Share

BAB 7 | Pemakaman

Penulis: Yulia Ang
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-10 11:19:17

Rendy tetap setia menemani Anna sampai ke mobil. Tatapannya diam-diam memindai wajah Anna, memastikan perempuan itu baik-baik saja setelah meninggalkan ketegangan di balik pintu kediaman Erianto Waradana.

“Pasti lega rasanya bisa keluar dari sarang ‘naga’,” celetuk Rendy ringan, mencoba mencairkan suasana.

Anna tak bisa menahan senyum tipis. “Aku tidak pernah merasa setegang ini seumur hidupku.”

Rendy terkekeh kecil. “Baguslah. Berarti kau lolos uji nyali hari ini. Nanti-nanti kau pasti akan lebih santai menghadapi para ‘naga’ itu.”

Anna kembali tersenyum, kali ini sedikit lebih lepas. “Tidak ada alasan juga buatku untuk menemui mereka lagi,” ucapnya sambil melirik ke arah mobil.

Khairan sudah membukakan pintu, tapi sebelum Anna sempat melangkah masuk, sebuah tangan menahan pintu dari sisi lain. Anna refleks menoleh dan terkejut melihat Devan berdiri di sana. Tatapan matanya tajam, namun senyum di bibirnya tetap tenang.

“Aku yang akan mengantarkanmu pulang,” ucapnya tenang, seakan itu hal yang lumrah.

Rendy mengernyit.

Anna bingung. “Tapi tadi Kavi minta aku—”

“Kavi tak akan keberatan,” potong Devan cepat. “Lagipula, siapa Kavi sampai kau harus menuruti perintahnya?”

Anna sedikit kaku. Ia bisa merasakan aura yang berbeda dari Devan sekarang—bukan sekadar sepupu santai yang ramah, tapi pria Waradana dengan karakter kuat, mungkin juga ambisius. Namun, ucapannya mengandung logika yang sulit disangkal.

Tanpa bicara, Devan meraih tangan Anna dengan lembut namun tegas. Refleks, Anna menepis halus.

“Aku bisa jalan sendiri,” ucapnya datar.

Devan mengangguk pelan, tidak tersinggung. Ia hanya memberi isyarat menuju mobilnya yang terparkir di sisi lain halaman.

Anna menimbang sejenak. Lalu mengangguk dan mengikuti langkah Devan. Rendy hanya bisa memperhatikan dengan diam. Raut wajahnya datar, tapi matanya mengisyaratkan satu hal.

Ini akan jadi masalah.

Tak lama, mobil Devan melaju keluar dari halaman Waradana. Rendy masih berdiri di tempat. Ia tahu kebersamaan Devan dan Anna akan memicu badai yang baru di tengah keluarga Waradana.

Kavi melangkah keluar dari pintu utama dengan langkah cepat. Matanya langsung tertuju pada mobil Khairan yang masih terparkir di tempat. Keningnya mengerut. Tanpa pikir panjang, ia menghampiri Rendy yang berdiri tak jauh dari situ.

“Mana Anna?” tanyanya singkat. “Kenapa Khairan belum jalan?”

Rendy menatap bosnya dengan hati-hati. “Anna pulang bersama Devan.”

Sejenak Kavi terdiam. Hanya satu detik, tapi cukup untuk menunjukkan perubahan di wajahnya. Rahangnya menegang, dan ada kilatan tak suka yang muncul di balik sorot matanya—meskipun ia berusaha menutupi itu semua dengan ekspresi datar.

“Kau pulang bersama Khairan. Aku akan membawa mobilku sendiri,” ucapnya dingin.

Rendy mengangguk, meski ia tahu kalimat Kavi barusan lebih dari sekadar perintah biasa.

“Oke, Bos.”

Kavi berbalik, melangkah menuju sisi lain halaman, tempat mobil pribadinya terparkir. Kavi memasuki mobil dan memasang kacamata hitam. Wajahnya sulit dibaca. Tanpa suara, mesin mobil mewahnya menyala dan melaju keluar halaman rumah Waradana dengan kecepatan yang tak biasa.

*

Sepanjang perjalanan, Anna duduk diam di kursi penumpang. Matanya menatap keluar jendela, tapi pikirannya entah ke mana. Sementara Devan, yang duduk di balik kemudi, beberapa kali mencuri pandang ke arahnya.

“Jangan tegang begitu. Santai saja. Anggap aku temanmu.”

Anna menoleh dan membalas dengan senyum kecil. Canggung. Ia masih belum terbiasa dengan sikap Devan yang terlalu ramah untuk orang yang baru dikenalnya beberapa jam lalu.

Suasana kembali sunyi. Hanya suara mesin dan lalu lintas ringan yang menemani perjalanan.

“Di mana kau kenal kakek?” tanya Devan akhirnya. “Sepertinya kalian cukup dekat. Buktinya... kakek seperhatian itu padamu.”

Anna menoleh lagi, kali ini dengan wajah yang lebih tenang. “Aku cuma ketemu sekali. Waktu itu aku makan malam sendirian di Teras Rumah. Kakekmu duduk menemaniku makan, kami jadi banyak ngobrol malam itu.”

Anna menarik napas. Pandangannya kembali ke luar jendela. “Tapi jujur, itu malam yang berkesan. Aku cerita banyak hal... mungkin terlalu banyak. Rasanya seperti bicara ke kakekku sendiri. Kakekmu mendengarkan, tanpa menghakimi. Itu pengalaman yang langka bagiku.”

Devan mengangguk, tapi ekspresinya sulit ditebak. Ia sedang menimbang-nimbang sesuatu.

Satu kali pertemuan? Dan kakek langsung menitipkan setengah Waradana Group?

Di kepalanya, sesuatu masih terasa janggal. Tapi wajah Anna tak menunjukkan apa-apa selain ketulusan dan sedikit luka.

 “Kau mau kuantar mengunjungi makam Kakek?”

Anna menoleh cepat, sedikit terkejut. “Sekarang?”

“Kenapa tidak? Siapa tahu kau memang ingin ke sana, tapi tidak tahu caranya. Lagipula, kau tak mungkin bisa mengakses area pemakaman keluarga Waradana tanpa pendamping dari keluarga.”

Anna terdiam sejenak. Ada keraguan di matanya, namun lebih karena takut merepotkan.

“Memangnya tidak apa-apa aku ziarah ke sana?” tanyanya.

Devan tersenyum tipis. “Kalau aku keberatan, dari tadi aku sudah bilang.”

Setelah beberapa detik hening, Anna mengangguk setuju. Devan langsung mengarahkan mobil ke kawasan Plumeria Memorial Park. Tak butuh waktu lama hingga mobil mereka berhenti di gerbang utama.

Devan sempat turun sebentar untuk bicara dengan penjaga dan menunjukkan identitas, lalu kembali ke mobil setelah mendapat akses masuk.

“Kita masuk,” ucap Devan sambil melajukan mobil perlahan.

Anna cukup takjub saat menjejakkan kaki di Plumeria Memorial Park. Alih-alih menyeramkan seperti bayangannya, tempat ini justru tampak seperti taman bunga yang sangat terawat. Hamparan rumput hijau dipadukan dengan jalur pejalan kaki dari batu alam, pohon-pohon kamboja berbaris rapi, menjatuhkan kelopak putih di sepanjang jalan setapak.

Ia pernah mendengar bahwa tanah di sini bukan sembarang tanah. Harga per meternya bisa mencapai lima belas juta. Tapi saat ini, angka itu tidak ada artinya dibandingkan perasaan hening yang menyelubungi hatinya.

Mobil Devan berhenti di sebuah komplek pemakaman. Ia turun terlebih dahulu, lalu mempersilakan Anna menyusul. Mereka berjalan pelan ke sebuah pusara yang tanahnya masih basah. Di batu nisan tertulis nama: Erianto Waradana.

Anna terdiam sejenak. Rasanya seperti melihat titik akhir dari cerita yang sempat menyentuh hidupnya—singkat, namun membekas.

“Hai, Kek. Lihat siapa yang kuajak ke sini,” ucap Devan ringan, nyaris seperti sedang bicara dengan seseorang yang masih hidup.

Anna berjongkok, lalu meletakkan buket bunga krisan putih yang tadi dibelinya di jalan. Tangannya menyentuh lembut tanah yang masih gembur, dan ia menunduk dalam-dalam.

“Aku turut berduka atas kepergian Kakekmu. Semoga beliau beristirahat dengan tenang,” ucapnya lirih, tulus dari lubuk hati terdalam.

Beberapa detik hanya sunyi. Angin sore meniupkan aroma bunga kamboja yang jatuh perlahan dari pohon di dekat sana.

Devan akhirnya membuka suara, “Padahal, Kakek berharap kau jadi bagian dari keluarga kami. Aku masih heran kenapa Kavi menolak. Setahuku, dia tidak sedang dekat dengan siapa pun. Dan warisan setengah saham Waradana Group... itu bukan hal kecil bagi seorang seperti Kavi.”

Anna hanya diam mendengar ucapan Devan. Bagi Anna penolakan Kavi tadi memang cukup mengejutkan. Apa lagi saat pertemuan kedua dirinya bersama Kavi belum lama ini, mereka sempat mongobrolkan soal perjodohan itu.

*

Hari itu, Anna sedang kacau. Ia bertengkar hebat dengan Orion di area rumah sakit. Kepalanya penuh amarah dan kecewa, hingga tanpa sadar ia berjalan sembarangan dan nyaris tertabrak mobil boks.

Tapi Kavi datang. Menarik tubuhnya menjauh dari bahaya. Membentaknya karena ceroboh. Tapi saat tangisnya pecah—bukan karena takut, tapi karena terlalu lelah—Kavi mendekapnya. Diam-diam. Mengizinkan Anna menangis di pelukannya.

Mereka duduk di taman kota setelah itu. Hanya berdua. Mengobrol seadanya. Tapi cukup untuk membuat Anna merasa bahwa ada seseorang yang, setidaknya, mencoba mengerti.

Waktu itu, Kavi sempat menyinggung soal perjodohan yang diinginkan sang kakek.

“Aku tidak tahu kenapa Kakek ingin aku menikahimu.” Kavi memulai dengan nada jujur. “Tapi aku akan bicara apa adanya... Kakek menjanjikan setengah saham miliknya untukku—maksudku, untuk kita—kalau kita menikah.”

Anna mengulas senyum tipis. Senyum yang menyimpan letih dan getir sekaligus, dengan wajah masih sembab.

“Rasanya aku masih tak percaya hal seperti ini bisa terjadi di dunia nyata.” Suaranya lirih. “Lihat aku. Aku cuma perempuan biasa, hidup pas-pasan. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Lalu tiba-tiba aku dijodohkan dengan—” Ia menoleh padanya, “—orang kaya sepertimu.”

“Welcome to reality.” Kavi melempar celetukan ringan.

Untuk pertama kalinya, Anna tertawa—kecil dan cepat, tapi tulus. Suasana menjadi sedikit lebih hangat. Namun kemudian Anna kembali serius. “Kau ingin aku jadi istrimu... supaya kau bisa dapat saham itu?”

Kavi tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Anna, seolah sedang membaca sesuatu dari balik sorot matanya.

“Kalau begitu,” lanjut Anna, “apa yang bisa kau berikan sebagai gantinya?”

Kavi tetap diam. Lalu balik bertanya, “Apa yang kau inginkan?”

Anna mengembuskan napas pelan. “Aku ingin uang.”

Kata itu keluar terlalu cepat. Terlalu terang. Mata Anna kosong, tapi bibirnya gemetar saat mengucapkannya. Air matanya kembali merebak, meskipun ia berusaha menahan. Tapi Kavi tak terkejut. Ia bahkan tampak mengantisipasi itu.

“Berapa?” tanya Kavi serius.

Anna tertawa kecil—datar, nyaris seperti mengejek dirinya sendiri. Ia mengusap pipinya yang masih basah.

“Jangan dianggap serius. Aku cuma bercanda. Aku... tidak ingin menikah.”

“Kenapa? Kau sudah punya pacar?”

“Bukan itu.” Pandangan Anna menerawang ke arah taman yang teduh oleh rimbun bunga anyelir dan semilir angin. “Aku cuma tidak punya pikiran untuk menikah dalam waktu dekat. Hidupku saja masih berantakan. Menikah denganmu... mungkin cuma akan membuat semuanya bertambah rumit.”

Kavi terdiam. Ada jeda panjang. Lalu Anna menoleh, menatap mata Kavi.

“Aku juga baru dua puluh empat tahun. Masih terlalu muda untuk mengambil keputusan besar seperti ini, kan?”

Kavi menatap balik. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada rasa iba—atau simpati—yang tidak sempat diucapkan.

“Kalau kau mau,” ucapnya pelan, “tinggal sebut saja nominalnya. Kau bisa minta berapa pun, kalau kau bersedia jadi istriku.”

Kata-kata itu bergema di kepala Anna. Tawarannya menggiurkan. Seperti jalan pintas untuk keluar dari semua kesulitan hidup—dari masalah utang Orion, dari tekanan finansial, dari rasa kalah dan ketidakberdayaan yang selama ini ia telan diam-diam.

Tapi... apakah itu benar-benar jalan keluar?

*

Anna termenung mengingat semua itu. Pandangannya fokus ke pusara Erianto yang teduh. Jiwanya masih berkecamuk saat sebuah suara memanggilnya.

“Anna.”

Suara itu tegas, berat, dan langsung dikenalnya.

Anna menoleh cepat. Begitu juga Devan. Di kejauhan, berdiri sosok Kavi dengan kacamata hitamnya, menatap lurus ke arah mereka. Pandangannya menusuk. Tegas. Penuh tanya. Anna tercekat. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

Kavi ada di sini.

Pria itu melepaskan kaca mata hitamnya, dan dari sorot matanya... Anna tahu, Kavi tidak menyukai apa yang dilihatnya. []

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 25 | Nikah Kontrak

    Ruang rias itu sunyi, hanya diisi dentingan halus suara sapuan kuas makeup yang terakhir kali menyentuh pipi Anna. Wajahnya kini terlihat sempurna. Seperti calon pengantin di majalah-majalah.Anna sudah tahu saat ini akan datang, saat ia membuat keputusan bersedia menikah dengan Kavi. Pernikahan ini memang hanya kontrak. Tapi tetap saja membuat Anna gugup.Ketukan pelan di pintu membuat Anna menoleh. MUA-nya juga ikut melirik, lalu membungkuk sopan.“Sebentar ya. Sepertinya ada yang mau ketemu.”Sebelum Anna sempat menjawab, pintu terbuka pelan.Devan berdiri di ambang pintu. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang tertahan di sana.“Boleh aku masuk sebentar?” tanyanya pelan.Anna mengangguk, masih terdiam. MUA pun pamit, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan yang mendadak penuh kecanggungan.Devan berjalan perlahan ke arah Anna. Tak ada suara lain kecuali langkahnya yang bergema lembut di lantai kayu. Ia berdiri di belakang Anna, menatap pantulan perempuan cantik itu di cermin

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 24 | Sisi Gelap sang Pewaris

    Deru motor sport Kavi memecah keheningan malam Jayapuri. Mesin menderu ganas, meraung seperti binatang buas yang lapar darah. Helm hitam menutupi wajahnya, tapi api di matanya membara di balik visor.Tujuannya jelas pada satu nama.Steven.Dan malam ini, tidak ada negosiasi.Di parkiran gedung mewah tempat Steven biasa menginap, langkah kaki berat terdengar, memantul di dinding beton. Steven yang sedang merokok menoleh.Ia mengenali sosok itu. Jantungnya mencelos. Tapi bibirnya tetap mencibir. “Kau sudah lihat fotonya, kan? Kasihan. Ternyata kau salah pilih perempuan.”Kavi tak menjawab. Tapi dalam sepersekian detik kemudian... Sebuah pukulan telak mendarat di rahang Steven—keras, cepat, dan brutal.Steven terhuyung, terkapar ke lantai. Tak sempat bernapas, disusul tendangan Kavi menghantam perutnya. Udara keluar dari paru-parunya. Tapi kesadaran Steven belum sepenuhnya hilang.“Apa kau pikir bisa menyentuh Anna dan lolos begitu saja?” suara Kavi nyaris tak terdengar. Tapi dinginnya l

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 23 | Dendam Membara

    Anna berdiri terpaku di depan deretan gaun pengantin yang berkilau, matanya berbinar-binar seperti anak kecil di toko permen. Hatinya berdebar tak karuan. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa sebentar lagi ia akan menikah. Tak sampai seminggu, ia akan resmi menjadi Nyonya Bagas Kavi Waradana.Seorang desainer menghampirinya sambil membawa gaun yang telah mereka pilih bersama beberapa waktu lalu.“Ini gaunnya, Nona. Silakan dicoba dulu, ya. Kalau ada yang kurang pas, nanti akan kami sesuaikan lagi,” ujarnya ramah.Anna mengangguk pelan. Ia mengikuti sang desainer menuju ruang ganti, pikirannya melayang ke berbagai arah. Desainer dan asistennya membantunya mengenakan gaun itu dengan lembut dan terampil.“Calon suaminya tidak ikut, ya?” tanya si asisten sambil tersenyum. “Biasanya pasangan datang berdua.”“Dia sedang bekerja,” jawab Anna cepat, berusaha menyembunyikan nada getir dalam suaranya. Ya—Kavi bekerja.Begitu gaun melekat sempurna di tubuhnya, Anna menoleh ke cermin besar di hada

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 22 | Konferensi Pers

    Ballroom Hotel Interlux telah dipenuhi oleh kilatan lampu kamera dan gumaman wartawan dari berbagai media nasional. Deretan kursi yang tertata rapi menghadap ke sebuah panggung kecil dengan latar belakang logo Waradana Group dan kain hitam elegan.Para investor undangan duduk tenang, sebagian berbicara pelan, menebak-nebak apa yang akan diumumkan siang itu. Di sisi kanan panggung, perwakilan Dewan Komisaris Waradana Group sudah hadir lebih awal. Wajah-wajah serius mereka menyiratkan betapa penting momen ini.Kursi panel di depan panggung masih kosong. Lalu, pintu utama terbuka.Kavi melangkah masuk dengan langkah tegas, mengenakan setelan jas hitam yang mencerminkan wibawa. Di belakangnya, Haris menyusul dengan map di tangannya. Mereka mengambil tempat di kursi panel. Sedangkan Rendy berdiri di tepi bawah panggung.Suasana ballroom menegang, mikrofon sudah menyala, kamera sudah mengarah.Harris mengambil napas sejenak, lalu berdiri sejenak, membungkuk kecil ke arah hadirin. Ia mengang

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 21 | She Fell First, He Fell Harder

    Kavi nyaris menerobos pintu rumah sakit ketika mobilnya bahkan belum benar-benar berhenti. Nafasnya tercekat, dadanya sesak oleh kabar yang baru saja diterimanya dari Rendy.Anna. Sesuatu terjadi pada Anna. Sesuatu yang buruk.Langkahnya tergesa, hampir tak menyentuh lantai. Seluruh pertahanan emosional yang selama ini kokoh, runtuh begitu saja. Tujuannya hanya satu, ingin segera melihat Anna.Pintu kamar VVIP itu terbuka kasar. Kavi terhenti sejenak. Dunia mendadak sunyi.Anna terbaring di ranjang rumah sakit dengan mata terpejam. Wajahnya pucat seolah tak ada darah mengalir di balik kulitnya yang seputih kapas. Ada luka di sudut bibirnya. Tubuhnya tampak rapuh, seolah sentuhan sedikit saja bisa membuatnya pecah.Kavi mendidih. Dadanya seperti terbakar, bukan oleh amarah, tapi oleh rasa sakit yang tak mampu ia jelaskan.Di sudut ruangan, Devan berdiri membatu. Tatapannya tertuju pada Anna, menyimpan luka yang tak kalah dalam. Ketika matanya bertemu dengan Kavi, hanya ada diam—ketegan

  • Istri Dadakan sang Pewaris   BAB 20 | Jeritan di Tanah Serut

    Berbeda jauh dari Jayapuri yang sombong, Tanah Serut adalah kota yang diam-diam menolak zaman. Letaknya di ujung tenggara negeri, nyaris tak terlihat di peta. Di sini, langit tetap luas karena taka da bangunan yang mencoba menyentuhnya.Malam mulai turun. Jalanan itu sunyi, hanya satu-dua lampu jalan yang berkedip redup. Anna, baru saja pulang dari rumah Sitha, berjalan kaki sambil memeluk tas ke dadanya. Ia memilih jalan pintas—yang ternyata lebih sunyi dari yang ia perkirakan. Angin malam menerpa pipinya, membuatnya sedikit menunduk.Di depannya, jalan itu berubah menjadi lorong gelap yang dinaungi pohon-pohon mahoni tinggi. Cabangnya seperti tangan-tangan tua yang saling berpegangan, menutupi langit. Anna ragu. Tapi ia terus melangkah, berharap pangkalan ojek yang tadi ia lihat masih ada orangnya.Begitu sampai, harapannya pupus. Pangkalan itu kosong. Tak ada suara motor. Tak ada tawa lelaki-lelaki tua yang biasa duduk menunggu penumpang. Hanya ada bangku kayu, dan sebuah lampu tem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status