Zylva ragu-ragu berjalan mengikuti wanita yang memimpin di depan, mengarahkan pada kamar utama yang tampaknya paling besar di mansion itu. "Sebelah sini, Nyonya." Mereka mengulurkan tangan ke pintu utama kamar guna menyambut Zylva.
"Anda tunggulah di sini, kami akan segera kembali."Zylva tak mau banyak bergerak. Untungnya, sejak tadi ia tidak melihat suaminya ada di sana. Bahkan mobil yang dikendarai suaminya juga tidak ada di halaman utama mansion.Zylva lupa, tubuhnya sedang ada di atas kemewahan yang indah. Ranjang yang begitu empuk, juga besar dan lebar, membuatnya sedikit takjub. Hanya saja, bangunan itu tidak berseri sama sekali. Gelap, bahkan auranya sangat tidak baik. Tidak ada bunga, tidak warna, bahkan tidak punya cahaya yang cukup untuk malam gelap yang mengerikan.Namun, bukankah ini kesempatan yang bagus untuk lari?Zylva yang semakin kalut karena takut tidak bisa lari, menemukan situasi yang sangat menguntungkan untuknya. Tidak peduli malam ini dia harus bermalam di mana atau harus bersembunyi di tengah-tengah hutan tanpa sinyal ponsel, yang penting dia tidak mau melewati malam pertama ini dengan pria yang katanya lebih kejam dari tokoh psikopat populer yang pernah ia baca. Dia berharap akan berjumpa dengan orang di jalan, lalu akan memberikannya tumpangan untuk kembali ke ibu kota."Maaf, apa aku boleh ke mobil?" tanya Zylva mengintip sedikit dari pintu."Ada apa, Nyonya? Jika ada yang dirasa perlu, maka kami yang akan melakukannya.""Tidak. Ini sesuatu yang sedikit pribadi. Aku menjatuhkan Cincin keramatku di dalam mobil atau mungkin saat turun tadi."Alasan yang klasik untuk mengelabui orang-orang yang menatapnya seperti tersangka pembunuhan. Cincin keramat.Zaman sekarang mungkin tidak ada lagi yang percaya pada benda pembawa keberuntungan, termasuk Zylva. Namun, dia mengatakannya dengan lantang untuk melarikan diri dari sana."Silakan, Nyonya. Kami akan mendampingi Anda."Setelah hampir 15 menit mencari, Zylva hanya terus berpura-pura tidak menemukan benda yang sebenarnya tidak pernah ada."Nyonya, mohon untuk kembali ke kamar pengantin. Biar Cincinnya, kami yang cari.""Tidak, itu tidak bisa. Harus aku yang menemukannya.""Ya ampun! Apa orang-orang ini tidak bisa berhenti mengikutiku?" batinnya mengeluh.Zylva membuka pintu mobil sekali lagi, dan tiba-tiba, saat semua orang dibuatnya sibuk setengah mati, gadis pemberani itu benar-benar melakukan apa yang dia pikirkan.Di dalam hati, sembari menundukkan kepala dia menghitung, "Satu, dua, tiga, dan....""Nyonya!!"Drap!Drap!Drap!Drap!berhenti mengikutiku?" batinnya mengeluh.Nyonya Muda yang nakal. Pengantin wanita kabur di malam pertamanya.Zylva sembari menenteng sepatu yang ia lepas, ia mengangkat tinggi gaunnya, berlari mengikuti ke mana langkah kakinya membawa."Nyonya Muda kabur! Cepat katakan pada pengawal untuk mencegatnya di belakang!"Semua orang tiba-tiba dihebohkan.Zylva memilih jalan yang paling sulit meski sangat tidak berani. Hanya saja, dia tidak mau mengorbankan masa depan yang indah untuk menjadi istri dari pria mengerikan dan hidup tanpa sosialisasi di hutan belantara."Sial! Mereka bahkan tidak menyerah untuk menangkapku," otaknya membatin."Cepat! Itu dia!”Gadis itu sangat agresif, dia bahkan bisa melompati sebuah papan cukup tinggi, mengangkat gaunnya tanpa keanggunan sama sekali.Sebuah pohon besar bagaikan malaikat di malam hari yang dingin. Zylva seperti menemukan cahaya dalam kegelapan."Aku harus sembunyi di sana."Dia merunduk di tepi kolam yang luas dan dalam. Merangkak untuk bersembunyi di belakang pohon besar sana."Nyonya Muda pasti tidak jauh dari sini. Aku melihatnya di sekitar sini tadi! Ayo berpencar! Kita bisa dipenggal jika membiarkannya kabur."Zylva cukup terkejut saat mendengar keluhan para pengawal. Apa mungkin mereka benar-benar akan dipenggal jika pengantin wanita kabur? Aturan yang begitu kejam, mirip film kolosal saja.Namun, saat baru saja Zylva hampir sampai pada pohon, takdir lagi-lagi menghancurkannya.Krek!Tangannya yang tanpa alas, mematahkan ranting pohon hingga berdarah."Akkhh!""Itu di sana!"Semua orang lantas memutar tubuhnya untuk berbalik arah dan mengejar Nyonya Muda yang nekat."Tidak, tidak. Jangan tangkap aku. Aku harus cari tempat sembunyi dulu."Zylva sempat-sempatnya merobek ujung bawah gaunnya untuk mengikat tangannya yang berdarah.Dia kembali berdiri membuang sepatunya ke sembarang arah tidak menyangka bahwa kakinya membawanya berlalu mengarah membawanya pada sebuah tempat yang tersembunyi di belakang rumah utama.“Cepat! Kejar!”“Wah! Dia larinya cepat sekali!”“Ayo Zya! Kau pasti bisa! Carilah tempat yang bagus untuk bersembunyi!" batinnya terus memacu adrenalin."Cepat!”Derapan langkah terus saja mendekat dan semakin ramai. Zylva tidak punya pilihan lain. Pada keadaan begitu mendesak, dia melakukan kebodohan.Brak!Zylva menabrakkan tubuhnya, menerobos masuk pada sebuah bangunan yang mirip pustaka. Cahaya lilin menyala begitu terang di dalamnya, juga pintu yang mudah didobrak.Zylva langsung berbalik, menutup pintu dengan kedua tangan dengan cepat."Di mana dia? Tadi ada di sini?!""Benar! Tadi ada di sini!" ucap para pengawalSuara ribut di sana membuat jantung Lia semakin memompa. Dia berbalik sangat cepat, menyandarkan tubuhnya pada pintu agar semakin tertutup, tapi …Saat dirasa keadaannya begitu aman, tiba-tiba ...."Siapa kau?" Suara yang begitu jantan, membuat jantung Zylva seolah berhenti berdetak.Zylva membuka pintu kamar perlahan. Langkahnya pelan, khawatir membangunkan Zack yang sejak tadi diam tak banyak bicara selama perjalanan pulang dari hotel. Ia mendorong kursi rodanya ke dalam kamar yang remang, aroma kayu dan obat menguar dari udara dingin ruangan itu.“Aku bisa sendiri,” gumam Zack.“Biar aku bantu buka sepatumu,” jawab Zylva tanpa ragu, tetap jongkok di depan Zack. Tangannya dengan lincah melepas sepatu pria itu, lalu meletakkannya di samping pintu. Zack tidak banyak bergerak, hanya memandangi rambut Zylva yang tergerai ke depan, hampir menutupi wajahnya.“Kenapa kau selalu melakukan hal seperti ini?” tanya Zack, suaranya pelan, nyaris seperti angin.“Karena aku istrimu,” jawab Zylva singkat, menatapnya sebentar sebelum berdiri.Zack memalingkan wajah. “Kau tidak perlu bersikap seperti istri sempurna. Aku tahu ini bukan keinginanmu.”Zylva terdiam. Ia menatap Zack beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Memang bukan keinginanku. Tapi kalau kita sudah di sini... bu
Mobil hitam itu melaju tenang di jalanan kota yang mulai dipenuhi cahaya pagi. Di kursi belakang, Zylva duduk diam dengan tangan terlipat di pangkuannya, sementara Zack di sampingnya hanya menyandarkan kepala pada sandaran, matanya tetap tertutup, wajahnya tersembunyi di balik topeng.“Lelah?” tanya Zylva, memecah keheningan.“Sedikit,” jawab Zack singkat. “Terlalu banyak suara tadi malam.”Zylva mengangguk pelan. Ia pun merasakannya. Pesta keluarga yang dipenuhi wajah-wajah asing, sorot mata penuh tanya, dan bisik-bisik menusuk—semuanya terlalu berat untuk seseorang yang bahkan belum sepenuhnya siap menjadi istri.“Kau tidur cukup semalam?” tanya Zylva lagi, kali ini lebih hati-hati.Zack menggeleng pelan. “Tidak bisa. Punggungku nyeri kalau terlalu lama di tempat asing.”Zylva menoleh, ingin bertanya lebih jauh, tapi urung. Ia belum tahu batas mana yang boleh ia lewati. Mereka masih terlalu asing meski sudah berbagi atap.Sesampainya di kastel keluarga—begitu semua orang menyebut ru
Zylva menggeser cangkir Zack mendekat padanya, seolah mencoba menjembatani jarak yang terasa tak terlihat.“Kalau kau mau bicara… aku ada,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. Zack tak menjawab, tapi kepalanya sedikit menoleh ke arahnya. Bukan sebuah balasan utuh, tapi cukup membuat Zylva tahu—ia didengar. “Aku tidak terbiasa sarapan dengan orang lain,” gumam Zack.Zylva tersenyum kecil. “Maka mulai hari ini, biasakan dirimu denganku.”Restoran hotel itu tak ubahnya seperti aula kecil yang dihiasi lampu gantung dan meja-meja bulat yang ditutupi kain putih bersih. Di pojok ruangan, sebuah meja panjang sudah dipenuhi aneka makanan sarapan: croissant hangat, omelet, buah-buahan segar, dan berbagai minuman.Zylva mendorong kursi roda Zack ke salah satu meja dekat jendela. “Di sini saja?” tanyanya pelan.Zylva berusaha lebih dewasa dan memahami bahwa ini mungkin sudah takdirnya.Zack mengangguk, lalu menyandarkan punggungnya, tampak mulai lelah hanya dengan perjalanan singkat itu.“
Suara burung tidak terdengar pagi itu. Yang ada hanya dengung pendingin ruangan dan samar suara kendaraan dari jalanan jauh di bawah hotel. Zylva membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus dari celah-celah tirai, membentuk garis cahaya di dinding kamar.Untuk sesaat, ia lupa bahwa dirinya sudah menikah. Lupa bahwa ini bukan kamarnya sendiri. Tapi begitu ia menoleh dan melihat sosok pria bertopeng di kursi roda yang menghadap ke jendela, kenyataan segera kembali.“Sudah bangun?” suara Zack terdengar pelan, tanpa menoleh ke arahnya.Zylva refleks duduk. “Iya... baru saja.”Zack tidak menjawab. Tangannya menggenggam cangkir kecil, dan dari aromanya, Zylva bisa menebak itu teh herbal yang tadi disiapkan pelayan hotel. Ia terlihat kaku, seperti orang yang sudah siap berperang sejak pagi.“Kau tidur nyenyak?” tanya Zylva hati-hati.“Tidak ada yang bisa disebut nyenyak,” Zack menjawab. “Aku tidak bisa tidur jika berbaring terlalu lama. Kursi ini lebih nyaman.”Zylva menarik seli
Acara berlangsung dengan formalitas yang membosankan bagi Zylva. Ia duduk di samping Zack selama hampir dua jam, hanya menjawab beberapa pertanyaan dari tamu yang datang dengan senyum sopan. Zack tetap diam nyaris sepanjang waktu, hanya mengangguk atau menoleh jika benar-benar perlu. Botol kecil di sakunya sesekali terlihat saat ia menggenggamnya erat.Zylva tak bisa berhenti mencuri pandang. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik topeng setengah wajah berwarna hitam perak. Hanya dagunya yang terlihat, cukup untuk memperlihatkan garis rahang yang tegas, tapi juga dingin.Setelah acara selesai, mereka dibawa ke kamar hotel khusus yang sudah disiapkan untuk menginap malam ini. Zack tampak enggan, tapi tak banyak bicara. Mereka masuk ke dalam kamar suite besar dengan dua ranjang terpisah. Rico mengantar mereka, lalu segera pergi setelah memastikan segalanya aman.Zylva meletakkan clutch di meja rias, menatap bayangannya di cermin. Riasannya mulai luntur. Gaun ungu panjangnya masih ter
Langkah Zylva terhenti sesaat. Ia menatap punggung suaminya yang semakin menjauh, didorong sendiri dengan tangan yang tampak gemetar namun tegas. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari Zack. Bahkan, tatapan mata pun tidak. Semua orang yang hadir hanya bisa menatap kepergian pria bertopeng itu, sambil berbisik-bisik dengan rasa ingin tahu yang mencolok.Zylva menelan ludah. Matanya menoleh pada Dion yang masih berdiri di hadapannya, matanya tajam menelisik.“Kau… menikah dengannya?” suara Dion pelan, tapi cukup untuk terdengar oleh Zylva. Nada suaranya bukan marah. Bukan kecewa. Tapi ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, entah rasa curiga… atau kekhawatiran.Zylva mengangguk kecil. "Sudah menjadi keputusan keluarga."Tanpa menunggu reaksi Dion lebih lama, Zylva menyusul Zack yang telah didampingi oleh Rico dan beberapa pengawal lainnya ke dalam ruangan besar yang dipenuhi orang-orang elite dalam jas dan gaun mewah. Ruangan itu begitu terang, tetapi dinginnya tatapan dari setiap s
"Nanti malam, di pertemuan itu, bersikaplah dengan baik agar tidak mempermalukan keluargaku. Perhatikan juga anak itu agar tidak ada masalah yang datang."Tuan Dony meriah kertas yang sedang Zylva pandangi, menyimpannya dalam tas besar berwarna hitam. "Kalau begitu, aku pamit duluan." Tuan Dony beranjak dari sana, meninggalkan Zylva bersama ayahnya.Tuan Faizal terus saja mengintip keluar, mengintip semua orang yang ada di sekitar dengan mata yang berbohong. Dia mendekati Zylva, duduk di sebelahnya dan berbisik, "Kau tidak perlu khawatir. Ayah akan mencari cara untuk membawamu pergi dari lelaki itu secepatnya. Tuan Dony hanya sedang memanfaatkan kita, tapi kau tak perlu khawatir soal itu." Dia mengatakan ini pada Zylva untuk pertama kalinya, hingga gadis itu merasa sangat kesal."Nanti, saat di sana bersikaplah sewajarnya. Kau tidak usah ikut campur jika mereka mengatakan yang tidak-tidak. Mengerti?"Setelah Tuan Dony pergi dari sana, Zylva yang terdiam sekali lagi menatap tangannya ya
Hari ini terdapat jadwal pertemuan antar keluarga besar yang membuat heran adalah Interaksi keduanya mengundang banyak mata. Sejak awal, tak ada yang pernah melihat Zack dan parasnya, selain sosok dengan kursi roda yang bertopeng malam ini. Entah apa maksud Tuan Dony membuat putranya mengenakan topeng, yang jelas ini bukan perihal kecil.Sebagai publik figur, menjadi pusat perhatian adalah hal yang sulit untuk dilewati. Demi menjaga nama baik keluarga, putranya yang punya 'keterbatasan' itu ditutupi dari khalayak. Wajahnya, info tentangnya, dan semua yang berkaitan dengan Zack."Lihat, apa dia juga bisu? Dia tidak bicara apa pun.""Apa itu benar-benar putra ketiga Tuan Dony? Ya ampun, lebih buruk dari rumor."Semakin lama berdiri di sana, Zylva jadi lebih banyak mendengar bisikan tajam. Dia menoleh pada sang suami, yang didampingi Rico masuk ke dalam.Zylva yang kesal melihat tingkah Zack yang bahkan tidak ramahpada Dion kakaknya, membuat Zylva membungkukkan tubuhnya pada Dion denga
"Nyonya, Anda tidak boleh melakukannya! Nyonya!"Drap!Drap!Drap!Semua orang berlari mengikuti Zylva. Mereka ikut mendatangi Zylva yang mendatangi Zack dengan wajah panik dan khawatir.Pada sebuah tempat tak jauh di belakang mansion, di sana Zylva yang duduk di kursi roda, menginjak tangan salah seorang pelayan wanita dengan sepatunya tetap rasa ampun. Sementara lima orang pengawalpria hanya diam saja di kelilingZylva."Ampun, Tuan. Ampun. Aku ... aku tidak akan mengulanginya lagi, Tuan. Tolong ampuni aku." Wanita muda itu terlihat sangat ketakutan bahkan kesakitan.Zylva menatap ke sekeliling, dan malah menemukan penampakan lain. Ternyata tidak hanya ada satu pelayan, tapi ada beberapa pelayan lain yang meringkuk sakit di halaman belakang yang luas itu.Orang-orang bertubuh besar dan gagah berdiri mengelilingi segala sisi. Zylva yang geram merasa sudah tidak tahan. Sebenarnya bukan hanya satu atau dua kali saja dia mendengar teriakan. Dia mendengar teriakan itu hampir setiap hari