"Kenapa dia ada di sini?" lirih Shinta dengan wajah berubah murung. Perasaannya tidak enak. Sesaat ia menoleh pada Rein. Menatapnya dengan rasa tak menentu. Pria itu pasti tidak akan nyaman bicara dengan Ayah nanti. "Ada Raka." Rein membelokkan mobilnya ke tepi memarkirnya di sana. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Shinta. Wajahnya mendadak lesu. "Memangnya kenapa?" Rein terlihat baik-baik saja. "Maksud Aku--" "Jangan pikirkan Aku. Justru Aku takut kamu akan jadi bimbang." Rein mematikan mesin mobil. Lalu turun, kemudian memutar bagiam mobil untuk membukakan pintu untuk Shinta. Rein meraih Kaisar dari pangkuan Shinta. "Deddii ... deddii ..." Rein mencium gemas pipi tembam Kaisar ketika anak itu mulai bisa memanggilnya. "Jagoan Daddy cepat pintar." Shinta terkekeh, suasana yang tadi sempat tegang kembali mencair. Nina mengeluarkan tas dan stroller dari bagasi. Lalu mereka mulai melangkah menuju pintu rumah yang terbuka. Terdengar dari dalam suara Pratama sedang berbincang dengan Rak
"Maira, ikut Ayah!" Wajah Shinta memucat. Wajah Ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Kepalanya menerka-nerka kira-kira apa yang akan dikatakan ayahnya. Pratama melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya diikuti Shinta. "Duduk!" Shinta mengikuti perintah ayahnya. "Benar kamu saling mencintai dengan anak si Robert itu?" tanya Pratama dengan suara meninggi. Pria paruh baya itu nampak gusar. Shinta terdiam sejenak. Kemudian memutuskan untuk menjawab pertanyaan ayahnya dengan sebuah anggukan. BRAAK!! Sontak Shinta terkejut dan berdiri saat Ayahnya memukul meja dengan sangat keras. Shinta gemetar. Ayahnya selama ini tidak pernah semarah ini. "Ada Apa ini?" Hafiz tiba-tiba muncul di depan pintu ruang kerja Pratama.. "Aku tidak sudi kamu bersatu dengan anak si Robert itu. Dia ... Robert ... yang menyebabkan Bundamu pergi dari dunia ini. Laki-laki di depan itu adalah anak dari pembunuh Bundamu, Maira!" Suara Pratama serak dan bergetar. Dadanya naik turun menahan emosi... Shinta terng
"Sayang, jangan jauh-jauh dari Aku." Rein meraih lengan Shinta agar berjalan di sampingnya. Shinta tersenyum malu. Wajahnya memerah. Rein kini lebih sering memanggilnya dengan kata sayang. Sepanjang berjalan di mall Shinta merasa risih. Hampir setiap wanita yang berpapasan dengan mereka memandang Rein tak berkedip. Rein memang terlihat mencolok diantara para pengunjung mall. Tubuhnya yang tinggi di atas rata-rata terlihat menjulang tinggi di keramaian. Wajahnya berperawakan bule dengan rahang yang begitu kokoh, mata tegas di bawah alis tebal yang berbaris rapi. Hidungnya mancung tegak berdiri di atas bibirnya yang tipis. Tubuh yang tegap membuat ketampanannya semakin paripurna. Beberapa karyawan Shinta bilang, Rein itu mirip artis-artis Hollywood. Setiap wanita yang memandangnya akan merasa berdebar. Tiba-tiba langkah mereka terhenti di dekat sebuah coffe shop, dimana banyak remaja yang nongkrong di sana. "Wah, lucu banget anaknya ..." "Adduh gemesnyaa ...." "Adeeek, lucu bange
"Rein? Kamu ... kok ada di sini?" Shinta menatap Rein bingung. Kaisar masih tertidur pulas digendongannya. Bocah itu sangat nyaman menyandarkan kepalanya pada pahu Rein. "Kamu belum.jawab pertanyaanku." Tatapan Rein masih belum berubah. Sorot matanya tajam menyelidik pada Shinta. Wajahnya tegang. "Pertanyaan apa? Oh, itu. Pria tadi ..." "Jawab aja, Sayang. Jangan bertele-tele!" pungkas Rein tak sabar "Ck, siapa yang bertele-tele? Ini Aku mau jawab, kok." Shinta cemberut. Ia kesal dengan sikap Rein seakan mencurigainya. Melihat wajah Shinta berubah, Rein tersadar kalau dia terbawa emosi, dan melihat Shinta tersenyum dengan seorang pria tampan sudah membuatnya cemburu. "Maaf ...!" Pria berjambang cukup lebat itu membuang pandangannya. Ada rasa menyesal dihatinya. "Namanya Paul. Sepertinya teman dekat Aina." "Tadi Nina bilang ada wanita yang menyerangmu. Apa itu Aina?" Shinta menghempas napas kasar. Ternyata Nina yang membuat Rein menghampirinya. "Iyaa. Enggak perlu khawatir
"Nuri, bikinkan Aku kopi!" Pratama sedang berada di dalam ruang kerjanya. Sudah sejak lama Ayah kandung Shinta itu mengelola sebuah perusahaan kecil di bidang pembuatan dan pendustribusian tas ke kota-kota besar di indonesia. Perusahaan itu berdiri dibantu oleh Raka, dan hingga saat ini Raka masih sering mendampingi Pratama jika mengalami beberapa kendala."Nuri, kamu kenapa? Sakit? Sejak kemarin kamu banyak diam." Pratama bangkit dan menghampiri istrinya yang melangkah ke dapur untuk membuat kopi. "Aku nggak apa-apa." Nuri menjawab pelan namun penuh penekanan. Wajahnya sama sekali tak menoleh pada Pratama. Pria tinggi dengan tubuh berisi itu mengingat-ingat kesalahan apa yang telah dia lakukan. Nuri bukan wanita yang memiliki emosi yang meledak-ledak atau mudah mengungkapkan kemarahannya. Namun, wanita itu akan banyak diam jika ada sesuatu yang membuatnya kecewa, dan sikap diamnya itu sangat membuat pratama tersiksa. "Katakan apa kesalahanku." bisik Pratama, Pria gagah yang me
"Menikahlah denganku!" Paul mengenggam tangan Aina yang berada di atas meja di dalam club. Malam itu mereka sedang menikmati suasana club yang belum terlalu ramai karena masih sore. Sejak pertemuannya dengan Shinta beberapa hari yang lalu, Aina sering uring-uringan. Ia kesal Paul membela wanita itu dihadapannya. Sejak diceraikan oleh Raka, entah yang keberapa kalinya pria tampan berwajah bule itu melamar Aina. Pria itu tak kenal menyerah. Ia akan berjuang terus demi mendapatkan cintanya. Aina menghella napas panjang. Ia membiarkan tangannya digenggam erat bahkan diremas oleh Paul dengan hangat. Sesekali jemarinya menyelipkan anak rambut Aina ke balik telinga. Wanita itu selalu tampak cantik di matanya. "Kenapa kamu tidak pernah menyerah? Padahal Aku sudah berkali-kali menolakmu." Netra wanita cantik itu menatap bosan pada Paul. Ia sendiri sudah jenuh mendengar ungkapan cinta bahkan ajakan menikah dari pria berambut coklat itu. "Aku tidak akan pernah menyerah sampai kapanpun," ba
"K-kamu bukannya gadis yang di ..." Diantara rasa nyeri yang dia rasakan, Aina berusaha mengingat-ingat wajah gadis itu.. "Kayla! Kamu Kayla, kan?" Tiba-tiba Paul melangkah maju menunjuk-nunjuk Kayla dan berdiri di samping Aina. Pria itu tentu saja sangat mengenal Kayla. Wanita penghibur yang bekerja di night club miliknya. Aina sesaat melirik pada Paul..Sejurus kemudian dia langsumg ingat di mana ia pernah bertemu wanita itu. "Mana Raka?" Aina menatap nyalang pada Kayla..Wanita itu hanya terkejut sesaat memandamg Aina, lalu kembali tenang dengan wajah datarnya. "Raka masih tidur." "Maira ..., siapa yang datang, Sayang?" Kayla menoleh ke dalam merdengar teriakan Raka dari dalam. Sementara Aina dan Paul saling pandang saat mendengar Raka memanggil Kayla dengan sebutan Maira. "Dasar Gila!" gumam Paul. "Tunggi disini!" Kayla melangkah masuk. Aina tak menghiraukan Kayla yang memintanya menunggu. Wanita itu tak sabar dan langsung menerobos masuk ke dalam. Paul melihat Aina yang s
"Malam ini Saya makan malam di luar. Mbok Sum boleh pulang lebih cepat." Rein baru saja tiba di rumah. Selepas dari kantor tadi dia langsung pulang karena malam ini akan mengajak Shinta makan malam. "Baik, Tuan. Saya permisi pulang!" Mbok Sum melangkah keluar. Sejak tertangkapnya Ayu, Mbok Sum yang beberapa waktu lalu sempat berdiam diri di rumahnya, kembali bekerja di rumah Rein. Pria itu telah mengetahui semua rencana Ayu dan berhasil menjebaknya. Asisten rumah tangga Rein yang sudah berumur itu dipaksa berhenti oleh Ayu dan Alif dengan imbalan sejumlah uang. Mbok Sum yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan Rein menceritakan semuanya pada majikannya.Rein mematut dirinya di depan cermin. Pria tampan itu memakai switer berbahan rajut berwarna coklat susu dan celana panjang jeans hitam yang begitu pas di tubuhnya yang tinggi tegap. Rein sedikit mencukur rambut-rambut halus di sekitar pipi dan dagunya, hingga menciptakan ketampanan yang begitu sempurna. Sudah hampir satu minggu ia