Share

Sarapan kecupan

"Satu ..."

"Dua!"

"Tiga!"

David terus menghitung aku masih sibuk memeras rambutku yang basah, langsung kukibaskan rambutku ke belakang, masa bodo jika acak-acakkan aku akan mengeringkan dan menatanya nanti.

"Empat!"

Sebelum hitungngan kelima aku sudah membuka pintu kamar mandi, tapi ternyata David tidak ada, aku pikir dia berdiri di depan pintu. Jadi, apakah dia hanya menggertakku?.

Aku keluar dari kamar mandi dengan jantung yang berdetak kencang tak karuan, aliran darahku menderas membuat bulu kudukku merinding, padahal ini di dalam kamar pengantin yang romantis bukan di tengah-tengah kuburan.

Suasana semakin horor, saat David berdiri dan menyandarkan punggung pada lemari, tubuh atasnya polos, sehingga aku leluasa menatap dada bidang dan perut six packnya, di tangannya ada segelas minuman, entahlah aku tidak tahu, mungkin alkohol.

Sumpah, ini gila. Dia sangat sexy, aku sampai menggigit bibir bawah menahan agar tidak menjerit di tempat.

"Ini, pakailah!" David melempar kain berwarna merah ke wajahku, refleks aku menangkapnya.

"Apa ini?" Aku mengernyit.

Saat aku lebarkan kain itu, mataku terbelakak dan bibirku menganga, itu adalah lingerie.

Lingerie merah transparan itu membuatku tak habis pikir, membayangkan aku memakainya seperti hal yang percuma, tidak ada bedanya dengan telanjang. "Dari pada memakai ini lebih baik aku tidak memakai apapun!" Aku melempar lingerie itu ke arah David. Bagiku memakai lingerie semacam itu sangat konyol, tubuhku akan terekspose dengan jelas hanya saja ada renda-renda yang menghiasi.

"Hey, kamu tidak mau?"

"Tidak yang itu! Jika kamu ingin aku pakai lingerie aku akan memilih yang lebih bagus dari beberapa hadiah yang diberikan oleh teman-temanku, yang itu jelek, kurang bahan seperti jaring laba-laba!" Ujarku, tidak mau ambil pusing perkara lingerie aku duduk di kursi meja rias, mengambil kapas dan memberinya tetesan air mawar lalu mengusapnya ke seluruh bagian wajah.

Sempat aku melirik David, dia masih di tempatnya berdiri menikmati minuman, namun matanya tidak beralih dariku, menatap tajam dan sengit.

"Berani-beraninya kamu menolak perintahku!" David menggeram, rupanya sedari tadi dia menahan amarah.

"Jangan berlebihan David, aku tahu aku menikah denganmu untuk membayar hutang, tapi kamu hanyalah manusia biasa bukan Tuhan yang setiap perintahnya harus dituruti...." Aku melirik pria itu lagi namun hanya sebentar.

".... Mungkin kamu terbiasa memerintah dan orang-orang akan patuh padamu, tapi aku ini istrimu bukan pegawai apalagi pelayan, jadi tolong hargai aku!" Aku melanjutkan ucapanku, dengan sangat lembut dan berhati-hati berharap dia mau mengerti dan bersikap lebih baik padaku.

"Belagu! Bicaramu sudah seperti wanita terhormat saja, hargamu itu hanya sebatas hutang orang tuamu pada keluargaku, itupun mereka tidak bisa membayarnya."

Terhormat? Bukankah aku juga wanita terhormat karena selalu menjaga kehormatanku, aku juga menempuh pendidikan meski belum menyelesaikannya, aku punya wawasan dan berkarir. Apa menurutnya aku bukan wanita terhormat karena berasal dari keluarga yang ekonominya menengah ke bawah? David benar-benar kelewatan, kalau dia tahu cara menghargai wanita tidak mungkin dia bicara seperti itu.

Aku berdiri dan membalas tatapan sengitnya dengan delikan sinis yang dingin.

"Kalau tahu pria yang akan menjadi suamiku adalah orang sepertimu, aku lebih memilih dipenjara daripada harus menikah!"

"Seharusnya kamu mengatakan itu lebih awal, Bella. Pergilah ke penjara, itu lebih pantas untukmu daripada tinggal di rumahku hanya membuatmu belagu dan lupa diri!" Balasnya sambil menyeringai penuh kemenangan.

Aku menggelengkan kepala mendengar jawabannya.

"Kamu sangat arogan, dari pertama bertemu sampai sekarang kamu selalu menghinaku. Kamu bukan orang paling hebat, Dav, kamu hanya beruntung karena terlahir dari keluarga kaya raya!"

"Jika aku beruntung, lalu kamu yang terlahir dari keluarga miskin, apakah bentuk kesialan?" David tertawa kecil mengejekku.

"Lidahmu sangat tajam, kamu tidak segan menyakiti orang lain dengan kata-katamu. Pantas dulu istrimu meminta cerai, dia pasti tidak tahan memiliki suami sepertimu. Angkuh, penuntut, dan .... Mandul!" Tidak sengaja kata terakhir itu lolos dari bibirku.

Seketika ekspresi di wajah David berubah, matanya berkabut amarah, rahang sisi kanan dan kiri mengetat dan deru napasnya terdengar berat.

Tanpa bersuara dia menarik tanganku, tangannya yang sebelah kiri mencengkeram leherku dengan kuat, dia mencekikku.

"Aku akan membuktikan padamu, kalau kata-katamu salah!" Bisiknya dengan suara serak yang membutku merinding.

David menarik tali handuk kimono yang melingkar di pinggangku dan melepasnya secara kasar, saat itu juga seluruh tubuhku terjamah oleh pandangannya.

Aku tak bisa bicara lantaran tangannya mencekik leherku cukup kuat, yang aku pikirkan hanya berusaha keras menghirup oksigen agar aku tetap hidup.

"Aku peringatkan padamu, mulai hari ini dan seterusnya kamu dilarang untuk menentang perintahku!" Ujarnya, wajah kami sangat dekat dan dia memaksaku untuk menatapnya.

David mendorongku ke atas ranjang, kemudian dia menindih dan mengurungku di bawah tubuhnya yang kekar, kedua tangannya menjaga dari sisi kanan dan kiri agar aku tidak mendapatkan celah untuk lolos darinya.

Ciuman pertama dia daratkan di bibirku, aku terkejut dan tak mampu menolak. Ciuman, cumbuan, desahan, mengisi malam pertama kami hingga akhirnya ritual itu terjadi.

Saat kami menyatu, aku meronta dan berusaha mendorongnya, saat itu juga dia menamparku sangat keras, aku terdiam setelah mendapatkan perlakuan sekasar itu. Hingga akhirnya berujung kepasrahan dengan berderai air mata, menikahi iblis seperti David adalah luka yang paling aku sesali.

Setelah puas, David berlalu ke kamar mandi, membersihkan dirinya dan berganti pakaian, lalu kembali berbaring di ranjang dan tidur lelap. Tidak ada percakapan di antara kami atau pelukan dan ciuman lembut seperti yang dilalukan sepasangan pengantin baru pada umumnya.

Paginya, aku sudah bangun namun enggan beranjak dari tempat tidur karena seluruh tubuhku terasa sakit, aku tidak tahu jika efek bercinta untuk pertama kali akan sesakit ini, sulit dijelaskan dan diluar bayanganku.

"Bangun! Aku tidak suka melihat orang bermalas-malasan dan bangun siang!" Suara David yang lantang membuat mataku mengerjap seketika, tidak mau mengawali hari dengan omelan atau hinaan aku segera bangkit dari tempat tidur, beruntung aku sudah berpakaian semalam, jadi tidak perlu menanggung malu memperlihatkan diri tanpa busana di depannya, cukup semalam saja.

Malam-malam berikutnya? Aku tidak akan mau, kecuali David bersedia membuat perjanjian denganku.

"Mandi, lalu kenakan pakaian yang bagus, jangan yang kamu bawa dari rumahmu! Pakaian dan segela keperluanmu aku siapkan di walk in closet, ingat jangan pakai yang di lemari!" Titah pria itu sambil mengangkat telunjuknya di depan wajahku. Aku tidak mengerti kenapa dia tidak bia bicara dengan lembut, entah memang karakternya seperti itu atau dia sengaja bersikap buruk padaku.

"Baiklah, aku mengerti. Kamu mau sarapan apa? Biar aku buatkan." Tanyaku, ekspresi wajah David berubah seketika, sepertinya dia tidak menyangka aku akan setenang ini menghadapinya yang selalu berapi-api.

"Tidak usah, aku akan sarapan bersama Shela!" Tolaknya.

"Siapa Shela?"

"Kekasihku" Jawabnya singkat. Aku biasa saja saat mendengarnya, itu tidak menyakiti hatiku karena aku tidak mencintainya.

Seingatku pagi ini harusnya kami pergi ke rumah keluarga Kalingga, untuk menghadiri acara doa bersama atas pernikahan aku dan David serta kesembuhan Lia yang telah berhasil berjuang melewati koma selama dua bulan pasca kecelakaan, acaranya akan di mulai pukul 10.00 pagi.

Mengingat acara keluarga, akupun menanggapi David dan bertanya, "Baiklah itu urusanmu, aku tidak mau ikut campur. Tapi bukankah pagi ini kita harus ke rumah orang tuamu?"

David mengerutkan dahi, sepertinya dia juga lupa dengan agenda hari ini. "Sial, aku sudah janji dengan Shela. Kamu bilang saja aku ada pekerjaan mendadak, awas kalau sampai kamu mengadukan pada Mama jika aku belum putus dengan Shela!"

Aku menghela napas, "Ya, baiklah." Ujarku tanpa daya untuk membantah.

"Aku pergi dulu," Katanya, tapi bukannya melenggang ke luar kamar dia malah mendekatiku, detik berikutnya David menberikan kecupan singkat yang lembut di pipi kiriku.

Mataku membulat, kemudian aku mendongak untuk melihat wajahnya dengan penuh tanda tanya.

"Aku hanya ingin menciummu, bukan berarti aku menyukaimu!" Setelah mengucapkan kalimat itu, David pergi meninggalkanku yang masih berdiri membatu merasakan jejak bibirnya di pipiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status