Mulut Rendy menganga melihat kondisi kamar kos Anna yang berantakan luar biasa. Barang berserakan di mana-mana seperti baru saja terjadi kerusuhan mini. Di dekat ambang pintu, Kavi berdiri diam. Pandangannya menyapu seluruh ruangan tanpa ekspresi. Rendy terpaksa menyingkirkan buku-buku dan baju kotor yang berserakan di lantai agar Kavi bisa lewat.
Anna yang baru masuk belakangan, langsung membekap mulutnya. “Oh shit,” desisnya malu, lalu dengan kikuk menendangi barang-barang yang berserakan di sekitar sofa.
“Kau yakin tidak ingin ke dokter saja, Bos? Tempat ini... kurang steril,” komentar Rendy bergidik, sambil memandangi sekeliling kamar kos yang kacau balau.
“Kos ini biasanya bersih, kok. Cuma... ya, ini tadi... agak berantakan,” elak Anna, mencoba mempertahankan harga dirinya yang tersisa.
“Agak?” sindir Kavi singkat.
“Maksud saya—sangat berantakan. Adik saya penyebabnya. Maaf kalau kalian jadi tidak nyaman.” Anna buru-buru menambahkan, lalu menunjuk ke sofa. “Silakan duduk.”
Kavi menatap sofa itu tanpa bergerak. Alisnya terangkat sedikit. Anna ikut melirik... dan langsung tercekat.
DOENG!
Di atas sofa tergeletak bra miliknya—korban lemparan keranjang cucian kotor tadi. Anna secepat kilat meraih pakaian dalam itu dan menyembunyikannya di balik punggung, wajahnya langsung merah padam.
“Maaf… kosnya bener-bener kacau.” Suaranya nyaris hilang ditelan malu. Rasanya Anna ingin bersembunyi masuk ke inti bumi.
Kavi hanya diam, berdiri tenang.
Anna sempat mencuri pandang ke sosok pria itu. Penampilannya berkelas dengan setelan jas hitam mahal. Barang-barang yang dipakai Kavi jelas dari brand-brand mahal. Rambutnya tertata rapi, tatapannya tajam menusuk, dan posturnya tegap berwibawa. Ia tidak perlu usaha untuk terlihat mengesankan. Bahkan dalam diam pun, Kavi memancarkan pesona yang sulit diabaikan.
“Kau benar punya plester luka? Kening bosku harus segera diobati,” ucap Rendy membuyarkan lamunan Anna.
Anna mengangguk cepat, lalu bergegas ke belakang. Di tengah kepanikan, ia melempar bra yang tadi sempat menyebabkan insiden sofa, ke dalam kamar mandi. Anna kemudian mengambil kotak P3K dari nakas di samping tempat tidurnya.
Anna mendekati Kavi yang sudah duduk di sofa. Rendy langsung meminta kotak P3K yang Anna pegang. “Biar saya saja,” ucap Rendy. Anna pun memberikan kotak P3K itu. Saat Rendy membuka kotak obat, Kavi langsung menolak halus.
“Aku bisa sendiri,” ucapnya singkat.
Dengan tenang Kavi membersihkan luka gores di pelipisnya, lalu menempelkan plester luka menggunakan bayangan dirinya yang terlihat dari layar ponsel yang dipegangi Rendy. Gerakannya tenang, rapi, seolah ini bukan pertama kalinya ia merawat dirinya sendiri.
Anna menatapnya lega. Setidaknya, ia tak akan dibawa ke kantor polisi karena kasus “sepatu terbang bersarang di kepala orang kaya.”
“Sekali lagi, saya minta maaf atas kejadian tadi,” ucap Anna, tulus dari lubuk hatinya. “Kalau ternyata butuh pengobatan lebih lanjut, kabari saja. Saya akan tanggung jawab sampai lukamu benar-benar sembuh.” Ia mulai membereskan kekacauan di ruang kosnya. “Kalian bisa lanjutkan urusan kalian. Saya juga harus merapikan tempat ini...”
Kavi mendongak, menatap Anna. "Kau mengusirku?"
"Tidak, tidak. Bukan begitu maksudku. Kau boleh beristirahat dulu di sini. Tapi ya... kondisinya seperti ini..."
“Nona Brianna Izara.” Suaranya dalam dan tenang.
Anna langsung menoleh cepat. Ia menatap Kavi bingung. “Kau mengenalku?”
“Tidak. Tapi secara teknis... iya.”
Anna makin mengernyit. Rendy langsung menyambung, dengan gaya formal yang anehnya cocok dengan ekspresi Kavi yang nyaris tak berubah. “Perkenalkan, saya Rendy. Dan ini—Tuan Bagas Kavi Waradana, bos saya.”
Anna refleks mengulurkan tangan pada Kavi. Namun laki-laki itu hanya mengangguk kecil, tanpa membalas jabatan tangannya. Anna menarik kembali tangannya dengan canggung. Lalu Kavi berkata, datar namun tegas.
“Aku Kavi. Calon suamimu.”
DEG!
Dunia seperti membeku di sekitar Anna. Ia terpaku. Kepalanya seolah dibanjiri ratusan tanda tanya sekaligus.
“Ya Tuhan... apa lagi ini?” serunya dalam hati. “Tidak cukupkah dua masalah saja hari ini? Pemecatanku dan utang Orion sudah membuat aku nyaris gila. Sekarang… muncul pria yang entah dari mana—mengaku sebagai calon suamiku?”
Anna menggeleng pelan, masih mencoba menerima kenyataan yang terasa seperti lelucon level akhir.
*
Dua hari setelah private dinner Anna di Teras Rumah...
“Namanya Brianna Izara,” ujar Rendy sambil menyodorkan map berisi dokumen. “Dia hanya karyawan biasa di perusahaan swasta. Tidak ada hubungan darah atau ikatan apa pun dengan Tuan Besar. Murni pelanggan di Teras Rumah.”
Kavi duduk diam di balik meja kerjanya. Pandangannya tak lepas dari dokumen yang baru saja diterimanya—berkas berisi data pribadi wanita yang dua malam lalu ia lihat menangis di hadapan sang kakek. Beberapa foto rekaman CCTV dari area sekitar rumah memperlihatkan Anna datang sendirian, lalu pulang dengan beberapa kantong plastik, ditemani Erianto hingga ujung gang.
Kavi menatap foto-foto itu dalam diam. Entah kenapa, ekspresi sendu perempuan itu terus membekas di pikirannya.
“Ada satu hal lagi, Bos,” kata Rendy, kali ini suaranya lebih serius. “Berita besar, yang berhubungan langsung dengan Brianna Izara.”
Kavi mengangkat alis, mengalihkan pandangan dari berkas. “Apa?”
“Pak Harris datang ke Teras Rumah kemarin. Katanya, atas permintaan Tuan Besar. Isi surat wasiat sedang direvisi.”
Kavi diam, tapi kini tubuhnya condong sedikit ke depan.
Rendy menatap bosnya, lalu melanjutkan, “Dan yang paling mengejutkan—dalam surat itu tertulis bahwa... Tuan Besar akan mewariskan lima puluh persen saham miliknya kepadamu.”
Kavi tidak langsung bereaksi. Rendy menahan napas sejenak sebelum mengucapkan kalimat terakhir.
“Dengan satu syarat, kau harus menikahi Brianna Izara.”
Kavi terdiam. Tatapan matanya seolah menyimpan badai.
“Tidak masuk akal!” seru Kavi kemudian sambil melemparkan berkas di tangannya ke meja. “Apa maksud Kakek membuat wasiat seperti itu? Apa dia pikir dia bisa mengatur hidupku semaunya?”
Rendy berdiri tenang. “Kenyataannya, Tuan Besar memang bisa, Bos,” jawabnya pelan namun tegas.
Kavi terdiam, tapi dalam dadanya berkecamuk perasaan tidak terima yang sulit dijelaskan. Sebagai salah satu pewaris keluarga Waradana, ia terbiasa memegang kendali. Namun, itu semua tak berlaku bagi sang kakek. Erianto Waradana tak bisa ia lawan.
Sosok tua itu bukan sekadar kepala keluarga—dialah poros dari imperium bisnis lintas benua yang menaungi ratusan anak perusahaan, merajai pasar Asia hingga beberapa negara di Eropa. Dan kini, pria itu menggunakan kekuasaannya bukan untuk menguji cucunya... tapi untuk menekannya.
“Atur waktu,” ucap Kavi tiba-tiba. Tatapannya tajam, nadanya datar. “Aku ingin menyapa calon istriku.”
Rendy hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Bos... kau yakin sudah siap menikah?” tanyanya hati-hati. “Maksudku... ya, saham lima puluh persen itu memang—cukup menggoda. Tapi... ini tentang hidupmu.”
Kavi tidak menjawab. Tatapannya kosong menembus ruangan, tapi rahangnya mengeras.
Bagi dunia luar, Bagas Kavi Waradana dikenal ambisius, haus kekuasaan, dan tidak pernah kalah dalam strategi bisnis. Dan Kavi tak keberatan dicap seperti itu. Namun, ada alasan yang tidak pernah ia beberkan kepada siapa pun. Jika ia menerima syarat pernikahan ini, itu bukan karena ia serakah pada saham. Ia tidak perlu itu—ia sudah kaya, bahkan tanpa warisan.
Tapi ia tahu, banyak mata serigala yang mengincar tahta sang kakek. Penjilat berkedok keluarga. Para pemangsa yang menunggu Erianto lengah. Kavi harus melindungi warisan itu. Bukan karena harta, tapi karena nama. Karena darah. Dan karena seseorang yang diam-diam sangat ia hormati sedang mempercayakan segalanya padanya—dengan taruhan seorang gadis yang bahkan tidak ia kenal. Brianna Izara.
*
Setelah kepergian Kavi dan Rendy dari kamar kosnya, Anna menghabiskan sisa hari dengan berdiam diri. Ia hanya terbaring di sofa, membiarkan tubuhnya hanyut dalam rasa malas. Kamar kosnya tetap berantakan seperti kapal karam. Ia bahkan belum mengganti baju sejak pagi—kemeja kantor yang kusut dan celana bahan yang sudah tak nyaman melekat di tubuhnya. Tak ada semangat. Tak ada tenaga. Seolah hidupnya tertinggal entah di mana.
Ponsel di meja kecil bergetar pelan. Dengan enggan, Anna menggapainya. Layar menampilkan satu nama yang langsung membuat darahnya mendidih.
BEBAN HIDUP. Begitu ia menyimpan nama adiknya, Orion.
“Bocah kurang ajar,” gumam Anna sambil mengetuk layar untuk membaca pesannya.
BEBAN HIDUP
Kak, aku serius soal uang 140 juta itu. Aku benar-benar butuh bantuanmu. Aku akan menjelaskan kenapa aku bisa sampai terjerat utang 140 juta. Tapi nanti, kalau perasaanmu sudah tenang. Yang jelas, kalau aku tidak memberikan kejelasan tentang uang 140 juta itu, aku akan dilaporkan polisi. Kau tidak ingin adikmu ini masuk penjara, kan?
Anna mendecak kesal. Ia duduk tegak, lalu menekan tombol panggil. Nadinya berdenyut makin cepat karena Orion tak langsung mengangkat. Panggilan keempat baru tersambung.
“Sebenarnya penjara tidak terlalu buruk untukmu,” sembur Anna dingin. “Daripada kau mati di tanganku.”
“Kak, jangan begitu... Aku satu-satunya keluargamu,” suara Orion terdengar memelas. “Bukankah keluarga seharusnya saling bantu?”
Anna mengepalkan tangan. Perihal keluarga, justru itulah luka terdalamnya. “Kau bukan keluarga,” desisnya. “Kau cuma beban hidup.” Suaranya nyaris bergetar. Tapi ia menahannya.
“Temui aku besok!” Anna langsung memutus sambungan telepon, tak sudi mendengar jawaban apa pun lagi.
Ia memandangi layar ponsel yang perlahan meredup, lalu melemparnya sembarang ke ujung sofa. Napasnya berat. Dadanya sesak. Bahunya perlahan naik turun... dan air mata pun mulai mengalir diam-diam.
Hari ini ia tak hanya kehilangan pekerjaan. Ia kehilangan harga diri. Harapan. Bahkan rumah tempatnya bersandar kini terasa runtuh—karena satu-satunya orang yang disebutnya keluarga, malah membawa masalah lebih besar dari yang bisa ia tanggung. Anna menutup matanya dengan sebelah lengan. Ia menangis dalam diam. Sendirian. Meratapi keadaan yang kian menghimpitnya. []
Orion duduk diam di samping Anna dalam taksi. Tidak ada percakapan, hanya ada sunyi yang mengisi ruang. Tatapan Anna lurus menembus jendela, seolah dunia di luar sana lebih layak dipedulikan daripada adik kandungnya sendiri.Orion ingin bertanya, tapi ia urungkan. Ia sadar, setelah drama besar beberapa hari lalu, ia tidak punya hak untuk banyak bicara. Apalagi, ia baru menemui Anna tiga hari sejak diminta datang. Saat menjemputnya tadi, Anna hanya mengatakan satu hal, “Ikut aku.” Dan Orion menuruti, meski pikirannya penuh tanda tanya.Taksi berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta, megah dan modern. Orion melirik gedung itu, bingung, lalu buru-buru menyusul Anna yang sudah turun lebih dulu.“Kenapa kita ke rumah sakit? Kau sakit?” tanyanya, heran sekaligus cemas.Anna menggeleng singkat. “Kau harus medical check up. Aku ingin tahu kondisi kesehatanmu secara menyeluruh.”Orion termenung. Ia menatap Anna lama, seperti tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ucapan Anna terdengar sepert
Anna berulang kali meremas ujung bajunya dengan gugup. Perasaannya campur aduk. Bagaimana tidak, tiba-tiba seorang pria bernama Khairan datang ke kosnya, mengaku sebagai sopir pribadi Kavi. Ia membawa kabar duka sekaligus menjemput Anna.Erianto—kakek penjual steak itu meninggal dunia.Hati Anna langsung terasa kosong. Meski mereka hanya bertemu sekali, makan malam bersama Erianto di Teras Rumah menyisakan kesan mendalam yang tak terlupakan. Dalam hidupnya, baru kali itu Anna merasa benar-benar didengar. Dan ironisnya, itu justru dilakukan oleh orang asing—seorang pria tua yang belakangan Anna ketahui adalah kakek Kavi.Anna masih ingat betul momen malam itu. Bagaimana Erianto dengan sabar mendengarkannya menangis, tanpa menghakimi.“Aku merencanakan makan malam ini dari jauh-jauh hari, Kek. Mereka semua senang, tidak sabar ingin ke sini saat tahu aku berhasil reservasi di Teras Rumah. Tapi tiba-tiba mereka membatalkan dan membuat acara sendiri... tanpa memberitahuku,” ucap Anna lirih,
Anna meremas-remas ibu jarinya di atas pangkuan. Kecemasannya makin terasa nyata. Kavi sempat tergerak ingin menenangkan Anna—tangannya bahkan nyaris terulur untuk menyentuh punggung tangan gadis itu. Tapi gerakan itu terhenti, ketika Devan lebih dulu membuka percakapan.“Hai, aku Devan,” sapa pria yang duduk di sebelah Anna. Suaranya tenang, hangat, seperti sedang menyambut tamu kehormatan di tengah rapat keluarga.Anna sempat terkejut, tapi segera membalas ramah, “Anna.” Ia menyambut uluran tangan Devan sambil melempar senyum kecil. Ia menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan cemas yang sedari tadi dirasakannya.Melihat Anna sudah sedikit lebih tenang, Kavi menoleh ke arah Harris dan memberi anggukan kecil. Sebuah isyarat untuk memulai sesi utama.Harris, pengacara keluarga, segera mengambil berkas dari dalam tas kerjanya yang rapi. Ia berdeham ringan, lalu membuka lembaran pertama.“Karena seluruh pihak yang berkepentingan telah hadir, saya akan langsung membacakan surat wasiat
Rendy tetap setia menemani Anna sampai ke mobil. Tatapannya diam-diam memindai wajah Anna, memastikan perempuan itu baik-baik saja setelah meninggalkan ketegangan di balik pintu kediaman Erianto Waradana.“Pasti lega rasanya bisa keluar dari sarang ‘naga’,” celetuk Rendy ringan, mencoba mencairkan suasana.Anna tak bisa menahan senyum tipis. “Aku tidak pernah merasa setegang ini seumur hidupku.”Rendy terkekeh kecil. “Baguslah. Berarti kau lolos uji nyali hari ini. Nanti-nanti kau pasti akan lebih santai menghadapi para ‘naga’ itu.”Anna kembali tersenyum, kali ini sedikit lebih lepas. “Tidak ada alasan juga buatku untuk menemui mereka lagi,” ucapnya sambil melirik ke arah mobil.Khairan sudah membukakan pintu, tapi sebelum Anna sempat melangkah masuk, sebuah tangan menahan pintu dari sisi lain. Anna refleks menoleh dan terkejut melihat Devan berdiri di sana. Tatapan matanya tajam, namun senyum di bibirnya tetap tenang.“Aku yang akan mengantarkanmu pulang,” ucapnya tenang, seakan itu
Kavi mengemudi dengan kecepatan sedang. Suasana di dalam mobil terasa senyap, hanya suara mesin dan angin dari luar jendela yang terdengar samar. Di kursi penumpang, Anna duduk tegak, canggung. Sejak mereka meninggalkan Plumeria Memorial Park, Kavi belum mengucapkan sepatah kata pun. Diamnya bukan diam biasa. Ada ketegangan yang terasa dari raut wajahnya—dan dari caranya memegang kemudi dengan mantap.Aura Kavi yang sejak awal terasa mengintimidasi, sekarang malah lebih menusuk diam-diam. Anna merasakannya—sampai ke kulit. Anehnya, ia tetap menurut ketika Kavi tiba-tiba datang, menariknya dari Devan, dan membawanya pergi tanpa banyak penjelasan. Entah kenapa, Anna merasa... tidak bisa menolak.Kavi, sebaliknya, tampak tenang. Dingin bahkan. Mengemudi tanpa ekspresi, seolah mobil ini hanya kendaraan, bukan ruang penuh ketegangan dua arah.“Kenapa kau pulang bersama Devan?” suara Kavi akhirnya terdengar. Tenang, namun jelas-jelas menyimpan nada tajam. “Tadi aku bilang, biar Khairan yang
Anna berlari menyeberangi jembatan penyeberangan dengan napas memburu. Pikirannya kacau. Keringat membasahi pelipisnya, namun ia tak peduli. Satu jam lalu, ia menerima telepon dari kantor polisi di Ibu Kota. Seorang polisi mengabarkan bahwa adiknya, Orion, ditangkap atas dugaan penipuan. Anna langsung tahu—ini pasti soal utang itu. Masalah yang selama ini terus membayanginya.Ia segera mencari taksi dan memohon agar sopirnya melaju secepat mungkin ke kantor polisi. Tapi sialnya, jalur utama menuju ke sana macet parah akibat kebakaran di kawasan padat. Tak ingin membuang waktu, Anna turun di tengah jalan dan memilih berlari. Menyusuri trotoar, menembus kerumunan, melintasi beberapa blok demi tiba secepat mungkin.Begitu sampai di kantor polisi, Anna langsung menghampiri petugas dan diberi tahu lokasi Orion ditahan. Langkahnya tergesa, napasnya masih tak beraturan saat ia membuka pintu ruang interogasi.DEG!Orion duduk di sana, kepala tertunduk, tangan diborgol, mengenakan baju tahanan
Anna berdiri di depan pintu kamar kosnya, berhadapan dengan Dahlia—pemilik kos yang dari tadi bicara dengan nada tinggi dan ketus. Suara mereka cukup keras hingga beberapa penghuni kamar lain mulai mengintip dari balik pintu. Ada yang berbisik, ada pula yang menatap dengan iba, namun tak satu pun yang cukup peduli untuk ikut campur.“Batas maksimal aku memberi kelonggaran itu cuma dua bulan. Setelah itu mau tidak mau kau harus pergi dari kos ini. Kalau kau masih ingin tinggal di sini, bayar sewa yang tertib!” ujar Dahlia dengan suara tajam.“Saya mohon, Bu Dahlia... beri saya waktu seminggu saja. Saya sedang mencari kerja. Saya janji akan bayar semuanya. Mohon pengertiannya...” Anna membungkuk sedikit, berusaha menahan suaranya agar tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang.“Pengertian?!” Dahlia menyeringai sinis. “Kau pikir aku punya kos ini untuk amal?! Listrik, air, semuanya harus dibayar! Bukan pakai janji!”“Pokoknya besok kau harus keluar atau bayar uang sewa kosmu yang
Anna berdiri membisu di depan cermin ruang ganti, menatap bayangan dirinya sendiri dengan pandangan tak percaya. Tak pernah, seumur hidupnya, ia membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini—mengenakan pakaian yang terasa begitu asing, begitu jauh dari dirinya yang dulu.Rok jeans mini yang membalut bagian bawah tubuhnya nyaris hanya menutupi apa yang memang harus ditutupi. Kemeja top crop putih transparan melekat seperti lapisan tipis kabut, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Hanya strapless bra putih tanpa tali yang menjadi satu-satunya lapisan pelindung terakhir dari harga dirinya.Ada pergolakan hebat dalam dada Anna. “Bukannya ini sama saja dengan aku menjual diri?” bisiknya dalam hati, getir dan penuh sesal.Namun, realita memaksanya berdiri di titik ini. Hidup tak memberinya banyak pilihan. Ketika Sitha menawarinya pekerjaan ini beberapa hari yang lalu, Anna sempat ragu. Tapi rasa takut diusir dari indekos, dan bayangan wajah Orion di balik jeruji besi, membuatnya
“Aku akan menikahi Anna,” ucap Kavi. Suaranya tenang, terkendali—nyaris dingin, seperti keputusan itu telah diperhitungkan dengan baik.Di seberangnya, Anna duduk diam. Tubuhnya tegak, wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, berusaha menyembunyikan gemetar halus yang menyusup lewat ujung jari. Ketegangannya masih sama, walaupun ini sudah kedua kalinya Anna berada di tengah-tengah Keluarga Waradana.“Ini bukan keputusan yang mudah,” lanjut Kavi, tatapannya menyapu seisi ruangan. “Aku tahu mungkin belum semua setuju. Tapi aku yakin, ini yang terbaik untuk Waradana Group.”Seketika ruang keluarga yang luas itu terasa menyusut. Hening, tegang. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara—tak terlihat, tapi menekan.Devan, yang sejak tadi duduk dengan rahang mengeras, akhirnya mengangkat wajah. Matanya tajam menatap Kavi di ujung meja.“Kenapa kau berubah pikiran?” tanyanya. Nada suaranya datar, tapi ada bara yang tersembunyi. “Bukankah kau sudah memutus
Anna keluar dari taksi dengan langkah ringan namun gugup. Blazer hitam dan blus putih yang ia kenakan membuatnya terlihat profesional, seperti pelamar kerja lainnya yang datang ke Semesta Gahana hari itu. Ia baru saja menyelesaikan wawancara kerja di tempat lain, dan kini menuju gedung tinggi tempat Kavi memintanya datang.Tadinya Kavi bilang pada Anna kalau Khairan akan menjemputnya, tapi gadis itu menolak. Ia memilih untuk datang sendiri.Sesampainya di lobi utama, seorang resepsionis menyambutnya dengan ramah. Tapi saat Anna menyebutkan ingin bertemu Kavi, ekspresi resepsionis sedikit bingung.“Maaf, perekrutan terbatas untuk divisi kreatif kami tidak melibatkan Bapak Kavi. Silakan duduk dulu di sana bersama peserta lain. Nanti akan dipanggil satu per satu.”Anna sempat mengerutkan dahi. “Saya... tidak melamar kerja di sini. Saya mau menemui Bapak Kavi.”“Kalau begitu, tunggu sebentar ya,” ujar resepsionis. Namun, sebelum sempat diklarifikasi, seorang staf menyambut dan mengarahkan
Langit adalah batas bagi mereka yang punya kuasa, dan tak ada yang lebih dekat ke langit daripada Semesta Gahana.Ia menjulang di jantung kota Jayapuri—kota megapolitan, ibukota ekonomi, dan simbol kejayaan modern. Kota yang dibangun dari ambisi dan beton. Tempat mereka yang haus kekuasaan bertarung untuk menjadi yang tercepat, terkuat, dan paling diperhitungkan.Di antara para raksasa itulah berdiri PT Semesta Gahana—imperium bisnis yang menjulang nyaris setinggi langit.Dulu, kerajaan ini dipimpin oleh satu nama yang tak tergoyahkan: Erianto Waradana.Ia bukan sekadar pemimpin, ia adalah barometer. Sekali ia mengangguk, perusahaan kecil bisa hidup. Sekali ia menggeleng, bisnis-bisnis bisa runtuh dalam semalam.Tapi sang raja telah tiada.Dan kini, singgasana kosong.Rapat luar biasa Dewan Komisaris diadakan di ruang rapat utama Waradana Tower. Dengan agenda, menetapkan Pelaksana Tugas Direktur Utama. Dan semua orang penting hadir di situ. Termasuk keluarga besar Waradana: Fiki, Selv
Anna berdiri di sudut ruangan kantor polisi ibu kota. Matanya terpaku pada pintu yang masih tertutup rapat. Setiap detik terasa melambat. Kegelisahan semakin menggerogoti perasaan Anna. Ia menahan napas, cemas dan berharap. Keputusan yang ia ambil demi melunasi utang-utang Orion, kini berada di ujung harapan. Semua usaha itu hanya untuk satu hal, melihat adik kesayangannya itu berjalan keluar dari balik jeruji besi.Ketika pintu akhirnya terbuka, Anna melihatnya—Orion, tanpa borgol, tanpa pakaian jingga pudar yang dulu membungkus tubuhnya. Dia bebas. Dan begitu melihatnya, air mata Anna meluncur tanpa bisa dibendung.Orion memandang Anna, tanpa sepatah kata pun. Ia langsung melangkah maju, merangkulnya dalam pelukan erat. Anna tak ragu membalas pelukan itu, menggenggam tubuh Orion seolah takut kehilangan lagi. Mereka berdua saling berpelukan begitu dalam—pelukan yang penuh luka, tapi juga harapan.“Bagaimana kabarmu, bocah nakal?” kata Anna, suara lembutnya penuh kasih sayang, meskipu
Langkah Kavi terdengar ringan menyusuri lorong indekos yang kini sudah terasa seperti rumah kedua baginya. Tidak ada rasa canggung, apalagi ragu. Cara ia membuka pintu, cara ia melangkah masuk, semua dilakukan dengan yakin. Seolah kamar itu memang miliknya. Atau setidaknya, seperti rumah yang sudah menunggunya pulang.Indekos itu sudah tenang. Malam telah turun, dan mayoritas penghuni sepertinya sudah terlelap. Tapi tidak dengan Anna. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. Kavi langsung mengenali bunyi itu—Anna sedang mandi.Ia tersenyum samar, nyaris tak terlihat. Kavi lalu menjatuhkan diri dengan santai ke sofa seperti biasa. Ponselnya terangkat, layar menyala. Ia mulai memeriksa email, menunggu dengan sabar. “Siapa kau?” seru seorang perempuan yang terdengar panik, bingung. Tapi ada juga nada curiga di sana.Aneh. Kavi tidak mengenali suara itu.Ia mendongak. Matanya langsung membelalak. Yang muncul dari kamar mandi bukanlah Anna. Melainkan seorang wanita asing berdiri di
Mobil Kavi terparkir di tepi jalan perbukitan yang menyuguhkan pemandangan city light nan indah. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, tapi semua itu kontras dengan suasana hati Anna sekarang, yang dirundung rasa bersalah begitu pekat. Anna pun tidak mengerti rasa bersalah yang ia rasakan. Entah pada Kavi atau lebih kepada dirinya sendiri. Sudah lebih dari satu jam Kavi membisu, membiarkan Anna menangis sepuasnya. Hingga akhirnya tangis Anna pun mereda. Benar-benar kesunyian yang panjang dirasakan keduanya di dalam mobil itu.“Maafkan aku,” ucap Anna tiba-tiba.“Maaf untuk apa?” Dinginnya nada suara Kavi seolah bisa Anna rasakan sampai menusuk ke tulangnya.“Entahlah... Tapi aku merasa sangat bersalah,” ujar Anna pelan, suaranya bergetar, seperti takut didengar—atau tidak didengar sama sekali.Anna menunduk dalam-dalam. Sambil memegangi topeng Lady Rose di pangkuannya. Topeng yang tadinya ia pikir bisa menyembunyikan jati dirinya. Tapi ternyata Kavi bisa
Perjuangan Anna untuk membebaskan Orion semakin membawanya melangkah lebih jauh. Namun, setiap langkah yang diambilnya kini terasa mencekiknya.Apakah ini harga yang harus dibayar?Begitu banyak perasaan yang bergumul dalam hatinya, dan ia mulai merasa hampir tak bisa lagi membedakan antara harapan dan kehormatan diri. Anna membulatkan tekad. Ia mencoba memfokuskan diri, bahwa tujuannya saat ini hanyalah Orion.Anna meneguk wine yang ada di depannya dengan gerakan cepat, seolah ingin mengusir segala kegelisahan yang menggelayuti. Rasa manis, getir, dan pahitnya wine itu menyatu di lidahnya, seakan mengaburkan pikirannya.Tanpa bisa menahan rasa cemas yang merayap, Anna berdiri dan melangkah ke tengah ruangan, tepat di depan para pria berkelas yang menunggu. Semua kecemasan yang semula membelenggu dirinya seolah lenyap begitu saja. Ia memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan keberadaan Kavi.Dengan gerakan lambat, Anna mulai membuka satu per satu kancing kemeja top crop transparan yang
Meeting santai bersama klien di lounge mewah, ditemani lady escort, sudah menjadi hal lumrah bagi Kavi. Banyak kliennya yang memang menikmati suasana santai sambil ditemani LC cantik—entah itu sekadar untuk minum, bersulang, atau berkaraoke di sela diskusi bisnis.Biasanya, Kavi tak terlalu peduli dengan keberadaan para LC itu. Namun, kali ini berbeda. Sejak seorang LC yang diperkenalkan sebagai Lady Rose melangkah masuk ke private lounge mereka, pandangan Kavi tak bisa lepas darinya. Tanpa ia sadari, wanita di balik topeng cantik dan gaun menggoda itu adalah... Anna.Anna sendiri sempat terhenyak saat melihat sosok Kavi duduk santai di ujung ruangan, dikelilingi tiga kliennya. Namun dengan cepat ia memalingkan wajah, menunduk seolah tak melihat apa pun. Ia berusaha tetap tenang, menelan keterkejutannya bulat-bulat.Ternyata Kavi pun tampak tak menyadari kehadirannya. Ia kembali fokus pada obrolan dengan para kliennya. Anna sedikit bernapas lega. Setidaknya untuk sekarang, ia merasa a
Anna berdiri membisu di depan cermin ruang ganti, menatap bayangan dirinya sendiri dengan pandangan tak percaya. Tak pernah, seumur hidupnya, ia membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini—mengenakan pakaian yang terasa begitu asing, begitu jauh dari dirinya yang dulu.Rok jeans mini yang membalut bagian bawah tubuhnya nyaris hanya menutupi apa yang memang harus ditutupi. Kemeja top crop putih transparan melekat seperti lapisan tipis kabut, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Hanya strapless bra putih tanpa tali yang menjadi satu-satunya lapisan pelindung terakhir dari harga dirinya.Ada pergolakan hebat dalam dada Anna. “Bukannya ini sama saja dengan aku menjual diri?” bisiknya dalam hati, getir dan penuh sesal.Namun, realita memaksanya berdiri di titik ini. Hidup tak memberinya banyak pilihan. Ketika Sitha menawarinya pekerjaan ini beberapa hari yang lalu, Anna sempat ragu. Tapi rasa takut diusir dari indekos, dan bayangan wajah Orion di balik jeruji besi, membuatnya