Share

5. Tak Dianggap

Author: ISMI
last update Last Updated: 2025-05-11 00:13:07

***

Suara gamelan dan kendang mengalun lembut, menyatu dengan tawa anak-anak yang berlatih Jaipong di halaman beratap bambu di sanggar Tari milik Sekar. Wanita itu berdiri di tengah, mengenakan kaus sederhana dan kain batik diikat di pinggang, gerakannya lincah dan penuh kendali. Rambut panjangnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, tapi matanya bersinar penuh dedikasi. Anak-anak didiknya, berusia 8 hingga 15 tahun, mengikuti dengan antusias, beberapa terkikik saat salah langkah.

“Hiji… dua… tilu,” ucap Sekar, suaranya jelas dan berirama, tangan menunjuk langkah kaki. “Ayo, Nia, tangannya lebih lembut! Bayangin kamu bawa bunga!”

Nia, gadis berusia 12 tahun, tersenyum malu, mencoba lagi. “Gini, Teh?” tanyanya, suara ceria, tangannya meliuk pelan.

Sekar mengangguk, senyum tulus merekah di wajahnya. “Bagus, Nia! Latihan terus, ya,” katanya, suara hangat. Ia berpindah ke anak lain, membenarkan posisi pinggul mereka, penuh kesabaran.

Sanggar kembali normal setelah badai media mereda. Malam sebelumnya, pihak Ethan mengklarifikasi bahwa mereka resmi menikah, meredam fitnah “pernikahan rahasia.” Wartawan masih datang, tapi Sekar menolak wawancara dengan halus, fokus pada anak-anak. “Ini tempat mereka belajar, bukan panggung gosip,” katanya pada Lila kemarin. Lila bahkan masih terus bertanya pada Sekar, tapi ia hanya menjawab singkat.

Di pinggir halaman, sebuah mobil hitam mewah berhenti. Ethan Wiratama Van der Meer melangkah keluar, kemeja batiknya sedikit kusut usai rapat bisnis. Mata hijaunya menyipit di bawah sinar senja, lalu terpaku pada Sekar. Ia tertegun. Sekar menari bersama anak-anak, gerakannya anggun, senyumnya tulus seperti matahari sore. Tanpa riasan, ia tampak lebih hidup, lebih nyata. “Wanita ini…” gumam Ethan, suara pelan, hampir tak sadar.

Bima, asistennya, muncul di samping, memegang tablet. “Tuan Ethan, kita langsung ke Teh Sekar?” tanyanya, suara sopan, melirik ekspresi bosnya.

Ethan menggeleng pelan, tangan disilangkan. “Tunggu dia selesai,” katanya, suara rendah, mata tak lepas dari Sekar.

Bima terdiam, menyeringai kecil. “Tuan mulai kesemsem, ya?” batinnya, tapi ia hanya mengangguk dan berdiri di samping.

Ethan mengamati Sekar, yang kini tertawa saat bocah 10 tahun, memamerkan goyangan Jaipong berlebihan. Senyum Sekar begitu alami, penuh kebahagiaan. “Pantas dia mati-matian pertahankan sanggar ini,” gumam Ethan, suara pelan. “Dia… milik tempat ini.”

Sekar bertepuk tangan, menandakan akhir latihan. “Bagus, semua!” serunya, suara ceria. “Besok lanjut, jangan lupa latihan!” Anak-anak bersorak, beberapa memeluknya sebelum berlarian pulang.

Sekar mengusap keringat, lalu melihat Ethan di bawah pohon mangga. Wajahnya mengeras, senyum memudar. “Lagi-lagi dia,” batinnya, rasa kesalnya tersulut. Ia melangkah mendekat, tangan di pinggul. “Tuan Ethan, ada apa ke sanggar saya?” tanyanya, suara dingin, alis terangkat.

Ethan meluruskan tubuh, senyum kecil muncul. “Kunjungan hangat dari ‘suami’,” katanya, suara penuh ejekan. “Kau menari… lumayan.”

Sekar memelototi Ethan, wajah memerah. “Jangan panggil aku begitu!” bentaknya, suara tegas. “Kalau cuma mau buatku kesal, pulang sana! Ini tempat anak-anak, bukan panggung kontrakmu!”

Bima melangkah maju, tangan terangkat. “Teh Sekar, maaf,” katanya, suara hati-hati. “Tuan Ethan ingin mengajak Anda ke Jakarta. Ada acara amal perdana yayasan keluarganya, dan… ia akan memperkenalkan Anda sebagai istri ke keluarga besarnya.”

Sekar membelalak, napas tersengal. “Jakarta? Keluarga besar?” tanyanya, suara terkejut. “Kenapa tiba-tiba? Ini nggak ada di kontrak!”

Ethan tertawa pelan, melangkah mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Kontrak bilang kau harus main peran sebagai istriku,” katanya, suara rendah. “Acara amal ini besar—untuk anak-anak, seperti yang kau suka. Keluargaku ingin lihat ‘istri’ yang kini jadi berita.”

“Serius aku harus menemui keluargamu dan mengenalkan diriku?” tanya Sekar.

Ethan mengangguk, tangan di saku. “Serius,” katanya, suara tegas. “Tapi, mamiku agak sulit dan mungkin sedikit tidak ramah. Besok malam, Bima jemput jam lima sore.”

“Baiklah,” kata Sekar, suara pelan. “Tapi kalau kamu macam-macam di Jakarta, kamu tahu akibatnya.”

Ethan tertawa, suara dalam. “Aku suka ancamanmu,” katanya, suara penuh ejekan. “Besok, pakai sesuatu yang… elegan. Kau istriku, ingat?”

Sekar memelototi Ethan, wajah memerah. “Jangan atur aku!” bentaknya, suara gemetar. Ia berbalik, memanggil Lila yang muncul dari sanggar. “Lila, antar anak-anak pulang!”

Lila mengangguk, tapi matanya melirik Ethan sejenak dan masih tidak percaya kalau temannya adalah istri dari pria itu.

“Aku mau masuk, jika tidak ada yang dibicarakan lagi, silakan pergi.” Sekar masuk sanggar, meninggalkan Ethan dan Bima.

Ethan memandang punggung Sekar, senyum kecil di bibirnya. “Jakarta akan menarik,” gumamnya, suara rendah. “Kau tak akan bisa lari, Nona Penari.”

Bima menyeringai, memegang tablet. “Tuan, memang Teh Sekar adalah salah satu primadona di Bandung, banyak yang memuji kecantikannya. Memang cantik, ya.”

Ethan mengerutkan kening, menepuk pundak Bima. “Jangan ngaco,” katanya, suara tegas, tapi matanya masih tertuju pada pintu sanggar.

Di dalam, Sekar merosot ke bangku, tangan memegang dahi. “Jakarta? Keluarga besar?” keluhnya, suara pelan.

***

Malam di Jakarta berkilau dengan gemerlap lampu kota, dan hotel mewah di kawasan Sudirman menjadi pusat perhatian. Mobil hitam Ethan meluncur pelan, berhenti di depan karpet merah yang dipenuhi wartawan dan lampu kilat kamera. Di dalam mobil, Sekar duduk tegak, gaun panjang berwarna safir membalut tubuhnya dengan anggun. Gaun itu tertutup, menutupi bahu dan lengan, namun potongannya yang pas memamerkan lekuk tubuhnya dengan sopan namun memikat. Rambut panjangnya terurai dalam gelombang lembut, dihiasi jepit kecil berlian pinjaman dari Ethan. Wajahnya hanya dirias tipis, tapi matanya bersinar.

Ethan, mengenakan tuksedo hitam yang rapi, melirik Sekar dari kursi sebelah. Alisnya mengerut, tak menyangka Sekar bisa tampil begitu… berbeda. “Sopan, tapi seksi,” batinnya, jantungan sedikit lebih cepat. Ia menggeleng, mencoba fokus, lalu menunduk dan berbisik, “Nanti kamu harus bersikap layaknya pasangan romantis. Pasang senyummu, jangan jawab apa pun jika mereka bertanya. Kau harus di sisiku, jangan lepas dari genggamanku!”

Sekar melirik Ethan, senyum kecil penuh sindiran muncul. “Iya, aku tahu,” katanya,. “Kamu nggak usah khawatir, Tuan Ethan yang sempurna.”

Ethan mengerutkan kening, tapi tak membalas. Sopir membuka pintu, dan mereka turun dari mobil. Lampu kilat kamera langsung membabi buta, suara wartawan memanggil nama mereka. Sekar sempat mematung, matanya membelalak melihat lautan flash. “Astaga…” batinnya, napas tersengal.

Ethan segera menggenggam tangannya, jari-jarinya kuat namun hangat. Ia menunduk, mata hijau menatap Sekar dengan intens. “Senyum,” bisiknya, suara tegas.

Sekar menatap balik, menarik napas dalam, lalu memasang senyum anggun. “Aku bisa,” batinnya, tangannya menggenggam balik Ethan. Keduanya melangkah di karpet merah, bergandengan erat, langkah mereka serasi meski hati mereka penuh ketegangan. Sorotan lampu mengikuti, wartawan berteriak pertanyaan tentang pernikahan mereka, tapi Ethan hanya melambaikan tangan dengan dingin, Sekar tersenyum tanpa berkata apa-apa.

Di dalam ballroom hotel, suasana malam amal yayasan keluarga milik maminya Ethan begitu megah. Lampu kristal berkilau, tamu-tamu berpakaian mewah berbincang. Sekar dan Ethan langsung jadi sorotan. Tatapan tamu bercampur kagum dan menghina, terutama pada Sekar. “Penari Jaipong… istri pengusaha kaya?” bisik mereka, suara penuh ejekan. Sekar merasakan tatapan itu, seperti pisau kecil, tapi ia menegakkan dagu dan senyum tetap terpasang.

Ethan menariknya lebih dekat, tangannya di pinggang Sekar, berbisik, “Jangan peduli mereka,” katanya, suara rendah. “Fokus padaku.”

Sekar melirik Ethan, ingin menolak, tapi kontrak menggema di pikirannya. “Baiklah,” gumamnya, suara pelan, menjaga senyum.

Tak lama, seorang wanita paruh baya dengan gaun sutra merah mendekat, langkahnya penuh wibawa. Rambutnya disanggul rapi, perhiasan berlian berkilau. Ia memeluk Ethan dengan hangat, mengabaikan Sekar seolah tak ada di sampingnya. “Ethan sayang, akhirnya kamu kembali setelah dua tahun tak pulang,” katanya, suara lembut tapi penuh emosi. “Mami rindu.”

Ethan membalas pelukan dengan kaku, ekspresinya dingin. “Mami sehat,” katanya, suara datar, lalu melangkah mundur, tangan masih menggenggam Sekar. “Mami, ini Sekar, istri yang ingin aku kenalkan pada Mami dan lainnya,” katanya, suara tegas, mata hijau menatap ibunya, Ratu.

Ratu akhirnya menoleh ke Sekar. Tatapannya tak bersahabat, menyapu Sekar dari atas ke bawah, penuh penilaian. “Oh, ini istrimu?” tanyanya, suara dingin, alis terangkat.

Sekar menarik napas, memasang senyum ramah. Ia mengulurkan tangan, gerakannya anggun. “Nama saya Sekar, Mami,” katanya, suara lembut tapi tegas. “Senang berkenalan dan bertemu dengan Mami.”

Ratu mengabaikan tangan Sekar, seolah tak melihatnya. Ia tersenyum tipis, tapi matanya penuh ejekan. “Hmm,” gumamnya, lalu menarik lengan Ethan. “Ayo, temui saudaramu. Mereka merindukanmu,” katanya, suara manis, berbalik tanpa melirik Sekar lagi.

Sekar terdiam, tangannya masih terulur, lalu perlahan turun. Ia menatap punggung Ratu dan Ethan yang berjalan menjauh, senyum datar muncul di bibirnya. “Kamu butuh amunisi, Sekar,” batinnya, matanya berkilat. “Perang baru saja dimulai.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Dadakan Sang Presdir   79. Kubuat dari Hati

    ***“Ini bukan ambisi, Mami,” suara Ratu terdengar serak namun penuh ketegasan. “Mami sayang kalian. Kalian anak Mami, harta Mami. Mana mungkin Mami mau membuat kalian menderita?”Ia menghela napas panjang, menatap ke arah jendela gedung tinggi yang menampilkan langit Jakarta yang kelabu. “Kalau Mami tidak sayang, perusahaan ini tidak akan atas nama kamu dan Clarissa, adikmu.”Ethan tersenyum miring, senyuman yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Karena perusahaan ini kacau, Mami. Jadi Mami tidak mau membuat beban itu bersusah payah. Jangan dibungkus dengan kata sayang. Aku tahu maksud Mami.”Nada dingin Ethan menusuk. Ratu menoleh cepat, sorot matanya membara. “Ethan! Bagaimanapun, hormati dia sebagai suami Mami!”Ethan menggeleng keras. “Tidak akan pernah!” katanya tegas.Ratu terdiam, ia tidak bis bersikap keras pada anak sulungnya itu.***Sementara itu, di lantai bawah gedung, suasana jauh berbeda. Lobi perusahaan tampak ramai oleh lalu lalang karyawan yang baru pulang mak

  • Istri Dadakan Sang Presdir   78. Kado Untuknya

    ***Sekar menelan ludah, matanya berair.“Kenapa aku merasa sedih?” bisiknya, suara tercekat keluar dari tenggorokan. Ia duduk di kursi kayu panjang di sanggarnya, lampu gantung kuning redup menyorot lukisan di hadapannya.Air matanya jatuh tanpa ia sadari, membasahi pipinya yang dingin. Sekar menatap wajah Ethan dalam lukisan itu. Pria itu ia lukis dengan senyum teduh, duduk di sebuah bangku taman yang entah pernah ia lihat di mana. Tempat itu samar, seperti potongan mimpi yang melintas singkat.Ada yang menyayat dadanya. Perasaan asing, seolah kehilangan sesuatu yang sebenarnya belum pernah ia miliki. Hampa. Kosong.Sekar menggeleng cepat, menepis air mata dengan punggung tangannya. “Tidak, aku tidak boleh larut seperti ini,” katanya pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Ia menarik napas panjang. “Lebih baik aku menuntaskan lukisan ini. Besok... ya, besok aku akan ke Jakarta. Aku akan memberikannya langsung pada Ethan. Ini hanya hadiah ulang tahun. Balas budi. Karena dia sudah

  • Istri Dadakan Sang Presdir   77. Kenapa Aku Merasa Sedih?

    ***“Kau selalu menyukai hal seperti ini, hm?” bisiknya, nyaris menyerupai godaan. Ethan tersenyum lembut, menatap wanita itu dengan tatapan yang dalam.Detak jantung Sekar melonjak. Ia mendongak, mendapati sepasang mata hijau zamrud menatap lurus ke arahnya. Ethan. Pria itu selalu muncul di saat ia paling ingin menghindar, tapi sekaligus yang diam-diam selalu ia harapkan hadir.Wajahnya panas. Ia buru-buru memalingkan kepala. “Mana ada orang yang mau jatuh? Aku masih waras,” gumamnya kesal, mencoba menyembunyikan rasa malunya.Ethan tersenyum samar, senyum yang lebih berbahaya daripada ancaman apa pun. “Apa aku harus jelaskan? Kau yang sengaja naik kursi rapuh hanya supaya bisa jatuh ke pelukanku?” Ia menaikkan satu alis, jelas tengah menggoda.Sekar mendengus, berusaha melepaskan diri dari genggaman itu. “Jangan terlalu percaya diri, Tuan Muda. Aku hanya ingin mengambil garam!” Ia menunduk, namun justru membuat wajahnya semakin merah, seperti tomat matang yang baru saja dipetik.Taw

  • Istri Dadakan Sang Presdir   76. Menyukai Hal Seperti ini?

    ***“Semua akan baik-baik saja, Sekar.” suara Ethan rendah, hampir berbisik, seakan hanya untuk telinga wanita itu saja. “Percayalah padaku. Kamu percaya padaku, bukan?”Ucapan itu bergema di kepala Sekar. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap bibir Ethan yang baru saja mengucapkannya, lalu memejamkan mata sebentar.Deja vu.Kalimat itu, intonasi itu, bahkan tatapan mata Ethan… seakan-akan ia pernah mendengarnya di suatu tempat. Entah itu di dalam mimpi, atau di dalam memori samar yang belum pernah ia pahami.Sekar menutup matanya dengan satu tangan, merasakan denyut nyeri yang mendadak menusuk pelipisnya.“Sekar!” suara Ethan meninggi, panik. Ia segera meraih bahu wanita itu. “Kamu tidak apa-apa?”Sekar menarik napas pendek, berusaha menenangkan diri. Perlahan, ia membuka mata dan menatap Ethan yang wajahnya penuh cemas. Senyum tipis ia paksakan.“Entah kenapa… apa yang kamu ucapkan tadi seperti pernah ada yang mengucapkannya.” Suaran

  • Istri Dadakan Sang Presdir   75. Percaya Padaku, kan?

    ***“E-Ethan…” suara Sekar tercekat, nyaris hanya sebuah bisikan yang keluar dari bibirnya.Di hadapannya, pria itu berdiri dengan senyum tenang, mata hijau zamrudnya seakan berpendar oleh cahaya pagi yang menembus kaca jendela sanggar. Senyum itu selalu menghadirkan rasa damai, tapi juga membuat hatinya tak pernah tenang.Ethan memasukkan kedua tangannya ke saku celana, tubuh tegapnya sedikit condong ke arah Sekar. “Bersiaplah,” ucapnya datar namun mengandung sesuatu yang serius, “aku ingin kita pergi. Ada hal yang harus kubicarakan denganmu.”Sekar terdiam. Dadanya berdebar, tetapi ia mengangguk pelan. “Oke… tunggu sebentar.” Suaranya lemah, seakan ia tak kuasa menolak permintaan Ethan.Ia berbalik, merapikan beberapa kertas yang berserakan di meja sanggar, seolah-olah butuh alasan untuk menunda pertemuan yang mungkin akan mengguncang dunianya. Hanya suara langkah mereka yang akhirnya terdengar, berjalan keluar dari ruang latihan dan menuju mobil Ethan.Di dalam mobil, keheningan be

  • Istri Dadakan Sang Presdir   74. Ada Aku Disini

    ***Braaak!!Suara benturan keras itu membuat tubuh Sekar terlonjak kaget. Matanya melebar ketika sebuah motor melaju tak terkendali ke arah mereka. Dalam sepersekian detik, sebelum ia sempat berteriak, tubuhnya sudah ditarik kuat ke dalam pelukan Ethan.Tubuh pria itu memeluk Sekar erat, membalik posisinya, hingga punggung Ethan yang menghantam keras aspal jalanan. Mereka berguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Rasa sakit seolah menghantam seluruh tubuh Ethan, tetapi ia tetap mendekap Sekar rapat, memastikan wanita itu tidak tergores sedikit pun.“Ethan!!” Sekar menjerit.Napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Ia menatap pria itu yang kini terbaring di sampingnya dengan wajah meringis, pelipisnya berdarah, lengan bajunya terkoyak, dan merahnya darah mengalir di sana.“Ethan… Ethan!!” Sekar panik, air matanya langsung jatuh, tangannya mengguncang tubuh pria itu.Ethan berusaha tersenyum tipis, meski jelas kesakitan. “Aku… aku tak apa-apa, Sekar. Ini hanya darah… dari aspal saj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status