Rachel hanya mengangkat bahunya sambil memandang Dave seolah mengisyaratkan kalau dirinya tidak tahu.
Walaupun dengan agak terpaksa, Dave tetap mengangkat panggilan telepon dari Kate.
"Hallo, Mah."
"Dave, kamu udah lupa kalau masih punya orang tua ya?" cicit Kate berbicara dengan nyaring.
"Mamah ngomong apa sih? Dave gak ngerti."
"Habisnya kamu nggak pernah kemari lagi. Katanya bakal sering berkunjung, tapi apa nyatanya? Tahu bakal begini, mamah nggak bakal izinkan kamu tinggal di apertement deh."
Dave hanya mengeleng frustasi mendengar keluhan Kate.
"Mah... Bukannya Dave tidak mau kesana, tapi akhir-akhir ini Dave sibuk sama kerjaan di kantor. Mamah malah tambah bikin pusing Dave kalau ngomongnya begitu," keluh Dave sambil memijat pelipisnya.
"Halah... Alasan saja kamu."
"Benera
Perlahan Dave menghentikan tawanya, saat menyadari wajah Rachel mulai merengut."Lainkali jangan membuatku kesal dengan perkataan seperti tadi. Emosiku pasti akan langsung terpancing kalau ada yang menyinggungku dengan sengaja—"Telapak tangan Dave tanpa sadar bergerak mengusap rambut Rachel dengan lembut."Saya memberitahukan kelemahanku ini agar kamu bisa lebih berhati-hati. Jadi jangan di ulangi lagi ya," tegur Dave sembari mengulas senyum.Rachel seketika terdiam membeku ditempatnya. Entah karena usapan lembut tangan Dave di kepalanya atau karena perkataan Dave yang secara tidak sadar membuka diri."Kenapa tidak di jawab? Tidak dengar ya? Apa perlu saya ulangi lagi?"Pertanyaan beruntun Dave, seketika menyadarkan Rachel dari lamunannya. Sontak Rachel mengeleng pelan, membuat Dave mengangkat sebelah alisnya."Eh? Aku dengar
"Kamu mau ngomong apa sih? Itu apanya? Kenapa?" cecar Rachel mulai tak nyaman dengan tatapan Dave.Dave terlihat salah tingkah. Mengusap ujung rambut depannya sembari tersenyum tipis."Kamu pakai riasan ya?""Iya. Ketebelan ya?" tanya Rachel seraya melihat kaca spion mobil."Enggak. Cantik kok," balas Dave pelan."Hah?"Dengan cepat kepala Dave beralih memandang lurus ke depan, mengabaikan Rachel yang tengah menatapnya heran."Sudah ayo, cepat pakai selt belt-nya. Kita harus sampai di sana sebelum jam makan makan," tegur Dave sambil menyalakan mobilnya."Memangnya kenapa kalau kita sampai ke sananya agak malam?" tanya Rachel sambil memakai sabuk pengaman."Ya, enggak enak saja kalau datang ke malaman. Mamah pasti inginnya kita ikut makan malam bersamanya."Rachel hanya mengang
Suara gemericik air menandakan ada seseorang yang tengah mandi di dalam kamar pribadi Dave. Tidak berselang lama, Dave keluar dengan handuk yang membelit tubuhnya. Ekor matanya melihat seseorang terbating di sofa, membuat tubuhnya tertarik untuk mendekat.Orang yang terbaring itu tidak lain Rachel, istrinya sendiri.Ia melihat Rachel terbaring di sofa dengan kaki dan tangan yang terlentang."Kenapa malah tidur di sofa?" gumam Dave pelan.Dave hendak memindahkan tubuh Rachel dan membawanya ke atas ranjang. Namun mata Rachel seketika terbuka saat Dave mengangkatnya.Kedua mata mereka saling bertemu pandang. Dave yang terkejut saat melihat mata Rachel hingga tidak sengaja menjatuhkan Rachel kembali ke sofa."Aduh... Duh... Pinggangku," rintih Rachel seketika.Dave mengejapkan kedua matanya berulang kali, masih berusaha menetralkan diri dari
Dave hanya bisa merengut sambil mengerucutkan bibirnya. Ia akan selalu kalah kalau Rachel sudah bicara tentang surat perceraian mereka."Saya sudah bilang berkali-kali bukan? Jangan bahas masalah perceraian dulu untuk saat ini. Beri saya waktu untuk..."Rachel tiba-tiba membungkam mulut Dave dengan kecupan kilat. Hanya sekilas namun mampu membuat Dave terdiam membisu."Kamu juga... Jangan paksa aku buat berhenti kerja terus," tegur Rachel sambil tersenyum lembut.Dave memandang sendu wajah Rachel. Sejujurnya ia hanya takut Rachel menderita jika masih bekerja di perusahaan yang dikelola oleh Alex. Namun ia belum bisa bercerita pada Rachel akibat bukti yang belum kuat."Jangan menatap aku begitu, Dave. Aku cuma mau pergi kerja, bukan mau pergi berperang."Kamu memang mau pergi perang," gumam Dave pelan.Rachel yang sedang mengunyah makannya
Suara tegas berserta tatapan tajam yang di perlihatkan Alex, seketika menyadarkan Dewi. "Eh? Baik, Pak. Segera saya siapkan." Dengan langkah kaki yang tergopoh-gopoh, setengah berlari Dewi menuju ke pantry untuk membuat teh hangat. Alex merebahkan Rachel di sofa yang ada di ruang kerjanya. Ia kemudian mengambil minyak angin di laci penyimpanannya dan berjalan mendekati Rachel. "Sudah ku duga. Lelaki itu pasti tidak menjagamu dengan baik selama aku pergi," gerutu Alex sambil membuka tutup minyak angin itu. Alex mendekat minyak angin itu ke hidung Rachel agar ia segera tersadar dari pingsannya. "Sudah ku bilang tinggalkan lelaki itu, tapi kamu tidak nurut. Sekarang malah jadi sakit begini," gerutu Alex dengan wajah sendu. Alex mengamati wajah Rachel yang beberapa pekan tidak di lihatnya. Sorot matanya nampak sangat merindu. Ta
Dave tersentak mendengar suara Fabio. Namun buru-buru memasang wajah datar kala Fabio berjalan ke arahnya."Bisa saja lo kalau ngomong," ucap Dave santai.Tanpa banyak bertanya, Dave mengambil map yang di bawa Fabio dan langsung menandatangani kertas yang ada di map tersebut."Oiya, hampir saja gua lupa. Alex balik dari luar negeri hari ini," ujar Fabio begitu Dave memberikan map yang telah ditanda tanganinya."Benarkah? Kalau begitu gua harus kasih tahu Rachel sekarang juga," ujar Dave seraya mengambil ponselnya dengan cepat.Fabio hanya memperhatikan gerak-gerik Dave yang nampak gelisah saat mencoba menelepon Rachel."Kenapa nggak di angkat-angkat teleponnya? Mana dia lagi sakit pula," gumam Dave sambil mengigit ujung kukunya."Sakit?" Fabio mendadak tersentak mendengarnya."Hmm. Badannya agak panas tadi pagi.
Dave merasa risih dengan tatapan Rachel. Ia lantas mengalihkan perhatian dengan melihat ke jalan raya."Kenapa malah ngeliatin saya begitu? Ayo, pilih mau makan dimana? Mumpung kita lagi lewat banyak resto nih."Mengikuti gerakan suaminya, Rachel lalu menengok ke sekelilingnya. Mobil yang mereka tumpangi itu sedang melintas di sekitar area tempat makan. Namun anehnya, tidak satupun rumah makan yang dapat mengugah napsu makan Rachel."Mau makan seafood?" tawar Dave seraya menunjuk restoran seafood yang ada di depan persimpangan jalan.Rachel mengeleng pelan. Ia sedang tidak berselera menyantap makanan resto."Aku nggak mau makan seafood, Dave. Pengen makan di rumah saja," tolak Rachel secara halus.Dave mendesah pelan, kemudian mengangguk paham. Ia lantas melajukan mobilnya dengan cepat menuju apartement mereka.Begitu sampai di dalam, Rac
Rachel melihat seorang lelaki berjas putih berdiri di sudut ranjang kamar Dave. Lelaki itu tersenyum ramah kepadanya. "Selamat malam. Perkenalkan saya Vincent. Saya dokter pribadi yang biasa di panggil oleh keluarga Senkevich." Rachel membalas datar senyuman dokter Vincent. Dahinya sedikit mengerut ketika bertatapan langsung dengan lelaki berkulit seputih susu yang memiliki wajah cerah seterang mentari dengan senyum merekah bagai sinar rembulan. Rachel merasa baru pertama kali melihat dan mendengar namanya. Matanya berkelebat kala dirinya mendadak teringat akan cerita Dave tempo hari. Dave pernah bercerita kalau ada salah satu sepupunya yang seorang dokter sudah kembali dari luar negeri. Sepupunya itu juga tidak dapat hadir di acara pernikahan mereka karena keberadaannya di luar negeri untuk urusan penting terkait pekerjaannya. Jika di hubungkan dengan cerita Dave, kemungkinan bes