Share

Istri Delapan Puluh Kilo
Istri Delapan Puluh Kilo
Author: Ummu Nadin

Biang Masalah

Author: Ummu Nadin
last update Huling Na-update: 2023-03-20 15:32:44

"Mas, mau pergi kemana? Kok rapi begitu?" Lilian menatap heran kepada sosok pria yang menikahinya tadi pagi itu tanpa berkedip.

"Aku ada janji dengan klien untuk makan malam. Nggak usah nungguin aku pulang! Mungkin aku nggak pulang malam ini!" jawabnya angkuh tanpa menoleh sedikitpun kepada wanita yang telah dinikahinya tersebut.

Lilian mengernyit heran.

"T-tapi, Mas. Kita kan baru menikah, malam ini kita----"

"Asal kamu tahu, aku menikahi kamu hanya karena desakan dari papi dan mami."

Suara lantang Satrio bukan saja berhasil mengagetkan Lilian yang sedang menyeduh dua cangkir kopi hitam, tetapi juga berhasil meruntuhkan harga dirinya.

Lilian mencubit tangannya sendiri. Dia sedang berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya ini bukan mimpi ... buruk.

"Kamu pikir, aku menikahi kamu karena tulus mencintai kamu?"

Sekali lagi, suara pria yang baru saja menikahi Lilian tadi pagi itu menggelegar memenuhi seluruh penjuru rumah.

Lilian harus menerima. Ternyata apa yang dialaminya ini bukanlah mimpi buruk. Dia benar-benar sedang mengalami kejadian ini, dimana dia berperan menjadi seorang istri yang tidak diinginkan. Aah, kenapa terdengar seperti judul sinetron?

Tadi pagi dia menikah. Hanya prosesi ijab dan qabul yang diadakan secara sederhana di rumah Lilian yang sederhana hari ini. Lilian yang hidup sebatang kara sejak setahun terakhir tidak menginginkan pesta pernikahan yang lebih meriah. Bahkan ketika keluarga Satrio yang merupakan orang kaya itu menawarkan pernikahan mewah, Lilian menolak.

Lilian adalah putri tunggal dari Sudirgo, sahabat baik Haryo Sasongko---papinya Satrio.

Jauh sebelum keduanya menikah, mereka telah saling berjanji untuk menikahkan anak mereka jika mereka memiliki anak yang berbeda jenis kelamin.

Sayangnya, dua sahabat itu bertahun-tahun lamanya terpisah karena Haryo Sasongko harus menetap di luar negeri selama lima belas tahun terakhir.

Ketika Haryo Sasongko pulang ke Indonesia, dia hanya menemukan Lilian yang hidup sebatang kara karena dua orang tuanya telah meninggal setahun yang lalu.

Lalu, Haryo dan istrinya menunaikan janji yang pernah dibuat di masa lalu tersebut dengan meminang Lilian untuk Satrio putra pertama mereka.

Pernikahan itu segera dilangsungkan. Bahkan Haryo tidak pernah bertanya pada Lilian dan Satrio. Apakah mereka berdua bersedia atau tidak. Tahu-tahu, semua terjadi. Kejadiannya sangat cepat. Lilian juga merasa hal ini seperti mimpi.

"Jadi sebaiknya, kamu jangan terlalu percaya diri. Kita hanya harus berpura-pura sebagai pasangan suami istri yang hidup bahagia di depan mami dan papi! Mengerti!"

Kali ini pria yang memiliki paras menawan dengan rahang tegas itu melangkah mendekati Lilian. Dia harus memastikan bahwa wanita yang saat ini telah dinikahinya itu mendengarkan perkataannya.

"Dengar, Lilian. Aku nggak mau semua ini diketahui oleh mami dan papi. Kita harus terlihat baik-baik saja di depan mereka." Satrio menatap Lilian.

"Kalau Mas Satrio ndak menginginkan pernikahan ini, kenapa ndak menolak? Kenapa harus menjalani hubungan rumit seperti ini?" protes Lilian.

Tadinya saat Bu Fatimah dan Pak Haryo datang ke rumah untuk melamar dirinya, dia mengira telah menemukan keluarga yang akan membuat hidupnya semakin bahagia. Nyatanya, baru saja siang tadi dia resmi menyandang status sebagai seorang istri. Kenyataan pahit semacam ini yang harus diterimanya.

"Kamu gila! Papi sakit jantung, Li. Kamu ingin melihat Papi meninggal, hah?" Satrio mendengus kasar.

Satrio mengira akan mudah membuat kesepakatan dengan Lilian. Penampakan Lilian yang polos dan lugu, tidak meyakinkan memiliki kecerdasan intelektual yang memadai untuk menjadi pendamping seorang Hendro Satrio.

Ternyata, Lilian dengan tegas mempertanyakan keputusannya mau menikahi gadis tersebut.

"Bukan gitu, Mas. Jika Mas Satrio bicara baik-baik dengan Papi, beliau pasti mengerti." Lilian masih bersikukuh dengan pendapatnya.

Enak saja, Satrio menyayangkan ayahnya terkena serangan jantung, tapi dia tidak merasa bersalah telah menyakiti hatinya sedalam ini.

"Jangan lancang, Li. Kamu nggak kenal Papi. Keputusanku ini sudah benar. Kita hanya harus berpura-pura. Jangan banyak protes, istri yang baik harus nurut dengan suaminya!" Satrio mencari dalil untuk membenarkan keputusannya.

Lilian mendengus kasar.

"Tetap saja itu tidak menguntungkan posisiku, Mas." Lilian mulai kesal.

"Oh, jadi kamu mau mengambil keuntungan dari pernikahan kita. Jangan-jangan kamu berharap berubah menjadi kaya raya dengan pernikahan ini? Benar, begitu?" Satrio mulai menyindir.

Keluarga Lilian selama ini hidup sederhana. Jauh berbeda dengan keluarga Satrio yang kaya raya.

"Bukan begitu, Mas. Jika Mas Satrio memang ndak bisa menjalani pernikahan ini, kita pisah saja sekarang. Itu akan lebih baik untuk semua orang," saran Lilian.

Baginya tidak mengapa berubah status menjadi janda di hari yang sama dengan hari pernikahannya. Daripada harus berstatus seorang istri akan tetapi hidupnya serba tidak jelas seperti yang diinginkan Satrio.

"Ini bukan diskusi, Li. Ini adalah keputusanku. Jadi kamu tidak punya andil untuk berpendapat di sini!" sembur Satrio kesal.

"Aku juga punya harga diri, Mas. Jika Mas Satrio ndak suka dengan aku. Ceraikan aku, Mas." Lilian tetap pada pendiriannya.

"Kenapa? Apa sudah ada yang antri untuk menikah dengan kamu, jika sudah kuceraikan? Haha.... Lihat dirimu!" ejeknya. Satrio melirik dengan tatapan merendahkan.

Ya, Lilian yang memiliki bentuk dan berat badan tidak ideal itu, apakah ada yang menungguinya jika sudah menjadi janda?

Bukankah situasinya tetap sama saja, dia menjadi janda atau tidak?

Satrio menyeringai meremehkan.

Selepas berkata demikian, Satrio bergegas meninggalkan Lilian yang menyeduh kopi di dapur mewah rumah milik Satrio.

"Apa karena aku gendut dan jelek, Mas? Kamu bisa berbuat seenak kamu sendiri?" gerutu Lilian kesal.

"Begini-begini aku ini juga manusia, Mas. Bukan kambing congek. Enak saja kamu bicara, nyuruh aku berpura-pura di depan papi dan mami. Memangnya berpura-pura itu ndak capek." Gadis tambun itu mengomel sendiri. Dia merasa sangat kesal dengan tingkah Satrio yang seenaknya sendiri.

"Baru juga sehari menyandang status sebagai seorang suami, eh sudah berbuat zalim pada istrinya." Lilian melanjutkan omelannya.

Sesekali dia menyesap kopi yang dibuatnya dengan emosional. Begitu seterusnya sampai satu cangkir kopi telah berpindah tempat di dalam perutnya.

"Haus juga lama-lama kalau ngomel-ngomel. Perasaan kalau ngajar di taman kanak-kanak, aku bisa tahan ndak minum beberapa jam. Kenapa ngomelin suami yang ndak ada akhlak jadi lebih cepet haus, ya!"

Dua cangkir kopi yang telah dibuat oleh Lilian akhirnya harus berakhir masuk ke perutnya semua.

Lilian dengan wajah kesal melangkah menuju kulkas yang berada tidak jauh dari sana.

"Wah, ada kue red velvet dan brownis kesukaanku. Gimana dong?" Selama beberapa saat, Lilian menatap kue yang ada di dalam kulkas itu dengan tatapan jatuh cinta.

Sepertinya dia menimbang-nimbang mau ambil apa tidak.

"Huwaaa.... Aku paling benci kalau sedih dan stres begini Yaa Allah, huwaaa.... Jadi pengen ngemil!"

Untung saja ini adalah rumah pribadi Satrio. Tidak ada orang lain di rumah ini kecuali dirinya dan Satrio. Pria sombong itu sudah pergi entah kemana. Jadi, hanya Lilian yang berada di dapur ini sendirian. Dia bebas bertingkah konyol seperti ini.

"Baiklah, mari kita makan yang banyak. Sepertinya menjadi istri Mas Satrio membutuhkan banyak energi. Orang sombong dan menyebalkan seperti itu pasti akan bertingkah seenaknya. Jadi aku harus makan banyak!"

Lilian mengambil satu kotak kue red velvet dari kulkas. Setelah menghela napas panjang, dia mulai memakan kue itu sepotong demi sepotong dengan begitu lahap. Hanya tersisa tiga potong saja di dalam kotak kue tersebut. Lalu, Lilian mengembalikannya ke kulkas.

"Alhamdulillah, diambil positifnya saja. Walaupun jadi istri Mas Satrio akan menyebalkan di depan nanti. Aku harus menghadapi dengan gagah berani." Lilian melangkah dengan semangat empat lima.

"Salah sendiri kamu ndak mau menceraikan aku, Mas. Jadi, terima resiko kamu di depan nanti!" dengus Lilian sambil mengepalkan tangannya.

Tidak peduli resiko apa yang ada di depan nanti, Lilian harus siap menghadapi. Pria sombong itu sebaiknya harus membuka mata lebar-lebar, bahwa Lilian Sudirgo bukanlah seorang gadis polos dan lugu seperti di dalam bayangan orang.

"Jangan macam-macam kamu, Mas. Kamu harus melepaskan aku baik-baik, atau menjadi suami baik-baik pula. Aku ndak ikhlas diperlakukan seperti ini."

Lilian masih mengomel sambil menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Lebih baik dia menghabiskan waktu malam ini dengan tidur, karena malam pertama atau apapun itu namanya, adalah hal yang tidak akan pernah terjadi.Lilian ingat tatapan merendahkan dari Satrio tadi.

Dia melirik jam di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.

"Haish, aku akan memikirkan semuanya besok."

Lilian menguap. Malam ini dia terlalu banyak mengomel. Hal itu membuatnya merasa lelah.

Saat ini Satrio memintanya untuk berpura-pura di depan orang tuanya. Bukankah itu artinya, Satrio membutuhkan tenaganya?

Jadi, sudah selayaknya dia harus mendapatkan kompensasi, bukan?

Satrio boleh berbuat semaunya, Lilian juga berhak meminta kompensasi atas tenaga yang telah dikeluarkan untuk berpura-pura.

Fix!

Besok, dia harus membuat surat kontrak yang menguntungkan dirinya. Dia tidak mau ditindas.

"Enak saja mau menindasku!" omelnya.

Tak butuh waktu lama, gadis itu sudah tidur pulas di ranjang empuk. Tidak peduli ini ruangan siapa, tadi siang mami dan papi mertua mengantarkan dia ke kamar ini. Jika ini adalah kamar Satrio, sebelum Satrio mengusirnya dari kamar ini, Lilian harus mengusir pria itu terlebih dahulu.

Suasana sepi malam ini, membuat Lilian terlelap begitu mudah. Apalagi dirinya dulu sering disebut 'Pelor' oleh ibunya. Pelor alias kalau udah nempel bantal terus molor.

"Liliaaaaaan!"

Tepat pukul 23.00 WIB Lilian terjinggat bangun karena mendengar suara bentakan keras yang memanggil namanya dari lantai bawah.

Gadis berbadan tambun itu beringsut dari ranjang. Dengan muka bantal dia melangkah menuruni tangga. Meskipun Baru sehari menjadi istri Satrio, dia sudah mengenal karakter suara Satrio.

Barusan pasti Satrio yang memanggil dirinya. Lagipula, siapa lagi yang akan memanggil namanya jika bukan Satrio. Bukankah mereka hanya tinggal berdua saja di rumah ini?

"Ada apa, Mas? Kenapa berteriak-teriak begitu? Apa ndak bisa manggil pelan-pelan?" gerutu Lilian kesal.

Beberapa kali dia menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dan menimbulkan bunyi klek, membuat Satrio bergidik ngeri.

"Ini siapa yang menghabiskan kue red Velvet punyaku?" pekiknya kesal.

Padahal Satrio belum mencicipi satu potong pun, sekarang hanya tersisa tiga potong saja. Hah, satu kotak besar kue red velvet yang dia pesan secara khusus di toko kue, dihabiskan semuanya oleh Lilian. Satrio benar-benar gusar.

"Habis, siapa suruh Mas Satrio pergi makan malam sendirian. Aku ndak diajak. Emangnya aku ndak lapar apa?" Lilian menjawab santai.

Enak saja, datang-datang dari makan malam bukannya membawakan oleh-oleh untuk istrinya malah marah-marah hanya karena sekotak kue.

"Kan kamu bisa bikin mie instan, Li!" omel Satrio kesal setengah mati.

"Hah? Nggak salah, Mas Satrio nyuruh aku makan mie instan? Emangnya gaji Mas Satrio apa hanya sejuta sebulan? Sampai nggak bisa kasih nafkah yang lebih layak pada istrinya?" ejek Lilian.

"Ckck! Baru jadi istri sehari sudah bikin kepalaku nyut-nyutan kamu, Li!" oceh Satrio sembari menggeloyor pergi meninggalkan Lilian yang berdiri di sana sembari mengendikkan bahunya.

Lilian memutar bola mata malas. Harusnya dia yang kesal karena Satrio telah mengganggu waktu tidurnya. Eh, ini malah kebalik. Dasar menyebalkan.

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri Delapan Puluh Kilo    IDPK - Part 018. Jeweran untuk Satrio

    Fatimah masih penasaran karena Bintang dan Lilian bisa pulang bersama. Ketika keduanya turun dari mobil, Fatimah sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan dari Lilian dan Bintang."Kalian kok bisa barengan?" Fatimah mengulang pertanyaan."Ndak sengaja ketemu di jalan tadi, Mih. Ban mobil Lilian bocor, Dek Bintang yang bantu ganti ban." "Tadinya aku nggak tahu kalau dia ini istrinya Mas Satrio, Mi."Sosok Bintang yang tinggi dengan bentuk tubuh proporsional beranjak mendekati Fatimah dengan senyuman semringah. "Makanya kok nggak sampai-sampai, ternyata kebanan to, Nduk?" Fatimah menatap simpati."Nggeh, Mi. Pas lagi buru-buru malah ban bocor. Coba tadi Dek Bintang nggak bantu ganti ban," sahutnya."Alhamdulillah, kamu ini memang wong bejo, Nduk. Dimana-mana banyak orang yang welas, karena kamu orang baik." Bintang melirik kakak iparnya yang hanya bisa tersenyum canggung mendengar pujian demi pujian dari mertuanya. "Yowes ayo kita masuk. Papi udah nunggu kita di dalam." Bintan

  • Istri Delapan Puluh Kilo    IDPK - Part 17. Bertemu Bintang

    Satrio masih sibuk di depan laptop saat ponselnya yang tergeletak di meja kerja bergetar. Meski kesal karena merasa terganggu dengan dering ponsel, Satrio tetap meliriknya. Sebuah nama yang cukup akrab menyembul di layar ponsel yang menyala."Bintang? Tumben nelpon? Katanya nggak jadi pulang?" Dahinya mengernyit heran. Rasa kesal yang tadi hadir, seketika menghilang.Gegas, Satrio menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan."Halo, Dek. Gimana?" sapanya."Mas, hari ini aku jadi pulang, ya." Suara di seberang segera terdengar beberapa detik kemudian."Loh, loh. Katanya masih sibuk, nggak jadi pulang. Kok tiba-tiba berubah?" Dahi Satrio mengernyit dalam."Kebetulan agak luang hari ini dan besok, jadi aku pulang, Mas." Bintang yang berprofesi sebagai pilot dengan penerbangan internasional, beberapa bulan ini tidak bisa pulang ke Solo. Alih-alih pulang ke Solo, jadwalnya sangat padat."Cuma dua hari emang kamu nggak pilih rehat di hotel saja? Kalau maksa pulang capek di jalan, Dek?"

  • Istri Delapan Puluh Kilo    IDPK - Part 16. Diet

    "Bu Lilian, sampeyan dari kemarin kenapa terlihat tak bersemangat?" tegur Erni saat melihat Lilian berwajah kuyu tak seperti biasanya.Lilian yang menyandarkan kepalanya di meja, seketika menegakkan tubuh mendengar sapaan temannya. "Aah, endak, Bu. Cuma lagi pusing saja saya, Bu." Sejak kemarin, ada hal berat yang menjadi pemikirannya. Masalah rumah tangganya dengan Satrio membuatnya tertekan. Salah satu alasan kenapa Satrio tidak bisa menerima keberadaan Lilian sebagai istri sahnya adalah karena penampilan Lilian yang tidak menarik. Bagaimanapun, fisik juga merupakan salah satu poin penting. Satrio adalah pimpinan perusahaan, selain itu dia mempunyai fisik yang sempurna. Sementara Lilian, berpenampilan seperti karung beras seperti ini, Satrio pasti sangat malu kalau mengakui Lilian sebagai istrinya.Wanita gendut itu ingin merubah penampilan supaya terlihat lebih menarik. Paling utama, Lilian merasa sangat tidak nyaman dengan berat badannya yang melebihi ambang batas ini. Sebelu

  • Istri Delapan Puluh Kilo    IDPK - Part 15. Gagal Total

    "Nduk, bukain gerbangnya!" Terdengar suara Haryo ketika Lilian sedang menyapu halaman pagi ini.Sontak, Lilian menoleh. Di luar sana, sepasang pria dan wanita paruh baya yang mengenakan pakaian olah raga tampak letih. Mereka adalah Fatimah dan Haryo."Loh, Mih, Pih. Tumben pagi-pagi udah nyampai sini," seru Lilian sambil berjalan menuju pintu gerbang dan gudang membukanya."Namanya juga jogging ya pagi-pagi, Li. Masak iya kita jogging siang-siang," sahut Fatimah.“Iya, juga, ya. Kalau siang-siang bukan jogging, ya, Mih,” celetuk Lilian."Emang kalau siang apaan, Li?" tanya Haryo iseng."Kalau siang lari-lari, mungkin dia lagi lari dari kenyataan. Hehe...." "Hehe, kamu ini ada-ada saja, Li." Haryo tertawa kecil mendengar ucapan menantu kesayangannya itu. Fatimah yang ada di samping Haryo juga ikut tertawa. “Alhamdulillah, sudah sampai sini,” ujar Haryo menghela napas lega.Keduanya duduk di kursi teras untuk melepas lelah. Bisa dibilang, jarak antara rumah mertuanya menuju tempat ini

  • Istri Delapan Puluh Kilo    IDPK - Part 14. Pertengkaran

    Lilian sedang menyiapkan makan malam di meja ketika Satrio datang. Hari sudah beranjak malam, Satrio baru pulang. Tanpa harus memberi penjelasan Lilian sudah bisa menebak apa yang terjadi.Pemandangan tadi siang saat di restoran kembali berputar. Dia melihat Satrio begitu lembut memperlakukan Sherly. Sedalam apa hubungan keduanya dia juga sudah bisa melihat. Keduanya saling mencintai satu sama lain. Jika dalam sebuah novel, mungkin saja dia hanyalah menjadi tokoh antagonis yang menjadi pihak ketiga yang menguji ketulusan cinta Satrio dan Sherly. Lilian benci saat memikirkan hal tersebut."Makan malam, Mas," sapanya begitu melihat Satrio melangkah acuh tak acuh menuju kamarnya."Aku sudah makan di apartemen Sherly." Satrio menjawab dingin. Bahkan dia tidak perlu repot-repot untuk menoleh ke arah Lilian. Lilian sama sekali bukan fokus Satrio. Sekedar basa-basi pun Lilian tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkannya."Makan dikit aja, Mas. Aku udah terlanjur masak untuk kita berdua,

  • Istri Delapan Puluh Kilo    IDPK - Part 13. Ternyata Sakit

    Dua orang wanita berpakaian seragam PDH warna khaki keluar dari ruang meeting room restoran. Mereka baru saja selesai rapat gabungan dengan perwakilan guru-guru taman kanak-kanak se-kabupaten di restoran tersebut.Keduanya adalah utusan dari sekolah mereka untuk rapat gabungan Guru TK untuk memperingati hari anak nasional minggu depan."Hanya tersisa waktu seminggu lagi, Bu Lilian. Semua sudah siap, nggeh?" tanya seorang wanita berkacamata yang melangkah beriringan dengannya menuruni tangga."Kalau menurut saya sudah siap semua, Bu Erni. Nanti kita cek lagi saja biar lebih bagus." Sambil tersenyum, Lilian menjawab dengan percaya diri."Baik. Bu Lilian selalu keren menyiapkan semuanya. Saya salut dengan jenengan, Bu," sahut Bu Erni bangga."Ah, biasa aja, Bu. Anak-anak sangat antusias, jadi mereka bisa diajak bekerja sama." Lilian sangat dekat dengan anak-anak didiknya. Dia pandai membuat lelucon untuk memeriahkan suasana.Mereka sibuk membicarakan rencana selanjutnya yang akan disiapk

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status