Share

Istri Delapan Puluh Kilo
Istri Delapan Puluh Kilo
Author: Ummu Nadin

Biang Masalah

"Mas, mau pergi kemana? Kok rapi begitu?" Lilian menatap heran kepada sosok pria yang menikahinya tadi pagi itu tanpa berkedip.

"Aku ada janji dengan klien untuk makan malam. Nggak usah nungguin aku pulang! Mungkin aku nggak pulang malam ini!" jawabnya angkuh tanpa menoleh sedikitpun kepada wanita yang telah dinikahinya tersebut.

Lilian mengernyit heran.

"T-tapi, Mas. Kita kan baru menikah, malam ini kita----"

"Asal kamu tahu, aku menikahi kamu hanya karena desakan dari papi dan mami."

Suara lantang Satrio bukan saja berhasil mengagetkan Lilian yang sedang menyeduh dua cangkir kopi hitam, tetapi juga berhasil meruntuhkan harga dirinya.

Lilian mencubit tangannya sendiri. Dia sedang berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya ini bukan mimpi ... buruk.

"Kamu pikir, aku menikahi kamu karena tulus mencintai kamu?"

Sekali lagi, suara pria yang baru saja menikahi Lilian tadi pagi itu menggelegar memenuhi seluruh penjuru rumah.

Lilian harus menerima. Ternyata apa yang dialaminya ini bukanlah mimpi buruk. Dia benar-benar sedang mengalami kejadian ini, dimana dia berperan menjadi seorang istri yang tidak diinginkan. Aah, kenapa terdengar seperti judul sinetron?

Tadi pagi dia menikah. Hanya prosesi ijab dan qabul yang diadakan secara sederhana di rumah Lilian yang sederhana hari ini. Lilian yang hidup sebatang kara sejak setahun terakhir tidak menginginkan pesta pernikahan yang lebih meriah. Bahkan ketika keluarga Satrio yang merupakan orang kaya itu menawarkan pernikahan mewah, Lilian menolak.

Lilian adalah putri tunggal dari Sudirgo, sahabat baik Haryo Sasongko---papinya Satrio.

Jauh sebelum keduanya menikah, mereka telah saling berjanji untuk menikahkan anak mereka jika mereka memiliki anak yang berbeda jenis kelamin.

Sayangnya, dua sahabat itu bertahun-tahun lamanya terpisah karena Haryo Sasongko harus menetap di luar negeri selama lima belas tahun terakhir.

Ketika Haryo Sasongko pulang ke Indonesia, dia hanya menemukan Lilian yang hidup sebatang kara karena dua orang tuanya telah meninggal setahun yang lalu.

Lalu, Haryo dan istrinya menunaikan janji yang pernah dibuat di masa lalu tersebut dengan meminang Lilian untuk Satrio putra pertama mereka.

Pernikahan itu segera dilangsungkan. Bahkan Haryo tidak pernah bertanya pada Lilian dan Satrio. Apakah mereka berdua bersedia atau tidak. Tahu-tahu, semua terjadi. Kejadiannya sangat cepat. Lilian juga merasa hal ini seperti mimpi.

"Jadi sebaiknya, kamu jangan terlalu percaya diri. Kita hanya harus berpura-pura sebagai pasangan suami istri yang hidup bahagia di depan mami dan papi! Mengerti!"

Kali ini pria yang memiliki paras menawan dengan rahang tegas itu melangkah mendekati Lilian. Dia harus memastikan bahwa wanita yang saat ini telah dinikahinya itu mendengarkan perkataannya.

"Dengar, Lilian. Aku nggak mau semua ini diketahui oleh mami dan papi. Kita harus terlihat baik-baik saja di depan mereka." Satrio menatap Lilian.

"Kalau Mas Satrio ndak menginginkan pernikahan ini, kenapa ndak menolak? Kenapa harus menjalani hubungan rumit seperti ini?" protes Lilian.

Tadinya saat Bu Fatimah dan Pak Haryo datang ke rumah untuk melamar dirinya, dia mengira telah menemukan keluarga yang akan membuat hidupnya semakin bahagia. Nyatanya, baru saja siang tadi dia resmi menyandang status sebagai seorang istri. Kenyataan pahit semacam ini yang harus diterimanya.

"Kamu gila! Papi sakit jantung, Li. Kamu ingin melihat Papi meninggal, hah?" Satrio mendengus kasar.

Satrio mengira akan mudah membuat kesepakatan dengan Lilian. Penampakan Lilian yang polos dan lugu, tidak meyakinkan memiliki kecerdasan intelektual yang memadai untuk menjadi pendamping seorang Hendro Satrio.

Ternyata, Lilian dengan tegas mempertanyakan keputusannya mau menikahi gadis tersebut.

"Bukan gitu, Mas. Jika Mas Satrio bicara baik-baik dengan Papi, beliau pasti mengerti." Lilian masih bersikukuh dengan pendapatnya.

Enak saja, Satrio menyayangkan ayahnya terkena serangan jantung, tapi dia tidak merasa bersalah telah menyakiti hatinya sedalam ini.

"Jangan lancang, Li. Kamu nggak kenal Papi. Keputusanku ini sudah benar. Kita hanya harus berpura-pura. Jangan banyak protes, istri yang baik harus nurut dengan suaminya!" Satrio mencari dalil untuk membenarkan keputusannya.

Lilian mendengus kasar.

"Tetap saja itu tidak menguntungkan posisiku, Mas." Lilian mulai kesal.

"Oh, jadi kamu mau mengambil keuntungan dari pernikahan kita. Jangan-jangan kamu berharap berubah menjadi kaya raya dengan pernikahan ini? Benar, begitu?" Satrio mulai menyindir.

Keluarga Lilian selama ini hidup sederhana. Jauh berbeda dengan keluarga Satrio yang kaya raya.

"Bukan begitu, Mas. Jika Mas Satrio memang ndak bisa menjalani pernikahan ini, kita pisah saja sekarang. Itu akan lebih baik untuk semua orang," saran Lilian.

Baginya tidak mengapa berubah status menjadi janda di hari yang sama dengan hari pernikahannya. Daripada harus berstatus seorang istri akan tetapi hidupnya serba tidak jelas seperti yang diinginkan Satrio.

"Ini bukan diskusi, Li. Ini adalah keputusanku. Jadi kamu tidak punya andil untuk berpendapat di sini!" sembur Satrio kesal.

"Aku juga punya harga diri, Mas. Jika Mas Satrio ndak suka dengan aku. Ceraikan aku, Mas." Lilian tetap pada pendiriannya.

"Kenapa? Apa sudah ada yang antri untuk menikah dengan kamu, jika sudah kuceraikan? Haha.... Lihat dirimu!" ejeknya. Satrio melirik dengan tatapan merendahkan.

Ya, Lilian yang memiliki bentuk dan berat badan tidak ideal itu, apakah ada yang menungguinya jika sudah menjadi janda?

Bukankah situasinya tetap sama saja, dia menjadi janda atau tidak?

Satrio menyeringai meremehkan.

Selepas berkata demikian, Satrio bergegas meninggalkan Lilian yang menyeduh kopi di dapur mewah rumah milik Satrio.

"Apa karena aku gendut dan jelek, Mas? Kamu bisa berbuat seenak kamu sendiri?" gerutu Lilian kesal.

"Begini-begini aku ini juga manusia, Mas. Bukan kambing congek. Enak saja kamu bicara, nyuruh aku berpura-pura di depan papi dan mami. Memangnya berpura-pura itu ndak capek." Gadis tambun itu mengomel sendiri. Dia merasa sangat kesal dengan tingkah Satrio yang seenaknya sendiri.

"Baru juga sehari menyandang status sebagai seorang suami, eh sudah berbuat zalim pada istrinya." Lilian melanjutkan omelannya.

Sesekali dia menyesap kopi yang dibuatnya dengan emosional. Begitu seterusnya sampai satu cangkir kopi telah berpindah tempat di dalam perutnya.

"Haus juga lama-lama kalau ngomel-ngomel. Perasaan kalau ngajar di taman kanak-kanak, aku bisa tahan ndak minum beberapa jam. Kenapa ngomelin suami yang ndak ada akhlak jadi lebih cepet haus, ya!"

Dua cangkir kopi yang telah dibuat oleh Lilian akhirnya harus berakhir masuk ke perutnya semua.

Lilian dengan wajah kesal melangkah menuju kulkas yang berada tidak jauh dari sana.

"Wah, ada kue red velvet dan brownis kesukaanku. Gimana dong?" Selama beberapa saat, Lilian menatap kue yang ada di dalam kulkas itu dengan tatapan jatuh cinta.

Sepertinya dia menimbang-nimbang mau ambil apa tidak.

"Huwaaa.... Aku paling benci kalau sedih dan stres begini Yaa Allah, huwaaa.... Jadi pengen ngemil!"

Untung saja ini adalah rumah pribadi Satrio. Tidak ada orang lain di rumah ini kecuali dirinya dan Satrio. Pria sombong itu sudah pergi entah kemana. Jadi, hanya Lilian yang berada di dapur ini sendirian. Dia bebas bertingkah konyol seperti ini.

"Baiklah, mari kita makan yang banyak. Sepertinya menjadi istri Mas Satrio membutuhkan banyak energi. Orang sombong dan menyebalkan seperti itu pasti akan bertingkah seenaknya. Jadi aku harus makan banyak!"

Lilian mengambil satu kotak kue red velvet dari kulkas. Setelah menghela napas panjang, dia mulai memakan kue itu sepotong demi sepotong dengan begitu lahap. Hanya tersisa tiga potong saja di dalam kotak kue tersebut. Lalu, Lilian mengembalikannya ke kulkas.

"Alhamdulillah, diambil positifnya saja. Walaupun jadi istri Mas Satrio akan menyebalkan di depan nanti. Aku harus menghadapi dengan gagah berani." Lilian melangkah dengan semangat empat lima.

"Salah sendiri kamu ndak mau menceraikan aku, Mas. Jadi, terima resiko kamu di depan nanti!" dengus Lilian sambil mengepalkan tangannya.

Tidak peduli resiko apa yang ada di depan nanti, Lilian harus siap menghadapi. Pria sombong itu sebaiknya harus membuka mata lebar-lebar, bahwa Lilian Sudirgo bukanlah seorang gadis polos dan lugu seperti di dalam bayangan orang.

"Jangan macam-macam kamu, Mas. Kamu harus melepaskan aku baik-baik, atau menjadi suami baik-baik pula. Aku ndak ikhlas diperlakukan seperti ini."

Lilian masih mengomel sambil menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Lebih baik dia menghabiskan waktu malam ini dengan tidur, karena malam pertama atau apapun itu namanya, adalah hal yang tidak akan pernah terjadi.Lilian ingat tatapan merendahkan dari Satrio tadi.

Dia melirik jam di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.

"Haish, aku akan memikirkan semuanya besok."

Lilian menguap. Malam ini dia terlalu banyak mengomel. Hal itu membuatnya merasa lelah.

Saat ini Satrio memintanya untuk berpura-pura di depan orang tuanya. Bukankah itu artinya, Satrio membutuhkan tenaganya?

Jadi, sudah selayaknya dia harus mendapatkan kompensasi, bukan?

Satrio boleh berbuat semaunya, Lilian juga berhak meminta kompensasi atas tenaga yang telah dikeluarkan untuk berpura-pura.

Fix!

Besok, dia harus membuat surat kontrak yang menguntungkan dirinya. Dia tidak mau ditindas.

"Enak saja mau menindasku!" omelnya.

Tak butuh waktu lama, gadis itu sudah tidur pulas di ranjang empuk. Tidak peduli ini ruangan siapa, tadi siang mami dan papi mertua mengantarkan dia ke kamar ini. Jika ini adalah kamar Satrio, sebelum Satrio mengusirnya dari kamar ini, Lilian harus mengusir pria itu terlebih dahulu.

Suasana sepi malam ini, membuat Lilian terlelap begitu mudah. Apalagi dirinya dulu sering disebut 'Pelor' oleh ibunya. Pelor alias kalau udah nempel bantal terus molor.

"Liliaaaaaan!"

Tepat pukul 23.00 WIB Lilian terjinggat bangun karena mendengar suara bentakan keras yang memanggil namanya dari lantai bawah.

Gadis berbadan tambun itu beringsut dari ranjang. Dengan muka bantal dia melangkah menuruni tangga. Meskipun Baru sehari menjadi istri Satrio, dia sudah mengenal karakter suara Satrio.

Barusan pasti Satrio yang memanggil dirinya. Lagipula, siapa lagi yang akan memanggil namanya jika bukan Satrio. Bukankah mereka hanya tinggal berdua saja di rumah ini?

"Ada apa, Mas? Kenapa berteriak-teriak begitu? Apa ndak bisa manggil pelan-pelan?" gerutu Lilian kesal.

Beberapa kali dia menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dan menimbulkan bunyi klek, membuat Satrio bergidik ngeri.

"Ini siapa yang menghabiskan kue red Velvet punyaku?" pekiknya kesal.

Padahal Satrio belum mencicipi satu potong pun, sekarang hanya tersisa tiga potong saja. Hah, satu kotak besar kue red velvet yang dia pesan secara khusus di toko kue, dihabiskan semuanya oleh Lilian. Satrio benar-benar gusar.

"Habis, siapa suruh Mas Satrio pergi makan malam sendirian. Aku ndak diajak. Emangnya aku ndak lapar apa?" Lilian menjawab santai.

Enak saja, datang-datang dari makan malam bukannya membawakan oleh-oleh untuk istrinya malah marah-marah hanya karena sekotak kue.

"Kan kamu bisa bikin mie instan, Li!" omel Satrio kesal setengah mati.

"Hah? Nggak salah, Mas Satrio nyuruh aku makan mie instan? Emangnya gaji Mas Satrio apa hanya sejuta sebulan? Sampai nggak bisa kasih nafkah yang lebih layak pada istrinya?" ejek Lilian.

"Ckck! Baru jadi istri sehari sudah bikin kepalaku nyut-nyutan kamu, Li!" oceh Satrio sembari menggeloyor pergi meninggalkan Lilian yang berdiri di sana sembari mengendikkan bahunya.

Lilian memutar bola mata malas. Harusnya dia yang kesal karena Satrio telah mengganggu waktu tidurnya. Eh, ini malah kebalik. Dasar menyebalkan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status