***Ethan mendekat, mengambil ponsel dari tangannya. Ia menunduk menatap layar yang kini gelap.“Nomor asing?” tanyanya.Sekar menoleh cepat. Pandangan matanya menusuk, penuh amarah yang jarang sekali Ethan lihat. Ia menggenggam ujung selimut erat-erat, lalu bangkit berdiri dengan kasar.“Aku mau tidur sendirian!” suaranya bergetar, dingin sekaligus getir.Ethan terkejut. “Sayang?” Ia meraih lengan Sekar, namun wanita itu menepisnya.Alis Ethan berkerut, bingung. “Tadi siapa yang menghubungimu? Apakah ada yang salah?”Sekar menggertakkan giginya, menahan emosi yang hampir meluap. Bayangan suara wanita di seberang telepon tadi masih terngiang jelas di telinganya. Eva! Tidak mungkin salah. Itu suara yang terlalu ia kenali.“Pikir sendiri!” bentak Sekar, suaranya meninggi. Ia mendorong tubuh Ethan hingga pria itu tersentak mundur.Lalu, tanpa menunggu jawaban, Sekar melangkah keluar kamar dan brak! membanting pintu keras-keras.Keheningan menyelimuti kamar. Ethan berdiri mematung, menata
***Restoran mewah itu tampak tenang. Lampu kristal berkilau memantulkan cahaya lembut ke meja bundar yang telah ditata elegan. Henry duduk tegap, gerak-geriknya berwibawa, seperti seorang bangsawan yang tak pernah kehilangan pesonanya.Di seberangnya, Sekar, menantu kesayangannya yang ia memang undang untuk makan malam bersama.Henry memotong steak dengan rapi, lalu menoleh.“Apakah Eva menyulitkanmu?” tanyanya tenang, suaranya dalam namun lembut.Sekar terdiam. Ujung jarinya meremas halus serbet di pangkuannya. Ia menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan keresahan.Henry menatap lekat, seakan tahu kalau jawaban itu bukan sepenuhnya benar. Ia mengangguk, lalu berkata lirih, “Tadi Papi mendengar dari Ethan. Katanya kamu dan Eva bertemu di kantor kedubes Jepang. Kalau dia menyulitkanmu… beritahu Papi.”Sekar terdiam lagi. Dadanya terasa sesak. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menjalari hati, rasa yang sudah lama ia rindukan—rasa dilindungi. Ada Ethan yang selalu ada, namun kini ada Henry
***“Ethan, pria ini! Apakah dia memang tidak pernah lelah?” Sekar merutuk dalam hati sambil menatap bayangan dirinya di depan cermin. Rambutnya masih berantakan, wajahnya sedikit pucat, dan lehernya… ia buru-buru menutupinya dengan syal tipis.“Bahkan dia masih belum puas… tubuhku ini benar-benar…” keluhnya lirih, kedua pipinya merona.Teringat kembali ucapan Ethan semalam, atau lebih tepatnya, beberapa jam lalu.Aku sudah terlalu lama menahan diri, Sekar. Kau harus menebusnya. Anggap saja ini hukuman.“Hukuman?” Sekar mengerutkan kening, masih kesal. “Harusnya aku yang menghukumnya. Dia pergi begitu saja dulu dan tidak memberi kabar apapun, lalu sekarang seenaknya menjatuhkan hukuman?”Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang bercampur dengan malu. Jemarinya merapikan syal yang menutup lehernya. Bekas kemerahan yang ditinggalkan Ethan jelas membuatnya panik. Bagaimana jika ada orang yang melihat?“Ya ampun, Sekar…” gumamnya. “Hari ini ada acara penting. Aku tidak bole
***Malam itu, bukan hanya mempelai yang menjadi pusat perhatian. Media dari berbagai negara berdesakan, mikrofon terangkat, kilatan kamera saling berlomba mengabadikan setiap momen penting.Namun berita besar justru datang dari penampilan seorang pria yang selama ini disebut-sebut menghilang dari dunia publik.Henry Van de Meer.Henry dengan lantangnya mengatakan Sekar Adalah menantu kesayangannya dan ia hanya menyetujui Sekar selama hidupnya dan hal itu sontak membuat media menyimpulkan bahwa Sekar Adalah menantu yang diterima dan mematahkan rumor yang selama ini selalu dibahas tentang Eva yang seharusnya menjadi istri dari Ethan.Begitu pesta usai dan tamu mulai berkurang, Eva melangkah cepat keluar dari ballroom. Udara malam menyambutnya, dingin menusuk kulit, tapi tidak cukup untuk mendinginkan bara di hatinya.Di sisi kanan, mobil hitam mewah sudah menunggu. Eva membuka pintu, duduk di kursi belakang, dan menarik napas panjang. Jemarinya segera meraih ponsel dari dalam clutch. D
***Musik gamelan bergema lembut di aula megah hotel internasional malam itu. Lampu kristal bergemerlap di langit-langit, menciptakan kilau yang memantul di lantai marmer putih. Para tamu undangan dari berbagai negara sibuk bercengkerama.Di sisi panggung utama, Presiden dan keluarganya sedang menyambut tamu kehormatan. Ethan berdiri gagah di antara diplomat dan pebisnis besar, berbincang penuh wibawa. Senyumnya ramah, suaranya tenang, tapi sesekali matanya melirik ke arah pintu masuk, menunggu seseorang yang sangat dinantikannya. “Ah, Ethan. Kau memang selalu mengagumkan di setiap kesempatan. Tapi…” Rayhan menoleh ke kanan dan kiri, matanya mencari. “Dimana papimu? Dia berjanji padaku akan datang malam ini.”Suasana seketika hening. Beberapa tamu ikut menoleh, penasaran. Nama Henry Van de Meer memang selalu membawa rasa ingin tahu, sebab pria itu jarang sekali muncul di acara publik, apalagi di Indonesia.Ethan hendak membuka mulut, tapi tiba-tiba sebuah suara berat dan karismatik t
***Lampu-lampu kristal di ballroom rumah pribadi presiden berkilau memantulkan cahaya emas. Musik klasik dari orkestra memenuhi udara, bercampur dengan suara gelas beradu dan tawa para tamu yang berdatangan dari berbagai negara. Malam itu adalah pesta pernikahan akbar, tak hanya dihadiri para pejabat dalam negeri, tetapi juga tamu kehormatan dari luar negeri.Ethan berdiri gagah di sisi depan, mengenakan setelan tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu yang membuat bahunya terlihat semakin bidang. Senyum ramahnya terukir ketika Presiden itu menghampirinya, diikuti beberapa menteri dan pejabat tinggi negara lain.“Selamat malam, Ethan,” sapa Presiden dengan suara hangat, menepuk bahunya ringan. “Senang sekali kau bisa hadir. Kau selalu menjadi tamu kehormatan di negeri ini. Dan saya bersyukur akhirnya anda kembali ke tanah air ini, saya selalu menanti kepulangan seorang pebisnis cerdas seperti anda.”“Terima kasih, Pak Rayhan,” Ethan membungkuk sedikit dengan sopan. “Saya merasa terhormat