Mulut Rendy menganga melihat kondisi kamar kos Anna yang berantakan luar biasa. Barang berserakan di mana-mana seperti baru saja terjadi kerusuhan mini. Di dekat ambang pintu, Kavi berdiri diam. Pandangannya menyapu seluruh ruangan tanpa ekspresi. Rendy terpaksa menyingkirkan buku-buku dan baju kotor yang berserakan di lantai agar Kavi bisa lewat.
Anna yang baru masuk belakangan, langsung membekap mulutnya. “Oh shit,” desisnya malu, lalu dengan kikuk menendangi barang-barang yang berserakan di sekitar sofa.
“Kau yakin tidak ingin ke dokter saja, Bos? Tempat ini... kurang steril,” komentar Rendy bergidik, sambil memandangi sekeliling kamar kos yang kacau balau.
“Kos ini biasanya bersih, kok. Cuma... ya, ini tadi... agak berantakan,” elak Anna, mencoba mempertahankan harga dirinya yang tersisa.
“Agak?” sindir Kavi singkat.
“Maksud saya—sangat berantakan. Adik saya penyebabnya. Maaf kalau kalian jadi tidak nyaman.” Anna buru-buru menambahkan, lalu menunjuk ke sofa. “Silakan duduk.”
Kavi menatap sofa itu tanpa bergerak. Alisnya terangkat sedikit. Anna ikut melirik... dan langsung tercekat.
DOENG!
Di atas sofa tergeletak bra miliknya—korban lemparan keranjang cucian kotor tadi. Anna secepat kilat meraih pakaian dalam itu dan menyembunyikannya di balik punggung, wajahnya langsung merah padam.
“Maaf… kosnya bener-bener kacau.” Suaranya nyaris hilang ditelan malu. Rasanya Anna ingin bersembunyi masuk ke inti bumi.
Kavi hanya diam, berdiri tenang.
Anna sempat mencuri pandang ke sosok pria itu. Penampilannya berkelas dengan setelan jas hitam mahal. Barang-barang yang dipakai Kavi jelas dari brand-brand mahal. Rambutnya tertata rapi, tatapannya tajam menusuk, dan posturnya tegap berwibawa. Ia tidak perlu usaha untuk terlihat mengesankan. Bahkan dalam diam pun, Kavi memancarkan pesona yang sulit diabaikan.
“Kau benar punya plester luka? Kening bosku harus segera diobati,” ucap Rendy membuyarkan lamunan Anna.
Anna mengangguk cepat, lalu bergegas ke belakang. Di tengah kepanikan, ia melempar bra yang tadi sempat menyebabkan insiden sofa, ke dalam kamar mandi. Anna kemudian mengambil kotak P3K dari nakas di samping tempat tidurnya.
Anna mendekati Kavi yang sudah duduk di sofa. Rendy langsung meminta kotak P3K yang Anna pegang. “Biar saya saja,” ucap Rendy. Anna pun memberikan kotak P3K itu. Saat Rendy membuka kotak obat, Kavi langsung menolak halus.
“Aku bisa sendiri,” ucapnya singkat.
Dengan tenang Kavi membersihkan luka gores di pelipisnya, lalu menempelkan plester luka menggunakan bayangan dirinya yang terlihat dari layar ponsel yang dipegangi Rendy. Gerakannya tenang, rapi, seolah ini bukan pertama kalinya ia merawat dirinya sendiri.
Anna menatapnya lega. Setidaknya, ia tak akan dibawa ke kantor polisi karena kasus “sepatu terbang bersarang di kepala orang kaya.”
“Sekali lagi, saya minta maaf atas kejadian tadi,” ucap Anna, tulus dari lubuk hatinya. “Kalau ternyata butuh pengobatan lebih lanjut, kabari saja. Saya akan tanggung jawab sampai lukamu benar-benar sembuh.” Ia mulai membereskan kekacauan di ruang kosnya. “Kalian bisa lanjutkan urusan kalian. Saya juga harus merapikan tempat ini...”
Kavi mendongak, menatap Anna. "Kau mengusirku?"
"Tidak, tidak. Bukan begitu maksudku. Kau boleh beristirahat dulu di sini. Tapi ya... kondisinya seperti ini..."
“Nona Brianna Izara.” Suaranya dalam dan tenang.
Anna langsung menoleh cepat. Ia menatap Kavi bingung. “Kau mengenalku?”
“Tidak. Tapi secara teknis... iya.”
Anna makin mengernyit. Rendy langsung menyambung, dengan gaya formal yang anehnya cocok dengan ekspresi Kavi yang nyaris tak berubah. “Perkenalkan, saya Rendy. Dan ini—Tuan Bagas Kavi Waradana, bos saya.”
Anna refleks mengulurkan tangan pada Kavi. Namun laki-laki itu hanya mengangguk kecil, tanpa membalas jabatan tangannya. Anna menarik kembali tangannya dengan canggung. Lalu Kavi berkata, datar namun tegas.
“Aku Kavi. Calon suamimu.”
DEG!
Dunia seperti membeku di sekitar Anna. Ia terpaku. Kepalanya seolah dibanjiri ratusan tanda tanya sekaligus.
“Ya Tuhan... apa lagi ini?” serunya dalam hati. “Tidak cukupkah dua masalah saja hari ini? Pemecatanku dan utang Orion sudah membuat aku nyaris gila. Sekarang… muncul pria yang entah dari mana—mengaku sebagai calon suamiku?”
Anna menggeleng pelan, masih mencoba menerima kenyataan yang terasa seperti lelucon level akhir.
*
Dua hari setelah private dinner Anna di Teras Rumah...
“Namanya Brianna Izara,” ujar Rendy sambil menyodorkan map berisi dokumen. “Dia hanya karyawan biasa di perusahaan swasta. Tidak ada hubungan darah atau ikatan apa pun dengan Tuan Besar. Murni pelanggan di Teras Rumah.”
Kavi duduk diam di balik meja kerjanya. Pandangannya tak lepas dari dokumen yang baru saja diterimanya—berkas berisi data pribadi wanita yang dua malam lalu ia lihat menangis di hadapan sang kakek. Beberapa foto rekaman CCTV dari area sekitar rumah memperlihatkan Anna datang sendirian, lalu pulang dengan beberapa kantong plastik, ditemani Erianto hingga ujung gang.
Kavi menatap foto-foto itu dalam diam. Entah kenapa, ekspresi sendu perempuan itu terus membekas di pikirannya.
“Ada satu hal lagi, Bos,” kata Rendy, kali ini suaranya lebih serius. “Berita besar, yang berhubungan langsung dengan Brianna Izara.”
Kavi mengangkat alis, mengalihkan pandangan dari berkas. “Apa?”
“Pak Harris datang ke Teras Rumah kemarin. Katanya, atas permintaan Tuan Besar. Isi surat wasiat sedang direvisi.”
Kavi diam, tapi kini tubuhnya condong sedikit ke depan.
Rendy menatap bosnya, lalu melanjutkan, “Dan yang paling mengejutkan—dalam surat itu tertulis bahwa... Tuan Besar akan mewariskan lima puluh persen saham miliknya kepadamu.”
Kavi tidak langsung bereaksi. Rendy menahan napas sejenak sebelum mengucapkan kalimat terakhir.
“Dengan satu syarat, kau harus menikahi Brianna Izara.”
Kavi terdiam. Tatapan matanya seolah menyimpan badai.
“Tidak masuk akal!” seru Kavi kemudian sambil melemparkan berkas di tangannya ke meja. “Apa maksud Kakek membuat wasiat seperti itu? Apa dia pikir dia bisa mengatur hidupku semaunya?”
Rendy berdiri tenang. “Kenyataannya, Tuan Besar memang bisa, Bos,” jawabnya pelan namun tegas.
Kavi terdiam, tapi dalam dadanya berkecamuk perasaan tidak terima yang sulit dijelaskan. Sebagai salah satu pewaris keluarga Waradana, ia terbiasa memegang kendali. Namun, itu semua tak berlaku bagi sang kakek. Erianto Waradana tak bisa ia lawan.
Sosok tua itu bukan sekadar kepala keluarga—dialah poros dari imperium bisnis lintas benua yang menaungi ratusan anak perusahaan, merajai pasar Asia hingga beberapa negara di Eropa. Dan kini, pria itu menggunakan kekuasaannya bukan untuk menguji cucunya... tapi untuk menekannya.
“Atur waktu,” ucap Kavi tiba-tiba. Tatapannya tajam, nadanya datar. “Aku ingin menyapa calon istriku.”
Rendy hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Bos... kau yakin sudah siap menikah?” tanyanya hati-hati. “Maksudku... ya, saham lima puluh persen itu memang—cukup menggoda. Tapi... ini tentang hidupmu.”
Kavi tidak menjawab. Tatapannya kosong menembus ruangan, tapi rahangnya mengeras.
Bagi dunia luar, Bagas Kavi Waradana dikenal ambisius, haus kekuasaan, dan tidak pernah kalah dalam strategi bisnis. Dan Kavi tak keberatan dicap seperti itu. Namun, ada alasan yang tidak pernah ia beberkan kepada siapa pun. Jika ia menerima syarat pernikahan ini, itu bukan karena ia serakah pada saham. Ia tidak perlu itu—ia sudah kaya, bahkan tanpa warisan.
Tapi ia tahu, banyak mata serigala yang mengincar tahta sang kakek. Penjilat berkedok keluarga. Para pemangsa yang menunggu Erianto lengah. Kavi harus melindungi warisan itu. Bukan karena harta, tapi karena nama. Karena darah. Dan karena seseorang yang diam-diam sangat ia hormati sedang mempercayakan segalanya padanya—dengan taruhan seorang gadis yang bahkan tidak ia kenal. Brianna Izara.
*
Setelah kepergian Kavi dan Rendy dari kamar kosnya, Anna menghabiskan sisa hari dengan berdiam diri. Ia hanya terbaring di sofa, membiarkan tubuhnya hanyut dalam rasa malas. Kamar kosnya tetap berantakan seperti kapal karam. Ia bahkan belum mengganti baju sejak pagi—kemeja kantor yang kusut dan celana bahan yang sudah tak nyaman melekat di tubuhnya. Tak ada semangat. Tak ada tenaga. Seolah hidupnya tertinggal entah di mana.
Ponsel di meja kecil bergetar pelan. Dengan enggan, Anna menggapainya. Layar menampilkan satu nama yang langsung membuat darahnya mendidih.
BEBAN HIDUP. Begitu ia menyimpan nama adiknya, Orion.
“Bocah kurang ajar,” gumam Anna sambil mengetuk layar untuk membaca pesannya.
BEBAN HIDUP
Kak, aku serius soal uang 140 juta itu. Aku benar-benar butuh bantuanmu. Aku akan menjelaskan kenapa aku bisa sampai terjerat utang 140 juta. Tapi nanti, kalau perasaanmu sudah tenang. Yang jelas, kalau aku tidak memberikan kejelasan tentang uang 140 juta itu, aku akan dilaporkan polisi. Kau tidak ingin adikmu ini masuk penjara, kan?
Anna mendecak kesal. Ia duduk tegak, lalu menekan tombol panggil. Nadinya berdenyut makin cepat karena Orion tak langsung mengangkat. Panggilan keempat baru tersambung.
“Sebenarnya penjara tidak terlalu buruk untukmu,” sembur Anna dingin. “Daripada kau mati di tanganku.”
“Kak, jangan begitu... Aku satu-satunya keluargamu,” suara Orion terdengar memelas. “Bukankah keluarga seharusnya saling bantu?”
Anna mengepalkan tangan. Perihal keluarga, justru itulah luka terdalamnya. “Kau bukan keluarga,” desisnya. “Kau cuma beban hidup.” Suaranya nyaris bergetar. Tapi ia menahannya.
“Temui aku besok!” Anna langsung memutus sambungan telepon, tak sudi mendengar jawaban apa pun lagi.
Ia memandangi layar ponsel yang perlahan meredup, lalu melemparnya sembarang ke ujung sofa. Napasnya berat. Dadanya sesak. Bahunya perlahan naik turun... dan air mata pun mulai mengalir diam-diam.
Hari ini ia tak hanya kehilangan pekerjaan. Ia kehilangan harga diri. Harapan. Bahkan rumah tempatnya bersandar kini terasa runtuh—karena satu-satunya orang yang disebutnya keluarga, malah membawa masalah lebih besar dari yang bisa ia tanggung. Anna menutup matanya dengan sebelah lengan. Ia menangis dalam diam. Sendirian. Meratapi keadaan yang kian menghimpitnya. []
Ruang rias itu sunyi, hanya diisi dentingan halus suara sapuan kuas makeup yang terakhir kali menyentuh pipi Anna. Wajahnya kini terlihat sempurna. Seperti calon pengantin di majalah-majalah.Anna sudah tahu saat ini akan datang, saat ia membuat keputusan bersedia menikah dengan Kavi. Pernikahan ini memang hanya kontrak. Tapi tetap saja membuat Anna gugup.Ketukan pelan di pintu membuat Anna menoleh. MUA-nya juga ikut melirik, lalu membungkuk sopan.“Sebentar ya. Sepertinya ada yang mau ketemu.”Sebelum Anna sempat menjawab, pintu terbuka pelan.Devan berdiri di ambang pintu. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang tertahan di sana.“Boleh aku masuk sebentar?” tanyanya pelan.Anna mengangguk, masih terdiam. MUA pun pamit, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan yang mendadak penuh kecanggungan.Devan berjalan perlahan ke arah Anna. Tak ada suara lain kecuali langkahnya yang bergema lembut di lantai kayu. Ia berdiri di belakang Anna, menatap pantulan perempuan cantik itu di cermin
Deru motor sport Kavi memecah keheningan malam Jayapuri. Mesin menderu ganas, meraung seperti binatang buas yang lapar darah. Helm hitam menutupi wajahnya, tapi api di matanya membara di balik visor.Tujuannya jelas pada satu nama.Steven.Dan malam ini, tidak ada negosiasi.Di parkiran gedung mewah tempat Steven biasa menginap, langkah kaki berat terdengar, memantul di dinding beton. Steven yang sedang merokok menoleh.Ia mengenali sosok itu. Jantungnya mencelos. Tapi bibirnya tetap mencibir. “Kau sudah lihat fotonya, kan? Kasihan. Ternyata kau salah pilih perempuan.”Kavi tak menjawab. Tapi dalam sepersekian detik kemudian... Sebuah pukulan telak mendarat di rahang Steven—keras, cepat, dan brutal.Steven terhuyung, terkapar ke lantai. Tak sempat bernapas, disusul tendangan Kavi menghantam perutnya. Udara keluar dari paru-parunya. Tapi kesadaran Steven belum sepenuhnya hilang.“Apa kau pikir bisa menyentuh Anna dan lolos begitu saja?” suara Kavi nyaris tak terdengar. Tapi dinginnya l
Anna berdiri terpaku di depan deretan gaun pengantin yang berkilau, matanya berbinar-binar seperti anak kecil di toko permen. Hatinya berdebar tak karuan. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa sebentar lagi ia akan menikah. Tak sampai seminggu, ia akan resmi menjadi Nyonya Bagas Kavi Waradana.Seorang desainer menghampirinya sambil membawa gaun yang telah mereka pilih bersama beberapa waktu lalu.“Ini gaunnya, Nona. Silakan dicoba dulu, ya. Kalau ada yang kurang pas, nanti akan kami sesuaikan lagi,” ujarnya ramah.Anna mengangguk pelan. Ia mengikuti sang desainer menuju ruang ganti, pikirannya melayang ke berbagai arah. Desainer dan asistennya membantunya mengenakan gaun itu dengan lembut dan terampil.“Calon suaminya tidak ikut, ya?” tanya si asisten sambil tersenyum. “Biasanya pasangan datang berdua.”“Dia sedang bekerja,” jawab Anna cepat, berusaha menyembunyikan nada getir dalam suaranya. Ya—Kavi bekerja.Begitu gaun melekat sempurna di tubuhnya, Anna menoleh ke cermin besar di hada
Ballroom Hotel Interlux telah dipenuhi oleh kilatan lampu kamera dan gumaman wartawan dari berbagai media nasional. Deretan kursi yang tertata rapi menghadap ke sebuah panggung kecil dengan latar belakang logo Waradana Group dan kain hitam elegan.Para investor undangan duduk tenang, sebagian berbicara pelan, menebak-nebak apa yang akan diumumkan siang itu. Di sisi kanan panggung, perwakilan Dewan Komisaris Waradana Group sudah hadir lebih awal. Wajah-wajah serius mereka menyiratkan betapa penting momen ini.Kursi panel di depan panggung masih kosong. Lalu, pintu utama terbuka.Kavi melangkah masuk dengan langkah tegas, mengenakan setelan jas hitam yang mencerminkan wibawa. Di belakangnya, Haris menyusul dengan map di tangannya. Mereka mengambil tempat di kursi panel. Sedangkan Rendy berdiri di tepi bawah panggung.Suasana ballroom menegang, mikrofon sudah menyala, kamera sudah mengarah.Harris mengambil napas sejenak, lalu berdiri sejenak, membungkuk kecil ke arah hadirin. Ia mengang
Kavi nyaris menerobos pintu rumah sakit ketika mobilnya bahkan belum benar-benar berhenti. Nafasnya tercekat, dadanya sesak oleh kabar yang baru saja diterimanya dari Rendy.Anna. Sesuatu terjadi pada Anna. Sesuatu yang buruk.Langkahnya tergesa, hampir tak menyentuh lantai. Seluruh pertahanan emosional yang selama ini kokoh, runtuh begitu saja. Tujuannya hanya satu, ingin segera melihat Anna.Pintu kamar VVIP itu terbuka kasar. Kavi terhenti sejenak. Dunia mendadak sunyi.Anna terbaring di ranjang rumah sakit dengan mata terpejam. Wajahnya pucat seolah tak ada darah mengalir di balik kulitnya yang seputih kapas. Ada luka di sudut bibirnya. Tubuhnya tampak rapuh, seolah sentuhan sedikit saja bisa membuatnya pecah.Kavi mendidih. Dadanya seperti terbakar, bukan oleh amarah, tapi oleh rasa sakit yang tak mampu ia jelaskan.Di sudut ruangan, Devan berdiri membatu. Tatapannya tertuju pada Anna, menyimpan luka yang tak kalah dalam. Ketika matanya bertemu dengan Kavi, hanya ada diam—ketegan
Berbeda jauh dari Jayapuri yang sombong, Tanah Serut adalah kota yang diam-diam menolak zaman. Letaknya di ujung tenggara negeri, nyaris tak terlihat di peta. Di sini, langit tetap luas karena taka da bangunan yang mencoba menyentuhnya.Malam mulai turun. Jalanan itu sunyi, hanya satu-dua lampu jalan yang berkedip redup. Anna, baru saja pulang dari rumah Sitha, berjalan kaki sambil memeluk tas ke dadanya. Ia memilih jalan pintas—yang ternyata lebih sunyi dari yang ia perkirakan. Angin malam menerpa pipinya, membuatnya sedikit menunduk.Di depannya, jalan itu berubah menjadi lorong gelap yang dinaungi pohon-pohon mahoni tinggi. Cabangnya seperti tangan-tangan tua yang saling berpegangan, menutupi langit. Anna ragu. Tapi ia terus melangkah, berharap pangkalan ojek yang tadi ia lihat masih ada orangnya.Begitu sampai, harapannya pupus. Pangkalan itu kosong. Tak ada suara motor. Tak ada tawa lelaki-lelaki tua yang biasa duduk menunggu penumpang. Hanya ada bangku kayu, dan sebuah lampu tem