"Sini Kaisar biar Aku yang pangku!" Rein meraih kembali putranya yang sudah tertidur pulas dipangkuan Maira. "Sepertinya Kaisar kelelahan karena asik bermain tadi." lanjut Rein lagi. Maira tak banyak bicara. Sepulangnya dari kantor tadi, Rein membawa anak dan istrinya ke sebuah wahana bermain yang sangat populer di kota Bandung. Rein berharap, tidak hanya Kaisar yang akan menjadi lebih ceria, namun ia juga ingin Maira juga menikmati kebersamaan mereka. Namun, selama mereka berada di wahana bermain tadi, Maira tampak tak bersemangat. Kaisar lebih banyak berinteraksi dengan Daddynya, dibanding Maira.Rein kembali mengusap lembut puncak kepala Maira yang tertutup hijab. "Kamu masih marah?" Maira masih tak menjawab. Rein paham dengan sikap istrinya. Ia pun tak akan banyak bertanya. Mereka tak bicara lagi. Rein sesekali merengkuh bahu dan mencium kening serta kepala Maira. Hingga mereka tiba di rumah Laura. "Ya ampuun, malam sekali kalian pulang. Lihat ini cucuku sampai.kelelahan." La
"Cepatlah Kayla, Aku mau bertemu dengan Kaisar. Sudah lama sekali Aku tidak bertemu anakku!" Raka tidak sabar menunggu Kayla yang sudah sulit untuk bergerak karena kehamilannya yang sudah semakin besar. Hampir satu bulan Raka tidak bertemu dengan Kaisar. Setiap ia ke Eternal group untuk mengajak Kayla makan siang, ia selalu bertanya pada salah satu security di sana apakah Kaisar ikut ke kantor. Namun entah kenapa putranya itu tak pernah lagi diajak ke kantor oleh Maira. Pagi ini Security itu mengirim pesan pada Raka bahwa Maira baru saja tiba dikantor dan mengajak putranya. Raka sangat bersemangat dan tidak sabar ingin segera tiba di Eternal group. "Kaylaaa!" Raka kembali berteriak dari luar karena Kayla tak kunjung keluar. "Iyaaa, Mas. Sebentar!" Wanita dengan perut buncit itu melangkah dengan sulit. Entah kenapa sejak semalam ia merasakan tidak nyaman pada bagian perutnya. "Lama sekali sih Kamu. Nanti kalau Kaisar pulang Aku nggak bisa ketemu Dia!" gerutu Raka seraya masuk ke da
"Kaisar!" Rein langsung meraih bocah lucu itu dan menggendongnya. Melihat putranya yang melompat menghampiri Rein, Raka nampak kesal. Padahal sejak tadi Kaisar sama sekali tidak menghiraukannya. Kaisar hanya fokus dengan mainannya. "Kamu bisa lihat kan, Mas? Sedekat apa Kaisar dengan suamiku?" Raka melirik sinis pada Rein. Di gendongannya nampak Kaisar dengan manja melingkarkan kedua tangan mungilnya di leher Rein. Raka menghempas napas kasar. "Kalian pasti sudah mempengaruhi Kaisar agar menjauh dariku. Iya, kan? Ingat ya! Kaisar ini adalah darah dagingku. Sampai kapanpun, Aku adalah Ayahnya!" Raka bicara dengan nada keras. Kemudian pria klimis itu memutar tubuhnya, lalu melangkah hendak keluar. "Pak Raka, Pak Raka! Tolong, Pak!" Tiba-tiba seorang security masuk ke ruangan Maira dan menghampiri Raka dengan tergopoh-gopoh. Semua mata langsung tertuju pada Security itu. "Ada apa Pak?" tanya Raka bingung. "Mbak Kayla, Mbak Kayla sepertinya mau melahirkan." "Apaaa?" Sontak tubu
"Batalkan semua acaraku hari ini. Putriku akan tiba di Indonesia pagi ini!" Boy Azka baru mendapat kabar kepulangan Syafa dari salah satu orang kepercayaannya. Pria itu sempat kesal karena Paul sama sekali tidak mengabarinya. "Kenapa mereka masih tidak mau mengabariku? Untung saja ada orangku yang bisa mencari informasi ini," bathin Boy Azka. "Ada apa, Mas?" Firda menghampiri suaminya yang sedang menikmati sarapan. Wanita itu tampak lebih ceria dan lebih banyak tersenyum. Setelah Firda sembuh dari sakitnya sebulan yang lalu, seperti janjinya, Boy Azka membawa istrinya itu berlibur beberapa hari ke pulau Bali. Walau hanya ke pulau dewata, Firda sangat bahagia. Karena itu adalah sesuatu yang pertama untuknya. Selama berlibur pun Boy Azka sangat memanjakan diirnya. "Eeeh ini. A-aku mau ke Bandara. Kamu mau ikut?" tanya Boy Azka hati-hati. "Ngapain ke Bandara?' Firda mengerutkan keningnya. "Hmm ... Syafa hari ini kembali ke Indonesia," jawab Boy pelan, namun terdengar jelas oleh Fi
"Kirana? Apa aku bermimpi?" Debaran jantung Boy berdetak semakin cepat. Satu tangannya beberapa kali mengusap dahi yang sudah basah oleh keringat dingin. Wanita cantik dengan dress hingga sebetis itu menghilang dari pandangan Boy Azka. Napas pria paruh baya itu memburu. Rasa rindu itu kembali muncul. Namun rasa bersalah juga terus menguasai hatinya. "Kirana ... Kirana. Kamu sudah membuatku gila!" gumamnya. Boy Azka yang sejak tadi tak mau ditemani oleh anak buahnya, melangkah cepat menuruni tangga menuju terminal kedatangan. Dari kejauhan, Firda yang sudah tiba di bandara beberapa menit yang lalu, melihat suaminya sedang berbicara dengan petugas. Sepertinya Boy Azka yang sedang memakai kacamata hitam dan jaket kulit itu memaksa hendak masuk ke dalam. "Apa yang akan dilakukan Mas Boy? Kenapa ia bersikeras hendak masuk ke dalam? Begitu rindunya kah suamiku itu dengan putrinya?" Firda merasakan dadanya sesak dan bergemuruh. Tanpa terasa kedua matanya mulai mengembun. Entah apa ya
"Tega kamu, Mas! Kamu memeluk wanita lain di belakangku. Siapa wanita itu? Lalu dimana Syafa? Kenapa Aku tidak melihat gadis berkursi roda itu? " Firda menggigit bibirnya. Menahan rasa nyeri yang kian meradang saat melihat suaminya memeluk erat seorang wanita muda dan cantik. Firda memang tidak bisa melihat jelas wajah wanita itu. Namun siapapun dia, Firda tidak terima jika suaminya memeluk wanita itu dengan erat dan cukup lama. Sementara itu Laura memandang tak percaya melihat penampilan Syafa. Wanita paruh baya itu diam terpaku dengan tatapan yang tak lepas pada menantunya . Ia seakan melihat artis kesayangannya hidup kembali. "Astaga ...! Benar-benar mirip." Tanpa sadar Laura meremas-remas lengan Maira yang ada di sebelahnya. "Kenapa, Ma? Siapa yang mirip?" Maira sejak tadi juga memperhatikan Paul dan Syafa yang berada tak jauh dari pintu kaca. "Itu, Syafa mirip sekali dengan Kirana. Mama seperti melihat Kirana hidup kembali," pekik Laura tak sadar. "Kirana siapa, besan?" son
"Syaa ..., kita pulang, yuk!" Paul berbisik ke telinga istrinya yang masih menikmati bermacam-macam kue di meja sambil berbincang bersama Akbar dan Rita. "Sebentar lagi ya, Kak. Aku masih kangen sama Bapak Ibu. Apa boleh Aku ikut antar mereka pulang ke Bogor?" "Apa kamu nggak lelah? Biar Bapak dan ibu menginap di rumah kita saja. Atau jika mereka mau pulang, ada Pak pardi yang mengantar. "Tapi Aku kangen sama rumah yang di Bogor, kak," rengek Syafa. "Syafaaa, dengar kata suamimu! Kamu itu baru saja sembuh. Ke Bogor bisa besok-besok. Bapak dan Ibu nanti pulang dulu saja. Kami tidak bawa persiapan untuk menginap. Wajah Syafa cemberut. Paul semakin gemas dengan sikap istrinya yang kini sering merajuk. Ternyata Syafa lebih manja dari yang ia kira.Akhirnya.ia membiarkan Syafa melepas rindu bersama Akbar dan Rita. "Maaf, mbak Syafa apa boleh bicara sebentar?" tiba-tiba Genta menghampiri Syafa. Mendengar itu, Paul yang duduk tak jauh dari istrinya itu sontak menoleh. Ia menatap tak su
"Bu Shinta, Saya sudah mendapatkan model yang cocok dan pas untuk iklan produk properti kita." Genta tiba-tiba menghampiri Maira yang baru saja keluar dari ruang rapat. "Oh ya? Siapa?" Maira mulai melangkah menuju ruangannya diikuti Genta. "Syafa." Langkah Maira tiba-tiba terhenti. Wanita cantik itu mengerutkan keningnya. "Apa? Maksud Kamu Syafa ..." "Ya, Syafa adik ipar Bu Shinta. Dia sangat cocok untuk iklan yang akan kita buat." "Ayo kita bicara di ruanganku!" Maira melanjutkan langkahnya. "Bu Shinta, teman-teman mau nengok Kayla ke apartemennya. Ibu mau ikut? Dewi menghampiri Maira dan berjalan menyamai Genta. "Oh ya, Aku hampir saja lupa. Kapan kalian akan ke sana?" "Sore ini, Bu." "Kalian duluan saja. Nanti Aku konfirmasi dulu dengan Pak Rein." Maira tersenyum. Kini mereka bertiga sudah masuk ke dalam ruangan Maira. "Silakan duduk, Genta. Kamu nggak salah pilih? Syafa bukan model. Dia belum berpengalaman." Maira sudah menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kebesarannya. S