Share

BAB 4 | Luka Hati

Author: Yulia Ang
last update Huling Na-update: 2024-05-25 10:11:02

Orion duduk diam di samping Anna dalam taksi. Tidak ada percakapan, hanya ada sunyi yang mengisi ruang. Tatapan Anna lurus menembus jendela, seolah dunia di luar sana lebih layak dipedulikan daripada adik kandungnya sendiri.

Orion ingin bertanya, tapi ia urungkan. Ia sadar, setelah drama besar beberapa hari lalu, ia tidak punya hak untuk banyak bicara. Apalagi, ia baru menemui Anna tiga hari sejak diminta datang. Saat menjemputnya tadi, Anna hanya mengatakan satu hal, “Ikut aku.” Dan Orion menuruti, meski pikirannya penuh tanda tanya.

Taksi berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta, megah dan modern. Orion melirik gedung itu, bingung, lalu buru-buru menyusul Anna yang sudah turun lebih dulu.

“Kenapa kita ke rumah sakit? Kau sakit?” tanyanya, heran sekaligus cemas.

Anna menggeleng singkat. “Kau harus medical check up. Aku ingin tahu kondisi kesehatanmu secara menyeluruh.”

Orion termenung. Ia menatap Anna lama, seperti tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ucapan Anna terdengar seperti bentuk perhatian nyata—sesuatu yang sudah lama ia rindukan. Ia bahkan nyaris tersentuh.

“Aku sehat. Aku baik-baik saja. Untuk apa buang-buang uang ke rumah sakit?” Orion mencoba menolak halus. “Aku tahu kau sayang padaku, tapi ini terlalu berlebihan.”

Anna tidak menjawab. Ia melangkah masuk ke lobi rumah sakit tanpa menoleh. Orion menghela napas dan mengikuti dari belakang.

Baru beberapa langkah, Anna berhenti. Suaranya terdengar datar, tapi tajam menusuk, “Setelah hasil pemeriksaanmu keluar, dan semua organmu sehat... kita jual ginjalmu.”

Orion sontak berhenti. Matanya membelalak. “ANNA! KAU GILA?!”

“KAU YANG GILA!” balas Anna tak kalah keras. Keduanya kini berdiri berhadapan, jadi sorotan orang-orang di sekitar. Wajah mereka sama-sama memerah, bukan karena malu, tapi karena amarah yang sudah terlalu lama dipendam.

Orion buru-buru menarik tangan Anna, menjauh dari lobi yang mulai ramai. Namun Anna langsung menepis tangannya dengan kasar. “Lepaskan aku!”

 “Bagaimana bisa kau punya pikiran untuk menjual ginjalku?” Orion berseru, mencoba menahan amarah. “Jangan bercanda, Anna!”

Anna menatap adiknya tajam. “Jadi kau pilih masuk penjara? Atau kubunuh sekalian?”

Orion menghela napas berat, frustrasi. “Menjual ginjal bukan solusi. Itu gila.”

“Kenapa tidak?” balas Anna cepat. “Kau masih bisa hidup dengan satu ginjal. Kau bisa bayar utangmu. Semua selesai.”

Orion membeku. Kata-kata itu menusuknya lebih dari yang ia kira. Ia tidak menyangka Anna benar-benar mempertimbangkan hal sejauh itu. Marah, kecewa, dan sakit hati berkecamuk di dadanya.

“Kau pikir hidupku ini cuma main-main? Apa kau benar-benar ingin aku menjual ginjalku demi keluar dari masalah?”

Untuk pertama kalinya, Anna tak bisa menjawab. Ia terdiam. Sorot mata Orion yang penuh luka, membuatnya sedikit gentar. Ada rasa tidak tega yang menyelinap, namun egonya terlalu keras untuk mundur.

“Aku datang karena aku terdesak, bukan karena ingin menyusahkanmu,” suara Orion mulai melemah. “Aku tahu nominal itu keterlaluan. Tapi aku pikir... kau kakakku, satu-satunya yang bisa kuandalkan.” Ia menunduk. “Tapi ternyata aku salah. Aku bahkan tidak menyangka kau bisa menyuruhku menjual organ tubuhku sendiri...”

“Lalu harus bagaimana?! Haruskah aku yang menjual diri untuk menutupi utangmu?!”

Mata Orion membelalak, marah. “Cukup, Anna!” serunya dengan nada tinggi. “Kau benar-benar tidak waras!”

Mulut Anna mengatup. Lalu pelan-pelan, air mata mulai jatuh dari matanya. “Memang,” katanya pelan. “Mungkin aku memang sudah kehilangan akal.”

Orion terpaku.

“Aku kehilangan pekerjaanku,” suara Anna bergetar. “Aku dipecat karena aku menolak tidur dengan salah satu klien penting kantorku. Dan kau tahu apa yang lebih menyakitkan dari itu?”

Anna menghapus air matanya kasar.

“Teman-teman yang selama ini aku anggap sahabat... mereka membuangku. Seolah aku tidak berarti. Aku sendirian, Orion. Bahkan sebelum kau datang minta tolong, hidupku sudah berantakan.”

Jantung Orion serasa dihujam mendengar pengakuan Anna. Orion kehilangan kata-kata. Rahangnya mengatup rapat. Matanya memerah.

“Kau memang satu-satunya keluargaku,” lanjut Anna dengan suara pelan. “Tapi pernahkah kau benar-benar menanyakan kabarku? Apakah aku baik-baik saja?”

Ia menggeleng pelan. “Tidak. Kau hanya muncul saat butuh.” Satu isakan lolos dari bibir Anna.

“Asal kau tahu, kakak perempuanmu ini sudah berkali-kali ingin mengakhiri hidupnya. Tapi selalu kutahan... karena aku pikir setidaknya masih ada kau. Adikku... satu-satunya alasan kenapa aku terus bertahan.”

Orion menunduk. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tak sanggup menatap wajah kakaknya yang penuh luka. Untuk pertama kalinya, ia melihat bahwa sosok yang selama ini terlihat kuat, ternyata sedang menjerit minta tolong. Anna hanyalah perempuan yang rapuh yang dipaksa kuat oleh keadaan.

“Sungguh, Orion...” suara Anna nyaris tak terdengar. “Kalau aku punya segalanya, aku pasti tak akan keberatan memberi apa pun untukmu.” Ia menarik napas pendek. “Bahkan... kalau perlu, dunia pun akan aku serahkan. Tapi sekarang, aku tak punya apa-apa... selain nyawaku.”

Tangisnya pecah lagi. Bukan yang meledak-ledak, tapi sunyi dan menyayat. Air mata terus menetes tanpa suara. Seolah semua luka dalam dirinya akhirnya menemukan jalan keluar.

Orion terpaku. Hatinya remuk. Ada gumpalan berat di tenggorokannya yang tak bisa ia telan.

“A-aku minta maaf, Anna...” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar. Wajahnya tertunduk, diliputi rasa bersalah yang menyesakkan dada.

Anna tak menjawab. Ia menghapus air matanya dengan tangan gemetar, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, sebagian dari kata-katanya tadi terlalu kejam. Tapi semuanya terucap karena beban menumpuk terlalu lama.

“Aku ingin sendiri dulu,” ucapnya, tenang, meski ada luka yang tergurat dalam tiap katanya. “Nanti kita bicara lagi, saat kepala sudah dingin. Untuk sekarang... coba minta sedikit waktu dari temanmu soal utang itu. Katakan padanya kau akan bayar. Tapi bukan hari ini.”

Orion ingin bicara. Ingin berkata bahwa ia tak akan memaksanya lagi. Bahwa ia akan menyelesaikannya sendiri. Tapi lidahnya kelu.

Anna berbalik, melangkah pergi. Yang ia inginkan kini hanya satu, menyendiri. Jauh dari keramaian. Menangis tanpa perlu menahan apa pun.

Orion tetap berdiri di tempat. Ingin mengejar, menarik Anna, meminta maaf lagi. Tapi tubuhnya seperti terkunci oleh rasa bersalah. Ia menghela napas panjang, menunduk dalam, lalu berbalik dan melangkah pergi dengan langkah berat. Wajahnya kosong. Tapi sorot matanya penuh luka.

*

Kavi duduk di jok belakang mobil yang dikemudikan Rendy. Matanya menatap tablet di tangannya, tapi pikirannya melayang entah ke mana.

“Aneh sekali Kakek bisa tiba-tiba mengalami komplikasi,” gumam Kavi. “Sejak muda, pola makannya ketat, cuma makan sehat.”

“Tidak pernah merokok, tak pernah menyentuh alkohol. Medical check up rutin, bahkan olahraga teratur,” sambungnya. Nada suaranya mulai dipenuhi kecurigaan. “Masuk akal kah dia tiba-tiba jatuh sakit?”

Rendy yang mengemudi mengangguk pelan. “Tuan Besar memang sehat, Bos. Tapi usia tidak bisa dibohongi. Mungkin metabolisme tubuhnya mulai melemah.”

Mobil melambat saat mendekati pintu keluar rumah sakit. Sebuah mobil boks farmasi tengah mundur perlahan. Tapi mata Rendy tiba-tiba membelalak. “Itu... calon istrimu, kan, Bos?!”

Kavi langsung menoleh.

Anna berjalan pelan di belakang mobil boks yang mundur. Terlalu larut dalam pikirannya sendiri, hingga ia tak sadar akan bahaya di depannya.

Rendy buru-buru membunyikan klakson, memberi peringatan. Tapi sopir mobil boks malah mengira itu sinyal untuk mempercepat mundurnya. Ia justru menekan gas lebih dalam.

Tanpa pikir panjang, Kavi membuka pintu dan melompat keluar. Ia berlari secepat mungkin, meraih Anna, dan menarik tubuhnya menjauh dari jalur maut.

Anna terkejut, tiba-tiba berada dalam dekapan seseorang. Jantungnya berdebar keras, tak hanya karena nyaris tertabrak, tapi juga karena kejadian ini begitu tiba-tiba.

“Kau itu bodoh atau bagaimana?!” bentak Kavi, suaranya keras dan cemas. “Tidak lihat ada mobil sebesar itu?!”

Anna mendongak. Suara itu... ia mengenalnya.

Begitu tatapan mereka bertemu, Anna tak bisa menahan emosi. Matanya kembali memanas. Air mata yang sejak tadi tertahan tumpah begitu saja.

Kavi tercengang. Ia tidak menyangka Anna akan menangis karena bentakannya. “Maaf,” ucap Kavi, kali ini lebih lembut.

Tanpa menjawab, Anna mundur perlahan. Matanya sembab. Tubuhnya gemetar, dan air mata terus mengalir membasahi pipinya. Luka emosionalnya belum benar-benar reda sejak pertengkarannya dengan Orion.

Kavi hanya bisa memandangi Anna yang begitu rapuh. Ia terdiam sejenak, lalu membuat keputusan tanpa pikir panjang. Tangannya terulur, meraih tangan Anna, dan menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya.

Anna sempat meronta. “Lepaskan...” gumamnya lirih. Tapi Kavi menahan erat, tak membiarkannya jatuh lagi—baik secara harfiah maupun emosional.

Dan akhirnya, Anna menyerah. Tubuhnya melemas dalam pelukan Kavi. Tangisnya pecah, tanpa bisa ditahan. Dan untuk pertama kalinya, Anna membiarkan seseorang ikut merasakan luka yang selama ini ia simpan sendiri. Pada Kavi, laki-laki asing yang mengaku sebagai calon suaminya. []

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 24 | Sisi Gelap sang Pewaris

    Deru motor sport Kavi memecah keheningan malam Jayapuri. Mesin menderu ganas, meraung seperti binatang buas yang lapar darah. Helm hitam menutupi wajahnya, tapi api di matanya membara di balik visor.Tujuannya jelas pada satu nama.Steven.Dan malam ini, tidak ada negosiasi.Di parkiran gedung mewah tempat Steven biasa menginap, langkah kaki berat terdengar, memantul di dinding beton. Steven yang sedang merokok menoleh.Ia mengenali sosok itu. Jantungnya mencelos. Tapi bibirnya tetap mencibir. “Kau sudah lihat fotonya, kan? Kasihan. Ternyata kau salah pilih perempuan.”Kavi tak menjawab. Tapi dalam sepersekian detik kemudian... Sebuah pukulan telak mendarat di rahang Steven—keras, cepat, dan brutal.Steven terhuyung, terkapar ke lantai. Tak sempat bernapas, disusul tendangan Kavi menghantam perutnya. Udara keluar dari paru-parunya. Tapi kesadaran Steven belum sepenuhnya hilang.“Apa kau pikir bisa menyentuh Anna dan lolos begitu saja?” suara Kavi nyaris tak terdengar. Tapi dinginnya l

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 23 | Dendam Membara

    Anna berdiri terpaku di depan deretan gaun pengantin yang berkilau, matanya berbinar-binar seperti anak kecil di toko permen. Hatinya berdebar tak karuan. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa sebentar lagi ia akan menikah. Tak sampai seminggu, ia akan resmi menjadi Nyonya Bagas Kavi Waradana.Seorang desainer menghampirinya sambil membawa gaun yang telah mereka pilih bersama beberapa waktu lalu.“Ini gaunnya, Nona. Silakan dicoba dulu, ya. Kalau ada yang kurang pas, nanti akan kami sesuaikan lagi,” ujarnya ramah.Anna mengangguk pelan. Ia mengikuti sang desainer menuju ruang ganti, pikirannya melayang ke berbagai arah. Desainer dan asistennya membantunya mengenakan gaun itu dengan lembut dan terampil.“Calon suaminya tidak ikut, ya?” tanya si asisten sambil tersenyum. “Biasanya pasangan datang berdua.”“Dia sedang bekerja,” jawab Anna cepat, berusaha menyembunyikan nada getir dalam suaranya. Ya—Kavi bekerja.Begitu gaun melekat sempurna di tubuhnya, Anna menoleh ke cermin besar di hada

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 22 | Konferensi Pers

    Ballroom Hotel Interlux telah dipenuhi oleh kilatan lampu kamera dan gumaman wartawan dari berbagai media nasional. Deretan kursi yang tertata rapi menghadap ke sebuah panggung kecil dengan latar belakang logo Waradana Group dan kain hitam elegan.Para investor undangan duduk tenang, sebagian berbicara pelan, menebak-nebak apa yang akan diumumkan siang itu. Di sisi kanan panggung, perwakilan Dewan Komisaris Waradana Group sudah hadir lebih awal. Wajah-wajah serius mereka menyiratkan betapa penting momen ini.Kursi panel di depan panggung masih kosong. Lalu, pintu utama terbuka.Kavi melangkah masuk dengan langkah tegas, mengenakan setelan jas hitam yang mencerminkan wibawa. Di belakangnya, Haris menyusul dengan map di tangannya. Mereka mengambil tempat di kursi panel. Sedangkan Rendy berdiri di tepi bawah panggung.Suasana ballroom menegang, mikrofon sudah menyala, kamera sudah mengarah.Harris mengambil napas sejenak, lalu berdiri sejenak, membungkuk kecil ke arah hadirin. Ia mengang

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 21 | She Fell First, He Fell Harder

    Kavi nyaris menerobos pintu rumah sakit ketika mobilnya bahkan belum benar-benar berhenti. Nafasnya tercekat, dadanya sesak oleh kabar yang baru saja diterimanya dari Rendy.Anna. Sesuatu terjadi pada Anna. Sesuatu yang buruk.Langkahnya tergesa, hampir tak menyentuh lantai. Seluruh pertahanan emosional yang selama ini kokoh, runtuh begitu saja. Tujuannya hanya satu, ingin segera melihat Anna.Pintu kamar VVIP itu terbuka kasar. Kavi terhenti sejenak. Dunia mendadak sunyi.Anna terbaring di ranjang rumah sakit dengan mata terpejam. Wajahnya pucat seolah tak ada darah mengalir di balik kulitnya yang seputih kapas. Ada luka di sudut bibirnya. Tubuhnya tampak rapuh, seolah sentuhan sedikit saja bisa membuatnya pecah.Kavi mendidih. Dadanya seperti terbakar, bukan oleh amarah, tapi oleh rasa sakit yang tak mampu ia jelaskan.Di sudut ruangan, Devan berdiri membatu. Tatapannya tertuju pada Anna, menyimpan luka yang tak kalah dalam. Ketika matanya bertemu dengan Kavi, hanya ada diam—ketegan

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 20 | Jeritan di Tanah Serut

    Berbeda jauh dari Jayapuri yang sombong, Tanah Serut adalah kota yang diam-diam menolak zaman. Letaknya di ujung tenggara negeri, nyaris tak terlihat di peta. Di sini, langit tetap luas karena taka da bangunan yang mencoba menyentuhnya.Malam mulai turun. Jalanan itu sunyi, hanya satu-dua lampu jalan yang berkedip redup. Anna, baru saja pulang dari rumah Sitha, berjalan kaki sambil memeluk tas ke dadanya. Ia memilih jalan pintas—yang ternyata lebih sunyi dari yang ia perkirakan. Angin malam menerpa pipinya, membuatnya sedikit menunduk.Di depannya, jalan itu berubah menjadi lorong gelap yang dinaungi pohon-pohon mahoni tinggi. Cabangnya seperti tangan-tangan tua yang saling berpegangan, menutupi langit. Anna ragu. Tapi ia terus melangkah, berharap pangkalan ojek yang tadi ia lihat masih ada orangnya.Begitu sampai, harapannya pupus. Pangkalan itu kosong. Tak ada suara motor. Tak ada tawa lelaki-lelaki tua yang biasa duduk menunggu penumpang. Hanya ada bangku kayu, dan sebuah lampu tem

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 19 | Pertemuan Keluarga

    “Aku akan menikahi Anna,” ucap Kavi. Suaranya tenang, terkendali—nyaris dingin, seperti keputusan itu telah diperhitungkan dengan baik.Di seberangnya, Anna duduk diam. Tubuhnya tegak, wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, berusaha menyembunyikan gemetar halus yang menyusup lewat ujung jari. Ketegangannya masih sama, walaupun ini sudah kedua kalinya Anna berada di tengah-tengah Keluarga Waradana.“Ini bukan keputusan yang mudah,” lanjut Kavi, tatapannya menyapu seisi ruangan. “Aku tahu mungkin belum semua setuju. Tapi aku yakin, ini yang terbaik untuk Waradana Group.”Seketika ruang keluarga yang luas itu terasa menyusut. Hening, tegang. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara—tak terlihat, tapi menekan.Devan, yang sejak tadi duduk dengan rahang mengeras, akhirnya mengangkat wajah. Matanya tajam menatap Kavi di ujung meja.“Kenapa kau berubah pikiran?” tanyanya. Nada suaranya datar, tapi ada bara yang tersembunyi. “Bukankah kau sudah memutus

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status