"Ya Tuhan. Apa yang sudah kamu lalukan pada Ayu, Rein? K-kamu--" "Non Shinta ..., tolong lepasin Saya. Tuan Rein hampir saja memperkosa saya. Huhuhu ...!" Ayu menangis meraung-raung. Dia terus berteriak seolah- olah dialah korbannya. Rein geleng-geleng kepala mendengar ucapan Ayu yang dia anggap bodoh. Wajah Shinta semakin terkejut. Namun beberapa saat dia berpikir. Jika Rein yang ingin memperkosanya, kenapa Rein justru membawanya keluar dalam keadaan seperti itu? Shinta mencoba untuk tenang dan meredam emosinya. Ia harus berpikir jernih saat ini. Perlahan wanita cantik itu melangkah mendekati Ayu. Ia sungguh risih dengan pakaian Ayu yang terbuka. "Kancing bajumu!" ujar Shinta datar. "T-tangan Saya diikat oleh Tuan Rein, Non," lirih Ayu. Ia menunduk. Shinta semakin yakin dengan pendapat yang ada di pikirannya. Dengan cepat ia memasang kembali kancing kemeja Ayu yang terbuka. Rein terus menatap wajah kekasihnya dengan cemas. Ia masih belum tau apa yang ada dalam pikiran Shinta.
"Aku dimana? Raka ..., Raka ..." Aina membuka matanya perlahan. Awalnya semua terlihat samar. Sesaat kemudian dia tersadar bahwa sedang berada di rumah sakit. "Aina, kamu sudah sadar?" Aina menoleh pada pria bule yang menghampirinya. Pria itu tampak kusut sekali masih dengan pakaian terakhir kali Aina melihatnya. Kenapa Paul yang ada disampingnya? Kenapa bukan Raka?, pikirnya. "Paul, dimana suamiku?" Paul terdiam menahan sesak mendengar pertanyaan Aina. Apa yang harus dia katakan? "Istirahatlah, Aina. Kamu baru saja sadar setelah menjalankan operasi sore tadi. Kondisimu masih lemah." Pria mancung dengan rambut kecoklatan itu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan."Apa? Operasi?" Seketika Aina panik dan meraba perutnya yang memang belum.membesar. "Paul, operasi apa? Aku kenapa?" cecar Aina dengan wajah sangat panik. "Sial! Kenapa jadi aku yang harus menjelaskan ini semua pada Aina? Kemana laki-laki keparat itu?" umpat Paul dalam hati. "Paul, kenapa diam?"lirih Aina dengan suar
"Kurang ajar! Kalian sudah tidak bisa mengelak lagi. Tertangkap basah kalian sekarang!" Aina buru-buru melepaskan diri dari pagutan Paul. Wanita itu sontak duduk dan menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Paul. "Hebat permainan kalian!" Raka menatap keduanya dengan mata berkilat-kilat. Langkah kakinya semakin mendekat. Paul melihat ketakutan dari wajah Aina. Ia menatap wanita itu tak tega. "Raka ..." lirih Aina putus asa. Dia merutuki dirinya yang sudah dua kali tertangkap.basah oleh suaminya sendiri. Tak bisa ia pungkiri. Ia sangat menikmati ciuman tadi. Namun ia hanya menganggap itu adalah bentuk perhatian yang diberikan oleh Paul padanya. Dan saat ini ia sangat membutuhkan itu. "Kenapa? Kamu mencintainya? Atau kamu memang mengumbar cintamu ke semua pria?" Sorot mata Raka begitu tajam hingga menembus iris mata hitam milik Aina. Wajah Aina yang masih pucat semakin memutih. "Dasar perempuan murahan!" "Cukup, Raka! Jangan menghina Aina. Dia istrimu!" Paul geram dengan sikap kasa
"Maira .... kamu milikku. Tidak akan ada yang bisa memilikimu selain Aku," desis Raka. Matanya masih tertuju pada Shinta yang berada di dalam sana. Raka tau persis laki-laki pemilik suara di ponsel itu. Hatinya begitu sakit. Ia tak bisa melihat Shinta berduaan dengan pria lain. Walaupun hanya lewat ponsel. Mantan istrinya itu tersenyum bahagia, duduk bersandar pada kursi kebesarannya. Shinta sampai tak menyadari kehadirannya di pintu. Raka memutuskan untuk melangkah lebih mendekat setelah membuang buket bunga yang sudah remuk di tong sampah. "Maira ...!" Shinta mendongakkan kepalanya. Ia terkejut, Raka sudah berada di dalam ruang kerjanya. "Rein. Maaf, ada yang datang. Nanti aku akan menghubungimu lagi." "Oke. love you!" Shinta tersenyum malu-malu menatap layar ponselnya. Mereka nyaris seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Semua itu tak luput dari perhatian Raka. Hatinya semakin panas seakan ada bara api yang bersemayam di sana. Dadanya terasa begitu nyeri. Matanya memejam s
"Hari ini aku akan bawa Kaisar ke rumah Ayah. Tolong siapkan beberapa pakaiannya. Kemungkinan Kita menginap," ujar Shinta pada salah satu baby sitter Kaisar. Shinta sudah tampil segar dengan pakaian casualnya. Sabtu ini dia tak ada meeting atau pekerjaan apapun di luar. Dia memutuskan untuk berkunjung ke rumah Pratama. Sang Ayah pun sudah sangat rindu dangan cucunya. Shinta tersenyum saat membaca pesan dari Hafiz. Dia pun akan membawa Hikmah untuk menginap. Kakak tirinya itu berjanji akan mendampinginya untuk bicara pada Ayah mereka tentang lamaran Rein. Shinta harus bicara lebih dulu pada Ayahnya sebelum Rein datang melamar secara resmi. Ponsel di meja rias bergetar. Shinta yang sedang memakai hijabnya berhenti. Ternyata panggilan video dari Rein. Ia buru-buru merapikan hijabnya sebelum menerima panggilan itu. "Hallo." "Hai, Cantik banget. Mau kemana?" Wajah tampan itu memenuhi permukaan layar ponsel Shinta. "Aku dan Kaisar mau ke rumah Ayah." "Apa? Ke rumah Ayah? Tunggu di sa
"Aku harus bilang apa pada Ayah jika datang bersama Rein? Bisa-bisa Ayah marah dan malah akan sulit nantinya untuk meminta restu." Shinta terus berpikir. Beberapa kali mencoba menghubungi Rein, namun tak diangkat. sepertinya pria itu sudah dalam perjalanan menuju rumahnya. Sambil menunggu kedatangan Rein, wanita cantik memakai kemeja lengan panjang dan celana jeans itu melangkah menuju kamar Kaisar, hendak memeriksa perlengkapan putranya itu. "Sudah siap semua?" tanyanya setelah mengingat satu persatu apa saja barang yang dibutuhkan Kaisar. Mulai dari susu, pakaian ganti dan beberapa mainan. "Sudah, Non." ujar Nina, baby sitter yang akan ikut Shinta ke rumah Pratama. Oke. Saya ke depan dulu..Kaisar di ajak main saja. Saya mau ada tamu sebentar. "Baik, Non." Shinta membawa langkahnya menuju teras. Jika hari sabtu, perjalanan dari rumah Rein menuju rumahnya hanya memakan waktu lima belas menit. Apalagi jika masih pagi jalanan belum macet. Sebuah mobil CRV hitam masuk melewati ger
"Kenapa dia ada di sini?" lirih Shinta dengan wajah berubah murung. Perasaannya tidak enak. Sesaat ia menoleh pada Rein. Menatapnya dengan rasa tak menentu. Pria itu pasti tidak akan nyaman bicara dengan Ayah nanti. "Ada Raka." Rein membelokkan mobilnya ke tepi memarkirnya di sana. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Shinta. Wajahnya mendadak lesu. "Memangnya kenapa?" Rein terlihat baik-baik saja. "Maksud Aku--" "Jangan pikirkan Aku. Justru Aku takut kamu akan jadi bimbang." Rein mematikan mesin mobil. Lalu turun, kemudian memutar bagiam mobil untuk membukakan pintu untuk Shinta. Rein meraih Kaisar dari pangkuan Shinta. "Deddii ... deddii ..." Rein mencium gemas pipi tembam Kaisar ketika anak itu mulai bisa memanggilnya. "Jagoan Daddy cepat pintar." Shinta terkekeh, suasana yang tadi sempat tegang kembali mencair. Nina mengeluarkan tas dan stroller dari bagasi. Lalu mereka mulai melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Terdengar dari dalam suara Pratama sedang berbincang dengan Rak
"Maira, ikut Ayah!" Wajah Shinta memucat. Wajah Ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Kepalanya menerka-nerka kira-kira apa yang akan dikatakan ayahnya. Pratama melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya diikuti Shinta. "Duduk!" Shinta mengikuti perintah ayahnya. "Benar kamu saling mencintai dengan anak si Robert itu?" tanya Pratama dengan suara meninggi. Pria paruh baya itu nampak gusar. Shinta terdiam sejenak. Kemudian memutuskan untuk menjawab pertanyaan ayahnya dengan sebuah anggukan. BRAAK!! Sontak Shinta terkejut dan berdiri saat Ayahnya memukul meja dengan sangat keras. Shinta gemetar. Ayahnya selama ini tidak pernah semarah ini. "Ada Apa ini?" Hafiz tiba-tiba muncul di depan pintu ruang kerja Pratama.. "Aku tidak sudi kamu bersatu dengan anak si Robert itu. Dia ... Robert ... yang menyebabkan Bundamu pergi dari dunia ini. Laki-laki di depan itu adalah anak dari pembunuh Bundamu, Maira!" Suara Pratama serak dan bergetar. Dadanya naik turun menahan emosi... Shinta terng