Dave berjalan dengan tergesa-gesa hendak menuju ke mobilnya yang terparkir di basement bawah apartemennya. Saat sudah sampai di dalam mobil, ia membanting setirnya dengan keras.
"Argh..."
Ia lantas mencari ponselnya sembari keluar mobil.
"Hallo, Dewi. Terima kasih untuk informasinya. Sorry tadi buru-buru saya tutup teleponnya."
"Enggak apa-apa, Pak Dave. Ngomong-ngomong tidak terjadi sesuatu 'kan dengan istri anda?"
"Untungnya nggak ada apa-apa."
"Kalau Pak Alex bagaimana?" tanya Dewi terdengar cemas.
Dave seketika tersenyum miring dengan ujung bibir tertarik keatas sebelah.
"Kalau kau penasaran coba kau temui langsung saja di rumahnya. Hati-hati, dia sedang dalam pengaruh obat."
Setelah menutup teleponnya, Dave kembali memainkan ponselnya untuk menghubungi orang lain.
Rachel terbangun kala senja datang menyapa. Ia mengejapkan mata berulang kali saat melihat sosok lelaki yang duduk bersandar di sebelah tempat tidurnya. Lelaki yang memiliki rahang tegas dengan bulu-bulu halus tumbuh di sepanjang dagu dan atas mulut ini tidak lain ialah suaminya, Dave. Dave yang tengah sibuk bermain dengan ponselnya itu tidak menyadari kalau Rachel telah sadar dan kini tengah menatap wajahnya dengan kening berkerut. "Kenapa kau bisa ada di kamarku?" tanya Rachel seketika. Dave menoleh setelah mendengar suara Rachel. "Eoh. Kau sudah bangun." "Aku tanya sekali lagi, sedang apa kau di kamarku sekarang?" tanya Rachel seraya menatap tajam Dave. "Saya hanya menemanimu yang tidur sambil menangis." "Aku tidak butuh di temani olehmu. Pergi sana," usir Rachel seraya mendorong pundak Dave.
Rachel tergopoh-gopoh menghampiri Dave yang terus memanggil namanya. "Ada apa sih, Dave?" Begitu Rachel sampai di sampingnya, Dave lantas menyodorkan sebuket bunga mawar merah dengan wajah masam. "Bunga dari siapa ini, Dave?" tanya Rachel sambil mengamati buket itu. Rachel lantas meneliti setiap tangkai bunganya. Ia berharap dapat menemukan secarik kertas di dalam kumpulan bunga-bunga yang di genggamnya. "Tidak ada kartu ucapannya, Dave. Kira-kira dari siapa ya?" gumamnya Rachel makin penasaran. Rachel menoleh ketika mendapati Dave tidak menanggapi perkataannya. Melihat wajah lelaki itu yang membuang mukanya, membuat Rachel menghela napas. "Berikan kepadaku, Dave!" "Apa?" Rachel mengulurkan telapak tangannya sembari matanya melirik-lirik ke belakang punggu
Pada akhirnya Rachel mengabaikan perkataan Dave dan tetap memilih pergi bekerja. Perkataan Rachel pagi itu sangat berpengaruh pada suasana hati Dave seharian ini. Lelaki pirang itu jadi uring-uringan. Saat ada kesalahan sedikit saja yang dilakukan karyawannya, Dave akan langsung marah dan membuat seisi kantor menjadi tegang. Pikirannya saat ini sedang tidak fokus. Berulang kali ia salah dalam mengerjakan sesuatu di layar komputernya. "Argh..." Dave meremas-remas kertas yang ada di dekatnya sambil berteriak frustasi. "Ada apa denganku hari ini?" gumam Dave tanpa sadar. "Harusnya gua yang tanya itu ke lo sekarang, tapi udah ke duluan." Sebuah suara tiba-tiba menginterupsinya, membuat Dave menoleh dengan cepat. Dari arah pintu, Fabio terlihat berdiri di selaan pintu yang sedikit terbuka. Hanya kepalanya yang julur ke dalam ruan
Fabio tersenyum kecil menyadari kerisauan hati Dave. Kerisauan yang sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja Dave menyadari isi hatiya sendiri. Lelaki yang sudah lama mengenal Dave itu hanya bisa memberi saran sambil menepuk pundaknya pelan. "Menunjukkan kepedulian dan perhatian yang besar ke wanita nggak bakal buat lelaki jadi keliatan lemah, Bro. Justru malah sebaliknya." Dave mencerna perkataan Fabio sembari memandangi layar ponselnya. Nampak terlihat kontak Dewi di layarnya yang menyala. Jempol tangannya yang hendak menekan tombol pesan itu pun berhenti untuk beberapa saat. "Baiklah," ucap Dave sambil menghela napas. Dengan gerakan cepat ujung jari Dave beralih. Menekan tombol back lalu bergerak mencari kontak nama lain yang tersimpan di ponselnya. ☆☆☆ Rachel mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan sambil memegang ujung tali ta
"Mbak nggak perlu berpura-pura kaget begitu. Saya tahu semuanya, Mbak. Semuanya yang terjadi di kantor kita," ungkap Dewi tiba-tiba. Senyum di bibir Rachel seketika memudar. Kini matanya tengah tertuju pada wajah Dewi, sembari menerka-nerka kemungkinan apa saja yang telah di ketahui Dewi. "Memangnya apa saja yang telah terjadi di kantor kita?" tanya Rachel berlagak biasa saja. Rachel menutupi kegugupanya dengan gurauan yang di lontarkannya. Dewi seketika berdecak pelan. Ia menyadari tatapan mata Rachel yang nampak waspada. "Saya tahu mbak Rachel sudah bersuami. Dulu saya pikir nggak mungkin mbak ada hubungan sama Pak Alex. Tapi kemarin saya tersadar akan sesuatu hal, " ucap Dewi sembari tersenyum tipis. Dewi mengeleng beberapa kali sambil menghela napas panjang. Tatapan matanya yang tidak lepas dari wajah Rachel, makin membuat Rachel was-was
Mata Alex seketika berkilat seakan tengah terbakar dengan amarah. Rachel lantas menutup kedua matanya saat telapak tangan Alex beranyun hendak menyentuh wajanya. Namun sedetik kemudian ia malah merasakan sapuan lembut di bibirnya. Sesuatu yang kenyal membasahi permukaan bibirnya.. Saat Rachel membuka kedua matanya, ia terkejut melihat wajah Alex berada tepat di depan wajahnya. Alex mendekatkan wajahnya, hendak mencium bibir Rachel. "Hentikan, Lex. Aku mau pulang." Rachel mengeleng, menghindari serangan bertubi-tubi Alex. Ia mencoba mendorong Alex. Namun tenaga Rachel kalah jauh. Terlebih Alex yang menarik pinggangnya. Tubuh keduanya semakin menempel hingga hanya pakaian keduanya saja yang jadi penghalang jarak mereka. Rachel mendongak, tersentak ketika menyadari tubuh bagian bawah Alex menegang. "Kau bisa merasakan bukan? Tubuhku selalu siap
Dengan langkah terseok-seok Rachel berlarian keluar menuju pos satpam. Sebuah mobil banteng ngamuk hitam terlihat terpakir tidak jauh dari pos satpam. Perlahan ia mendekati mobil itu. Saat jaraknya tinggal beberapa langkah kaki lagi, seorang lelaki keluar dari dalam mobil itu. Rachel mengenali sosok lelaki itu yang tidak lain ialah suaminya. "Dari mana saja kamu? Kenapa teleponku tidak satupun kau angkat?" sembur Dave begitu melihat wajah Rachel. "Dave..." Mata hazelnya sontak berkaca-kaca. Ia lantas mempercepat langkahnya. Kemudian berhamburan di pelukan Dave. Sontak tangan Dave reflek membalas pelukan Rachel. "Kenapa baru datang? Aku menunggumu sejak tadi," keluh Rachel sambil terisak kecil. "Saya juga maunya tepat waktu tapi, jalanan tadi macet." Dave terdiam membeku mendengar suara istrinya yang terdengar par
Dave semakin tidak mengerti dengan sikap Rachel yang nampak berbeda dari biasanya. Tatapannya kini terpaku sepenuhnya ke arah Rachel. Menunggu wanita itu menjelaskan maksud dari perkataannya barusan. "Apa kamu ingat tanggal kita menikah?" tanya Rachel terdengar serius. "Ada apa memangnya?" Dave malah bertanya balik ke Rachel. Pertanyaan itu membuat Rachel menghela napas. "Sadarkah kamu, ini sudah bulan ke berapa dari kita menikah?" Dave seketika memutar bola matanya. Ia sendiri juga tidak menyadari waktu berlalu begitu saja dengan cepat. Hingga tak terasa pernikahan mereka sudah berjalan selama 3 bulan lamanya. Dan selama itu pula Dave berusaha menyesuaikan diri, hingga tanpa sadar dirinya sudah mulai terbiasa tinggal bersama Rachel. "Tiga bulan," jawab Dave terdengar santai. "Lantas mau sampai berapa bulan lagi kita h