Home / Romansa / Istri Dadakan Sang Presdir / 9. Mutiara Terpendam

Share

9. Mutiara Terpendam

Author: ISMI
last update Huling Na-update: 2025-07-09 21:21:17

***

Hujan gerimis turun pelan, membasahi kaca jendela rumah besar di kawasan elit Jakarta Selatan. Di luar, lampu taman menyala sayu, memantul lembut pada bebatuan yang tersusun rapi di halaman. Dari dalam rumah, suasana terlalu tenang, nyaris kosong, tak seperti malam-malam biasanya.

Ethan menuruni anak tangga dengan langkah lambat. Kemeja putih yang ia kenakan telah lepas dasi, kancing atas terbuka, lengan tergulung sampai siku. Acara malam amal keluarga Wiratama telah selesai dengan sukses. Ia bicara di atas panggung, menyambut donatur, dan mengundang sorotan media. Semua berjalan sesuai rencana.

Namun, satu hal tidak sesuai harapannya: Sekar tidak kembali bersamanya.

Ia berdiri di tengah ruang tamu, matanya menyapu seluruh sudut ruangan.

Pelayan rumah muncul dari balik ruang makan.

“Mbak Tari,” panggil Ethan, suaranya datar.

Perempuan paruh baya itu mendekat dan menunduk sopan. “Iya, Tuan?”

“Sekar sudah pulang?”

Tari mengangguk pelan. “Satu jam lalu, Nyonya Sekar kembali. Nyonya b
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Istri Dadakan Sang Presdir   21. Genggaman Tangan yang Hangat

    ***“Sudah siap pergi bersama, istriku?” bisik Ethan dengan nada pelan dan senyum jahil yang terukir di bibirnya.Sekar menahan desiran aneh di dadanya. Matanya menatap Ethan tajam, ingin sekali ia mendorong tubuh pria itu agar menjauh darinya. Namun, yang keluar dari bibirnya hanya helaan napas pendek.“Aku mau ganti baju dulu, kamu tunggu,” katanya datar, berbalik menuju ruang dalam sanggar.Ethan tidak menjawab, namun ia melangkah pelan masuk ke dalam sanggar. Matanya menyusuri setiap sudut bangunan itu. Ruang utama sanggar tampak begitu bersih, rapi, dan penuh sentuhan estetika. Ada tanaman-tanaman hias gantung, jendela besar dengan tirai putih tipis yang membiarkan cahaya sore masuk, serta pajangan topeng dan alat musik tradisional di rak kayu sederhana.Meski tidak ada satu pun barang mewah di sana, atmosfernya terasa eksklusif, seperti ruang seni di galeri kecil di luar negeri.“Dia benar-benar menata tempat ini dengan cinta,” gumam Ethan pelan, lalu ia duduk di salah satu bang

  • Istri Dadakan Sang Presdir   20. Sudah Siap Pergi Bersama, Istriku?

    ***Cahaya matahari siang menyusup lembut melalui jendela-jendela besar sanggar yang dirancang penuh estetika. Sekar tampak begitu hidup di tengah ruangan. Kain panjang melilit pinggangnya, rambutnya disanggul rapi, dan langkah-langkah tarinya begitu ringan, seakan tubuhnya dilahirkan hanya untuk menari.Clarissa duduk di bangku panjang dekat dinding, menyaksikan semua itu dengan mata yang membulat penuh takjub. Sekar sedang mengajar anak-anak menari jaipong, dan bukan hanya gerakan tarinya yang menarik perhatian, tapi cara Sekar berbicara dan memotivasi anak-anak itu. Penuh semangat, bersahaja, tapi tetap memiliki aura yang menggetarkan.“Kita ulangi lagi, ya, adik-adik!” seru Sekar, suaranya lantang dan ceria.Anak-anak tertawa dan mengikuti gerakan dengan antusias. Di antara canda dan tawa mereka, Clarissa bisa melihat betapa kuatnya pesona Sekar. Wanita itu tak hanya menari, ia menghidupkan tempat ini. Sanggar sederhana ini terasa seperti ruang budaya yang megah, karena cara Sekar

  • Istri Dadakan Sang Presdir   19. Debar yang Tak Diundang

    ***Aroma wangi daun jeruk dan lengkuas memenuhi dapur mewah pagi itu. Sekar, dengan celemek sederhana, tengah mengiris daun bawang sambil sesekali mencicipi sayur asem yang ia masak sendiri. Tangannya lincah, ekspresinya tenang, dan dari raut wajahnya terpancar kenyamanan—seolah dapur itu memang dunianya sejak dulu.Di sisi lain dapur, tiga maid berdiri gugup, saling pandang, tak berani mendekat.“Nona Sekar, biar kami yang kerjakan. Anda tidak seharusnya ke dapur,” ucap Lilis, maid yang biasa mengurus bagian dapur.Sekar tersenyum. “Panggil saja aku Sekar atau Teteh. Dan tidak apa-apa, aku sudah terbiasa masak sejak kecil. Dulu di panti, kami bergiliran memasak. Jadi ini bukan beban.”“Tapi… Tuan Ethan mungkin tidak akan suka melihat Anda bekerja seperti ini,” sahut maid lain pelan.Sekar menoleh, matanya lembut namun mantap. “Aku tak pernah hidup bergantung pada orang lain, dan hanya karena aku tinggal di rumah besar, bukan berarti aku berubah. Memasak membuatku merasa damai.”Lili

  • Istri Dadakan Sang Presdir   18. Mau Mandi Bersama?

    ***Sinar mentari belum benar-benar menampakkan dirinya saat Sekar membuka matanya. Kelopak matanya perlahan mengerjap, dan detik berikutnya, jantungnya seperti berhenti berdetak saat menyadari seseorang terbaring tepat di sampingnya."Ethan?!"Suara itu nyaris keluar dari mulutnya jika saja tangan dingin Ethan tak lebih dulu membungkamnya. Pria itu menatap Sekar tajam, tapi dengan nada suara setengah berbisik, ia menjelaskan, “Ada mamiku dan Clarissa. Mereka datang tiba-tiba. Kita harus terlihat tidur di kamar yang sama.”Sekar menatap Ethan dengan mata melebar. Ia melirik ke arah jam dinding yang menggantung di kamar. 05.00 pagi.“Kamu pikir aku bodoh?” bisik Sekar, menyingkirkan tangan Ethan dari mulutnya. “Mana ada orang datang jam segini?”Belum sempat Ethan menjawab, terdengar ketukan pelan di pintu kamar.Tok. Tok.Ethan tersenyum miring dan menurunkan tubuhnya dari tempat tidur. “Mami tidak pernah mengenal waktu jika sudah menyangkut urusan ‘mengecek’ anaknya,” gumamnya sambil

  • Istri Dadakan Sang Presdir   17. Menyentuh dan Melihatnya

    ***Malam telah larut ketika Sekar terbangun dari tidurnya, bukan karena mimpi buruk, tapi karena suara ketukan pelan di pintu kamarnya yang besar. Ia bangkit setengah sadar, membuka pintu dengan mata setengah tertutup.Namun begitu pintu terbuka, matanya langsung terbuka lebar. Di depan pintu berdiri Ethan, dengan wajah datarnya, mengenakan kaus putih dan celana panjang santai berwarna gelap. Namun yang paling membuat Sekar jengkel adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir pria itu.“Kita berangkat ke Amsterdam lusa.”“Apa?” Sekar nyaris berteriak. Ia mengucek matanya, memastikan ia tidak sedang berhalusinasi. “Aku ke Amsterdam, lusa? Kau sudah tidak waras, kan?”Ethan mengangkat sebelah alisnya dengan tenang. “Jika aku gila, aku tidak akan bicara dengan normal denganmu, Nona Penari.”Sekar melipat tangan di dadanya. Wajahnya jelas kesal.“Tidak! Ini aku keberatan! Kamu sela

  • Istri Dadakan Sang Presdir   16. Pria Pertama

    ***Langit pagi itu begitu jernih, seolah memberi restu pada setiap langkah Sekar. Di sebuah lapangan terbuka dekat bantaran sungai, anak-anak kampung berkumpul dalam lingkaran besar, wajah mereka bersinar penuh semangat.Sekar berdiri di tengah, mengenakan kain batik khas Sunda dengan kebaya sederhana berwarna gading yang melekat anggun di tubuh rampingnya. Rambutnya disanggul setengah, menyisakan beberapa helai yang dibiarkan lembut membingkai wajahnya. Senyum manisnya menjadi magnet tersendiri bagi semua anak-anak yang melihatnya."Ayo, ulangi lagi gerakan tangan ini... Lembut, seperti air yang mengalir... Ya, bagus sekali, Dita!" ujar Sekar semangat, menirukan gerakan tari Jaipong yang anggun.Anak-anak menirunya dengan riang. Tawa mereka mengalun bercampur dengan musik gamelan dari speaker kecil yang dibawa oleh salah satu warga.Beberapa warga dewasa ikut menonton dari pinggir, bertepuk tangan sesekali, bangga melihat anak-anak mereka bisa menari dengan bahagia. Namun, hari itu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status