***
Suara gamelan dan kendang mengalun lembut, menyatu dengan tawa anak-anak yang berlatih Jaipong di halaman beratap bambu di sanggar Tari milik Sekar. Wanita itu berdiri di tengah, mengenakan kaus sederhana dan kain batik diikat di pinggang, gerakannya lincah dan penuh kendali. Rambut panjangnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, tapi matanya bersinar penuh dedikasi. Anak-anak didiknya, berusia 8 hingga 15 tahun, mengikuti dengan antusias, beberapa terkikik saat salah langkah.
“Hiji… dua… tilu,” ucap Sekar, suaranya jelas dan berirama, tangan menunjuk langkah kaki. “Ayo, Nia, tangannya lebih lembut! Bayangin kamu bawa bunga!”
Nia, gadis berusia 12 tahun, tersenyum malu, mencoba lagi. “Gini, Teh?” tanyanya, suara ceria, tangannya meliuk pelan.
Sekar mengangguk, senyum tulus merekah di wajahnya. “Bagus, Nia! Latihan terus, ya,” katanya, suara hangat. Ia berpindah ke anak lain, membenarkan posisi pinggul mereka, penuh kesabaran.
Sanggar kembali normal setelah badai media mereda. Malam sebelumnya, pihak Ethan mengklarifikasi bahwa mereka resmi menikah, meredam fitnah “pernikahan rahasia.” Wartawan masih datang, tapi Sekar menolak wawancara dengan halus, fokus pada anak-anak. “Ini tempat mereka belajar, bukan panggung gosip,” katanya pada Lila kemarin. Lila bahkan masih terus bertanya pada Sekar, tapi ia hanya menjawab singkat.
Di pinggir halaman, sebuah mobil hitam mewah berhenti. Ethan Wiratama Van der Meer melangkah keluar, kemeja batiknya sedikit kusut usai rapat bisnis. Mata hijaunya menyipit di bawah sinar senja, lalu terpaku pada Sekar. Ia tertegun. Sekar menari bersama anak-anak, gerakannya anggun, senyumnya tulus seperti matahari sore. Tanpa riasan, ia tampak lebih hidup, lebih nyata. “Wanita ini…” gumam Ethan, suara pelan, hampir tak sadar.
Bima, asistennya, muncul di samping, memegang tablet. “Tuan Ethan, kita langsung ke Teh Sekar?” tanyanya, suara sopan, melirik ekspresi bosnya.
Ethan menggeleng pelan, tangan disilangkan. “Tunggu dia selesai,” katanya, suara rendah, mata tak lepas dari Sekar.
Bima terdiam, menyeringai kecil. “Tuan mulai kesemsem, ya?” batinnya, tapi ia hanya mengangguk dan berdiri di samping.
Ethan mengamati Sekar, yang kini tertawa saat bocah 10 tahun, memamerkan goyangan Jaipong berlebihan. Senyum Sekar begitu alami, penuh kebahagiaan. “Pantas dia mati-matian pertahankan sanggar ini,” gumam Ethan, suara pelan. “Dia… milik tempat ini.”
Sekar bertepuk tangan, menandakan akhir latihan. “Bagus, semua!” serunya, suara ceria. “Besok lanjut, jangan lupa latihan!” Anak-anak bersorak, beberapa memeluknya sebelum berlarian pulang.
Sekar mengusap keringat, lalu melihat Ethan di bawah pohon mangga. Wajahnya mengeras, senyum memudar. “Lagi-lagi dia,” batinnya, rasa kesalnya tersulut. Ia melangkah mendekat, tangan di pinggul. “Tuan Ethan, ada apa ke sanggar saya?” tanyanya, suara dingin, alis terangkat.
Ethan meluruskan tubuh, senyum kecil muncul. “Kunjungan hangat dari ‘suami’,” katanya, suara penuh ejekan. “Kau menari… lumayan.”
Sekar memelototi Ethan, wajah memerah. “Jangan panggil aku begitu!” bentaknya, suara tegas. “Kalau cuma mau buatku kesal, pulang sana! Ini tempat anak-anak, bukan panggung kontrakmu!”
Bima melangkah maju, tangan terangkat. “Teh Sekar, maaf,” katanya, suara hati-hati. “Tuan Ethan ingin mengajak Anda ke Jakarta. Ada acara amal perdana yayasan keluarganya, dan… ia akan memperkenalkan Anda sebagai istri ke keluarga besarnya.”
Sekar membelalak, napas tersengal. “Jakarta? Keluarga besar?” tanyanya, suara terkejut. “Kenapa tiba-tiba? Ini nggak ada di kontrak!”
Ethan tertawa pelan, melangkah mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Kontrak bilang kau harus main peran sebagai istriku,” katanya, suara rendah. “Acara amal ini besar—untuk anak-anak, seperti yang kau suka. Keluargaku ingin lihat ‘istri’ yang kini jadi berita.”
“Serius aku harus menemui keluargamu dan mengenalkan diriku?” tanya Sekar.
Ethan mengangguk, tangan di saku. “Serius,” katanya, suara tegas. “Tapi, mamiku agak sulit dan mungkin sedikit tidak ramah. Besok malam, Bima jemput jam lima sore.”
“Baiklah,” kata Sekar, suara pelan. “Tapi kalau kamu macam-macam di Jakarta, kamu tahu akibatnya.”
Ethan tertawa, suara dalam. “Aku suka ancamanmu,” katanya, suara penuh ejekan. “Besok, pakai sesuatu yang… elegan. Kau istriku, ingat?”
Sekar memelototi Ethan, wajah memerah. “Jangan atur aku!” bentaknya, suara gemetar. Ia berbalik, memanggil Lila yang muncul dari sanggar. “Lila, antar anak-anak pulang!”
Lila mengangguk, tapi matanya melirik Ethan sejenak dan masih tidak percaya kalau temannya adalah istri dari pria itu.
“Aku mau masuk, jika tidak ada yang dibicarakan lagi, silakan pergi.” Sekar masuk sanggar, meninggalkan Ethan dan Bima.
Ethan memandang punggung Sekar, senyum kecil di bibirnya. “Jakarta akan menarik,” gumamnya, suara rendah. “Kau tak akan bisa lari, Nona Penari.”
Bima menyeringai, memegang tablet. “Tuan, memang Teh Sekar adalah salah satu primadona di Bandung, banyak yang memuji kecantikannya. Memang cantik, ya.”
Ethan mengerutkan kening, menepuk pundak Bima. “Jangan ngaco,” katanya, suara tegas, tapi matanya masih tertuju pada pintu sanggar.
Di dalam, Sekar merosot ke bangku, tangan memegang dahi. “Jakarta? Keluarga besar?” keluhnya, suara pelan.
***
Malam di Jakarta berkilau dengan gemerlap lampu kota, dan hotel mewah di kawasan Sudirman menjadi pusat perhatian. Mobil hitam Ethan meluncur pelan, berhenti di depan karpet merah yang dipenuhi wartawan dan lampu kilat kamera. Di dalam mobil, Sekar duduk tegak, gaun panjang berwarna safir membalut tubuhnya dengan anggun. Gaun itu tertutup, menutupi bahu dan lengan, namun potongannya yang pas memamerkan lekuk tubuhnya dengan sopan namun memikat. Rambut panjangnya terurai dalam gelombang lembut, dihiasi jepit kecil berlian pinjaman dari Ethan. Wajahnya hanya dirias tipis, tapi matanya bersinar.
Ethan, mengenakan tuksedo hitam yang rapi, melirik Sekar dari kursi sebelah. Alisnya mengerut, tak menyangka Sekar bisa tampil begitu… berbeda. “Sopan, tapi seksi,” batinnya, jantungan sedikit lebih cepat. Ia menggeleng, mencoba fokus, lalu menunduk dan berbisik, “Nanti kamu harus bersikap layaknya pasangan romantis. Pasang senyummu, jangan jawab apa pun jika mereka bertanya. Kau harus di sisiku, jangan lepas dari genggamanku!”
Sekar melirik Ethan, senyum kecil penuh sindiran muncul. “Iya, aku tahu,” katanya,. “Kamu nggak usah khawatir, Tuan Ethan yang sempurna.”
Ethan mengerutkan kening, tapi tak membalas. Sopir membuka pintu, dan mereka turun dari mobil. Lampu kilat kamera langsung membabi buta, suara wartawan memanggil nama mereka. Sekar sempat mematung, matanya membelalak melihat lautan flash. “Astaga…” batinnya, napas tersengal.
Ethan segera menggenggam tangannya, jari-jarinya kuat namun hangat. Ia menunduk, mata hijau menatap Sekar dengan intens. “Senyum,” bisiknya, suara tegas.
Sekar menatap balik, menarik napas dalam, lalu memasang senyum anggun. “Aku bisa,” batinnya, tangannya menggenggam balik Ethan. Keduanya melangkah di karpet merah, bergandengan erat, langkah mereka serasi meski hati mereka penuh ketegangan. Sorotan lampu mengikuti, wartawan berteriak pertanyaan tentang pernikahan mereka, tapi Ethan hanya melambaikan tangan dengan dingin, Sekar tersenyum tanpa berkata apa-apa.
Di dalam ballroom hotel, suasana malam amal yayasan keluarga milik maminya Ethan begitu megah. Lampu kristal berkilau, tamu-tamu berpakaian mewah berbincang. Sekar dan Ethan langsung jadi sorotan. Tatapan tamu bercampur kagum dan menghina, terutama pada Sekar. “Penari Jaipong… istri pengusaha kaya?” bisik mereka, suara penuh ejekan. Sekar merasakan tatapan itu, seperti pisau kecil, tapi ia menegakkan dagu dan senyum tetap terpasang.
Ethan menariknya lebih dekat, tangannya di pinggang Sekar, berbisik, “Jangan peduli mereka,” katanya, suara rendah. “Fokus padaku.”
Sekar melirik Ethan, ingin menolak, tapi kontrak menggema di pikirannya. “Baiklah,” gumamnya, suara pelan, menjaga senyum.
Tak lama, seorang wanita paruh baya dengan gaun sutra merah mendekat, langkahnya penuh wibawa. Rambutnya disanggul rapi, perhiasan berlian berkilau. Ia memeluk Ethan dengan hangat, mengabaikan Sekar seolah tak ada di sampingnya. “Ethan sayang, akhirnya kamu kembali setelah dua tahun tak pulang,” katanya, suara lembut tapi penuh emosi. “Mami rindu.”
Ethan membalas pelukan dengan kaku, ekspresinya dingin. “Mami sehat,” katanya, suara datar, lalu melangkah mundur, tangan masih menggenggam Sekar. “Mami, ini Sekar, istri yang ingin aku kenalkan pada Mami dan lainnya,” katanya, suara tegas, mata hijau menatap ibunya, Ratu.
Ratu akhirnya menoleh ke Sekar. Tatapannya tak bersahabat, menyapu Sekar dari atas ke bawah, penuh penilaian. “Oh, ini istrimu?” tanyanya, suara dingin, alis terangkat.
Sekar menarik napas, memasang senyum ramah. Ia mengulurkan tangan, gerakannya anggun. “Nama saya Sekar, Mami,” katanya, suara lembut tapi tegas. “Senang berkenalan dan bertemu dengan Mami.”
Ratu mengabaikan tangan Sekar, seolah tak melihatnya. Ia tersenyum tipis, tapi matanya penuh ejekan. “Hmm,” gumamnya, lalu menarik lengan Ethan. “Ayo, temui saudaramu. Mereka merindukanmu,” katanya, suara manis, berbalik tanpa melirik Sekar lagi.
Sekar terdiam, tangannya masih terulur, lalu perlahan turun. Ia menatap punggung Ratu dan Ethan yang berjalan menjauh, senyum datar muncul di bibirnya. “Kamu butuh amunisi, Sekar,” batinnya, matanya berkilat. “Perang baru saja dimulai.”
***
***Ethan mendekat, mengambil ponsel dari tangannya. Ia menunduk menatap layar yang kini gelap.“Nomor asing?” tanyanya.Sekar menoleh cepat. Pandangan matanya menusuk, penuh amarah yang jarang sekali Ethan lihat. Ia menggenggam ujung selimut erat-erat, lalu bangkit berdiri dengan kasar.“Aku mau tidur sendirian!” suaranya bergetar, dingin sekaligus getir.Ethan terkejut. “Sayang?” Ia meraih lengan Sekar, namun wanita itu menepisnya.Alis Ethan berkerut, bingung. “Tadi siapa yang menghubungimu? Apakah ada yang salah?”Sekar menggertakkan giginya, menahan emosi yang hampir meluap. Bayangan suara wanita di seberang telepon tadi masih terngiang jelas di telinganya. Eva! Tidak mungkin salah. Itu suara yang terlalu ia kenali.“Pikir sendiri!” bentak Sekar, suaranya meninggi. Ia mendorong tubuh Ethan hingga pria itu tersentak mundur.Lalu, tanpa menunggu jawaban, Sekar melangkah keluar kamar dan brak! membanting pintu keras-keras.Keheningan menyelimuti kamar. Ethan berdiri mematung, menata
***Restoran mewah itu tampak tenang. Lampu kristal berkilau memantulkan cahaya lembut ke meja bundar yang telah ditata elegan. Henry duduk tegap, gerak-geriknya berwibawa, seperti seorang bangsawan yang tak pernah kehilangan pesonanya.Di seberangnya, Sekar, menantu kesayangannya yang ia memang undang untuk makan malam bersama.Henry memotong steak dengan rapi, lalu menoleh.“Apakah Eva menyulitkanmu?” tanyanya tenang, suaranya dalam namun lembut.Sekar terdiam. Ujung jarinya meremas halus serbet di pangkuannya. Ia menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan keresahan.Henry menatap lekat, seakan tahu kalau jawaban itu bukan sepenuhnya benar. Ia mengangguk, lalu berkata lirih, “Tadi Papi mendengar dari Ethan. Katanya kamu dan Eva bertemu di kantor kedubes Jepang. Kalau dia menyulitkanmu… beritahu Papi.”Sekar terdiam lagi. Dadanya terasa sesak. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menjalari hati, rasa yang sudah lama ia rindukan—rasa dilindungi. Ada Ethan yang selalu ada, namun kini ada Henry
***“Ethan, pria ini! Apakah dia memang tidak pernah lelah?” Sekar merutuk dalam hati sambil menatap bayangan dirinya di depan cermin. Rambutnya masih berantakan, wajahnya sedikit pucat, dan lehernya… ia buru-buru menutupinya dengan syal tipis.“Bahkan dia masih belum puas… tubuhku ini benar-benar…” keluhnya lirih, kedua pipinya merona.Teringat kembali ucapan Ethan semalam, atau lebih tepatnya, beberapa jam lalu.Aku sudah terlalu lama menahan diri, Sekar. Kau harus menebusnya. Anggap saja ini hukuman.“Hukuman?” Sekar mengerutkan kening, masih kesal. “Harusnya aku yang menghukumnya. Dia pergi begitu saja dulu dan tidak memberi kabar apapun, lalu sekarang seenaknya menjatuhkan hukuman?”Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang bercampur dengan malu. Jemarinya merapikan syal yang menutup lehernya. Bekas kemerahan yang ditinggalkan Ethan jelas membuatnya panik. Bagaimana jika ada orang yang melihat?“Ya ampun, Sekar…” gumamnya. “Hari ini ada acara penting. Aku tidak bole
***Malam itu, bukan hanya mempelai yang menjadi pusat perhatian. Media dari berbagai negara berdesakan, mikrofon terangkat, kilatan kamera saling berlomba mengabadikan setiap momen penting.Namun berita besar justru datang dari penampilan seorang pria yang selama ini disebut-sebut menghilang dari dunia publik.Henry Van de Meer.Henry dengan lantangnya mengatakan Sekar Adalah menantu kesayangannya dan ia hanya menyetujui Sekar selama hidupnya dan hal itu sontak membuat media menyimpulkan bahwa Sekar Adalah menantu yang diterima dan mematahkan rumor yang selama ini selalu dibahas tentang Eva yang seharusnya menjadi istri dari Ethan.Begitu pesta usai dan tamu mulai berkurang, Eva melangkah cepat keluar dari ballroom. Udara malam menyambutnya, dingin menusuk kulit, tapi tidak cukup untuk mendinginkan bara di hatinya.Di sisi kanan, mobil hitam mewah sudah menunggu. Eva membuka pintu, duduk di kursi belakang, dan menarik napas panjang. Jemarinya segera meraih ponsel dari dalam clutch. D
***Musik gamelan bergema lembut di aula megah hotel internasional malam itu. Lampu kristal bergemerlap di langit-langit, menciptakan kilau yang memantul di lantai marmer putih. Para tamu undangan dari berbagai negara sibuk bercengkerama.Di sisi panggung utama, Presiden dan keluarganya sedang menyambut tamu kehormatan. Ethan berdiri gagah di antara diplomat dan pebisnis besar, berbincang penuh wibawa. Senyumnya ramah, suaranya tenang, tapi sesekali matanya melirik ke arah pintu masuk, menunggu seseorang yang sangat dinantikannya. “Ah, Ethan. Kau memang selalu mengagumkan di setiap kesempatan. Tapi…” Rayhan menoleh ke kanan dan kiri, matanya mencari. “Dimana papimu? Dia berjanji padaku akan datang malam ini.”Suasana seketika hening. Beberapa tamu ikut menoleh, penasaran. Nama Henry Van de Meer memang selalu membawa rasa ingin tahu, sebab pria itu jarang sekali muncul di acara publik, apalagi di Indonesia.Ethan hendak membuka mulut, tapi tiba-tiba sebuah suara berat dan karismatik t
***Lampu-lampu kristal di ballroom rumah pribadi presiden berkilau memantulkan cahaya emas. Musik klasik dari orkestra memenuhi udara, bercampur dengan suara gelas beradu dan tawa para tamu yang berdatangan dari berbagai negara. Malam itu adalah pesta pernikahan akbar, tak hanya dihadiri para pejabat dalam negeri, tetapi juga tamu kehormatan dari luar negeri.Ethan berdiri gagah di sisi depan, mengenakan setelan tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu yang membuat bahunya terlihat semakin bidang. Senyum ramahnya terukir ketika Presiden itu menghampirinya, diikuti beberapa menteri dan pejabat tinggi negara lain.“Selamat malam, Ethan,” sapa Presiden dengan suara hangat, menepuk bahunya ringan. “Senang sekali kau bisa hadir. Kau selalu menjadi tamu kehormatan di negeri ini. Dan saya bersyukur akhirnya anda kembali ke tanah air ini, saya selalu menanti kepulangan seorang pebisnis cerdas seperti anda.”“Terima kasih, Pak Rayhan,” Ethan membungkuk sedikit dengan sopan. “Saya merasa terhormat