Share

BAB 8 | Deep Talk

Penulis: Yulia Ang
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-16 06:11:10

Kavi mengemudi dengan kecepatan sedang. Suasana di dalam mobil terasa senyap, hanya suara mesin dan angin dari luar jendela yang terdengar samar. Di kursi penumpang, Anna duduk tegak, canggung. Sejak mereka meninggalkan Plumeria Memorial Park, Kavi belum mengucapkan sepatah kata pun. Diamnya bukan diam biasa. Ada ketegangan yang terasa dari raut wajahnya—dan dari caranya memegang kemudi dengan mantap.

Aura Kavi yang sejak awal terasa mengintimidasi, sekarang malah lebih menusuk diam-diam. Anna merasakannya—sampai ke kulit. Anehnya, ia tetap menurut ketika Kavi tiba-tiba datang, menariknya dari Devan, dan membawanya pergi tanpa banyak penjelasan. Entah kenapa, Anna merasa... tidak bisa menolak.

Kavi, sebaliknya, tampak tenang. Dingin bahkan. Mengemudi tanpa ekspresi, seolah mobil ini hanya kendaraan, bukan ruang penuh ketegangan dua arah.

“Kenapa kau pulang bersama Devan?” suara Kavi akhirnya terdengar. Tenang, namun jelas-jelas menyimpan nada tajam. “Tadi aku bilang, biar Khairan yang mengantar.”

Anna menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke depan. “Pulang bersama Devan atau Khairan... bukannya sama saja?”

“Beda.”

Satu kata itu saja cukup untuk membuat Anna menoleh penuh. Tapi Kavi tetap menatap lurus ke jalan.

“Devan tertarik padamu,” lanjut Kavi.

Anna terbelalak. Kemudian tertawa—pelan, seperti tidak percaya. “Jangan konyol. Aku baru ketemu Devan hari ini. Bahkan belum kenal dekat. Mana mungkin dia tertarik?”

Kavi menoleh sesaat. Tatapannya menusuk, mengunci pandang Anna. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat Anna terdiam dan buru-buru memalingkan wajah.

“Aku tahu siapa Devan,” lanjut Kavi, masih dengan nada dingin. “Dia jarang tertarik pada perempuan. Dia bukan tipe yang akan menunjukkan perhatian kalau dia tidak benar-benar tertarik. Apalagi sampai mengajakmu ke makam kakek.”

Anna menggigit bibir. Tidak tahu harus menjawab apa. Di kepalanya banyak pertanyaan bermunculan. Kalau memang Devan tertarik... kenapa itu jadi masalah untukmu? Kita juga bukan siapa-siapa.

Seketika ia merasa ingin menanyakannya langsung. Tapi ia tahan.

Alih-alih menjawab, Anna justru bertanya pelan, “Kau bilang... Devan jarang tertarik pada perempuan. Maksudmu... dia tidak normal?”

Kavi menggeleng pelan. “Bukan itu maksudku. Hanya saja... Devan tidak pernah main-main. Dia sangat selektif. Jadi, kalau dia sampai mendekatimu, itu pasti karena dia melihat sesuatu yang penting.”

Sekilas Anna terdiam. Ada campuran rasa tak nyaman, bingung, dan entah kenapa... sedikit terganggu. Tapi bukan oleh Devan—melainkan oleh sikap Kavi yang seolah punya hak menilai, seolah keberadaan Anna di dekat pria lain menjadi urusannya.

Anna menoleh lagi. “Kalau memang begitu, lalu kenapa? Apa salahnya kalau dia tertarik padaku?”

Kali ini, Kavi tak menjawab. Matanya tetap lurus ke depan, wajahnya tak berubah. Dan justru karena diamnya itu—Anna makin yakin, ada sesuatu yang tak diucapkan Kavi.

*

Mobil yang membawa Kavi dan Anna berhenti perlahan di pelataran parkir indekos sederhana tempat Anna tinggal. Begitu mobil benar-benar berhenti, Anna langsung membuka pintu.

“Terima kasih,” ucapnya singkat tanpa menoleh.

Tanpa menunggu respons Kavi, Anna turun dan berjalan cepat menuju bangunan kos. Tak ada basa-basi. Tak ada keinginan memperpanjang interaksi. Karena untuk apa?

Ia bahkan tidak benar-benar tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini. Tadi ia sudah mantap—yakin akan menjalani perjodohan dengan Kavi demi sebuah perjanjian kawin kontrak yang bisa menyelamatkan banyak hal dalam hidupnya. Namun siapa sangka... Kavi justru yang lebih dulu mundur. Anna langsung mengubur dalam-dalam keinginannya mendapatkan uang untuk Orion lewat jalan pintas.

“Bodoh sekali kau, Anna.” Suara hati Anna mulai menggerutu menyakitkan. “Bodoh karena percaya. Bodoh karena berharap. Kau kira dia benar-benar akan menikahimu? Lihat dirimu. Dunia kalian saja beda langit dan bumi.”

Ia mendesah lemah.

Kavi itu ‘pangeran berkuda putih’. Kau? Kau cuma upik abu dari sudut kecil kota. Ini bukan dongeng, dan kau jelas bukan Cinderella.”

Dengan perasaan kacau, Anna terus melangkah hingga sampai di depan kamar kosnya yang kecil dan pengap. Ia mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu membuka pintu itu. Begitu pintu terbuka, ia segera melangkah masuk, hendak menutup kembali dan menelan malam sendirian seperti biasanya.

Namun saat pintu hampir tertutup, tiba-tiba... sesuatu menahannya dari luar. Anna menoleh dengan alis berkerut. Ketika ia melongok keluar, matanya langsung membelalak.

Kavi.

Kavi berdiri di balik pintu itu, diam, dengan sorot mata sulit ditebak.

Anna menatap Kavi bingung sembari membuka pintu kamar kosnya kembali. Belum sampai Anna mempersilakan masuk, Kavi sudah melangkah santai melewati ambang pintu dan masuk ke kamar kos itu, seolah tempat itu adalah miliknya juga.

Tanpa protes, Anna hanya menutup pintu dan mengikuti dari belakang.

“Ada apa?” tanyanya pelan, lalu mempersilakan Kavi duduk di sisi tempat tidurnya yang sempit.

Kavi mengedarkan pandangan. Menyapu setiap sudut kamar.

“Lumayan juga,” gumamnya. “Kupikir akan berantakan.”

Anna menaikkan alis. “Apanya? Oh, kamar kosku?” Anna terkekeh kecil. “Kan aku sudah bilang, biasanya ini bersih dan rapi. Cuma waktu itu saja kacau, gara-gara aku ribut dengan adikku.”

Kavi tak menanggapi. Tatapannya tak berpindah dari tumpukan buku di pojok kamar.

“Kenapa kau ke sini?” tanya Anna akhirnya, memecah hening.

“Aku baru saja mengantarmu pulang,” sahut Kavi enteng.

“Maksudku...” Anna mendesah. “Kenapa kau mengikutiku masuk ke sini?”

Kavi mengangkat wajahnya, menatap Anna lurus. “Memangnya kau tidak penasaran, kenapa aku menolak perjodohan itu?”

Anna terdiam sesaat.

“Dari yang aku dengar di surat wasiat, entah aku atau kau, kita punya hak untuk menolak. Iya, kan?”

Giliran Kavi yang tak menjawab. Matanya masih tertuju pada Anna, mempelajari raut wajah perempuan itu.

“Kalau kau memang memutuskan untuk menolak, aku bisa menghargainya,” lanjut Anna. “Tanpa harus tahu alasanmu.” Ia menarik napas. Matanya sedikit menerawang. “Sebenarnya... aku tidak pernah memasukkan 'menikah' ke dalam daftar tujuan hidupku.”

Kavi mengerutkan kening. “Kenapa?”

Anna menoleh, menatap Kavi dengan ekspresi hambar.

“Pernikahan itu... bukan sesuatu yang berarti buatku. Cuma status. Formalitas.”

Kavi mengernyit, lalu berkata datar, “Orang-orang menganggap pernikahan itu sakral.”

Anna tersenyum tipis, tapi senyumnya penuh luka. “Kalau memang sakral, kenapa banyak yang selingkuh?” Ia menatap Kavi tajam. “Padahal mereka menikah dengan orang yang katanya dicintai, dengan nama Tuhan ikut disebut dalam ikrarnya.” Suara Anna pelan, tapi menusuk.

“Dan itu tidak cuma terjadi pada pasangan yang gagal. Bahkan banyak pasangan bahagia yang tetap berselingkuh.”

Kavi menunduk pelan. Ia tahu, ini bukan sekadar opini. Ini suara dari luka yang dalam.

“Aku tumbuh tanpa figur orang tua yang bisa jadi panutan. Di tempat kerja sebelumnya, selingkuh itu dianggap normal. Mereka punya ‘work husband’ atau ‘work wife’—ya, istilah manis untuk skandal biasa. Klien besar? Kau pasti tahu. Seringkali ada permintaan ‘teman malam’ demi melancarkan proyek.”

Anna menatap Kavi dalam-dalam. Sorot matanya tajam, seakan menantang Kavi membantah semua itu. “Kau pasti lebih paham dari aku soal dunia macam itu...”

Lagi-lagi, Kavi hanya diam. Karena setiap kata yang meluncur dari bibir Anna adalah kebenaran yang tak bisa ia sangkal. Ia tahu betul, dunia bisnis kalangan atas memang tak sebersih yang terlihat. Sisi gelapnya—perempuan penghibur yang dijadikan ‘fasilitas’ dalam negosiasi, eksekutif muda yang lebih sering membawa teman wanitanya ketimbang istri sah dalam perjalanan dinas—semuanya nyata, dan Kavi pernah menyaksikannya sendiri.

“Aku muak, kau tahu?” suara Anna sedikit serak. “Pernah lihat seorang karyawan dibawakan bekal dari rumah oleh istrinya? Tapi di kantor, bekal itu diberikan pada ‘work wife’-nya. Seenaknya. Seolah cinta bisa dipindah tangan kapan saja. Dari situ, aku belajar satu hal, jangan berharap apa-apa dari ikatan bernama pernikahan.”

Kalimat itu mengendap di udara. Tidak ada sanggahan dari Kavi. Hanya tatapan matanya yang sedikit meredup.

Obrolan mereka berlanjut lama malam itu. Tak terasa waktu berjalan, dan entah bagaimana, keduanya sudah larut dalam percakapan yang dalam. Tanpa basa-basi. Tanpa perlu pencitraan. Bagi Anna, Kavi bukan teman ngobrol yang asyik. Tapi dia pendengar yang baik. Jenis orang yang diam-diam menyerap semua cerita, tanpa menyela atau menghakimi. Dan di mata Anna, itu jauh lebih berharga.

Saat Kavi akhirnya pamit dan meninggalkan kamar kosnya, Anna kembali sendiri. Sunyi. Sama seperti sebelumnya. Mungkin itu akan jadi pertemuan terakhir mereka. Tapi Anna tidak menyesal. Ia cukup senang telah mengenal Kavi—laki-laki bermata hazel yang tak banyak bicara, tapi bisa membuatnya merasa didengar. Sama seperti saat ia berbicara dengan mendiang Erianto Waradana... Untuk sesaat, Anna merasa, hidupnya tak seasing biasanya. []

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 25 | Nikah Kontrak

    Ruang rias itu sunyi, hanya diisi dentingan halus suara sapuan kuas makeup yang terakhir kali menyentuh pipi Anna. Wajahnya kini terlihat sempurna. Seperti calon pengantin di majalah-majalah.Anna sudah tahu saat ini akan datang, saat ia membuat keputusan bersedia menikah dengan Kavi. Pernikahan ini memang hanya kontrak. Tapi tetap saja membuat Anna gugup.Ketukan pelan di pintu membuat Anna menoleh. MUA-nya juga ikut melirik, lalu membungkuk sopan.“Sebentar ya. Sepertinya ada yang mau ketemu.”Sebelum Anna sempat menjawab, pintu terbuka pelan.Devan berdiri di ambang pintu. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang tertahan di sana.“Boleh aku masuk sebentar?” tanyanya pelan.Anna mengangguk, masih terdiam. MUA pun pamit, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan yang mendadak penuh kecanggungan.Devan berjalan perlahan ke arah Anna. Tak ada suara lain kecuali langkahnya yang bergema lembut di lantai kayu. Ia berdiri di belakang Anna, menatap pantulan perempuan cantik itu di cermin

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 24 | Sisi Gelap sang Pewaris

    Deru motor sport Kavi memecah keheningan malam Jayapuri. Mesin menderu ganas, meraung seperti binatang buas yang lapar darah. Helm hitam menutupi wajahnya, tapi api di matanya membara di balik visor.Tujuannya jelas pada satu nama.Steven.Dan malam ini, tidak ada negosiasi.Di parkiran gedung mewah tempat Steven biasa menginap, langkah kaki berat terdengar, memantul di dinding beton. Steven yang sedang merokok menoleh.Ia mengenali sosok itu. Jantungnya mencelos. Tapi bibirnya tetap mencibir. “Kau sudah lihat fotonya, kan? Kasihan. Ternyata kau salah pilih perempuan.”Kavi tak menjawab. Tapi dalam sepersekian detik kemudian... Sebuah pukulan telak mendarat di rahang Steven—keras, cepat, dan brutal.Steven terhuyung, terkapar ke lantai. Tak sempat bernapas, disusul tendangan Kavi menghantam perutnya. Udara keluar dari paru-parunya. Tapi kesadaran Steven belum sepenuhnya hilang.“Apa kau pikir bisa menyentuh Anna dan lolos begitu saja?” suara Kavi nyaris tak terdengar. Tapi dinginnya l

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 23 | Dendam Membara

    Anna berdiri terpaku di depan deretan gaun pengantin yang berkilau, matanya berbinar-binar seperti anak kecil di toko permen. Hatinya berdebar tak karuan. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa sebentar lagi ia akan menikah. Tak sampai seminggu, ia akan resmi menjadi Nyonya Bagas Kavi Waradana.Seorang desainer menghampirinya sambil membawa gaun yang telah mereka pilih bersama beberapa waktu lalu.“Ini gaunnya, Nona. Silakan dicoba dulu, ya. Kalau ada yang kurang pas, nanti akan kami sesuaikan lagi,” ujarnya ramah.Anna mengangguk pelan. Ia mengikuti sang desainer menuju ruang ganti, pikirannya melayang ke berbagai arah. Desainer dan asistennya membantunya mengenakan gaun itu dengan lembut dan terampil.“Calon suaminya tidak ikut, ya?” tanya si asisten sambil tersenyum. “Biasanya pasangan datang berdua.”“Dia sedang bekerja,” jawab Anna cepat, berusaha menyembunyikan nada getir dalam suaranya. Ya—Kavi bekerja.Begitu gaun melekat sempurna di tubuhnya, Anna menoleh ke cermin besar di hada

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 22 | Konferensi Pers

    Ballroom Hotel Interlux telah dipenuhi oleh kilatan lampu kamera dan gumaman wartawan dari berbagai media nasional. Deretan kursi yang tertata rapi menghadap ke sebuah panggung kecil dengan latar belakang logo Waradana Group dan kain hitam elegan.Para investor undangan duduk tenang, sebagian berbicara pelan, menebak-nebak apa yang akan diumumkan siang itu. Di sisi kanan panggung, perwakilan Dewan Komisaris Waradana Group sudah hadir lebih awal. Wajah-wajah serius mereka menyiratkan betapa penting momen ini.Kursi panel di depan panggung masih kosong. Lalu, pintu utama terbuka.Kavi melangkah masuk dengan langkah tegas, mengenakan setelan jas hitam yang mencerminkan wibawa. Di belakangnya, Haris menyusul dengan map di tangannya. Mereka mengambil tempat di kursi panel. Sedangkan Rendy berdiri di tepi bawah panggung.Suasana ballroom menegang, mikrofon sudah menyala, kamera sudah mengarah.Harris mengambil napas sejenak, lalu berdiri sejenak, membungkuk kecil ke arah hadirin. Ia mengang

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 21 | She Fell First, He Fell Harder

    Kavi nyaris menerobos pintu rumah sakit ketika mobilnya bahkan belum benar-benar berhenti. Nafasnya tercekat, dadanya sesak oleh kabar yang baru saja diterimanya dari Rendy.Anna. Sesuatu terjadi pada Anna. Sesuatu yang buruk.Langkahnya tergesa, hampir tak menyentuh lantai. Seluruh pertahanan emosional yang selama ini kokoh, runtuh begitu saja. Tujuannya hanya satu, ingin segera melihat Anna.Pintu kamar VVIP itu terbuka kasar. Kavi terhenti sejenak. Dunia mendadak sunyi.Anna terbaring di ranjang rumah sakit dengan mata terpejam. Wajahnya pucat seolah tak ada darah mengalir di balik kulitnya yang seputih kapas. Ada luka di sudut bibirnya. Tubuhnya tampak rapuh, seolah sentuhan sedikit saja bisa membuatnya pecah.Kavi mendidih. Dadanya seperti terbakar, bukan oleh amarah, tapi oleh rasa sakit yang tak mampu ia jelaskan.Di sudut ruangan, Devan berdiri membatu. Tatapannya tertuju pada Anna, menyimpan luka yang tak kalah dalam. Ketika matanya bertemu dengan Kavi, hanya ada diam—ketegan

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 20 | Jeritan di Tanah Serut

    Berbeda jauh dari Jayapuri yang sombong, Tanah Serut adalah kota yang diam-diam menolak zaman. Letaknya di ujung tenggara negeri, nyaris tak terlihat di peta. Di sini, langit tetap luas karena taka da bangunan yang mencoba menyentuhnya.Malam mulai turun. Jalanan itu sunyi, hanya satu-dua lampu jalan yang berkedip redup. Anna, baru saja pulang dari rumah Sitha, berjalan kaki sambil memeluk tas ke dadanya. Ia memilih jalan pintas—yang ternyata lebih sunyi dari yang ia perkirakan. Angin malam menerpa pipinya, membuatnya sedikit menunduk.Di depannya, jalan itu berubah menjadi lorong gelap yang dinaungi pohon-pohon mahoni tinggi. Cabangnya seperti tangan-tangan tua yang saling berpegangan, menutupi langit. Anna ragu. Tapi ia terus melangkah, berharap pangkalan ojek yang tadi ia lihat masih ada orangnya.Begitu sampai, harapannya pupus. Pangkalan itu kosong. Tak ada suara motor. Tak ada tawa lelaki-lelaki tua yang biasa duduk menunggu penumpang. Hanya ada bangku kayu, dan sebuah lampu tem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status