Mohon maaf jika ada kesulitan dalam pembelian koin, karena masih dalam perbaikan.
"Nona, bisa saya bantu?" Salah seorang anak buah Boy Azka menyapa gadis itu.. Seketika gerakan gadis itu terhenti, lalu ia menoleh ke arah asal suara. Boy azka terperanjat saat melihat wajah cantik itu. Tubuhnya gemetar. Perlahan ia melangkah maju dan berjongkok di depan kursi roda. Kini tubuhnya yang tinggi tegap itu sejajar dengan kursi roda. "Syafaa ...," lirih Boy Azka membuat gadis itu mengerutkan dahinya. 'Ka-kalian siapa? Anda kenal Saya?" Syafa nampak ketakutan. Ia memandang satu persatu pria di depannya yang memakai pakai preman. Hanya satu pria yang berjongkok di depannya berpakaian lebih elegan. "Syafaa, Kamu baik-baik saja, Nak? Kamu cantik, persis ibumu." Syafa tersentak saat mendengar ucapan pria di depannya. Ia sudah bisa menebak siapa nama pria itu. Jantungnya berdetak cukup kencang. Tangannya gemetar. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu sampai memakai kursi roda? Dulu Aku menitipkanmu dalam keadaan sehat. Aku beri mereka uang dan semua perlengkapanmu. Apa mereka tid
"Kirana ..., maafkan Aku. Anak kita ternyata sangat membenciku. Kesalahan yang Aku perbuat sembilan belas tahun silam seakan membunuhku saat ini. Hatiku terasa sangat nyeri ketika ia tak mau mengakuiku sebagai ayahnya." Boy Azka menjerit dalam hati. Sebenarnya bisa saja ia mengikuti keinginan Syafa agar mereka tak perlu saling mengenal seperti sebelumnya. Namun hati dan perasaanya menolak. Entah kenapa ia begitu ingin dekat dan memeluk Syafa. Rasa bersalahnya pada Kirana dan Syafa semakin menjadi-jadi. Jiwanya terguncang saat Syafa menolaknya untuk mengakuinya sebagai ayah kandungnya. "Kita kemana, Pak?" tanya salah satu anak buahnya. "Ke apartemenku saja!" "Tapi, besok Ibu pulang, Pak. Mereka sudah di pesawat sejak pukul tujuh tadi." "Kenapa cepat sekali mereka pulang? Bukankah Lintang dan Bumi masih libur kuliah?" Anak buah Boy Azka tak ada yang menjawab. "Jadi kita pulang ke rumah, Pak?" Tak lama kemudian, salah satu anak buah Boy Azka kembali bertanya. "Malam ini Aku ingi
"Sayang, semalam bagaimana kamu bisa ada di belakang night clubku?" Pagi itu Paul masih memeluk istrinya di atas ranjang. Semalam, setelah kepergian Boy Azka,Pria bule tampan itu langsung membawa Syafa ke rumahnya. Sepanjang malam Syafa menangis sampai tertidur. Paul hanya memeluk istrinya itu tanpa bertanya-tanya apapun. Ia melihat hati Syafa terguncang. Sejak awal Syafa melarang Paul bertemu dengan Boy Azka. Kalau seandainya Syafa tidak melarangnya, sebenarnya Paul ingin sekali berbicara empat mata pada Boy Azka dan menanyakan apa keinginan pria yang dikenal sebagai salah satu pejabat di pemerintahan itu. "A-aku sendiri yang ke sana, Kak. Aku minta maaf." Syafa menggeliatkan tubuhnya dalam pelukan Paul. Hingga hasrat pengantin baru itu seketika terpancing. "Untuk apa kamu ke clubku, Sayang?" Napas Paul mulai memburu, ia mulai menciumi leher Syafa hingga ke bagian dada. Syafa meremang , lalu mulai mengerang dan mendesah. "Aku ... aaah ... Aku penasa ... ran aja," jawabnya dian
"Hai, Cantik. Mau gabung dengan Kami di sana?" Tiba-tiba seorang pria tampan dengan rambut diiikat menyapa Syafa dengan ramah. Syafa membalas dengan menggeleng sambil tersenyum. "Nggak, Kak. Makasih!" jawabnya sopan. "Ayolah! Kamu di sini sendirian. Aku akan kenalkan dengan teman-temanku di sana. Oh ya, kenalkan Aku Lintang. Semua yang ada di sana itu adalah teman-temanku. Tak akan ada satupun dari mereka yang akan berani menganggumu!' "Terimakasih, Kak Lintang. Aku di sini sedang menunggu suamiku." Syafa berusaha bicara seramah mungkin. Bagaimanapun juga, mereka adalah pelanggan club suaminya. "Suami? Kamu sudah punya suami? Lalu kenapa suamimu ninggalin kamu di sini sendirian?" Lintang malah berjongkok di depan kursi roda Syafa, membuat gadis itu sedikit risih. Sementara dua karyawan Paul hendak menegur, namun urung setelah mereka mengetahui bahwa pemuda yang sedang bersama Syafa itu adalah tamu kehormatan yang sudah membooking club malam itu. "Suamiku tidak ninggalin Aku se
"Apa maksudmu, Lintang? Siapa gadis yang kamu maksud memakai kursi roda?" Boy azka spontan bertanya pada putranya dengan wajah serius. Lintang terheran sejenak. Tidak biasanya sang Ayah menanggapi pembicaraannya dengan serius. Apalagi tentang wanita. Selama ini Boy hanya menanggapinya dengan santai dan berakhir dengan saling meledek diantara Ayah dan anak itu. "Oh, itu, Yah. Gadis yang Aku temui di night club tadi." Lintang menjawab dengan pandangan tak berpindah dari ayahnya. "Apa? Night club?" Lagi-lagi Lintang terheran melihat ayahnya terkejut. Padahal Ayahnya sudah tau kalau dia memang sering ke beberapa night club di Jakarta. "Iya, Night Club. Memangnya kenapa, Yah? Tadi kami mengadakak reuni di salah satu night club di Jakarta Utara. "Ah nggak. Gadis itu pasti cantik. Buktinya Dian sampai cemburu. Iya, kan?" Boy berusaha mengendalikan rasa terkejutnya. Ia kembali bersikap biasa. "Cantik banget, Yah. Tapi sayangnya dia memakai kursi roda sejak kecelakaan beberapa bulan yang
"Kak, Nanti malam Aku mau ikut ke night club lagi. Boleh, ya?" Paul yang sedang menyisir rambut panjang istrinya itu mengangguk. "Memangnya kamu nggak lelah? Hari ini kamu akan latihan berjalan." Syafa terdiam. "Tapi Aku penasaran mau lihat lantai dua night Cub itu Kak." Paul cukup terkejut dengan ucapan Syafa. "Apakah Syafa akan marah jika tau kalau di lantai dua itu disediakan kamar-kamar.yang bisa di sewa oleh para pengunjung?" Paul mulai gelisah. Ia tak peduli jika harus menutup clubnya..Tapi ia khawatir jika Syafa marah padanya. "Boleh, kak?"Paul terkejut karena Syafa sudah memutar tubuhnya dan kini berada tepat di hadapan. "Oh ya. Tentu boleh, Sayang! Sekarang kita ke rumah sakit dulu!' Mereka memang pagi-pagi sekali sudah bersiap hendak ke rumah sakit. Karena perjalanan dari Jakarta utara menuju Bogor akan memakan waktu satu sampai dua jam perjalanan. Semoga saja tidak terjadi kemacetan.. Di perjalanan Syafa nampak bahagia. Ia berharap dokter sudah memperbolehkan d
"Aku gendong aja ke mobil, mau?" bisik Paul pada istrinya yang terlihat kelelahan setelah bercengkrama dengan teman-temannya. Setelah hampir satu jam, Paul menghampiri Syafa ke warung bakso. Dia tidak tenang melihat teman-teman pria Syafa yang sudah banyak datang dan menghampiri istrinya. Dia merasa tersiksa karena rasa cemburu. Syafa memang paling cantik dan pintar diantara semua teman-temannya. Dari pembicaraam mereka, Syafa adalah gadis idola di sekolah mereka dulu. Saat Paul datang, sontak semua pria muda yang sedang berkumpul di depan Syafa satu persatu menjauh. Mereka tau diri karena Syafa sudah bersuami. Namun demikian, Paul tetap berusaha tersenyum ramah pada semua teman-teman Syafa "Makan bakso, Bang!" "Siang, Bang!" "Silakan duduk, Bang!" Mereka pun cukup ramah menyapa Paul. "Nggak usah digendong,Kak. Aku malu!" balas Syafa berbisik. Sementara Paul menatap istrinya yang manja dengan penuh cinta. Sesekali ia menyelipkan anak rambut Syafa ke balik telinga gadis itu. "
"Aku mau langsung mandi, Kak." Setelah melewati perjalaman panjang dan macet di mana-mana, Syafa dan Paul tiba di rumah saat hari sudah sangat sore. Sepasang suami istri itu baru saja masuk ke dalam.kamarnya. Syafa kini sudah berpindah duduk di atas ranjang. "Mau Aku mandiin, Sayang?" Paul memeluk istrinya dari belakang. Menghirup aroma tubuh khas Syafa yang senang memakai bedak bayi. Walau belum mandi, aroma tubuh Syafa selalu menjadi candu untuknya. Syafa mengangguk malu. Sejak menikah, dimandikan oleh suaminya itu selalu menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuknya. Paul sangat memanjakan dirinya. Suaminya itu menyentuh setiap inci tubuhnya dengan penuh kelembutan, hingga ia ingin berlama-lama bersama suaminya di dalam kamar mandi. Syafa mengangguk malu. Wajah Paul tampak sangat bersemangat. Ia langsung membuka resleting dress Syafa dari belakang. Syafa hanya pasrah. "Kali ini, Aku mau kita gantian. Nanti kamu juga harus mandiin aku, ya!" bisiik Paul sambil menatap tubuh