Home / Romansa / Istri Dalam Sangkar Emas / Bab 6 Adik Laki-laki

Share

Bab 6 Adik Laki-laki

Author: Aurel Ntsya
last update Last Updated: 2024-12-10 10:25:50

"Mas Fajar tidak pernah mencintai aku, hanya aku yang berjuang di sini. Hanya aku yang berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kita selama ini, sedangkan Mas Fajar? Apa yang Mas Fajar lakukan?" Aku berteriak marah, melampiaskan semuanya.

"Mas Fajar malah memiliki anak dengan perempuan lain! Lalu sekarang? Mas Fajar mengatakan semuanya akan baik-baik saja? Tidak Mas, tidak ada yang baik-baik saja!"

"Sejak awal hubungan ini memang sudah salah, hanya aku yang menginginkan Mas Fajar. Sedangkan Mas Fajar tidak pernah menginginkan aku," 

"Jadi, mari selesaikan semuanya Mas. Aku juga sudah lelah dengan semuanya, delapan belas tahun sudah terlalu lama untuk tidak bahagia. Itu sudah cukup, aku tidak perlu lagi bertahan terlalu lama untuk terluka," 

Aku kembali menetralkan perasaanku, bagaimana pun aku pernah mengharapkan Mas Fajar menjadi sumber kebahagiaanku, meskipun nyatanya itu hanya angan belaka. 

"Tari, kau tidak pernah bahagia selama ini?" Mas Fajar menatapku, seolah dia tidak yakin dengan pernyataanku barusan.

Aku memilih diam, mencintai Mas Fajar adalah kebahagiaan tersendiri untukku, dan memiliki dia seutuhnya adalah harapan yang tak terhingga. Namun aku mulai sadar, aku tidak benar-benar bahagia. 

Mas Fajar hanyalah obsesiku yang mengharapkan bisa menyembuhkan aku dari luka yang diciptakan keluargaku. Aku meletakkan titik kebahagiaanku padanya, sehingga aku mewajarkan semua perlakuannya selama ini dan berpikir kalau aku baik-baik saja. 

Tapi nyatanya tidak, aku tidak bahagia. Aku tidak sembuh, tapi aku semakin terluka. Seseorang pernah berkata padaku, saat kau bisa merasakan indahnya dicintai maka kau juga akan merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Tapi ternyata itu salah, aku tidak merasakan bagaimana indahnya dicintai dan hanya merasakan bagaimana sakitnya dikhianati.

"Semuanya sudah terlalu hancur Mas, jadi mari kita tinggalkan saja. Sudah tidak ada lagi bahan untuk membangun ulang pondasinya," Aku menatap Mas Fajar yang masih berdiri menatapku tajam.

"Jangan meracau Tari! Tidak akan ada perceraian," Mas Fajar berteriak marah, wajahnya memerah dengan napas memburu, kedua tangannya terkepal kuat. Baru kali ini aku melihatnya dalam keadaan seperti ini, apa dia semarah itu.

"Kenapa Mas?" Tanyaku, percakapan kami hanya terus berputar-putar disini, tanpa ada titik temu yang menjadi keputusan akhir.

"Pikirkan tentang Aluna, sekarang dia sudah semester akhir. Dia sudah banyak mengeluh tentang tugas-tugasnya yang semakin banyak, sebentar lagi Ia juga akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Jangan membuat dia terbebani dengan masalah seperti ini, itu akan membuat mentalnya terganggu,"

Jadi karena hal itu, aku pikir Mas Fajar benar-benar ingin mencoba untuk mempertahankan rumah tangga kami. 

"Baiklah, kalau itu yang Mas Fajar inginkan. Mari terlihat baik-baik saja hingga Aluna masuk perguruan tinggi,"

"Hanya sampai saat itu kan Mas? Setelah itu mari kita akhiri semuanya," Aku meninggalkan Mas Fajar yang diam mematung setelah mendengar apa yang aku katakan.

Aku menghampiri Aluna yang sedang menonton drama di ruang keluarga. Aku duduk di sebelahnya, dan Aluna kemudian berbaring menjadikan pahaku sebagai bantal.

"Bagaimana sekolah Aluna? Tidak ada masalah kan?" Aku mengusap rambut Aluna yang berbaring di atas pahaku.

"Lagi banyak tugas Ma, dan aku juga harus membagi waktu untuk les jadi sedikit kewalahan," ujar Aluna.

Sudah beberapa bulan ini, Aluna ikut les untuk masuk perguruan tinggi. Ini juga tidak lepas dari peran Mas Fajar, dia memang selalu mengutamakan pendidikan. Sehingga Ia benar-benar ingin mempersiapkan Aluna agar siap dan bisa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi.

"Kalau begitu hari ini Aluna istirahat saja, bolos les sehari tidak apa-apa kan," Aku mengerti, Aluna pasti sudah cukup kelelahan. Setiap hari Ia harus mengikuti les, dari saat pulang sekolah hingga menjelang malam. Bahkan saat akhir pekan, Ia juga tidak bisa menikmati hari liburnya dengan baik karena les ini.

"Benar Ma?" Tanya Aluna antusias. Aku hanya mengangguk.

"Ayah sudah setuju?" Kali ini aku diam.

"Tidak apa-apa kalau Aluna ingin istirahat dulu hari ini, tidak perlu ada les," Mas Fajar tiba-tiba muncul, Ia duduk di dekatku. Untung saja sofa ini lumayan panjang sehingga muat untuk kami bertiga, meskipun Aluna dalam posisi berbaring.

"Yey, aku sayang Ayah sama Mama," Aluna bangun, memelukku dan Mas Fajar erat.

"Aluna, bukankah cukup membosankan kalau hanya di rumah? Bagaiman kalau kita jalan-jalan,"

"Bagaimana sayang? Kita jarang punya waktu dan jalan-jalan bersama," Mas Fajar menatapku. 

Bukan lagi jarang, tapi kita memang tidak pernah pergi jalan-jalan bersama, kecuali untuk urusan pekerjaan yang harus disaksikan banyak orang. Jika inisiatif sendiri, tentu itu tidak akan pernah terlintas dalam pikiran Mas Fajar. Mungkin Ia mengajak untuk jalan-jalan hanya karena Aluna membuat rekaman aktivitas kami, jika tidak maka aku tidak yakin.

"Benarkah? Kalau begitu aku akan bersiap-siap, Ayah dan Mama juga harus segera bersiap-siap agar kita bisa segera berangkat," Aluna yang antusias sudah hendak pergi ke kamarnya, namun kemudian kembali lagi.

"Tapi ayah, kita akan kemana?" Tanya Aluna, aku juga memikirkan hal yang sama, kita akan pergi kemana.

"Pantai," Mas Fajar menoleh dan menatapku, "Mama kamu suka pantai, jadi ayo kita ke pantai," 

Kenapa akhir-akhir ini banyak hal mengejutkan yang ditunjukkan Mas Fajar? Dari mana dia tahu kalau aku suka ke pantai? Itu adalah kebiasaan lamaku, saat aku masih sekolah hingga tahun pertamaku saat kuliah. Aku suka pergi ke pantai sendirian, benar-benar sendiri. Hingga tidak ada yang tahu kalau aku menyukai pantai, karena aku juga tidak pernah menceritakannya pada siapa pun.

"Ayo bersiap, kalau kita terlalu lama maka kita akan sampai di pantai terlalu siang. Cuacanya akan sangat panas, kulitmu akan memerah," 

Bukannya bergerak, aku malah semakin diam. Kenapa Mas Fajar menjadi cerewet dan perhatian. Ini tidak akan baik untuk kesehatan jantungku, kemana sikap cuek dan tidak pedulinya yang selama ini Ia tunjukkan?

Dan, bagaiman dia tahu semua itu. Sangat aneh bukan, aku yang memiliki kulit sensitif akan sangat mudah berubah warna menjadi merah saat terpapar sinar matahari terlalu lama, karena itu aku menghindarinya. 

"Kenapa hanya diam, ayo," Mas Fajar menarikku masuk ke kamar.

Ah, iya. Aku melupakannya, kita sedang diawasi kamera milik Aluna yang merekam. Tentu saja Mas Fajar harus memperhatikan tiap gerakannya agar tidak ada yang aneh, sepertinya Mas Fajar sudah bisa menjadi pemain film. Ia sangat pandai berakting.

***

"Sangat melelahkan," aku merebahkan diri di atas sofa. Aku baru saja selesai membersihkan diri, Aluna sepertinya masih membersihkan diri di kamarnya. Sedangkan Mas Fajar, dia sudah ada di ruang kerjanya.

"Hari ini menyenangkan ya Ma," Aluna datang dengan membawa handuk kecil yang digunakannya untuk mengeringkan rambut.

"Iya, hari ini menyenangkan. Sini biar Mama bantu Aluna mengeringkan rambut," Aluna kemudian duduk di depanku, Ia tidak duduk di sofa agar memudahkan aku untuk mengeringkan rambutnya.

Hari ini aku sejenak melupakan masalah yang terjadi dalam rumah tanggaku. Bermain di pantai bersama dengan Aluna dan Mas Fajar begitu menyenangkan, melihat Mas Fajar yang memainkan peran dengan begitu natural, seolah tidak ada kepalsuan di dalamnya. Kami sudah seperti keluarga yang paling bahagia saja.

Lamunanku yang mengingat saat di pantai tadi buyar saat sebuah tangan menyentuh tanganku yang berada di atas kepala Aluna, itu tangan Mas Fajar. Dia sudah duduk di dekatku, mengambil alih kegiatanku mengeringkan rambut Aluna.

"Kenapa melamun?" Mas Fajar menatapku dan bertanya, tangannya tetap mengeringkan rambut Aluna dengan handuk.

"Ayah, hari ini sangat menyenangkan kan?" Aluna mendongak melihat Ayahnya. Sedangkan Mas Fajar hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian Ia meminta Aluna untuk tidak mendongak agar memudahkannya mengeringkan rambut Aluna.

Semua itu tidak lepas dari pandanganku, hingga Mas Fajar kembali menoleh dan menatapku. "Aluna,"

"Iya Ayah, ada apa?" 

"Bagaimana menurutmu dengan seorang adik?" Tanya Mas Fajar pada Aluna, namun Ia tidak melepaskan pandangannya dari diriku yang tentu saja terkejut dengan apa yang dikatakannya barusan.

Apakah Mas Fajar ingin memberitahukan pada Aluna tentang anak laki-laki itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 35 Bonus

    "Ma! Mama serius?" Aluna menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ada di dalam kertas itu.Sedangkan aku dan Mas Fajar hanya menunduk pasrah. Kami tidak menyangka juga, hal ini akan terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah ada diantara kami."Ma." Aluna mendesah pasrah, bingung harus mengatakan apa. "Ansel bahkan belum genap satu tahun, dan Mama hamil lagi?" Aluna memandangi foto USG yang ada di tangannya."Kakak," Aluna memegang kepalanya, pusing. Ia kemudian meletakkan foto USG itu di atas meja, Ia berjalan menuju kamarnya. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi.Aku menoleh, melihat Aluna yang sudah menghilang dari balik pintu kamarnya yang tertutup. Aku beralih pada Mas Fajar, melayangkan beberapa pukulan padanya."Ini semua salah Mas Fajar, aku kan sudah sering bilang. Pakai pengaman," desisku. Kembali melayangkan beberapa pukulan yang diterima dengan pasrah oleh Mas Fajar."Rasanya tidak enak sayang, lagi pula. Sudah

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 34 Akhir

    "Kamu itu sedang hamil, sudah hampir melahirkan. Banyak-banyak bergerak, jangan hanya diam di rumah saja," celetuk Bunda, saat melihatku yang sedari tadi berbaring di sebuah kursi tidur.Ibu mertuaku itu masih sama, dia dengan segala kecerewetannya. Dan aku sudah terbiasa dengan itu, aku tidak ingin lagi mengambil hati. Aku mencoba untuk melihatnya dalam sudut pandang yang berbeda, bagaimana omelannya itu yang memang baik untuk aku atau tidak."Kamu sadar tidak sih, tetangga-tetangga kamu itu terus-terusan menjadikan kamu bahan gunjingan. Kamu yang katanya jadi istri dalam sangkar emas lah, dan sebagainya. Ujung-ujungnya mereka menjelek-jelekkan anak Bunda, berpikir kalau anak Bunda mengurung dan mengekang kebebasan kamu," dengus Bunda, sepertinya Ia sempat mendengar gosip dari para tetangga. "Sesekali kamu itu harus jalan-jalan keluar, menyapa para tetangga kamu yang mulut ember itu." Lagi-lagi Bunda menggerutu, rupanya masih terbawa emosi dengan apa yan

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 33 Menuju Akhir

    Aku meletakkan bunga yang aku bawa, menatap nama yang tertulis di sana. Dian Dwi Putri, Adikku. Aku belum benar-benar menyapanya sebagai kakak, aku bahkan tidak tahu kalau dia adalah adik aku.Kami bertemu diwaktu yang tidak tepat, kami sama-sama sakit. Kami yang terluka, dan kami yang tidak saling mengenal. Seharusnya tidak begini, andai saja sejak awal semuanya berjalan dengan baik.Akukemudian berpindah, pada makam yang berada di sebelahnya. Makam ibunya, istri kedua bapak. Aku meletakkan bunga yang sama."Maaf, karena pernah berpikiran jahat-" Aku mengucapkan banyak hal, dari permintaan maaf hingga ucapan terima kasih. Aku mungkin pernah membencinya dengan sangat, karena Ia yang merebut bapak dari aku dan ibu. Tapi, aku sudah memaafkannya. Bapak dan dia, mereka sama-sama bersalah. Tapi dia tidak benar-benar jahat. Aku masih mengingatnya, saat kami tinggal bersama. Dia sangat suka membuat makanan, memberikannya padaku dan mencoba men

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 32 Kicauan Burung

    Aku merasa kelopak mataku terasa berat, membuat aku nyaman dalam keadaan terpejam. Meski pikiranku terasa tidak bisa berhenti. Terus berputar pada titik yang membuatku sesak."Mas, apa maksudnya?" tanyaku, menatap Mas Fajar bingung.Dan melihat wajah Mas Fajar yang jauh lebih bingung dengan pertanyaanku, membuat aku menyadari. Aku benar-benar dalam keadaan buruk. Aku bahkan mendengar berbagai macam suara, jeritan, hingga bisikan. Apa aku sudah akan gila."Sayang," panggil Mas Fajar, saat aku hanya fokus pada jam yang menempel di dinding.Aku sedikit terkejut, mendengar suara lembut Mas Fajar yang setengah berbisik. Seolah menarikku untuk tersadar, saat mulai mendengar kembali suara dentingan jarum jam yang beradu."Ada apa Mas?" tanyaku, menatapnya."Bukankah di sini terlalu membosankan? Bagaimana kalau kita keluar? Pemandangan di luar sana sangat indah, juga tidak begitu ramai. Tidak seperti di rumah sakit yang biasa kita kunjun

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 31 POV Mas Fajar (2)

    Saat aku mengetahuinya. Dian, perempuan itu. Adalah adik dari Istriku, Mentari. Dan seolah semuanya berputar pada poros yang salah, membuat aku berada di ambang batas kemampuanku. Semuanya terjadi tanpa bisa aku kendalikan.Kekuasaan yang dimiliki keluarganya, ancaman dan kelemahan yang kumiliki, menjadi sasaran empuknya. Mereka bahkan tahu, Istri dan Anakku adalah kelemahan terbesar yang kumiliki."Aku hanya memintamu untuk menikahi cucuku, dan kau tetap bisa mendapatkan segalanya. Jabatanmu di perusahaan, istri dan anakmu." Suara lembut itu, jauh lebih mencekam dari yang aku perkirakan."Mentari, anak itu. Bukankah dia sudah cukup beruntung? Dia mendapatkan kembali Ayahnya, keluarganya. Dan sekarang, Ia juga memiliki suami yang sangat wow," kelakarnya, lebih terdengar seperti cemoohan."Cucuku yang malang, Ia bahkan harus kehilangan ibunya. Tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya, membuatnya menjadi pembangkang. Dia bahkan mendapatkan suami

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 30 POV Mas Fajar

    Aku menyentuh permukaan kulit Mentari, Istriku. Terasa dingin dan lemas, juga sedikit bengkak pada bagian tertancapnya jarum infus yang mengantarkan cairan.Aku bahkan masih bisa merasakan keterkejutanku, saat melihat Tari yang mengambang di kolam renang. Bagaimana bisa Ia sampai di sana, seharusnya aku tidak meninggalkannya. Mengapa aku begitu lalai, padahal aku yang paling tahu kondisinya sekarang.Tari memiliki trauma, dengan semua masalah yang dulu dilaluinya. Penghianatan yang dilakukan Ayahnya, penderitaan yang dirasakan ibunya. Membuat Ia nyaris melakukan hal jahat. Membuat istri kedua Ayahnya celaka, adalah niat yang membara dalam dirinya. Namun Ia belum benar-benar melakukannya, saat Ia melihat Istri ayahnya itu terpeleset dan jatuh ke kolam. Membuat warnah air yang semula bening, berubah warna menjadi merah. Ibu tirinya yang malang, Ia bahkan belum merealisasikan niatnya.Namun karena niat itu semula ada dalam pikirannya. Kembali menyer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status