"K-kamu bukannya gadis yang di ..." Diantara rasa nyeri yang dia rasakan, Aina berusaha mengingat-ingat wajah gadis itu.. "Kayla! Kamu Kayla, kan?" Tiba-tiba Paul melangkah maju menunjuk-nunjuk Kayla dan berdiri di samping Aina. Pria itu tentu saja sangat mengenal Kayla. Wanita penghibur yang bekerja di night club miliknya. Aina sesaat melirik pada Paul..Sejurus kemudian dia langsumg ingat di mana ia pernah bertemu wanita itu. "Mana Raka?" Aina menatap nyalang pada Kayla..Wanita itu hanya terkejut sesaat memandamg Aina, lalu kembali tenang dengan wajah datarnya. "Raka masih tidur." "Maira ..., siapa yang datang, Sayang?" Kayla menoleh ke dalam merdengar teriakan Raka dari dalam. Sementara Aina dan Paul saling pandang saat mendengar Raka memanggil Kayla dengan sebutan Maira. "Dasar Gila!" gumam Paul. "Tunggi disini!" Kayla melangkah masuk. Aina tak menghiraukan Kayla yang memintanya menunggu. Wanita itu tak sabar dan langsung menerobos masuk ke dalam. Paul melihat Aina yang s
"Malam ini Saya makan malam di luar. Mbok Sum boleh pulang lebih cepat." Rein baru saja tiba di rumah. Selepas dari kantor tadi dia langsung pulang karena malam ini akan mengajak Shinta makan malam. "Baik, Tuan. Saya permisi pulang!" Mbok Sum melangkah keluar. Sejak tertangkapnya Ayu, Mbok Sum yang beberapa waktu lalu sempat berdiam diri di rumahnya, kembali bekerja di rumah Rein. Pria itu telah mengetahui semua rencana Ayu dan berhasil menjebaknya. Asisten rumah tangga Rein yang sudah berumur itu dipaksa berhenti oleh Ayu dan Alif dengan imbalan sejumlah uang. Mbok Sum yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan Rein menceritakan semuanya pada majikannya.Rein mematut dirinya di depan cermin. Pria tampan itu memakai switer berbahan rajut berwarna coklat susu dan celana panjang jeans hitam yang begitu pas di tubuhnya yang tinggi tegap. Rein sedikit mencukur rambut-rambut halus di sekitar pipi dan dagunya, hingga menciptakan ketampanan yang begitu sempurna. Sudah hampir satu minggu ia
"Ayo, kita turun!" ajak Rein. Shinta yang sedang memandang wanita di kursi roda itu seketika menoleh. Mereka lalu keluar dari mobil. Seorang security membukakan pintu untuk Rein dan Shinta secara bergantian. Sambil melangkah menuju rumah besar itu, Shinta kembali menatap wajah wanita di kursi roda. Hatinya sempat bergetar melihat wajah yang terlihat tirus itu. . "Apa aku mengenalnya? Atau mungkin aku pernah melihatnya. Tapi dimana?" Shinta bertanya dalam hati. Pakaian wanita itu sangat sederhana. Hanya daster panjang rumahan. Rambutnya digulung menyerupai cepol, wajahnya sama sekali tak memakai riasan. Lagi-lagi Shinta bertanya-tanya dalam hati. Siapa wanita itu? Mengapa dia ada di rumah ini? Kenapa dia menunggu kedatangan Rein? Rumah siapa yang mereka datangi ini? Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benak putri Pratama itu. Shinta kembali merasakan sesuatu saat wanita itu tersenyum padanya. Entah kenapa dia merasa pernah melihat senyuman itu. Namun entah dimana. "Bu ...,
"Ternyata banyak misteri yang belum terungkap. Masih ada rahasia yang belum aku tahu di masa kecilku," gumam Shinta. Tatapannya intens pada Rein dan Bu Tari secara bergantian. Tidak sabar menunggu apa yang akan dikatakan oleh pria tampan bermata elang itu. Rein menarik napas panjang." Begini ... "Waktu itu umur kamu kurang lebih tujuh tahun. Maaf, aku juga tidak terlalu ingat tepatnya berapa tahun. Kamu diculik oleh Ayahku dan dibawa ke rumah. Saat itu Bu Tari sedang bersamamu. Kamu disekap dalam keadaan tak sadarkan diri di sebuah kamar. Aku pernah berusaha untuk.melepaskanmu. Tapi waktu itu Aku masih beranjak remaja. Belum sanggup melawan para tukang pukul Ayahku yang hampir semua badanya dua kali lipat lebih besar dariku. Bu Tari juga disekap di ruang yang berbeda . Kemudian Ayahku memerintah para tukang pukulnya untuk membawa Kamu pergi entah kemana. Sementara Bu Tari masih berada di rumahku dan diancam akan dibunuh jika coba-coba untuk melarikan diri atau melaporkan semua ke
"Non ..., Non Shinta! Maaf Non, ada Ayah Non dan Tuan Raka datang." "Hah? Apaa?" Shinta yang merasa belum lama tertidur terkejut mendengar salah satu pelayan membangunkannya" Nina masih tertidur di sofa tak jauh darinya. Shinta sengaja minta babysitter itu untuk menemaninya di kamar Kaisar agar tak terjadi fitnah. Pintu kamar pun sejak tadi dibuka lebar-lebar. Sementara Rein masih tertidur dengan posisi semula. Sepertinya pria itu tidak benar-benar tidur. Dia hanya tak mau Kaisar terbangun. "Non, ada Tuan Pratama dan Tuan Raka. Mereka baru aja parkir mobil," ulang pelayan itu. Shinta melihat jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi. "Untuk apa mereka datang malam-malam begini?" pikir Shinta gusar. Ia melirik sekali lagi pada Rein. Dia semakin cemas akan ada keributan di rumah ini. Shinta membangunkan Nina, lalu beranjak menuju kamarnya melewati pintu yang terhubung dengan kamar Kaisar. Shinta membasuh wajahnya sesaat sebelum keluar dari kamarnya. Sementara di luar, Pratama d
"Pulanglah, Rein. Kamu pasti lelah!" Rein tersenyum. Sebenarnya Shinta sama sekali tidak melihat wajah Rein yang kelelahan. Itu hanya asumsinya saja. Karena semalaman Rein menjaga Kaisar. "Aku tidak lelah. Aku masuh sanggup menjaga Kaisar dua malam lagi," ujarnya datar. Pria tampan itu membuka switernya karena sudah pagi. Tampak jelas tubuh atletisnya di balik kaos polosnya yang berukuran pas body. Shinta tanpa sadar melebarkan matanya dan ternganga melihat pemandangan indah di depannya. Seketika tenggorokannya tercekat. Susah payah ia menelan salivanya sendiri. Shinta tersadar, ia spontan langsung memalingkan wajahnya yang bersemu merah. Rein yang menyadari hal itu mengulum senyumnya. Ia gemas melihat Shinta malu-malu melihat dirinya saat ini. "Sayang, kamu kenapa?" bisik Rein. Pria dengan bentuk tubuh yang nyaris sempurna itu sengaja melangkah lebih mendekat. Ia tau Shinta sedang berusaha menghindarinya. "Nggak apa-apa. Kamu kalau mau pulang, pulang aja!" Shinta pura-pura mem
"Maira ... betapa aku merindukanmu, Sayang." Napas Raka mulai memburu. Bagai seekor singa sedang kelaparan, Raka memandang Shinta penuh nafsu. Sorot matanya begitu tajam dan bersemangat. Berkali-kali pria itu susah payah menelan salivanya. Ia akui, mantan istrinya itu jauh lebih cantik dan seksi dari pada Aina dan Kayla. Shinta jauh lebih terawat dan fresh walau sudah pernah melahirkan. Kulitnya tampak sangat bersih dan bercahaya. Perlahan Raka berbaring miring di sebelah Shinta. Satu tangannya menopang tubuhnya. Ia mengecup pipi Shinta yang masih sangat pulas. Tangan Raka mulai membelai wajah cantik alami yang selalu ia rindukan setiap malam. Raka sudah tak tahan lagi. Ia tak bisa menahan diri untuk melumat bibir tipis menggoda di hadapannya. "Mmmh ..." Shinta menggeliat merasakan sesuatu yang mengganggu tidurnya. Raka tak peduli. Pria itu terus melumat bibir Shinta dengan lembut. Sementara tangannya mulai bermain di sekitar leher dan dada mantan istrinya Itu. Shinta mulai mer
"Mau makan sekarang, Tuan?" "Ya, Mbok. Siapin aja. Saya mau mandi dulu." Rein baru saja sampai di rumahnya. Tubuhnya sangat lelah Pria itu langsung masuk ke kamarnya. Merebahkan diri sejenak dengan melipat kedua tangannya di bawah kepala. Berbaring menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih Sebenarnya ia ingin sekali menjebloskan Raka ke dalam penjara. Namun tadi Shinta melarangnya. Banyak hal yang wanita itu pikirkan demi menjaga nama baik keluarga dan perusahaannya. Shinta hanya ingin tau reaksi Ayahnya jika mengetahui satu lagi perbuatan bejad Raka. Tiba-tiba Rein senyum-senyum membayangkan sesuatu yang terus terlintas di kepalanya sejak tadi. Ia mengulang kembali kejadian yang terjadi di kamar Shinta pagi tadi. Entah kenapa ada yang tak bisa lepas dari ingatannya. Sesaat tadi ia sempat melihat tubuh Shinta setengah terbuka. Walau sesaat namun itu terekam sempurna di kepalanya. Bahkan ia bisa sedikit melupakan apa yang dilakukan Raka pada calon istrinya itu. Ia m