara gemetar. “Sanggar ini hidupku, Pak! Anak-anak ini harapanku! Aku nggak akan biarkan hancur gara-gara pria itu!” Ia menarik napas, mencoba tenang. “Apa yang harus aku lakukan?”
Bima menatapnya, ragu. “Tuan Ethan minta bertemu sama Teteh besok. beliau mau membicarakan masalah Teteh, kalau Teteh tidak datang, maka sanggar Teteh akan hancur."
"Apa? Pria sialan itu mengancamku?"
***
***Ethan berdiri di sisi lain ballroom, diapit oleh ibunya, Raden Ayu Ratu Ayuningtyas Wiratama, dan beberapa sepupu dari keluarga besar Wiratama. Tuksedonya hitam sempurna, tapi rahangnya tegang. Ratu, dengan gaun sutra merah dan perhiasan berlian, menatap anak sulungnya dengan alis terangkat, wajahnya penuh kekecewaan.“Ethan, kamu baru kembali ke tanah air, dan Mami kecewa karena kamu telah menikah,” suara Ratu terdengar tenang tapi tajam. “Kenapa kamu tidak memberitahu keluarga Wiratama? Kamu tidak memikirkan Mami? Ibu kandungmu?”Ethan menoleh perlahan. “Menikah yang penting sah, kan?” katanya datar, menyandarkan punggung ke dinding. “Dan untuk masalah istri, biarkan aku yang menentukan. Papi juga tidak mempermasalahkannya.”Ratu menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir dengan bunyi kecil di meja kaca.“Ethan, kita ini berada di keluarga ningrat. Keluarga Wiratama tak pernah salah memilih menantu.” Ia menatap tajam ke arah anak sulungnya. “Dan wanita yang kamu pilih? Seor
***Suara gamelan dan kendang mengalun lembut, menyatu dengan tawa anak-anak yang berlatih Jaipong di halaman beratap bambu di sanggar Tari milik Sekar. Wanita itu berdiri di tengah, mengenakan kaus sederhana dan kain batik diikat di pinggang, gerakannya lincah dan penuh kendali. Rambut panjangnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, tapi matanya bersinar penuh dedikasi. Anak-anak didiknya, berusia 8 hingga 15 tahun, mengikuti dengan antusias, beberapa terkikik saat salah langkah.“Hiji… dua… tilu,” ucap Sekar, suaranya jelas dan berirama, tangan menunjuk langkah kaki. “Ayo, Nia, tangannya lebih lembut! Bayangin kamu bawa bunga!”Nia, gadis berusia 12 tahun, tersenyum malu, mencoba lagi. “Gini, Teh?” tanyanya, suara ceria, tangannya meliuk pelan.Sekar mengangguk, senyum tulus merekah di wajahnya. “Bagus, Nia! Latihan terus, ya,” katanya, suara hangat. Ia berpindah ke anak lain, membenarkan posisi pinggul mereka, penuh kesabaran.Sanggar kembali normal setelah badai media mereda. Malam
***Sekar mengepal tangan, menatap Ethan dengan sorot penuh dendam. “Aku tidak mau membuang waktumu yang berharga, Tuan Ethan. Katakan saja, aku tidak mau kita menghabiskan waktu bersama walau hanya sekedar bicara!”Ethan mengangguk kaku, ekspresinya tak terbaca, hanya mata hijau yang menyipit. “Kau tahu berita heboh di luar, kan?” katanya, suara dalam, jari mengetuk meja kayu dengan irama pelan. “Foto kita di tangga festival. Aku tidak tahu siapa yang menyebarkannya—mungkin lawan bisnisku, atau saingan sanggarmu. Tapi sekarang, kita ikuti permainan mereka.” Ia berhenti, menatap Sekar intens. “Kita umumkan saja kita sudah menikah.”Sekar membelalak, napas tersengal. “Menikah?!” serunya, tangan mengepal. “Kita bisa klarifikasi ke media! Ajak panitia festival untuk akui kesalahan mereka! Akta nikah itu bisa dibatalkan!” Ia melangkah mendekat, matanya berkilat. “Masalah selesai, bukan? Kenapa harus main-main dengan ide gila begitu?!”Ethan terdiam, jari masih mengetuk meja, ekspresinya d
***Sekar duduk di tepi ranjang di kamar sederhananya, rambut panjang hitamnya terurai, kaus longgar dan celana pendek terasa nyaman namun tak mampu menenangkan jantungan yang berdegup kencang. Ponsel di tangannya bergetar tanpa henti, layar penuh notifikasi media sosial yang berdatangan bagai badai. Matanya menyipit, jari-jari ragu saat membuka aplikasi. Ratusan ribu komentar membanjiri akunnya, sebagian besar pedas dan penuh fitnah. “Penari murahan, cuma kejar duit bule!” “Sanggar Ketuk Tilu cuma kedok!” “Haram, nikah sembunyi!” “Jangab-jangan dia sudah hamidun di luar nikah! Menyeramkan!” “Ternyata wajah cantiknya dia manfaatkan untuk uang!”Sekar membelalak, napas tersengal. “Fitnah apa ini?!” gumamnya, tangan gemetar memegang ponsel.Ia membuka berita terpopuler. Jantungnya hampir berhenti. Foto dirinya dengan Ethan Wiratama Van der Meer, pria blasteran bermata hijau, tersebar luas. Gambar itu menangkap momen memalukan di tangga festival budaya Sunda kemarin—Ethan memegang pingga
***Sekar menelan ludah, wajahnya memanas. “Dia tahu? Apa dia mau minta tanggung jawab?!” batinnya, panik. Dan sorot mata hijau pria itu membuatnya gelisah. Ia adalah sponsor utama, pria asing yang tak sengaja ia cium di tangga, dan kini menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa ia baca.“Anda tidak mendengar saat saya bicara?” tanya Ethan dalam, aksen Belandanya yang mencolok, alisnya terangkat dengan nada yang dingin namun menantang.Sekar tersentak, wajahnya memanas. “Fokus, Sekar,” batinnya, mencoba mengabaikan rasa malu yang masih membakar. Ia menegakkan kepala, merapikan kebaya, dan memaksakan senyum sopan. “Saya mendengar, Tuan Ethan,” jawabnya, suara lembut tapi tenang. “Saya minta maaf soal tadi di tangga. Itu kecelakaan. Saya tersandung, dan… saya tidak bermaksud menyinggung.” Ia menatap Ethan, berharap ketulusannya cukup untuk mengakhiri situasi ini.Ethan mencondongkan tubuh, siku bertumpu di meja, mata hijaunya meneliti Sekar dari ujung kepala hingga kaki. “Kecelakaan,” u
***Gamelan mengalun meriah di festival budaya Sunda, Bandung, mengisi udara malam dengan irama yang membangkitkan jiwa. Lampion-lampion menggantung di sekitar Gedung Sate, memancarkan cahaya lembut yang menari di wajah para penonton. Sorak sorai menyambut penari Jaipong di panggung, dan Sekar, berdiri di sisi kerumunan, menarik napas dalam. Kebaya merahnya yang disulam benang emas memeluk tubuhnya dengan anggun, siger di kepalanya sedikit miring karena ia baru saja membantu panitia mengatur properti panggung.Sekar bukan sekadar penari malam ini. Ia adalah koordinator acara, guru tari Sunda, dan volunteer yang mengajar anak-anak kampung di pinggiran Bandung. Festival ini adalah mimpinya—wadah untuk membawa budaya Sunda ke panggung yang lebih luas, untuk menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup di tengah modernitas. “Aku harus pastikan semuanya sempurna,” gumamnya, mengecek daftar di tangannya. “Anak-anak datang malam ini, mereka harus bangga.”“Teh Sekar! Bentar lagi giliran Teteh, lho!