"Maira .... kamu milikku. Tidak akan ada yang bisa memilikimu selain Aku," desis Raka. Matanya masih tertuju pada Shinta yang berada di dalam sana. Raka tau persis laki-laki pemilik suara di ponsel itu. Hatinya begitu sakit. Ia tak bisa melihat Shinta berduaan dengan pria lain. Walaupun hanya lewat ponsel. Mantan istrinya itu tersenyum bahagia, duduk bersandar pada kursi kebesarannya. Shinta sampai tak menyadari kehadirannya di pintu. Raka memutuskan untuk melangkah lebih mendekat setelah membuang buket bunga yang sudah remuk di tong sampah. "Maira ...!" Shinta mendongakkan kepalanya. Ia terkejut, Raka sudah berada di dalam ruang kerjanya. "Rein. Maaf, ada yang datang. Nanti aku akan menghubungimu lagi." "Oke. love you!" Shinta tersenyum malu-malu menatap layar ponselnya. Mereka nyaris seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Semua itu tak luput dari perhatian Raka. Hatinya semakin panas seakan ada bara api yang bersemayam di sana. Dadanya terasa begitu nyeri. Matanya memejam s
"Hari ini aku akan bawa Kaisar ke rumah Ayah. Tolong siapkan beberapa pakaiannya. Kemungkinan Kita menginap," ujar Shinta pada salah satu baby sitter Kaisar. Shinta sudah tampil segar dengan pakaian casualnya. Sabtu ini dia tak ada meeting atau pekerjaan apapun di luar. Dia memutuskan untuk berkunjung ke rumah Pratama. Sang Ayah pun sudah sangat rindu dangan cucunya. Shinta tersenyum saat membaca pesan dari Hafiz. Dia pun akan membawa Hikmah untuk menginap. Kakak tirinya itu berjanji akan mendampinginya untuk bicara pada Ayah mereka tentang lamaran Rein. Shinta harus bicara lebih dulu pada Ayahnya sebelum Rein datang melamar secara resmi. Ponsel di meja rias bergetar. Shinta yang sedang memakai hijabnya berhenti. Ternyata panggilan video dari Rein. Ia buru-buru merapikan hijabnya sebelum menerima panggilan itu. "Hallo." "Hai, Cantik banget. Mau kemana?" Wajah tampan itu memenuhi permukaan layar ponsel Shinta. "Aku dan Kaisar mau ke rumah Ayah." "Apa? Ke rumah Ayah? Tunggu di sa
"Aku harus bilang apa pada Ayah jika datang bersama Rein? Bisa-bisa Ayah marah dan malah akan sulit nantinya untuk meminta restu." Shinta terus berpikir. Beberapa kali mencoba menghubungi Rein, namun tak diangkat. sepertinya pria itu sudah dalam perjalanan menuju rumahnya. Sambil menunggu kedatangan Rein, wanita cantik memakai kemeja lengan panjang dan celana jeans itu melangkah menuju kamar Kaisar, hendak memeriksa perlengkapan putranya itu. "Sudah siap semua?" tanyanya setelah mengingat satu persatu apa saja barang yang dibutuhkan Kaisar. Mulai dari susu, pakaian ganti dan beberapa mainan. "Sudah, Non." ujar Nina, baby sitter yang akan ikut Shinta ke rumah Pratama. Oke. Saya ke depan dulu..Kaisar di ajak main saja. Saya mau ada tamu sebentar. "Baik, Non." Shinta membawa langkahnya menuju teras. Jika hari sabtu, perjalanan dari rumah Rein menuju rumahnya hanya memakan waktu lima belas menit. Apalagi jika masih pagi jalanan belum macet. Sebuah mobil CRV hitam masuk melewati ger
"Kenapa dia ada di sini?" lirih Shinta dengan wajah berubah murung. Perasaannya tidak enak. Sesaat ia menoleh pada Rein. Menatapnya dengan rasa tak menentu. Pria itu pasti tidak akan nyaman bicara dengan Ayah nanti. "Ada Raka." Rein membelokkan mobilnya ke tepi memarkirnya di sana. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Shinta. Wajahnya mendadak lesu. "Memangnya kenapa?" Rein terlihat baik-baik saja. "Maksud Aku--" "Jangan pikirkan Aku. Justru Aku takut kamu akan jadi bimbang." Rein mematikan mesin mobil. Lalu turun, kemudian memutar bagiam mobil untuk membukakan pintu untuk Shinta. Rein meraih Kaisar dari pangkuan Shinta. "Deddii ... deddii ..." Rein mencium gemas pipi tembam Kaisar ketika anak itu mulai bisa memanggilnya. "Jagoan Daddy cepat pintar." Shinta terkekeh, suasana yang tadi sempat tegang kembali mencair. Nina mengeluarkan tas dan stroller dari bagasi. Lalu mereka mulai melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Terdengar dari dalam suara Pratama sedang berbincang dengan Rak
"Maira, ikut Ayah!" Wajah Shinta memucat. Wajah Ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Kepalanya menerka-nerka kira-kira apa yang akan dikatakan ayahnya. Pratama melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya diikuti Shinta. "Duduk!" Shinta mengikuti perintah ayahnya. "Benar kamu saling mencintai dengan anak si Robert itu?" tanya Pratama dengan suara meninggi. Pria paruh baya itu nampak gusar. Shinta terdiam sejenak. Kemudian memutuskan untuk menjawab pertanyaan ayahnya dengan sebuah anggukan. BRAAK!! Sontak Shinta terkejut dan berdiri saat Ayahnya memukul meja dengan sangat keras. Shinta gemetar. Ayahnya selama ini tidak pernah semarah ini. "Ada Apa ini?" Hafiz tiba-tiba muncul di depan pintu ruang kerja Pratama.. "Aku tidak sudi kamu bersatu dengan anak si Robert itu. Dia ... Robert ... yang menyebabkan Bundamu pergi dari dunia ini. Laki-laki di depan itu adalah anak dari pembunuh Bundamu, Maira!" Suara Pratama serak dan bergetar. Dadanya naik turun menahan emosi... Shinta terng
"Sayang, jangan jauh-jauh dari Aku." Rein meraih lengan Shinta agar berjalan di sampingnya. Shinta tersenyum malu. Wajahnya memerah. Rein kini lebih sering memanggilnya dengan kata sayang. Sepanjang berjalan di mall Shinta merasa risih. Hampir setiap wanita yang berpapasan dengan mereka memandang Rein tak berkedip. Rein memang terlihat mencolok diantara para pengunjung mall. Tubuhnya yang tinggi di atas rata-rata terlihat menjulang tinggi di keramaian. Wajahnya berperawakan bule dengan rahang yang begitu kokoh, mata tegas di bawah alis tebal yang berbaris rapi. Hidungnya mancung tegak berdiri di atas bibirnya yang tipis. Tubuh yang tegap membuat ketampanannya semakin paripurna. Beberapa karyawan Shinta bilang, Rein itu mirip artis-artis Hollywood. Setiap wanita yang memandangnya akan merasa berdebar. Tiba-tiba langkah mereka terhenti di dekat sebuah coffe shop, dimana banyak remaja yang nongkrong di sana. "Wah, lucu banget anaknya ..." "Adduh gemesnyaa ...." "Adeeek, lucu bange
"Rein? Kamu ... kok ada di sini?" Shinta menatap Rein bingung. Kaisar masih tertidur pulas digendongannya. Bocah itu sangat nyaman menyandarkan kepalanya pada pahu Rein. "Kamu belum.jawab pertanyaanku." Tatapan Rein masih belum berubah. Sorot matanya tajam menyelidik pada Shinta. Wajahnya tegang. "Pertanyaan apa? Oh, itu. Pria tadi ..." "Jawab aja, Sayang. Jangan bertele-tele!" pungkas Rein tak sabar "Ck, siapa yang bertele-tele? Ini Aku mau jawab, kok." Shinta cemberut. Ia kesal dengan sikap Rein seakan mencurigainya. Melihat wajah Shinta berubah, Rein tersadar kalau dia terbawa emosi, dan melihat Shinta tersenyum dengan seorang pria tampan sudah membuatnya cemburu. "Maaf ...!" Pria berjambang cukup lebat itu membuang pandangannya. Ada rasa menyesal dihatinya. "Namanya Paul. Sepertinya teman dekat Aina." "Tadi Nina bilang ada wanita yang menyerangmu. Apa itu Aina?" Shinta menghempas napas kasar. Ternyata Nina yang membuat Rein menghampirinya. "Iyaa. Enggak perlu khawatir
"Nuri, bikinkan Aku kopi!" Pratama sedang berada di dalam ruang kerjanya. Sudah sejak lama Ayah kandung Shinta itu mengelola sebuah perusahaan kecil di bidang pembuatan dan pendustribusian tas ke kota-kota besar di indonesia. Perusahaan itu berdiri dibantu oleh Raka, dan hingga saat ini Raka masih sering mendampingi Pratama jika mengalami beberapa kendala."Nuri, kamu kenapa? Sakit? Sejak kemarin kamu banyak diam." Pratama bangkit dan menghampiri istrinya yang melangkah ke dapur untuk membuat kopi. "Aku nggak apa-apa." Nuri menjawab pelan namun penuh penekanan. Wajahnya sama sekali tak menoleh pada Pratama. Pria tinggi dengan tubuh berisi itu mengingat-ingat kesalahan apa yang telah dia lakukan. Nuri bukan wanita yang memiliki emosi yang meledak-ledak atau mudah mengungkapkan kemarahannya. Namun, wanita itu akan banyak diam jika ada sesuatu yang membuatnya kecewa, dan sikap diamnya itu sangat membuat pratama tersiksa. "Katakan apa kesalahanku." bisik Pratama, Pria gagah yang me