공유

2. Akta Nikah

작가: ISMI
last update 최신 업데이트: 2025-05-10 00:13:32

***

Sekar menelan ludah, wajahnya memanas. “Dia tahu? Apa dia mau minta tanggung jawab?!” batinnya, panik. Dan sorot mata hijau pria  itu membuatnya gelisah. Ia adalah sponsor utama, pria asing yang tak sengaja ia cium di tangga, dan kini menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa ia baca.

“Anda tidak mendengar saat saya bicara?” tanya Ethan dalam, aksen Belandanya yang mencolok, alisnya terangkat dengan nada yang dingin namun menantang.

Sekar tersentak, wajahnya memanas. “Fokus, Sekar,” batinnya, mencoba mengabaikan rasa malu yang masih membakar. Ia menegakkan kepala, merapikan kebaya, dan memaksakan senyum sopan. “Saya mendengar, Tuan Ethan,” jawabnya, suara lembut tapi tenang. “Saya minta maaf soal tadi di tangga. Itu kecelakaan. Saya tersandung, dan… saya tidak bermaksud menyinggung.” Ia menatap Ethan, berharap ketulusannya cukup untuk mengakhiri situasi ini.

Ethan mencondongkan tubuh, siku bertumpu di meja, mata hijaunya meneliti Sekar dari ujung kepala hingga kaki. “Kecelakaan,” ulangnya, nada datar, tapi ada sedikit tekanan yang membuat Sekar menegang. “Kau menabrakku, menyentuh bibirku, lalu kabur seperti pencuri. Tanpa penjelasan.” Ia melangkah mendekat, tangan di saku jas, jarak mereka kini hanya beberapa senti. “Kau pikir cukup dengan ‘maaf’?”

Sekar menelan ludah, rasa malu bercampur kemarahan. “Dia menuduhku sengaja?!” batinnya, tangan mencengkeram siger di lengan untuk menahan emosi. Ia mengenal tipe pria seperti ini—arogan, merasa dunia berputar untuk mereka. Tapi Sekar bukan penari biasa. Ia guru tari Sunda, koordinator festival ini, dan volunteer yang mengajar anak-anak kampung di pinggiran Bandung. Festival ini adalah mimpinya, bukti bahwa budaya Sunda bisa bersinar di tengah modernitas. Ia tak akan membiarkan pria ini merendahkannya.

“Tuan Ethan,” katanya, suara sangat tenang meski jantungnya masih kencang, “saya tidak tahu apa yang Anda pikirkan tentang saya. Tapi kalau Anda anggap saya sengaja menabrak Anda untuk cari perhatian, Anda salah besar.” Ia melangkah maju, membuat Ethan sedikit mundur, alisnya terangkat seolah terkejut. “Saya menari Jaipong untuk anak-anak kampung yang saya ajar, untuk orang-orang yang mencintai budaya ini. Bukan untuk menggoda pria, apalagi sponsor seperti Anda!”

Ethan tak berkedip, hanya menatapnya dengan mata hijau yang dingin, tak terbaca. Sudut bibirnya naik tipis, entah ejekan atau sesuatu lain. “Penari yang bersemangat,” katanya, suara rendah, jari mengetuk meja dengan irama pelan. “Kau bilang itu seni. Tapi gerakanmu tadi di panggung… sangat memikat. Sulit untuk tidak curiga ada tujuannya.”

Sekar mematung, mulutnya ternganga sejenak. “Memikat?! Dia bilang aku sengaja menggoda?!” batinnya, kemarahan kini membuncah. Ia menegakkan tubuh, tangan mengepal di sisi kebaya. “Tuan Ethan, saya hormati Anda sebagai sponsor,” katanya, suara tegas, matanya berkilat. “Tapi jangan seenaknya memfitnah saya! Jaipong adalah budaya, bukan trik murahan. Saya menari dengan hati, untuk anak-anak yang menonton, untuk mereka yang percaya tradisi ini berharga. Kalau Anda tidak mengerti, itu bukan salah saya!”

Ia membungkuk dengan anggun, mengambil selendang yang terjatuh, lalu meluruskan tubuh. “Saya undur diri,” katanya, suara dingin tapi penuh harga diri. “Terima kasih atas dukungan Anda untuk festival ini. Semoga kita tidak perlu bicara lagi.” Ia berbalik, siger bergoyang, kebaya melambai, dan melangkah keluar tenda, kepala tetap tegak meski jantungnya berdegup kencang.

Di luar, Lila menunggu di dekat saung, tangan di pinggul. “Teh Sekar! Tadi kenapa lama banget?” tanyanya, melambai. “Wajahmu pucat, Teh! Sponsor utama galak, ya?”

Sekar merosot ke bangku kayu, tangan memegang dahi. “Bukan galak, Lila. Dia… nyebelin! Arogan!” keluhnya, mengipasi wajah. “Dia nuduh aku sengaja nabrak dia, cium dia, buat cari perhatian. Bisa bayangin nggak? Aku cuma tersandung, dan dia bikin seolah aku penari murahan!”

Lila membelalak, lalu tergelak. “Cium?! Serius, Teh? Pria asing tadi yang Teteh cium itu sponsor festival ini? Ganteng, nggak?” tanyanya, mata berbinar.

Sekar memutar bola mata. “Lila, fokus! Dia ganteng karena bule, bukan tipe ganteng yang aku minati, dia sombong abis!” katanya, setengah kesal. “Matanya… kayak bisa lihat menembus orang, tapi aku nggak tahu apa maunya. Aku cuma mau fokus ke anak-anak kampung dan festival ini. Aku nggak mau urusan sama dia lagi.”

“Teh, santai dong,” hibur Lila, menepuk pundak Sekar. “Teteh tadi keren banget di panggung. Anak-anak kampung tadi teriak-teriak bangga, lho. Lupain pria itu. Mungkin dia besok balik ke negaranya.”

Sekar menghela napas, senyum kecil muncul. “Iya, Lila. Aku cuma mau anak-anak senang. Mereka datang jauh-jauh buat nonton. Aku nggak boleh gagal.” Ia bangkit, merapikan siger. “Aku balik dulu, ya. Sore ini ngajar tari lagi. Anak-anak nunggu.”

Lila mengangguk, masih terkikik. “Jangan lupa, kalau ketemu si pria asing lagi, minta nomornya!” godanya, membuat Sekar menggeleng sambil berjalan pergi.

***

Pagi di Bandung terasa sejuk, kabut tipis masih menyelimuti. Sekar duduk di teras sanggar tarinya, secangkir teh hangat di tangan, mata cokelatnya menatap anak-anak kampung yang berlatih gerakan Jaipong di halaman. Tawa mereka mengisi udara, membuatnya tersenyum. “Ini yang bikin aku kuat,” gumamnya, menyeruput teh. Tapi ingatan tentang Ethan—mata hijaunya, senyum sinis, tuduhannya yang arogan—masih mengusik.

Tiba-tiba, seorang pria datang dan ia mendekat. Bima, asisten Ethan, berdiri di depannya, memegang map cokelat. “Teh Sekar,” katanya, suara hati-hati, “ada masalah serius. Bisa bicara sebentar?”

Sekar mengerutkan kening, meletakkan cangkir. “Apakah ada masalah? Masalah apa, Pak?” tanyanya, firasat buruk menyelinap. “Soal festival?”

Bima menunduk, menyodorkan dokumen. “Bukan cuma festival, Teh,” katanya, suara pelan. “Ini… akta nikah. Nama Teteh dan Tuan Ethan ada di sini. Sah. Dan sudah bocor ke media sosial.”

Sekar membelalak, tangannya gemetar mengambil kertas itu. “Akta nikah?!” serunya, suara nyaris pecah. “Ini… ini bercanda, kan? Aku nggak pernah menandatangani ini!” Matanya menyapu dokumen, melihat namanya berdampingan dengan “Ethan Wiratama Van der Meer.” Jantungnya seperti berhenti. “Aku… menikah? Dengan pria arogan itu?!”

Bima menggeleng, wajahnya penuh simpati. “Dokumennya sah, Teh. Tanda tangan Teteh ada di situ. Mungkin… dokumen yang Teteh tanda tangani kemarin?”

Sekar menutup mulut, ingatan tentang map kertas yang ia tanda tangani tanpa baca melintas. “Ya Tuhan, aku bodoh!” batinnya, panik. “Ini pasti ulah dia! Dia sengaja jebak aku!” Ia menatap Bima, mata berkaca-kaca tapi penuh tekad. “Apa ini bisa dibatalkan? Aku nggak mau terikat sama pria seperti dia!”

Bima menghela napas. “Tidak mudah, Teh,” katanya. “Jika dibatalkan, reputasi Teteh dan sanggar ini akan hancur. Media bilang ini ‘pernikahan rahasia’. Publik akan menyerang Teteh sebagai… penari yang ‘menggoda’ Tuan Ethan sebagai sponsor utamanya.”

Sekar mengepal tangan, kemarahan dan ketakutan bercampur. “Menggoda?! Lagi-lagi tuduhan itu!” katanya, suara gemetar. “Sanggar ini hidupku, Pak! Anak-anak ini harapanku! Aku nggak akan biarkan hancur gara-gara pria itu!” Ia menarik napas, mencoba tenang. “Apa yang harus aku lakukan?”

Bima menatapnya, ragu. “Tuan Ethan minta bertemu sama Teteh besok.  beliau mau membicarakan masalah Teteh, kalau Teteh tidak datang, maka sanggar Teteh akan hancur."

"Apa? Pria sialan itu mengancamku?"

*** 

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Istri Dadakan Sang Presdir   79. Kubuat dari Hati

    ***“Ini bukan ambisi, Mami,” suara Ratu terdengar serak namun penuh ketegasan. “Mami sayang kalian. Kalian anak Mami, harta Mami. Mana mungkin Mami mau membuat kalian menderita?”Ia menghela napas panjang, menatap ke arah jendela gedung tinggi yang menampilkan langit Jakarta yang kelabu. “Kalau Mami tidak sayang, perusahaan ini tidak akan atas nama kamu dan Clarissa, adikmu.”Ethan tersenyum miring, senyuman yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Karena perusahaan ini kacau, Mami. Jadi Mami tidak mau membuat beban itu bersusah payah. Jangan dibungkus dengan kata sayang. Aku tahu maksud Mami.”Nada dingin Ethan menusuk. Ratu menoleh cepat, sorot matanya membara. “Ethan! Bagaimanapun, hormati dia sebagai suami Mami!”Ethan menggeleng keras. “Tidak akan pernah!” katanya tegas.Ratu terdiam, ia tidak bis bersikap keras pada anak sulungnya itu.***Sementara itu, di lantai bawah gedung, suasana jauh berbeda. Lobi perusahaan tampak ramai oleh lalu lalang karyawan yang baru pulang mak

  • Istri Dadakan Sang Presdir   78. Kado Untuknya

    ***Sekar menelan ludah, matanya berair.“Kenapa aku merasa sedih?” bisiknya, suara tercekat keluar dari tenggorokan. Ia duduk di kursi kayu panjang di sanggarnya, lampu gantung kuning redup menyorot lukisan di hadapannya.Air matanya jatuh tanpa ia sadari, membasahi pipinya yang dingin. Sekar menatap wajah Ethan dalam lukisan itu. Pria itu ia lukis dengan senyum teduh, duduk di sebuah bangku taman yang entah pernah ia lihat di mana. Tempat itu samar, seperti potongan mimpi yang melintas singkat.Ada yang menyayat dadanya. Perasaan asing, seolah kehilangan sesuatu yang sebenarnya belum pernah ia miliki. Hampa. Kosong.Sekar menggeleng cepat, menepis air mata dengan punggung tangannya. “Tidak, aku tidak boleh larut seperti ini,” katanya pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Ia menarik napas panjang. “Lebih baik aku menuntaskan lukisan ini. Besok... ya, besok aku akan ke Jakarta. Aku akan memberikannya langsung pada Ethan. Ini hanya hadiah ulang tahun. Balas budi. Karena dia sudah

  • Istri Dadakan Sang Presdir   77. Kenapa Aku Merasa Sedih?

    ***“Kau selalu menyukai hal seperti ini, hm?” bisiknya, nyaris menyerupai godaan. Ethan tersenyum lembut, menatap wanita itu dengan tatapan yang dalam.Detak jantung Sekar melonjak. Ia mendongak, mendapati sepasang mata hijau zamrud menatap lurus ke arahnya. Ethan. Pria itu selalu muncul di saat ia paling ingin menghindar, tapi sekaligus yang diam-diam selalu ia harapkan hadir.Wajahnya panas. Ia buru-buru memalingkan kepala. “Mana ada orang yang mau jatuh? Aku masih waras,” gumamnya kesal, mencoba menyembunyikan rasa malunya.Ethan tersenyum samar, senyum yang lebih berbahaya daripada ancaman apa pun. “Apa aku harus jelaskan? Kau yang sengaja naik kursi rapuh hanya supaya bisa jatuh ke pelukanku?” Ia menaikkan satu alis, jelas tengah menggoda.Sekar mendengus, berusaha melepaskan diri dari genggaman itu. “Jangan terlalu percaya diri, Tuan Muda. Aku hanya ingin mengambil garam!” Ia menunduk, namun justru membuat wajahnya semakin merah, seperti tomat matang yang baru saja dipetik.Taw

  • Istri Dadakan Sang Presdir   76. Menyukai Hal Seperti ini?

    ***“Semua akan baik-baik saja, Sekar.” suara Ethan rendah, hampir berbisik, seakan hanya untuk telinga wanita itu saja. “Percayalah padaku. Kamu percaya padaku, bukan?”Ucapan itu bergema di kepala Sekar. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap bibir Ethan yang baru saja mengucapkannya, lalu memejamkan mata sebentar.Deja vu.Kalimat itu, intonasi itu, bahkan tatapan mata Ethan… seakan-akan ia pernah mendengarnya di suatu tempat. Entah itu di dalam mimpi, atau di dalam memori samar yang belum pernah ia pahami.Sekar menutup matanya dengan satu tangan, merasakan denyut nyeri yang mendadak menusuk pelipisnya.“Sekar!” suara Ethan meninggi, panik. Ia segera meraih bahu wanita itu. “Kamu tidak apa-apa?”Sekar menarik napas pendek, berusaha menenangkan diri. Perlahan, ia membuka mata dan menatap Ethan yang wajahnya penuh cemas. Senyum tipis ia paksakan.“Entah kenapa… apa yang kamu ucapkan tadi seperti pernah ada yang mengucapkannya.” Suaran

  • Istri Dadakan Sang Presdir   75. Percaya Padaku, kan?

    ***“E-Ethan…” suara Sekar tercekat, nyaris hanya sebuah bisikan yang keluar dari bibirnya.Di hadapannya, pria itu berdiri dengan senyum tenang, mata hijau zamrudnya seakan berpendar oleh cahaya pagi yang menembus kaca jendela sanggar. Senyum itu selalu menghadirkan rasa damai, tapi juga membuat hatinya tak pernah tenang.Ethan memasukkan kedua tangannya ke saku celana, tubuh tegapnya sedikit condong ke arah Sekar. “Bersiaplah,” ucapnya datar namun mengandung sesuatu yang serius, “aku ingin kita pergi. Ada hal yang harus kubicarakan denganmu.”Sekar terdiam. Dadanya berdebar, tetapi ia mengangguk pelan. “Oke… tunggu sebentar.” Suaranya lemah, seakan ia tak kuasa menolak permintaan Ethan.Ia berbalik, merapikan beberapa kertas yang berserakan di meja sanggar, seolah-olah butuh alasan untuk menunda pertemuan yang mungkin akan mengguncang dunianya. Hanya suara langkah mereka yang akhirnya terdengar, berjalan keluar dari ruang latihan dan menuju mobil Ethan.Di dalam mobil, keheningan be

  • Istri Dadakan Sang Presdir   74. Ada Aku Disini

    ***Braaak!!Suara benturan keras itu membuat tubuh Sekar terlonjak kaget. Matanya melebar ketika sebuah motor melaju tak terkendali ke arah mereka. Dalam sepersekian detik, sebelum ia sempat berteriak, tubuhnya sudah ditarik kuat ke dalam pelukan Ethan.Tubuh pria itu memeluk Sekar erat, membalik posisinya, hingga punggung Ethan yang menghantam keras aspal jalanan. Mereka berguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Rasa sakit seolah menghantam seluruh tubuh Ethan, tetapi ia tetap mendekap Sekar rapat, memastikan wanita itu tidak tergores sedikit pun.“Ethan!!” Sekar menjerit.Napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Ia menatap pria itu yang kini terbaring di sampingnya dengan wajah meringis, pelipisnya berdarah, lengan bajunya terkoyak, dan merahnya darah mengalir di sana.“Ethan… Ethan!!” Sekar panik, air matanya langsung jatuh, tangannya mengguncang tubuh pria itu.Ethan berusaha tersenyum tipis, meski jelas kesakitan. “Aku… aku tak apa-apa, Sekar. Ini hanya darah… dari aspal saj

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status