Share

BAB 8 | Deep Talk

Author: Yulia Ang
last update Last Updated: 2024-06-16 06:11:10

Kavi mengemudi dengan kecepatan sedang. Suasana di dalam mobil terasa senyap, hanya suara mesin dan angin dari luar jendela yang terdengar samar. Di kursi penumpang, Anna duduk tegak, canggung. Sejak mereka meninggalkan Plumeria Memorial Park, Kavi belum mengucapkan sepatah kata pun. Diamnya bukan diam biasa. Ada ketegangan yang terasa dari raut wajahnya—dan dari caranya memegang kemudi dengan mantap.

Aura Kavi yang sejak awal terasa mengintimidasi, sekarang malah lebih menusuk diam-diam. Anna merasakannya—sampai ke kulit. Anehnya, ia tetap menurut ketika Kavi tiba-tiba datang, menariknya dari Devan, dan membawanya pergi tanpa banyak penjelasan. Entah kenapa, Anna merasa... tidak bisa menolak.

Kavi, sebaliknya, tampak tenang. Dingin bahkan. Mengemudi tanpa ekspresi, seolah mobil ini hanya kendaraan, bukan ruang penuh ketegangan dua arah.

“Kenapa kau pulang bersama Devan?” suara Kavi akhirnya terdengar. Tenang, namun jelas-jelas menyimpan nada tajam. “Tadi aku bilang, biar Khairan yang mengantar.”

Anna menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke depan. “Pulang bersama Devan atau Khairan... bukannya sama saja?”

“Beda.”

Satu kata itu saja cukup untuk membuat Anna menoleh penuh. Tapi Kavi tetap menatap lurus ke jalan.

“Devan tertarik padamu,” lanjut Kavi.

Anna terbelalak. Kemudian tertawa—pelan, seperti tidak percaya. “Jangan konyol. Aku baru ketemu Devan hari ini. Bahkan belum kenal dekat. Mana mungkin dia tertarik?”

Kavi menoleh sesaat. Tatapannya menusuk, mengunci pandang Anna. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat Anna terdiam dan buru-buru memalingkan wajah.

“Aku tahu siapa Devan,” lanjut Kavi, masih dengan nada dingin. “Dia jarang tertarik pada perempuan. Dia bukan tipe yang akan menunjukkan perhatian kalau dia tidak benar-benar tertarik. Apalagi sampai mengajakmu ke makam kakek.”

Anna menggigit bibir. Tidak tahu harus menjawab apa. Di kepalanya banyak pertanyaan bermunculan. Kalau memang Devan tertarik... kenapa itu jadi masalah untukmu? Kita juga bukan siapa-siapa.

Seketika ia merasa ingin menanyakannya langsung. Tapi ia tahan.

Alih-alih menjawab, Anna justru bertanya pelan, “Kau bilang... Devan jarang tertarik pada perempuan. Maksudmu... dia tidak normal?”

Kavi menggeleng pelan. “Bukan itu maksudku. Hanya saja... Devan tidak pernah main-main. Dia sangat selektif. Jadi, kalau dia sampai mendekatimu, itu pasti karena dia melihat sesuatu yang penting.”

Sekilas Anna terdiam. Ada campuran rasa tak nyaman, bingung, dan entah kenapa... sedikit terganggu. Tapi bukan oleh Devan—melainkan oleh sikap Kavi yang seolah punya hak menilai, seolah keberadaan Anna di dekat pria lain menjadi urusannya.

Anna menoleh lagi. “Kalau memang begitu, lalu kenapa? Apa salahnya kalau dia tertarik padaku?”

Kali ini, Kavi tak menjawab. Matanya tetap lurus ke depan, wajahnya tak berubah. Dan justru karena diamnya itu—Anna makin yakin, ada sesuatu yang tak diucapkan Kavi.

*

Mobil yang membawa Kavi dan Anna berhenti perlahan di pelataran parkir indekos sederhana tempat Anna tinggal. Begitu mobil benar-benar berhenti, Anna langsung membuka pintu.

“Terima kasih,” ucapnya singkat tanpa menoleh.

Tanpa menunggu respons Kavi, Anna turun dan berjalan cepat menuju bangunan kos. Tak ada basa-basi. Tak ada keinginan memperpanjang interaksi. Karena untuk apa?

Ia bahkan tidak benar-benar tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini. Tadi ia sudah mantap—yakin akan menjalani perjodohan dengan Kavi demi sebuah perjanjian kawin kontrak yang bisa menyelamatkan banyak hal dalam hidupnya. Namun siapa sangka... Kavi justru yang lebih dulu mundur. Anna langsung mengubur dalam-dalam keinginannya mendapatkan uang untuk Orion lewat jalan pintas.

“Bodoh sekali kau, Anna.” Suara hati Anna mulai menggerutu menyakitkan. “Bodoh karena percaya. Bodoh karena berharap. Kau kira dia benar-benar akan menikahimu? Lihat dirimu. Dunia kalian saja beda langit dan bumi.”

Ia mendesah lemah.

Kavi itu ‘pangeran berkuda putih’. Kau? Kau cuma upik abu dari sudut kecil kota. Ini bukan dongeng, dan kau jelas bukan Cinderella.”

Dengan perasaan kacau, Anna terus melangkah hingga sampai di depan kamar kosnya yang kecil dan pengap. Ia mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu membuka pintu itu. Begitu pintu terbuka, ia segera melangkah masuk, hendak menutup kembali dan menelan malam sendirian seperti biasanya.

Namun saat pintu hampir tertutup, tiba-tiba... sesuatu menahannya dari luar. Anna menoleh dengan alis berkerut. Ketika ia melongok keluar, matanya langsung membelalak.

Kavi.

Kavi berdiri di balik pintu itu, diam, dengan sorot mata sulit ditebak.

Anna menatap Kavi bingung sembari membuka pintu kamar kosnya kembali. Belum sampai Anna mempersilakan masuk, Kavi sudah melangkah santai melewati ambang pintu dan masuk ke kamar kos itu, seolah tempat itu adalah miliknya juga.

Tanpa protes, Anna hanya menutup pintu dan mengikuti dari belakang.

“Ada apa?” tanyanya pelan, lalu mempersilakan Kavi duduk di sisi tempat tidurnya yang sempit.

Kavi mengedarkan pandangan. Menyapu setiap sudut kamar.

“Lumayan juga,” gumamnya. “Kupikir akan berantakan.”

Anna menaikkan alis. “Apanya? Oh, kamar kosku?” Anna terkekeh kecil. “Kan aku sudah bilang, biasanya ini bersih dan rapi. Cuma waktu itu saja kacau, gara-gara aku ribut dengan adikku.”

Kavi tak menanggapi. Tatapannya tak berpindah dari tumpukan buku di pojok kamar.

“Kenapa kau ke sini?” tanya Anna akhirnya, memecah hening.

“Aku baru saja mengantarmu pulang,” sahut Kavi enteng.

“Maksudku...” Anna mendesah. “Kenapa kau mengikutiku masuk ke sini?”

Kavi mengangkat wajahnya, menatap Anna lurus. “Memangnya kau tidak penasaran, kenapa aku menolak perjodohan itu?”

Anna terdiam sesaat.

“Dari yang aku dengar di surat wasiat, entah aku atau kau, kita punya hak untuk menolak. Iya, kan?”

Giliran Kavi yang tak menjawab. Matanya masih tertuju pada Anna, mempelajari raut wajah perempuan itu.

“Kalau kau memang memutuskan untuk menolak, aku bisa menghargainya,” lanjut Anna. “Tanpa harus tahu alasanmu.” Ia menarik napas. Matanya sedikit menerawang. “Sebenarnya... aku tidak pernah memasukkan 'menikah' ke dalam daftar tujuan hidupku.”

Kavi mengerutkan kening. “Kenapa?”

Anna menoleh, menatap Kavi dengan ekspresi hambar.

“Pernikahan itu... bukan sesuatu yang berarti buatku. Cuma status. Formalitas.”

Kavi mengernyit, lalu berkata datar, “Orang-orang menganggap pernikahan itu sakral.”

Anna tersenyum tipis, tapi senyumnya penuh luka. “Kalau memang sakral, kenapa banyak yang selingkuh?” Ia menatap Kavi tajam. “Padahal mereka menikah dengan orang yang katanya dicintai, dengan nama Tuhan ikut disebut dalam ikrarnya.” Suara Anna pelan, tapi menusuk.

“Dan itu tidak cuma terjadi pada pasangan yang gagal. Bahkan banyak pasangan bahagia yang tetap berselingkuh.”

Kavi menunduk pelan. Ia tahu, ini bukan sekadar opini. Ini suara dari luka yang dalam.

“Aku tumbuh tanpa figur orang tua yang bisa jadi panutan. Di tempat kerja sebelumnya, selingkuh itu dianggap normal. Mereka punya ‘work husband’ atau ‘work wife’—ya, istilah manis untuk skandal biasa. Klien besar? Kau pasti tahu. Seringkali ada permintaan ‘teman malam’ demi melancarkan proyek.”

Anna menatap Kavi dalam-dalam. Sorot matanya tajam, seakan menantang Kavi membantah semua itu. “Kau pasti lebih paham dari aku soal dunia macam itu...”

Lagi-lagi, Kavi hanya diam. Karena setiap kata yang meluncur dari bibir Anna adalah kebenaran yang tak bisa ia sangkal. Ia tahu betul, dunia bisnis kalangan atas memang tak sebersih yang terlihat. Sisi gelapnya—perempuan penghibur yang dijadikan ‘fasilitas’ dalam negosiasi, eksekutif muda yang lebih sering membawa teman wanitanya ketimbang istri sah dalam perjalanan dinas—semuanya nyata, dan Kavi pernah menyaksikannya sendiri.

“Aku muak, kau tahu?” suara Anna sedikit serak. “Pernah lihat seorang karyawan dibawakan bekal dari rumah oleh istrinya? Tapi di kantor, bekal itu diberikan pada ‘work wife’-nya. Seenaknya. Seolah cinta bisa dipindah tangan kapan saja. Dari situ, aku belajar satu hal, jangan berharap apa-apa dari ikatan bernama pernikahan.”

Kalimat itu mengendap di udara. Tidak ada sanggahan dari Kavi. Hanya tatapan matanya yang sedikit meredup.

Obrolan mereka berlanjut lama malam itu. Tak terasa waktu berjalan, dan entah bagaimana, keduanya sudah larut dalam percakapan yang dalam. Tanpa basa-basi. Tanpa perlu pencitraan. Bagi Anna, Kavi bukan teman ngobrol yang asyik. Tapi dia pendengar yang baik. Jenis orang yang diam-diam menyerap semua cerita, tanpa menyela atau menghakimi. Dan di mata Anna, itu jauh lebih berharga.

Saat Kavi akhirnya pamit dan meninggalkan kamar kosnya, Anna kembali sendiri. Sunyi. Sama seperti sebelumnya. Mungkin itu akan jadi pertemuan terakhir mereka. Tapi Anna tidak menyesal. Ia cukup senang telah mengenal Kavi—laki-laki bermata hazel yang tak banyak bicara, tapi bisa membuatnya merasa didengar. Sama seperti saat ia berbicara dengan mendiang Erianto Waradana... Untuk sesaat, Anna merasa, hidupnya tak seasing biasanya. []

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 9 | Beban Bernama Sayang

    Anna berlari menyeberangi jembatan penyeberangan dengan napas memburu. Pikirannya kacau. Keringat membasahi pelipisnya, namun ia tak peduli. Satu jam lalu, ia menerima telepon dari kantor polisi di Ibu Kota. Seorang polisi mengabarkan bahwa adiknya, Orion, ditangkap atas dugaan penipuan. Anna langsung tahu—ini pasti soal utang itu. Masalah yang selama ini terus membayanginya.Ia segera mencari taksi dan memohon agar sopirnya melaju secepat mungkin ke kantor polisi. Tapi sialnya, jalur utama menuju ke sana macet parah akibat kebakaran di kawasan padat. Tak ingin membuang waktu, Anna turun di tengah jalan dan memilih berlari. Menyusuri trotoar, menembus kerumunan, melintasi beberapa blok demi tiba secepat mungkin.Begitu sampai di kantor polisi, Anna langsung menghampiri petugas dan diberi tahu lokasi Orion ditahan. Langkahnya tergesa, napasnya masih tak beraturan saat ia membuka pintu ruang interogasi.DEG!Orion duduk di sana, kepala tertunduk, tangan diborgol, mengenakan baju tahanan

    Last Updated : 2024-06-17
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 10 | Tentang Kebaikan

    Anna berdiri di depan pintu kamar kosnya, berhadapan dengan Dahlia—pemilik kos yang dari tadi bicara dengan nada tinggi dan ketus. Suara mereka cukup keras hingga beberapa penghuni kamar lain mulai mengintip dari balik pintu. Ada yang berbisik, ada pula yang menatap dengan iba, namun tak satu pun yang cukup peduli untuk ikut campur.“Batas maksimal aku memberi kelonggaran itu cuma dua bulan. Setelah itu mau tidak mau kau harus pergi dari kos ini. Kalau kau masih ingin tinggal di sini, bayar sewa yang tertib!” ujar Dahlia dengan suara tajam.“Saya mohon, Bu Dahlia... beri saya waktu seminggu saja. Saya sedang mencari kerja. Saya janji akan bayar semuanya. Mohon pengertiannya...” Anna membungkuk sedikit, berusaha menahan suaranya agar tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang.“Pengertian?!” Dahlia menyeringai sinis. “Kau pikir aku punya kos ini untuk amal?! Listrik, air, semuanya harus dibayar! Bukan pakai janji!”“Pokoknya besok kau harus keluar atau bayar uang sewa kosmu yang

    Last Updated : 2024-06-20
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 11 | Lady Rose

    Anna berdiri membisu di depan cermin ruang ganti, menatap bayangan dirinya sendiri dengan pandangan tak percaya. Tak pernah, seumur hidupnya, ia membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini—mengenakan pakaian yang terasa begitu asing, begitu jauh dari dirinya yang dulu.Rok jeans mini yang membalut bagian bawah tubuhnya nyaris hanya menutupi apa yang memang harus ditutupi. Kemeja top crop putih transparan melekat seperti lapisan tipis kabut, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Hanya strapless bra putih tanpa tali yang menjadi satu-satunya lapisan pelindung terakhir dari harga dirinya.Ada pergolakan hebat dalam dada Anna. “Bukannya ini sama saja dengan aku menjual diri?” bisiknya dalam hati, getir dan penuh sesal.Namun, realita memaksanya berdiri di titik ini. Hidup tak memberinya banyak pilihan. Ketika Sitha menawarinya pekerjaan ini beberapa hari yang lalu, Anna sempat ragu. Tapi rasa takut diusir dari indekos, dan bayangan wajah Orion di balik jeruji besi, membuatnya

    Last Updated : 2024-06-24
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 12 | Di Ambang Runtuhnya Harga Diri

    Meeting santai bersama klien di lounge mewah, ditemani lady escort, sudah menjadi hal lumrah bagi Kavi. Banyak kliennya yang memang menikmati suasana santai sambil ditemani LC cantik—entah itu sekadar untuk minum, bersulang, atau berkaraoke di sela diskusi bisnis.Biasanya, Kavi tak terlalu peduli dengan keberadaan para LC itu. Namun, kali ini berbeda. Sejak seorang LC yang diperkenalkan sebagai Lady Rose melangkah masuk ke private lounge mereka, pandangan Kavi tak bisa lepas darinya. Tanpa ia sadari, wanita di balik topeng cantik dan gaun menggoda itu adalah... Anna.Anna sendiri sempat terhenyak saat melihat sosok Kavi duduk santai di ujung ruangan, dikelilingi tiga kliennya. Namun dengan cepat ia memalingkan wajah, menunduk seolah tak melihat apa pun. Ia berusaha tetap tenang, menelan keterkejutannya bulat-bulat.Ternyata Kavi pun tampak tak menyadari kehadirannya. Ia kembali fokus pada obrolan dengan para kliennya. Anna sedikit bernapas lega. Setidaknya untuk sekarang, ia merasa a

    Last Updated : 2025-04-29
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 13 | Kesatria Berkuda Putih

    Perjuangan Anna untuk membebaskan Orion semakin membawanya melangkah lebih jauh. Namun, setiap langkah yang diambilnya kini terasa mencekiknya.Apakah ini harga yang harus dibayar?Begitu banyak perasaan yang bergumul dalam hatinya, dan ia mulai merasa hampir tak bisa lagi membedakan antara harapan dan kehormatan diri. Anna membulatkan tekad. Ia mencoba memfokuskan diri, bahwa tujuannya saat ini hanyalah Orion.Anna meneguk wine yang ada di depannya dengan gerakan cepat, seolah ingin mengusir segala kegelisahan yang menggelayuti. Rasa manis, getir, dan pahitnya wine itu menyatu di lidahnya, seakan mengaburkan pikirannya.Tanpa bisa menahan rasa cemas yang merayap, Anna berdiri dan melangkah ke tengah ruangan, tepat di depan para pria berkelas yang menunggu. Semua kecemasan yang semula membelenggu dirinya seolah lenyap begitu saja. Ia memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan keberadaan Kavi.Dengan gerakan lambat, Anna mulai membuka satu per satu kancing kemeja top crop transparan yang

    Last Updated : 2025-04-30
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 14 | Runtuhnya Gunung Es

    Mobil Kavi terparkir di tepi jalan perbukitan yang menyuguhkan pemandangan city light nan indah. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, tapi semua itu kontras dengan suasana hati Anna sekarang, yang dirundung rasa bersalah begitu pekat. Anna pun tidak mengerti rasa bersalah yang ia rasakan. Entah pada Kavi atau lebih kepada dirinya sendiri. Sudah lebih dari satu jam Kavi membisu, membiarkan Anna menangis sepuasnya. Hingga akhirnya tangis Anna pun mereda. Benar-benar kesunyian yang panjang dirasakan keduanya di dalam mobil itu.“Maafkan aku,” ucap Anna tiba-tiba.“Maaf untuk apa?” Dinginnya nada suara Kavi seolah bisa Anna rasakan sampai menusuk ke tulangnya.“Entahlah... Tapi aku merasa sangat bersalah,” ujar Anna pelan, suaranya bergetar, seperti takut didengar—atau tidak didengar sama sekali.Anna menunduk dalam-dalam. Sambil memegangi topeng Lady Rose di pangkuannya. Topeng yang tadinya ia pikir bisa menyembunyikan jati dirinya. Tapi ternyata Kavi bisa

    Last Updated : 2025-05-01
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 15 | Salah Kamar

    Langkah Kavi terdengar ringan menyusuri lorong indekos yang kini sudah terasa seperti rumah kedua baginya. Tidak ada rasa canggung, apalagi ragu. Cara ia membuka pintu, cara ia melangkah masuk, semua dilakukan dengan yakin. Seolah kamar itu memang miliknya. Atau setidaknya, seperti rumah yang sudah menunggunya pulang.Indekos itu sudah tenang. Malam telah turun, dan mayoritas penghuni sepertinya sudah terlelap. Tapi tidak dengan Anna. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. Kavi langsung mengenali bunyi itu—Anna sedang mandi.Ia tersenyum samar, nyaris tak terlihat. Kavi lalu menjatuhkan diri dengan santai ke sofa seperti biasa. Ponselnya terangkat, layar menyala. Ia mulai memeriksa email, menunggu dengan sabar. “Siapa kau?” seru seorang perempuan yang terdengar panik, bingung. Tapi ada juga nada curiga di sana.Aneh. Kavi tidak mengenali suara itu.Ia mendongak. Matanya langsung membelalak. Yang muncul dari kamar mandi bukanlah Anna. Melainkan seorang wanita asing berdiri di

    Last Updated : 2025-05-02
  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 16 | Kebebasan Orion

    Anna berdiri di sudut ruangan kantor polisi ibu kota. Matanya terpaku pada pintu yang masih tertutup rapat. Setiap detik terasa melambat. Kegelisahan semakin menggerogoti perasaan Anna. Ia menahan napas, cemas dan berharap. Keputusan yang ia ambil demi melunasi utang-utang Orion, kini berada di ujung harapan. Semua usaha itu hanya untuk satu hal, melihat adik kesayangannya itu berjalan keluar dari balik jeruji besi.Ketika pintu akhirnya terbuka, Anna melihatnya—Orion, tanpa borgol, tanpa pakaian jingga pudar yang dulu membungkus tubuhnya. Dia bebas. Dan begitu melihatnya, air mata Anna meluncur tanpa bisa dibendung.Orion memandang Anna, tanpa sepatah kata pun. Ia langsung melangkah maju, merangkulnya dalam pelukan erat. Anna tak ragu membalas pelukan itu, menggenggam tubuh Orion seolah takut kehilangan lagi. Mereka berdua saling berpelukan begitu dalam—pelukan yang penuh luka, tapi juga harapan.“Bagaimana kabarmu, bocah nakal?” kata Anna, suara lembutnya penuh kasih sayang, meskipu

    Last Updated : 2025-05-03

Latest chapter

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 18 | Salah Ruangan

    Anna keluar dari taksi dengan langkah ringan namun gugup. Blazer hitam dan blus putih yang ia kenakan membuatnya terlihat profesional, seperti pelamar kerja lainnya yang datang ke Semesta Gahana hari itu. Ia baru saja menyelesaikan wawancara kerja di tempat lain, dan kini menuju gedung tinggi tempat Kavi memintanya datang.Tadinya Kavi bilang pada Anna kalau Khairan akan menjemputnya, tapi gadis itu menolak. Ia memilih untuk datang sendiri.Sesampainya di lobi utama, seorang resepsionis menyambutnya dengan ramah. Tapi saat Anna menyebutkan ingin bertemu Kavi, ekspresi resepsionis sedikit bingung.“Maaf, perekrutan terbatas untuk divisi kreatif kami tidak melibatkan Bapak Kavi. Silakan duduk dulu di sana bersama peserta lain. Nanti akan dipanggil satu per satu.”Anna sempat mengerutkan dahi. “Saya... tidak melamar kerja di sini. Saya mau menemui Bapak Kavi.”“Kalau begitu, tunggu sebentar ya,” ujar resepsionis. Namun, sebelum sempat diklarifikasi, seorang staf menyambut dan mengarahkan

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 17 | Semesta Gahana

    Langit adalah batas bagi mereka yang punya kuasa, dan tak ada yang lebih dekat ke langit daripada Semesta Gahana.Ia menjulang di jantung kota Jayapuri—kota megapolitan, ibukota ekonomi, dan simbol kejayaan modern. Kota yang dibangun dari ambisi dan beton. Tempat mereka yang haus kekuasaan bertarung untuk menjadi yang tercepat, terkuat, dan paling diperhitungkan.Di antara para raksasa itulah berdiri PT Semesta Gahana—imperium bisnis yang menjulang nyaris setinggi langit.Dulu, kerajaan ini dipimpin oleh satu nama yang tak tergoyahkan: Erianto Waradana.Ia bukan sekadar pemimpin, ia adalah barometer. Sekali ia mengangguk, perusahaan kecil bisa hidup. Sekali ia menggeleng, bisnis-bisnis bisa runtuh dalam semalam.Tapi sang raja telah tiada.Dan kini, singgasana kosong.Rapat luar biasa Dewan Komisaris diadakan di ruang rapat utama Waradana Tower. Dengan agenda, menetapkan Pelaksana Tugas Direktur Utama. Dan semua orang penting hadir di situ. Termasuk keluarga besar Waradana: Fiki, Selv

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 16 | Kebebasan Orion

    Anna berdiri di sudut ruangan kantor polisi ibu kota. Matanya terpaku pada pintu yang masih tertutup rapat. Setiap detik terasa melambat. Kegelisahan semakin menggerogoti perasaan Anna. Ia menahan napas, cemas dan berharap. Keputusan yang ia ambil demi melunasi utang-utang Orion, kini berada di ujung harapan. Semua usaha itu hanya untuk satu hal, melihat adik kesayangannya itu berjalan keluar dari balik jeruji besi.Ketika pintu akhirnya terbuka, Anna melihatnya—Orion, tanpa borgol, tanpa pakaian jingga pudar yang dulu membungkus tubuhnya. Dia bebas. Dan begitu melihatnya, air mata Anna meluncur tanpa bisa dibendung.Orion memandang Anna, tanpa sepatah kata pun. Ia langsung melangkah maju, merangkulnya dalam pelukan erat. Anna tak ragu membalas pelukan itu, menggenggam tubuh Orion seolah takut kehilangan lagi. Mereka berdua saling berpelukan begitu dalam—pelukan yang penuh luka, tapi juga harapan.“Bagaimana kabarmu, bocah nakal?” kata Anna, suara lembutnya penuh kasih sayang, meskipu

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 15 | Salah Kamar

    Langkah Kavi terdengar ringan menyusuri lorong indekos yang kini sudah terasa seperti rumah kedua baginya. Tidak ada rasa canggung, apalagi ragu. Cara ia membuka pintu, cara ia melangkah masuk, semua dilakukan dengan yakin. Seolah kamar itu memang miliknya. Atau setidaknya, seperti rumah yang sudah menunggunya pulang.Indekos itu sudah tenang. Malam telah turun, dan mayoritas penghuni sepertinya sudah terlelap. Tapi tidak dengan Anna. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. Kavi langsung mengenali bunyi itu—Anna sedang mandi.Ia tersenyum samar, nyaris tak terlihat. Kavi lalu menjatuhkan diri dengan santai ke sofa seperti biasa. Ponselnya terangkat, layar menyala. Ia mulai memeriksa email, menunggu dengan sabar. “Siapa kau?” seru seorang perempuan yang terdengar panik, bingung. Tapi ada juga nada curiga di sana.Aneh. Kavi tidak mengenali suara itu.Ia mendongak. Matanya langsung membelalak. Yang muncul dari kamar mandi bukanlah Anna. Melainkan seorang wanita asing berdiri di

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 14 | Runtuhnya Gunung Es

    Mobil Kavi terparkir di tepi jalan perbukitan yang menyuguhkan pemandangan city light nan indah. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, tapi semua itu kontras dengan suasana hati Anna sekarang, yang dirundung rasa bersalah begitu pekat. Anna pun tidak mengerti rasa bersalah yang ia rasakan. Entah pada Kavi atau lebih kepada dirinya sendiri. Sudah lebih dari satu jam Kavi membisu, membiarkan Anna menangis sepuasnya. Hingga akhirnya tangis Anna pun mereda. Benar-benar kesunyian yang panjang dirasakan keduanya di dalam mobil itu.“Maafkan aku,” ucap Anna tiba-tiba.“Maaf untuk apa?” Dinginnya nada suara Kavi seolah bisa Anna rasakan sampai menusuk ke tulangnya.“Entahlah... Tapi aku merasa sangat bersalah,” ujar Anna pelan, suaranya bergetar, seperti takut didengar—atau tidak didengar sama sekali.Anna menunduk dalam-dalam. Sambil memegangi topeng Lady Rose di pangkuannya. Topeng yang tadinya ia pikir bisa menyembunyikan jati dirinya. Tapi ternyata Kavi bisa

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 13 | Kesatria Berkuda Putih

    Perjuangan Anna untuk membebaskan Orion semakin membawanya melangkah lebih jauh. Namun, setiap langkah yang diambilnya kini terasa mencekiknya.Apakah ini harga yang harus dibayar?Begitu banyak perasaan yang bergumul dalam hatinya, dan ia mulai merasa hampir tak bisa lagi membedakan antara harapan dan kehormatan diri. Anna membulatkan tekad. Ia mencoba memfokuskan diri, bahwa tujuannya saat ini hanyalah Orion.Anna meneguk wine yang ada di depannya dengan gerakan cepat, seolah ingin mengusir segala kegelisahan yang menggelayuti. Rasa manis, getir, dan pahitnya wine itu menyatu di lidahnya, seakan mengaburkan pikirannya.Tanpa bisa menahan rasa cemas yang merayap, Anna berdiri dan melangkah ke tengah ruangan, tepat di depan para pria berkelas yang menunggu. Semua kecemasan yang semula membelenggu dirinya seolah lenyap begitu saja. Ia memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan keberadaan Kavi.Dengan gerakan lambat, Anna mulai membuka satu per satu kancing kemeja top crop transparan yang

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 12 | Di Ambang Runtuhnya Harga Diri

    Meeting santai bersama klien di lounge mewah, ditemani lady escort, sudah menjadi hal lumrah bagi Kavi. Banyak kliennya yang memang menikmati suasana santai sambil ditemani LC cantik—entah itu sekadar untuk minum, bersulang, atau berkaraoke di sela diskusi bisnis.Biasanya, Kavi tak terlalu peduli dengan keberadaan para LC itu. Namun, kali ini berbeda. Sejak seorang LC yang diperkenalkan sebagai Lady Rose melangkah masuk ke private lounge mereka, pandangan Kavi tak bisa lepas darinya. Tanpa ia sadari, wanita di balik topeng cantik dan gaun menggoda itu adalah... Anna.Anna sendiri sempat terhenyak saat melihat sosok Kavi duduk santai di ujung ruangan, dikelilingi tiga kliennya. Namun dengan cepat ia memalingkan wajah, menunduk seolah tak melihat apa pun. Ia berusaha tetap tenang, menelan keterkejutannya bulat-bulat.Ternyata Kavi pun tampak tak menyadari kehadirannya. Ia kembali fokus pada obrolan dengan para kliennya. Anna sedikit bernapas lega. Setidaknya untuk sekarang, ia merasa a

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 11 | Lady Rose

    Anna berdiri membisu di depan cermin ruang ganti, menatap bayangan dirinya sendiri dengan pandangan tak percaya. Tak pernah, seumur hidupnya, ia membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini—mengenakan pakaian yang terasa begitu asing, begitu jauh dari dirinya yang dulu.Rok jeans mini yang membalut bagian bawah tubuhnya nyaris hanya menutupi apa yang memang harus ditutupi. Kemeja top crop putih transparan melekat seperti lapisan tipis kabut, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Hanya strapless bra putih tanpa tali yang menjadi satu-satunya lapisan pelindung terakhir dari harga dirinya.Ada pergolakan hebat dalam dada Anna. “Bukannya ini sama saja dengan aku menjual diri?” bisiknya dalam hati, getir dan penuh sesal.Namun, realita memaksanya berdiri di titik ini. Hidup tak memberinya banyak pilihan. Ketika Sitha menawarinya pekerjaan ini beberapa hari yang lalu, Anna sempat ragu. Tapi rasa takut diusir dari indekos, dan bayangan wajah Orion di balik jeruji besi, membuatnya

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 10 | Tentang Kebaikan

    Anna berdiri di depan pintu kamar kosnya, berhadapan dengan Dahlia—pemilik kos yang dari tadi bicara dengan nada tinggi dan ketus. Suara mereka cukup keras hingga beberapa penghuni kamar lain mulai mengintip dari balik pintu. Ada yang berbisik, ada pula yang menatap dengan iba, namun tak satu pun yang cukup peduli untuk ikut campur.“Batas maksimal aku memberi kelonggaran itu cuma dua bulan. Setelah itu mau tidak mau kau harus pergi dari kos ini. Kalau kau masih ingin tinggal di sini, bayar sewa yang tertib!” ujar Dahlia dengan suara tajam.“Saya mohon, Bu Dahlia... beri saya waktu seminggu saja. Saya sedang mencari kerja. Saya janji akan bayar semuanya. Mohon pengertiannya...” Anna membungkuk sedikit, berusaha menahan suaranya agar tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang.“Pengertian?!” Dahlia menyeringai sinis. “Kau pikir aku punya kos ini untuk amal?! Listrik, air, semuanya harus dibayar! Bukan pakai janji!”“Pokoknya besok kau harus keluar atau bayar uang sewa kosmu yang

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status