Rendy tetap setia menemani Anna sampai ke mobil. Tatapannya diam-diam memindai wajah Anna, memastikan perempuan itu baik-baik saja setelah meninggalkan ketegangan di balik pintu kediaman Erianto Waradana.
“Pasti lega rasanya bisa keluar dari sarang ‘naga’,” celetuk Rendy ringan, mencoba mencairkan suasana.
Anna tak bisa menahan senyum tipis. “Aku tidak pernah merasa setegang ini seumur hidupku.”
Rendy terkekeh kecil. “Baguslah. Berarti kau lolos uji nyali hari ini. Nanti-nanti kau pasti akan lebih santai menghadapi para ‘naga’ itu.”
Anna kembali tersenyum, kali ini sedikit lebih lepas. “Tidak ada alasan juga buatku untuk menemui mereka lagi,” ucapnya sambil melirik ke arah mobil.
Khairan sudah membukakan pintu, tapi sebelum Anna sempat melangkah masuk, sebuah tangan menahan pintu dari sisi lain. Anna refleks menoleh dan terkejut melihat Devan berdiri di sana. Tatapan matanya tajam, namun senyum di bibirnya tetap tenang.
“Aku yang akan mengantarkanmu pulang,” ucapnya tenang, seakan itu hal yang lumrah.
Rendy mengernyit.
Anna bingung. “Tapi tadi Kavi minta aku—”
“Kavi tak akan keberatan,” potong Devan cepat. “Lagipula, siapa Kavi sampai kau harus menuruti perintahnya?”
Anna sedikit kaku. Ia bisa merasakan aura yang berbeda dari Devan sekarang—bukan sekadar sepupu santai yang ramah, tapi pria Waradana dengan karakter kuat, mungkin juga ambisius. Namun, ucapannya mengandung logika yang sulit disangkal.
Tanpa bicara, Devan meraih tangan Anna dengan lembut namun tegas. Refleks, Anna menepis halus.
“Aku bisa jalan sendiri,” ucapnya datar.
Devan mengangguk pelan, tidak tersinggung. Ia hanya memberi isyarat menuju mobilnya yang terparkir di sisi lain halaman.
Anna menimbang sejenak. Lalu mengangguk dan mengikuti langkah Devan. Rendy hanya bisa memperhatikan dengan diam. Raut wajahnya datar, tapi matanya mengisyaratkan satu hal.
Ini akan jadi masalah.
Tak lama, mobil Devan melaju keluar dari halaman Waradana. Rendy masih berdiri di tempat. Ia tahu kebersamaan Devan dan Anna akan memicu badai yang baru di tengah keluarga Waradana.
Kavi melangkah keluar dari pintu utama dengan langkah cepat. Matanya langsung tertuju pada mobil Khairan yang masih terparkir di tempat. Keningnya mengerut. Tanpa pikir panjang, ia menghampiri Rendy yang berdiri tak jauh dari situ.
“Mana Anna?” tanyanya singkat. “Kenapa Khairan belum jalan?”
Rendy menatap bosnya dengan hati-hati. “Anna pulang bersama Devan.”
Sejenak Kavi terdiam. Hanya satu detik, tapi cukup untuk menunjukkan perubahan di wajahnya. Rahangnya menegang, dan ada kilatan tak suka yang muncul di balik sorot matanya—meskipun ia berusaha menutupi itu semua dengan ekspresi datar.
“Kau pulang bersama Khairan. Aku akan membawa mobilku sendiri,” ucapnya dingin.
Rendy mengangguk, meski ia tahu kalimat Kavi barusan lebih dari sekadar perintah biasa.
“Oke, Bos.”
Kavi berbalik, melangkah menuju sisi lain halaman, tempat mobil pribadinya terparkir. Kavi memasuki mobil dan memasang kacamata hitam. Wajahnya sulit dibaca. Tanpa suara, mesin mobil mewahnya menyala dan melaju keluar halaman rumah Waradana dengan kecepatan yang tak biasa.
*
Sepanjang perjalanan, Anna duduk diam di kursi penumpang. Matanya menatap keluar jendela, tapi pikirannya entah ke mana. Sementara Devan, yang duduk di balik kemudi, beberapa kali mencuri pandang ke arahnya.
“Jangan tegang begitu. Santai saja. Anggap aku temanmu.”
Anna menoleh dan membalas dengan senyum kecil. Canggung. Ia masih belum terbiasa dengan sikap Devan yang terlalu ramah untuk orang yang baru dikenalnya beberapa jam lalu.
Suasana kembali sunyi. Hanya suara mesin dan lalu lintas ringan yang menemani perjalanan.
“Di mana kau kenal kakek?” tanya Devan akhirnya. “Sepertinya kalian cukup dekat. Buktinya... kakek seperhatian itu padamu.”
Anna menoleh lagi, kali ini dengan wajah yang lebih tenang. “Aku cuma ketemu sekali. Waktu itu aku makan malam sendirian di Teras Rumah. Kakekmu duduk menemaniku makan, kami jadi banyak ngobrol malam itu.”
Anna menarik napas. Pandangannya kembali ke luar jendela. “Tapi jujur, itu malam yang berkesan. Aku cerita banyak hal... mungkin terlalu banyak. Rasanya seperti bicara ke kakekku sendiri. Kakekmu mendengarkan, tanpa menghakimi. Itu pengalaman yang langka bagiku.”
Devan mengangguk, tapi ekspresinya sulit ditebak. Ia sedang menimbang-nimbang sesuatu.
Satu kali pertemuan? Dan kakek langsung menitipkan setengah Waradana Group?
Di kepalanya, sesuatu masih terasa janggal. Tapi wajah Anna tak menunjukkan apa-apa selain ketulusan dan sedikit luka.
“Kau mau kuantar mengunjungi makam Kakek?”
Anna menoleh cepat, sedikit terkejut. “Sekarang?”
“Kenapa tidak? Siapa tahu kau memang ingin ke sana, tapi tidak tahu caranya. Lagipula, kau tak mungkin bisa mengakses area pemakaman keluarga Waradana tanpa pendamping dari keluarga.”
Anna terdiam sejenak. Ada keraguan di matanya, namun lebih karena takut merepotkan.
“Memangnya tidak apa-apa aku ziarah ke sana?” tanyanya.
Devan tersenyum tipis. “Kalau aku keberatan, dari tadi aku sudah bilang.”
Setelah beberapa detik hening, Anna mengangguk setuju. Devan langsung mengarahkan mobil ke kawasan Plumeria Memorial Park. Tak butuh waktu lama hingga mobil mereka berhenti di gerbang utama.
Devan sempat turun sebentar untuk bicara dengan penjaga dan menunjukkan identitas, lalu kembali ke mobil setelah mendapat akses masuk.
“Kita masuk,” ucap Devan sambil melajukan mobil perlahan.
Anna cukup takjub saat menjejakkan kaki di Plumeria Memorial Park. Alih-alih menyeramkan seperti bayangannya, tempat ini justru tampak seperti taman bunga yang sangat terawat. Hamparan rumput hijau dipadukan dengan jalur pejalan kaki dari batu alam, pohon-pohon kamboja berbaris rapi, menjatuhkan kelopak putih di sepanjang jalan setapak.
Ia pernah mendengar bahwa tanah di sini bukan sembarang tanah. Harga per meternya bisa mencapai lima belas juta. Tapi saat ini, angka itu tidak ada artinya dibandingkan perasaan hening yang menyelubungi hatinya.
Mobil Devan berhenti di sebuah komplek pemakaman. Ia turun terlebih dahulu, lalu mempersilakan Anna menyusul. Mereka berjalan pelan ke sebuah pusara yang tanahnya masih basah. Di batu nisan tertulis nama: Erianto Waradana.
Anna terdiam sejenak. Rasanya seperti melihat titik akhir dari cerita yang sempat menyentuh hidupnya—singkat, namun membekas.
“Hai, Kek. Lihat siapa yang kuajak ke sini,” ucap Devan ringan, nyaris seperti sedang bicara dengan seseorang yang masih hidup.
Anna berjongkok, lalu meletakkan buket bunga krisan putih yang tadi dibelinya di jalan. Tangannya menyentuh lembut tanah yang masih gembur, dan ia menunduk dalam-dalam.
“Aku turut berduka atas kepergian Kakekmu. Semoga beliau beristirahat dengan tenang,” ucapnya lirih, tulus dari lubuk hati terdalam.
Beberapa detik hanya sunyi. Angin sore meniupkan aroma bunga kamboja yang jatuh perlahan dari pohon di dekat sana.
Devan akhirnya membuka suara, “Padahal, Kakek berharap kau jadi bagian dari keluarga kami. Aku masih heran kenapa Kavi menolak. Setahuku, dia tidak sedang dekat dengan siapa pun. Dan warisan setengah saham Waradana Group... itu bukan hal kecil bagi seorang seperti Kavi.”
Anna hanya diam mendengar ucapan Devan. Bagi Anna penolakan Kavi tadi memang cukup mengejutkan. Apa lagi saat pertemuan kedua dirinya bersama Kavi belum lama ini, mereka sempat mongobrolkan soal perjodohan itu.
*
Hari itu, Anna sedang kacau. Ia bertengkar hebat dengan Orion di area rumah sakit. Kepalanya penuh amarah dan kecewa, hingga tanpa sadar ia berjalan sembarangan dan nyaris tertabrak mobil boks.
Tapi Kavi datang. Menarik tubuhnya menjauh dari bahaya. Membentaknya karena ceroboh. Tapi saat tangisnya pecah—bukan karena takut, tapi karena terlalu lelah—Kavi mendekapnya. Diam-diam. Mengizinkan Anna menangis di pelukannya.
Mereka duduk di taman kota setelah itu. Hanya berdua. Mengobrol seadanya. Tapi cukup untuk membuat Anna merasa bahwa ada seseorang yang, setidaknya, mencoba mengerti.
Waktu itu, Kavi sempat menyinggung soal perjodohan yang diinginkan sang kakek.
“Aku tidak tahu kenapa Kakek ingin aku menikahimu.” Kavi memulai dengan nada jujur. “Tapi aku akan bicara apa adanya... Kakek menjanjikan setengah saham miliknya untukku—maksudku, untuk kita—kalau kita menikah.”
Anna mengulas senyum tipis. Senyum yang menyimpan letih dan getir sekaligus, dengan wajah masih sembab.
“Rasanya aku masih tak percaya hal seperti ini bisa terjadi di dunia nyata.” Suaranya lirih. “Lihat aku. Aku cuma perempuan biasa, hidup pas-pasan. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Lalu tiba-tiba aku dijodohkan dengan—” Ia menoleh padanya, “—orang kaya sepertimu.”
“Welcome to reality.” Kavi melempar celetukan ringan.
Untuk pertama kalinya, Anna tertawa—kecil dan cepat, tapi tulus. Suasana menjadi sedikit lebih hangat. Namun kemudian Anna kembali serius. “Kau ingin aku jadi istrimu... supaya kau bisa dapat saham itu?”
Kavi tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Anna, seolah sedang membaca sesuatu dari balik sorot matanya.
“Kalau begitu,” lanjut Anna, “apa yang bisa kau berikan sebagai gantinya?”
Kavi tetap diam. Lalu balik bertanya, “Apa yang kau inginkan?”
Anna mengembuskan napas pelan. “Aku ingin uang.”
Kata itu keluar terlalu cepat. Terlalu terang. Mata Anna kosong, tapi bibirnya gemetar saat mengucapkannya. Air matanya kembali merebak, meskipun ia berusaha menahan. Tapi Kavi tak terkejut. Ia bahkan tampak mengantisipasi itu.
“Berapa?” tanya Kavi serius.
Anna tertawa kecil—datar, nyaris seperti mengejek dirinya sendiri. Ia mengusap pipinya yang masih basah.
“Jangan dianggap serius. Aku cuma bercanda. Aku... tidak ingin menikah.”
“Kenapa? Kau sudah punya pacar?”
“Bukan itu.” Pandangan Anna menerawang ke arah taman yang teduh oleh rimbun bunga anyelir dan semilir angin. “Aku cuma tidak punya pikiran untuk menikah dalam waktu dekat. Hidupku saja masih berantakan. Menikah denganmu... mungkin cuma akan membuat semuanya bertambah rumit.”
Kavi terdiam. Ada jeda panjang. Lalu Anna menoleh, menatap mata Kavi.
“Aku juga baru dua puluh empat tahun. Masih terlalu muda untuk mengambil keputusan besar seperti ini, kan?”
Kavi menatap balik. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada rasa iba—atau simpati—yang tidak sempat diucapkan.
“Kalau kau mau,” ucapnya pelan, “tinggal sebut saja nominalnya. Kau bisa minta berapa pun, kalau kau bersedia jadi istriku.”
Kata-kata itu bergema di kepala Anna. Tawarannya menggiurkan. Seperti jalan pintas untuk keluar dari semua kesulitan hidup—dari masalah utang Orion, dari tekanan finansial, dari rasa kalah dan ketidakberdayaan yang selama ini ia telan diam-diam.
Tapi... apakah itu benar-benar jalan keluar?
*
Anna termenung mengingat semua itu. Pandangannya fokus ke pusara Erianto yang teduh. Jiwanya masih berkecamuk saat sebuah suara memanggilnya.
“Anna.”
Suara itu tegas, berat, dan langsung dikenalnya.
Anna menoleh cepat. Begitu juga Devan. Di kejauhan, berdiri sosok Kavi dengan kacamata hitamnya, menatap lurus ke arah mereka. Pandangannya menusuk. Tegas. Penuh tanya. Anna tercekat. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Kavi ada di sini.
Pria itu melepaskan kaca mata hitamnya, dan dari sorot matanya... Anna tahu, Kavi tidak menyukai apa yang dilihatnya. []
Berbeda jauh dari Jayapuri yang sombong, Tanah Serut adalah kota yang diam-diam menolak zaman. Letaknya di ujung tenggara negeri, nyaris tak terlihat di peta. Di sini, langit tetap luas karena taka da bangunan yang mencoba menyentuhnya.Malam mulai turun. Jalanan itu sunyi, hanya satu-dua lampu jalan yang berkedip redup. Anna, baru saja pulang dari rumah Sitha, berjalan kaki sambil memeluk tas ke dadanya. Ia memilih jalan pintas—yang ternyata lebih sunyi dari yang ia perkirakan. Angin malam menerpa pipinya, membuatnya sedikit menunduk.Di depannya, jalan itu berubah menjadi lorong gelap yang dinaungi pohon-pohon mahoni tinggi. Cabangnya seperti tangan-tangan tua yang saling berpegangan, menutupi langit. Anna ragu. Tapi ia terus melangkah, berharap pangkalan ojek yang tadi ia lihat masih ada orangnya.Begitu sampai, harapannya pupus. Pangkalan itu kosong. Tak ada suara motor. Tak ada tawa lelaki-lelaki tua yang biasa duduk menunggu penumpang. Hanya ada bangku kayu, dan sebuah lampu tem
“Aku akan menikahi Anna,” ucap Kavi. Suaranya tenang, terkendali—nyaris dingin, seperti keputusan itu telah diperhitungkan dengan baik.Di seberangnya, Anna duduk diam. Tubuhnya tegak, wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, berusaha menyembunyikan gemetar halus yang menyusup lewat ujung jari. Ketegangannya masih sama, walaupun ini sudah kedua kalinya Anna berada di tengah-tengah Keluarga Waradana.“Ini bukan keputusan yang mudah,” lanjut Kavi, tatapannya menyapu seisi ruangan. “Aku tahu mungkin belum semua setuju. Tapi aku yakin, ini yang terbaik untuk Waradana Group.”Seketika ruang keluarga yang luas itu terasa menyusut. Hening, tegang. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara—tak terlihat, tapi menekan.Devan, yang sejak tadi duduk dengan rahang mengeras, akhirnya mengangkat wajah. Matanya tajam menatap Kavi di ujung meja.“Kenapa kau berubah pikiran?” tanyanya. Nada suaranya datar, tapi ada bara yang tersembunyi. “Bukankah kau sudah memutus
Anna keluar dari taksi dengan langkah ringan namun gugup. Blazer hitam dan blus putih yang ia kenakan membuatnya terlihat profesional, seperti pelamar kerja lainnya yang datang ke Semesta Gahana hari itu. Ia baru saja menyelesaikan wawancara kerja di tempat lain, dan kini menuju gedung tinggi tempat Kavi memintanya datang.Tadinya Kavi bilang pada Anna kalau Khairan akan menjemputnya, tapi gadis itu menolak. Ia memilih untuk datang sendiri.Sesampainya di lobi utama, seorang resepsionis menyambutnya dengan ramah. Tapi saat Anna menyebutkan ingin bertemu Kavi, ekspresi resepsionis sedikit bingung.“Maaf, perekrutan terbatas untuk divisi kreatif kami tidak melibatkan Bapak Kavi. Silakan duduk dulu di sana bersama peserta lain. Nanti akan dipanggil satu per satu.”Anna sempat mengerutkan dahi. “Saya... tidak melamar kerja di sini. Saya mau menemui Bapak Kavi.”“Kalau begitu, tunggu sebentar ya,” ujar resepsionis. Namun, sebelum sempat diklarifikasi, seorang staf menyambut dan mengarahkan
Langit adalah batas bagi mereka yang punya kuasa, dan tak ada yang lebih dekat ke langit daripada Semesta Gahana.Ia menjulang di jantung kota Jayapuri—kota megapolitan, ibukota ekonomi, dan simbol kejayaan modern. Kota yang dibangun dari ambisi dan beton. Tempat mereka yang haus kekuasaan bertarung untuk menjadi yang tercepat, terkuat, dan paling diperhitungkan.Di antara para raksasa itulah berdiri PT Semesta Gahana—imperium bisnis yang menjulang nyaris setinggi langit.Dulu, kerajaan ini dipimpin oleh satu nama yang tak tergoyahkan: Erianto Waradana.Ia bukan sekadar pemimpin, ia adalah barometer. Sekali ia mengangguk, perusahaan kecil bisa hidup. Sekali ia menggeleng, bisnis-bisnis bisa runtuh dalam semalam.Tapi sang raja telah tiada.Dan kini, singgasana kosong.Rapat luar biasa Dewan Komisaris diadakan di ruang rapat utama Waradana Tower. Dengan agenda, menetapkan Pelaksana Tugas Direktur Utama. Dan semua orang penting hadir di situ. Termasuk keluarga besar Waradana: Fiki, Selv
Anna berdiri di sudut ruangan kantor polisi ibu kota. Matanya terpaku pada pintu yang masih tertutup rapat. Setiap detik terasa melambat. Kegelisahan semakin menggerogoti perasaan Anna. Ia menahan napas, cemas dan berharap. Keputusan yang ia ambil demi melunasi utang-utang Orion, kini berada di ujung harapan. Semua usaha itu hanya untuk satu hal, melihat adik kesayangannya itu berjalan keluar dari balik jeruji besi.Ketika pintu akhirnya terbuka, Anna melihatnya—Orion, tanpa borgol, tanpa pakaian jingga pudar yang dulu membungkus tubuhnya. Dia bebas. Dan begitu melihatnya, air mata Anna meluncur tanpa bisa dibendung.Orion memandang Anna, tanpa sepatah kata pun. Ia langsung melangkah maju, merangkulnya dalam pelukan erat. Anna tak ragu membalas pelukan itu, menggenggam tubuh Orion seolah takut kehilangan lagi. Mereka berdua saling berpelukan begitu dalam—pelukan yang penuh luka, tapi juga harapan.“Bagaimana kabarmu, bocah nakal?” kata Anna, suara lembutnya penuh kasih sayang, meskipu
Langkah Kavi terdengar ringan menyusuri lorong indekos yang kini sudah terasa seperti rumah kedua baginya. Tidak ada rasa canggung, apalagi ragu. Cara ia membuka pintu, cara ia melangkah masuk, semua dilakukan dengan yakin. Seolah kamar itu memang miliknya. Atau setidaknya, seperti rumah yang sudah menunggunya pulang.Indekos itu sudah tenang. Malam telah turun, dan mayoritas penghuni sepertinya sudah terlelap. Tapi tidak dengan Anna. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. Kavi langsung mengenali bunyi itu—Anna sedang mandi.Ia tersenyum samar, nyaris tak terlihat. Kavi lalu menjatuhkan diri dengan santai ke sofa seperti biasa. Ponselnya terangkat, layar menyala. Ia mulai memeriksa email, menunggu dengan sabar. “Siapa kau?” seru seorang perempuan yang terdengar panik, bingung. Tapi ada juga nada curiga di sana.Aneh. Kavi tidak mengenali suara itu.Ia mendongak. Matanya langsung membelalak. Yang muncul dari kamar mandi bukanlah Anna. Melainkan seorang wanita asing berdiri di
Mobil Kavi terparkir di tepi jalan perbukitan yang menyuguhkan pemandangan city light nan indah. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, tapi semua itu kontras dengan suasana hati Anna sekarang, yang dirundung rasa bersalah begitu pekat. Anna pun tidak mengerti rasa bersalah yang ia rasakan. Entah pada Kavi atau lebih kepada dirinya sendiri. Sudah lebih dari satu jam Kavi membisu, membiarkan Anna menangis sepuasnya. Hingga akhirnya tangis Anna pun mereda. Benar-benar kesunyian yang panjang dirasakan keduanya di dalam mobil itu.“Maafkan aku,” ucap Anna tiba-tiba.“Maaf untuk apa?” Dinginnya nada suara Kavi seolah bisa Anna rasakan sampai menusuk ke tulangnya.“Entahlah... Tapi aku merasa sangat bersalah,” ujar Anna pelan, suaranya bergetar, seperti takut didengar—atau tidak didengar sama sekali.Anna menunduk dalam-dalam. Sambil memegangi topeng Lady Rose di pangkuannya. Topeng yang tadinya ia pikir bisa menyembunyikan jati dirinya. Tapi ternyata Kavi bisa
Perjuangan Anna untuk membebaskan Orion semakin membawanya melangkah lebih jauh. Namun, setiap langkah yang diambilnya kini terasa mencekiknya.Apakah ini harga yang harus dibayar?Begitu banyak perasaan yang bergumul dalam hatinya, dan ia mulai merasa hampir tak bisa lagi membedakan antara harapan dan kehormatan diri. Anna membulatkan tekad. Ia mencoba memfokuskan diri, bahwa tujuannya saat ini hanyalah Orion.Anna meneguk wine yang ada di depannya dengan gerakan cepat, seolah ingin mengusir segala kegelisahan yang menggelayuti. Rasa manis, getir, dan pahitnya wine itu menyatu di lidahnya, seakan mengaburkan pikirannya.Tanpa bisa menahan rasa cemas yang merayap, Anna berdiri dan melangkah ke tengah ruangan, tepat di depan para pria berkelas yang menunggu. Semua kecemasan yang semula membelenggu dirinya seolah lenyap begitu saja. Ia memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan keberadaan Kavi.Dengan gerakan lambat, Anna mulai membuka satu per satu kancing kemeja top crop transparan yang
Meeting santai bersama klien di lounge mewah, ditemani lady escort, sudah menjadi hal lumrah bagi Kavi. Banyak kliennya yang memang menikmati suasana santai sambil ditemani LC cantik—entah itu sekadar untuk minum, bersulang, atau berkaraoke di sela diskusi bisnis.Biasanya, Kavi tak terlalu peduli dengan keberadaan para LC itu. Namun, kali ini berbeda. Sejak seorang LC yang diperkenalkan sebagai Lady Rose melangkah masuk ke private lounge mereka, pandangan Kavi tak bisa lepas darinya. Tanpa ia sadari, wanita di balik topeng cantik dan gaun menggoda itu adalah... Anna.Anna sendiri sempat terhenyak saat melihat sosok Kavi duduk santai di ujung ruangan, dikelilingi tiga kliennya. Namun dengan cepat ia memalingkan wajah, menunduk seolah tak melihat apa pun. Ia berusaha tetap tenang, menelan keterkejutannya bulat-bulat.Ternyata Kavi pun tampak tak menyadari kehadirannya. Ia kembali fokus pada obrolan dengan para kliennya. Anna sedikit bernapas lega. Setidaknya untuk sekarang, ia merasa a